Tuesday, November 28, 2017

Muhammadiyah Jalan Lurus


Oleh: Haedar Nashir

Akhir-akhir ini di Jawa Tengah dan DIY  ada sebuah kelompok Islam yang bergerak dalam majelis pengajian tafsir dan hadis yang menarik warga Muhammadiyah. Sebagian warga atau aktivis Muhammadiyah di bawah ada yang tertarik masuk ke gerakan tersebut. Selain karena intensifnya pengajian yang mereka selenggarakan, sebagian orang Muhammadiyah sering diyakinkan kalau majelis pengajian tersebut satu paham dengan Muhammadiyah. Malah dinyatakan bahwa gerakan Islam ini pahamnya sama dengan Muhammadiyah awal alias aseli, yang disebutnya sebagai Muhammadiyah jalan lurus. Dalam makna lain, Muhammadiyah yang berkembang saat ini tidak lagi aseli.

Model pengajiannya baik dalam dialog melalui radio maupun pengajian-pengajian langsung di tingkat jamaah cenderung serba tegas, zakelik, dan tidak jarang keras. Banyak hal serba dibid’ahkan seperti takbiran malam idul fitri maupun idul adha dan sebagainya. Anjing misalnya hukumnya tidak haram, karena yang najis hanya air liurnya. Model kepemimpinannya ala imamah yang monolitik dengan berpusat pada imam, sehingga melahirkan ketaatan total minus kritik. Pengumpulan dana bersifat sentralistik dan cenderung memaksa. Pendekatan keagamaan serba tekstual yang ketat.

Sebagian aktivis Muhammadiyah ada yang menjadi anggota pengajian dan pengurus organisasi Islam tersebut. Pada awalnya keterlibatan aktivis Muhammadiyah tersebut normal saja karena ingin tahu aatau simpati, sekaligus karena menjaga silaturahim. Tetapi lama kelamaan menjadi faktor daya pikat untuk menarik warga Muhammadiyah lainnya sekaligus masuk ke lingkungan jamaah-jamaah Muhammadiyah.Seperti biasa, warga Muhammadiyah bersikap lurus-lurus saja, sehingga tidak merasa ada masalah. Namun akhirnya tersedot juga sehingga menjadi bagian dari majelis tersebut dan bahkan mulai mengeritik Muhammadiyah. Muhammadiyah dipandang dan diopinikan tidak “aseli”  lagi.

Sebenarnya setiap gerakan, mazhab, dan golongan dalam Islam dipersilakan untuk menganut paham dan praktik pengamalan Islam sesuai dengan keyakinannya, sejauh masih bersumber pada Al-Quran dan Al-Sunnah yang autentik. Setiap golongan, aliran, dan gerakan tidak perlu saling menyalahkan satu sama lain, bila perlu malah saling berdialog. Muhammadiyah pun tidak merasa terganggu dengan hadirnya gerakan-gerakan Islam yang lain, bahkan bersikap positif, yang penting saling menghargai, menghormati, tasamuh atau toleransi, dan malah dapat bekerjasama dalam bingkai ukhuwah Islam yang utama. Sejarah juga menunjukkan adanya keragaman umat Islam dalam memahami dan mengamalkan Islam dari dulu sampai kini.

Hal yang tidak diinginkan ialah mengklaim diri paling Islami, paling autentik, paling aseli, paling lurus, dan paling benar seraya menegasikan atau memandang keliru dan salah golongan Islam yang lain. Lebih dari itu sambil memandang yang lain keliru atau salah, pada saat yang sama menjadikan alasan untuk menarik warga sekaligus masuk ke lingkungan jamaah gerakan Islam lain yang dipandang tidak lurus itu. Jika demikian yang terjadi maka akan rusak ukhuwah Islam, lebih jauh lagi misi kerisalahan Islam akan mengalami banyak benturan di dalam dan pada akhirnya tidak akan membuahkan pencapaian Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin.

