Suara Merdeka, 02 Juli 2010
Oleh Tjipto Subadi
DALAM sejarahnya, Muhammadiyah pernah berusaha diubah dari ormas keagamaan yang bergerak dalam bidang sosial, ekonomi, dan dakwah menjadi partai politik. Seperti desakan yang dilakukan KH Agus Salim kepada KH Ahmad Dahlan, sang pendiri, namun akhirnya ditolak.
Pada masa awal Orde Baru pun, Presiden Soeharto pernah meminta Muhammadiyah menjadi partai politik tetapi ditolak tegas oleh Muhammadiyah, di bawah kepemimpinan KH AR Fachruddin.
Menjelang muktamar ke-46 pada 3-8 Juli di Yogyakarta, bertepatan dengan satu abad umur Muhammadiyah, kenaikan suhu politik 30 juta warga Muhammadiyah di Indonesia makin terasa.
Bukan hanya disebabkan oleh siapa tokoh yang akan terpilih sebagai ketua umum ormas keagamaan modern terbesar di Indonesia itu, melainkan juga oleh makin kuatnya tarikan sejumlah parpol yang dirasakan anggota persyarikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada 1912 tersebut.
Figur pemimpin pada periode 2010-2015 tampaknya mengerucut pada nama seperti Din Syamsuddin (Ketua Umum PP 2005-2010), Haedar Nashir (Ketua PP), Dahlan Rais (Sekretaris PP), dan Amin Abdullah (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).
Amien yang pernah menjadi Ketua Umum dan sekarang Penasihat PP, yang semula diperkirakan maju kembali ternyata dan tetap memilih menjadi Ketua MPP PAN. Kabar yang berembus kuat menyebutkan Amien mendukung tampilnya Haedar Nashir untuk menggantikan Din.
Sebenarnya yang paling dikhawatirkan warga Muhammadiyah adalah tarikan sejumlah parpol agar ormas dakwah itu masuk ke dalam orbitnya agar dapat dimanfaatkan pada 2014, dan adanya intervensi dari eksekutif agar tokoh tertentu dipilih jadi ketua umum.
Hanya saja budaya sowan dari calon ketua umum kepada penguasa untuk mencari dukungan menjelang muktamar hingga sekarang masih diharamkan oleh para tokoh Muhammadiyah.
Pilihan Tepat
Sebagaimana pernah dikatakan Haedar Nashir, pilihan warga Muhammadiyah untuk tidak terjun dalam politik praktis sudah tepat. Hal itu berarti Muhammadiyah telah kembali ke khitah 1912 sebagai ormas sosial keagamaan dan dakwah amar makruf nahi mungkar.
Sebenarnya juga tidak salah kalau ada tokoh Muhammadiyah mendorong agar persyarikatan itu perlu memperkuat posisinya terhadap negara.
Sebab seringkali berbagai kebijakan negara merugikan umat Islam, seperti penolakan pembubaran Ahmadiyah, UU Pornografi dan sebagainya. Dalam hal ini bukan berarti Muhammadiyah harus terjun ke politik praktis melainkan dalam rangka membela kepentingan umat Islam yang dirugikan negara.
Sejak ditinggalkan KH Azhar Basyir (1994) dan sebelumnya KH AR Fachruddin, tampaknya Muhammadiyah sulit mencari pemimpin yang merupakan figur ulama karismatis, dihormati penguasa, berwibawa, dan sederhana, serta bersahaja kehidupannya.
Tidak dapat dibayangkan, sebagai Ketua Umum PP sejak 1968, untuk meme-nuhi kebutuhan sehari-harinya KH AR Fachruddin nyambi berjualan bensin ecaran di depan rumahnya di Jalan Cik Di Tiro, dekat kampus UGM.
Bahkan Pak AR (sebutan akrabnya) sendiri yang menuangkan bensin literan itu ketika para mahasiswa membelinya. Pernah dikabarkan ulama karismatis tersebut dengan halus menolak tawaran rumah dari Pak Harto yang tahu bahwa pemimpin Muhammadiyah itu belum punya rumah, dan yang ditinggali di Jalan Cik Di Tiro itu adalah milik Muhammadiyah.
Para pimpinan sebelum KH AR Fachruddin juga figur ulama karismatis dan disegani umat ataupun penguasa, seperti Buya Malik Ahmad, Syekh Abdul Malik Karim Amrullah, Buya Hamka, Buya AR Sutan Mansyur, KH Kahar Muzakir dan lain-lain.
Sejak terpilihnya Amien Rais dalam muktamar ke-43 di Banda Aceh, Muhammadiyah memasuki era kepemimpinan baru di bawah cendekiawan muslim. Maka tampillah Amien, Syafii Ma’arif, dan Din. Meski ketiganya doktor dari perguruan tinggi di AS, kadar keulamaan mereka tidak kalah dari pendahulunya.
Amien pernah kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Universitas Al Azhar Kairo Mesir, sementara Syafii Ma’arif pernah jadi dosen UIN Sunan Kalijaga, sedangkan Din selain alumnus Pondok Modern Gontor Ponorogo, juga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Untuk itu, pada muktamar di Yogya yang sangat bersejarah ini, diharapkan terpilih ketua umum yang juga cendekiawan muslim sekaligus ulama karismatis, memberikan keteladanan dalam kehidupan keislaman, mampu berkomunikasi secara luas baik di lingkup nasional maupun internasional, juga paham percaturan politik nasional dan internasional. (10)
— Doktor Tjipto Subadi MSi, dosen Prodi Matematika FKIP dan Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
No comments:
Post a Comment