Muhammadiyah Awal
Apakah benar Muhammadiyah generasi awal tidak sama dengan Muhammadiyah saat ini, sebaliknya Muhammadiyah saat ini sudah melenceng dari gerakan awal sebagaimana didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan? Pertanyaan dan pandangan yang seperti itu sesungguhnya keliru, setidak-tidaknya tidak didasarkan pada argumentasi dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain pernyataan Muhammadiyah saat ini tidak mengikuti garis Muhammadiyah awal lebih merupakan opini untuk menarik simpati warga Muhammadiyah daripada mengandung kebenaran.

Pada masa awal dari banyak sumber yang autentik, Kyai Dahlan dan kawan-kawan meletakkan dasar gerakan Muhammadiyah sungguh kokoh. Muhammadiyah sejak awal ingin menyebarluaskan dan memajukan ajaran Islam serta kehidupan umat dan bangsa sebagaimana formulasi pada Statuten Muhammadiyah tahun 1912 tentang tujuan. Melalui berbagai penjelasan pemikiran dan langkah Kyai Dahlan selaku pendiri, Muhammadiyah melakukan gerakan dakwah dan tajdid dengan bersunber pada Al-Quran dan Al-Sunnah yang shahih, serta mengembangkan akal pikiran yang sejalan dengan ajaran Islam dalam memahami dan mengamalkan Islam.

Menurut Prof. A. Mukti Ali, Muhammadiyah sebagai tercermin dari gerakan awalnya memiliki misi sebagai berikut: (1) Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam; (2) Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar (Ali, 1958:  20).  Sementara itu dalam karakter dirinya dan diakui masyarakat luas, Muhammadiyah sejak awal dikenal sebagai gerakan tajdid, baik yang bersifat pemurnian maupun pembaruan, sehingga melahirkan berbagai amaliah dan amal usha Islami yang bermanfaat bagi kemajuan umat dan masyarakat luas.

Kyai Dahlan meluruskan arah kiblat dan mengajak umat untuk tidak mengeramatkan kuburan, tetapi pada saat yang sama mengajak untuk berpikiran maju, berakahlak mulia, dan melakukan amalan-amalan Islam untuk kemajuan umat. Dalam buku Kyai Hadjid dan Kyai Syuja’ yang dikenal dekat dan menjadi sahabat terdekat Kyai, tergambar pancaran pemahaman dan pengamalan Islam yang merujuk pada Al-Quran dan Al-Sunnah yang shahih atau makbulah, sekaligus mengembangkan pemikiran-pemikiran yang berkemajuan. Inilah karakter Muhammadiyah yang aseli sebagaimana diletakkan fondasinya oleh Kyai Dahlan dan generasi as-sabiqun al-awwalun.

Dari pandangan sekilas tampak sekali perbedaan dengan gerakan-gerakan Islam yang hanya menekankan pada pemahaman dan praktik Islam yang serba tekstual, parsial, dan menekankan hal-hal ubudiyah mahdhah belaka. Lebih berbeda dengan gerakan-gerakan Islam yang sekadar bergerak dalam tabligh terbatas tertentu sekaligus mengesankan anti kemajuan karena setiap kemajuan dipandang bid’ah. Di sinilah pentingnya warga apalagi pimpinan Muhammadiyah memahami hakikat gerakan Muhammadiyah generasi awal dari sumbernya yang autentik, bukan dari luar yang sekadar menjadikan alat opini untuk melemahkan sekaligus menarik minat warga Muhammadiyah keluar dari barisan organisasi.

Muhammadiyah Saat Ini
Bagaimana dengan Muhammadiyah saat ini, apakah sudah melenceng dari Muhammadiyah awal? Kalau mengikuti logika atau opini kelompok pengajian tafsir Al-Quran tersebut seolah Muhammadiyah yang berkembang saat ini tidak aseli lagi seperti Muhammadiyah zaman Kyai Dahlan, dianggap sudah melenceng terutama dalam pemberantasan TBC dan menampilkan Islam yang tegas, kata mereka. Sebagian aktivis atau orang Muhammadiyah termakan dengan opini tersebut, sehingga aktif di kelompok tersebut dan menjauh dari Muhammadiyah, malah mengajak warga Muhammadiyah yang lain untuk ikut.

Masalah ini penting untuk dipahami secara benar oleh seluruh warga Muhammadiyah, lebih-lebih kader dan pimpinan. Jika mengikuti penjelasan penulis tentang Muhammadiyah generasi awal, sungguh seratus prosen Muhammadiyah saat ini sama dengan dan mengikuti jejak Muhammadiyah generasi awal. Dalam merujuk pada Al-Quran dan Al-Sunnah yang makbullah masih konsisten, bahkan diperkaya dengan ilmu tafsir dan hadis serta berbagai ilmu pendukung yang lebih lengkap.

Dalam paham tajdid dipertegas tentang pemurnian atau purifikasi dan pengembangan atau dinamisasi, sehingga pembaruan Islam yang dikembangkan Muhammadiyah memiliki fondasi yang kokoh. Dalam hal pendekatan dalam memahami Islam dikembangkan tiga metode terpadu yakni bayani (tekstual), burhani (burhani), dan irfani (ihsan, akhlaq, spiritual), sehingga komprehensif dan tidak parsial. Dalam hal ibadah rujuklah Himpunan Putusan tarjih dan Keputusan-keputusan Munas Tarjih lainnya yang jelas dan kokoh mengikuti tuntunan Nabi yang matsurah.

Bagaimana dengan dakwah kultural? Dakwah kultural sama sekali tidak membenarkan syirk, tahayul, bid’ah, dan khurafat sebagaimana disalahpahami sebagian orang. Dakwah kultural justru menegaskan karakter dakwah Muhammadiyah yang harus bil-hikmah,  wa al-mau’idhatul hasanah, wa jadil-hum billati hiya ahsan (QS Al-Nahl: 125), sehingga Islam tampil dalam misi kerisalahan dan kerahmatan yang luas. Dalam pandangan keagamaan Muhammadiyah saat ini bahkan menegaskan Islam yang berkemajuan sebagaimana spirit, pesan, dan orientasi pandangan keislaman Muhammadiyah yang dipelopori Kyai Dahlan sehingga melahirkan gerakan pembaruan.

Pendek kata, Muhammadiyah saat ini justru menempuh jalan lurus, bukan bengkok dan melenceng. Sebaliknya Muhammadiyah dulu, kini, dan ke depan tidak sama dengan gerakan-gerakan yang hanya menampilkan Islam dalam aspek yang serpihan dan suka menyesatkan pandangan Islam yang lain. Karenanya, warga, kader, dan pimpinan Muhammadiyah jangan terbawa arus apalagi ikut mendukung dan menjadi bagian dari gerakan Islam yang mendiskreditkan Muhammadiyah sendiri. Beristiqamahlah di jalan Islam sebagaimana diyakini, dipahami, dan diamalkan Muhammadiyah. Inilah Muhammadiyah jalan lurus.


*Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 4 Tahun 2012

http://www.suaramuhammadiyah.id/2017/08/25/muhammadiyah-jalan-lurus/

Wednesday, November 22, 2017

"Amanat Jihad" Muhammadiyah, 28 Mei 1946



Suara Muhammadiyah, nomor 22, tanggal 16-30 November 2017, h. 50-51

“AMANAT JIHAD” MUHAMMADIYAH, 28 MEI 1946
Muhammad Yuanda Zara*

Apakah Muhammadiyah pernah mengeluarkan semacam resolusi jihad pada waktu perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia (1945-1949)? Jawabannya: ya. 
Selama ini, sudah diketahui bahwa NU menerbitkan resolusi jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 guna menyerukan kepada kaum Muslimin, terutama di Jawa Timur, untuk berjihad melawan Inggris-Belanda Bahkan ada yang menyebut bahwa resolusi jihad tersebut adalah satu-satunya resolusi jihad yang dikeluarkan di masa revolusi. Muhammadiyah, oleh sebab itu, dianggap tidak, atau kurang, berperan dalam mempersuasi kaum Muslim di level bawah dalam menghadapi pasukan asing. Padahal, banyak warga Muhammadiyah, yang tergabung dalam Tentara Pelajar, Hizbullah, Masyumi dan Hizbul Wathan, yang turut berpartisipasi membela Republik. Tentunya ada propaganda luar biasa dari internal Muhammadiyah yang sanggup menggerakkan warga dan simpatisannya ambil bagian dalam perang kemerdekaan. Dan, amanat jihad Muhammadiyah tanggal 28 Mei 1946 mungkin merupakan salah satu penggeraknya.
Dari pengamatan saya atas berbagai kajian yang mengulas peran Muhammadiyah di masa revolusi (antara lain Kutoyo, 1998; Majelis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah, 2010; MT Arifin, 2016; Muarif, 2016) ataupun yang mengupas sejarah revolusi kemerdekaan secara umum, tidak ada yang secara khusus mengupas soal resolusi, fatwa, amanat atau pandangan keagamaan Muhammadiyah mengenai peran apa yang diharapkan dari kaum Muslimin, khususnya warga Muhammadiyah, dalam situasi perang melawan Belanda maupun Inggris.
Faktanya, Muhammadiyah pernah pula mengeluarkan resolusi jihadnya sendiri. Ini dikeluarkan oleh Pengurus Besar Muhammadiyah di Yogyakarta pada tanggal 28 Mei 1946 (26 Jumadil Akhir 1365). Kebulatan tekad Muhammadiyah ini, yang dapat dikatakan sebagai “amanat jihad Muhammadiyah”, lalu dipublikasikan di halaman pertama surat kabar Boelan Sabit (organnya Gerakan Pemuda Islam Indonesia [GPII], sayap pemuda dari Partai Masyumi,) yang terbit di Solo tanggal 15 Juni 1946. Sayangnya, naskah asli amanat jihad ini sudah tidak ditemukan lagi. 
Berikut isinya (ejaan dibiarkan sebagaimana aslinya):
KOMANDO MOEHAMMADIJAH
Madjoe Menjerboe Berdjihad
BERSIAPLAH

Kita insjaf bahwa kinilah masanja Allah Jang Maha Bidjaksana mengoedji kita! Marilah kita tempoeh segala matjam oedjian dengan menoenaikan kewadjiban kita. Kemoedian kita serahkan diri kepada Allah apa jang akan terdjadi.
Allah telah berfirman:
Jang artinja: “Katakanlah hai Moehammad! Djika kamoe hendak melindoengkan diri dari pada mati itoe tidak ada goenanja” (Ahzab: 16).
“Djika kamoe terkena loeka, maka moesoehpoen terkena loeka poela” (Ali Imran: 140).
“Berdjoeanglah! Baik ringan ataupoen berat! Dan berdjihadlah fi sabilillah dengan harta, djiwa kamoe sekalian. Soenggoeh jang demikian itoe baik sekali bagi kamoe sekalian djika kamoe mengerti” (Taubah: 41).
“Djika benar2 kamoe menolong ALLAH, ALLAH menolong kepada kamoe dan menegoehkan pendirian kamoe (Moehammad: 7).
“Ketika engkau melemparkan panah kepada moesoeh, sebenarnja boekan kamoe jang memanah, tetapi ALLAH djoea (Anfaal: 17).
“Sesoenggoehnja jang berhak mewarisi boemi itoe, ialah hamba kami jang sholeh” (Anbiyak: 105).
Mengingat firman ALLAH dan menauladan tjontoh perdjoeangan Rasoeloellah s.a.w. maka kami menjampaikan amanat penting kepada segenap kaoem Moeslimin teroetama anggauta dan keloearga Moehammadijah seloeroeh Indonesia, marilah Bismillahirrahmanirrahim, kita terdjoen kegelanggang perdjoeangan djihad fisabilillah menghadapi perdjoeangan besar2an mengoesir pendjadjah dengan menjerahkan segenap djiwa raga kita kehadapan ALLAH Jang Maha Koeasa!
Ingatlah firman ALLAH jang artinja: “Katakanlah hai Moehammad! Sekali2 bahaja tidak akan menimpa kami melainkan apa jang telah ditentoekan ALLAH bagi kami. ALLAH djoega pelindoeng kami, dan kepada ALLAH hendaklah orang2 Moekmin bertawakkal” (Taubah: 51)
Kita jang ada digaris moeka soepaja teroes madjoe menjerboe pantang moendoer! Dan bagi kita jang ada digaris belakang soepaja tahan memperbanjak toendjangan dan pertolongan, dan pantang kaboer! Kerahkan segenap tenaga, harta benda, dan kepandaian oentoek mempertahankan kekalnja kemerdekaan Negara Repoeblik Indonesia dgn semangat pemberani, djoedjoer, ichlas dan TAQWA.
Moedah2-an dengan segera kita menang dan berbahagia. Negara kita kembali aman dan sentausa, kekal merdeka dan berdjasa!
Jogjakarta, 26 Djoemadil Achir 1365 - 28 Mei 1946 
Wassalam Merdeka!
PENGOEROES BESAR MOEHAMMADIJAH
Ada beberapa poin menarik di dalam amanat jihad Muhammadiyah ini. Pertama, ini ditujukan kepada kaum Muslimin seluruh Indonesia. Ada sekitar 90 persen penduduk Indonesia yang Muslim, atau sebanyak 65 juta jiwa. Ini adalah suatu audiens yang luar biasa besar di zamannya. Seruan Muhammadiyah ini merupakan ilustrasi dari persaudaraan dan solidaritas Muslim di seluruh Indonesia, dengan mengenyampingkan perbedaan budaya dan kecenderungan politik mereka. Musuh kaum Muslim Indonesia hanya satu: “pendjadjah”.
Kedua, Muhammadiyah memberikan pengakuan total dan dukungan penuh pada eksistensi Negara Republik Indonesia. Di dalam amanat jihad ini, Muhammadiyah terang-terangan menyebut istilah “Indonesia”, “kemerdekaan”, dan “Negara Repoeblik Indonesia.” Artinya, bagi Muhammadiyah kala itu, Indonesia sudah final. Maka, bila ada ancaman yang hendak meruntuhkannya, Muhammadiyah siap sedia memberikan pembelaannya, termasuk melalui perang. Yang juga patut dicatat adalah doa dan harapan baik Muhammadiyah bagi Negara Republik Indonesia: “aman dan sentausa, kekal merdeka dan berdjasa!”. Ringkasnya, ada dua kesadaran yang tengah dibangun Muhammadiyah via amanat jihadnya ini: membela dan memajukan Negara Republik Indonesia.
Ketiga, amanat ini tergolong satu dari sedikit amanat Muhammadiyah yang paling keras. Sepanjang seratus tahun lebih usianya, Muhammadiyah hanya dua kali mengeluarkan fatwa jihad secara resmi. Yang pertama, amanat jihad tahun 1946 yang tengah dibahas ini, sementara yang lainnya dikeluarkan tahun 1965 kala Muhammadiyah berhadapan dengan kaum komunis. Waktu itu, Muhammadiyah menekankan bahwa perang jihad melawan komunis adalah wajib. Fatwa jihad tahun 1965 ini sudah banyak dibahas, berbeda dengan amanat jihad tahun 1946.
Keempat, amanat ini memberi nuansa Islami dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Salah satu tandanya ialah bahwa perjuangan mengusir penjajah dilakukan dengan pengorbanan yang dilandasi keimanan kepada Allah SWT. Ada banyak elemen Islam lain yang ditekankan dalam amanat jihad ini, antara lain sejumlah firman Allah yang dikutip, sikap “ikhlas” dan “takwa” dalam berjuang, serta yang juga menarik adalah salam penutup amanat ini, yang menggabungkan salam yang lazim kala itu (“merdeka!”) dengan salam secara Islam (“wassalam”). 
Terakhir, sebenarnya amanat ini hanyalah satu di antara berbagai tindakan Muhammadiyah dalam memobilisasi warganya agar berjuang mempertahankan eksistensi Republik. Sekitar dua bulan setelah terbitnya resolusi di atas, umpamanya, ada tindak lanjut dari amanat ini. Pada Juli 1946, Muhammadiyah mengadakan Konperensi Moeballighin se-Surakarta. Menurut satu laporan, tujuannya antara lain untuk “mengambil sikap dan pendaftaran Moeballigh jang akan dikirimkan kegaris pertempoeran goena memberikan penerangan2.”
Masih diperlukan penelitian lebih mendalam untuk menempatkan resolusi jihad Muhammadiyah ini dalam konteks besar sejarah revolusi kemerdekaan. Di samping itu, sebenarnya sejarah Muhammadiyah masa revolusi belum banyak dikaji, bandingkan dengan di masa kolonial atau Orde Baru. Padahal, tahun 1945-1949 adalah periode formatif negara-bangsa Indonesia ketika Muhammadiyah turut berperan aktif di level elite dan akar rumput. Cukup banyak pertanyaan yang belum terjawab. Bagaimana proses dikeluarkannya amanat jihad ini? Seberapa kuat amanat jihad ini mempengaruhi warga Muhammadiyah untuk bergerak? Dan, yang tak kalah pentingnya, apa respon Belanda, yang di masa kolonial pernah bekerja sama dengan Muhammadiyah, terhadap amanat jihad ini? Peran Muhammadiyah dalam masa revolusi sudah tidak diragukan lagi, namun narasi yang lebih rinci patut untuk lebih banyak hadir.
 ___________________
*Sejarawan, PhD di Universiteit van Amsterdam

Referensi
Sumber Primer
‘Komando Moehammadijah. Madjoe Menjerboe Berdjihad. Bersiaplah.’ Boelan Sabit, 15 Juni 1946.
 ‘”Sabil” melawan pendjadjah.’ Boelan Sabit, 20 Juli 1946.

Sumber Sekunder
Harjono, Anwar. Indonesia kita: Pemikiran berwawasan iman-Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Kutoyo, Sutrisno. Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah. Jakarta: Balai Pustaka, 1998.
 Majelis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah. 1 abad Muhammadiyah: Gagasan pembaruan sosial keagamaan. Jakarta: Kompas. 
Muarif, ‘Catatan tentang resolusi jihad,’ dalam http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/11/10/catatan-tentang-resolusi-jihad/ (diakses 10 Maret 2017)
Van Bruinessen, Martin (ed.). Contemporary developments in Indonesian Islam: Explaining the “conservative turn”. Singapura: ISEAS, 2013.


Foto Amanat Jihad Muhammadiyah 28 Juni 1946:

Monday, November 20, 2017

Beban Islam Berkemajuan

Kompas, 20 November 2017


Pada kuliah umumnya di RSIS NTU Singapura 26 Oktober 2017 yang lalu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, menegaskan kembali alasan mengapa organisasi yang dipimpinnya mengusung slogan “Islam Berkemajuan”. Menurutnya, Islam yang ramah, toleran, dan damai itu sudah menjadi jiwa Muhammadiyah sejak lama. Itu sudah dipraktikkan dalam gerakan ini sejak dahulu. Yang justru menjadi pertanyaan adalah apa yang perlu dilakukan selanjutnya?

Apa yang dirancang oleh Muhammadiyah dalam konteks ini adalah menunjukkan Islam yang maju dengan membangun berbagai pusat keunggulan serta terus menjadi “tangan di atas, bukan “tangan di bawah”. Inilah cara mengurangi rasa takut, minder, mudah menyalahkan orang lain, memusuhi mereka yang berbeda, dan inferiority complex yang kerap diidap oleh sebagian masyarakat Muslim. Meminjam pepatah China, 落后就要挨打 / Luohou Jiuyao Aida” (keterbelakangan itu yang menyebabkan dikalahkan oleh orang lain).

Sebagian umat Islam menganggap agama lain atau etnis lain sebagai ancaman. Ini diantaranya karena kondisi mereka yang lemah. Mereka memang mayoritas dari segi jumlah, namun minoritas dari segi ekonomi. Ketika mereka termarjinalisasi, baik secara nyata maupun imajinasi belaka, dan agama adalah satu-satunya senjata yang dimiliki, maka tak ada alat lain yang bisa dipakai untuk melawan selain dengan agama. Ketika terjadi persaingan politik, maka agama digunakan sedemikian rupa untuk bisa menang dalam perebutan kekuasaan. Muhammadiyah meyakini bahwa langkah untuk mengatasi penyakit umat Islam ini adalah dengan membuat mereka maju, menawarkan Islam Berkemajuan.

Memang, saat ini gerak dan langkah dari Islam Berkemajuan masih lamban atau bahkan terengah-engah.Terlalu banyak beban yang harus dipikul. Beban dari internal Muhammadiyah maupun beban dari luar, baik yang sifatnya nasional maupun yang berupa tantangan dan ancaman global.

Di dalam Muhammadiyah, beberapa anggotanya dan juga sebagian pengurusnya sulit diajak berpikir dengan semangat berkemajuan atau progresif. Mereka masih berkutat dengan paradigma lama tentang TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Churafat), berpikir eksklusif dan bahkan cenderung sektarian. Meminjam istilah Mitsuo Nakamura (2017), peneliti Jepang yang sudah puluhan tahun mengkaji gerakan ini, sebagian warga Muhammadiyah kurang peduli dengan persoalan “common good” atau kemaslahatan bersama sebagai bangsa.

Belum lagi dengan tarikan konservatisme yang secara mesra berpasangan dengan kapitalisme dan berusaha mengelabui kita bahwa ia seolah-olah seperti peradaban berkemajuan, padahal sesungguhnya adalah kemunduran. Isu isbal dan non-isbal dalam bercelana, memanjangkan atau memotong jenggot, dan masalah kepemimpinan negara adalah beberapa contohnya.

Beban eksternal tentu saja lebih berat lagi. Berbagai tuduhan dialamatkan ke Muhammadiyah, terutama terkait konstelasi politik nasional. Alih-alih mendukung BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dan Densus 88, misalnya, dalam beberapa kasus Muhammadiyah dituduh berpihak kepada teroris. Dalam hal Perppu No. 2/2017, Muhammadiyah dianggap mendukung ormas dan gerakan anti-Pancasila. Muhammadiyah juga tak jarang dituduh melindungi para aktor gerakan “NKRI Bersyariah”. Di Aceh, Muhammadiyah tidak dianggap sebagai bagian dari Islam Sunni atau ahlus sunnah wal jama’ah. Muhamadiyah dituduh sebagai Wahabi dan antek Yahudi, seperti tertulis dalam beberapa coretan di musholla Muhammadiyah di sana. Masjid At-Taqwa Samalanga, Bireun dilarang berdiri dan bahkan tiangnya dibakar oleh kelompok yang benci terhadap organisasi ini.

Posisi Muhammadiyah dalam beberapa isu memang dilematis. Keinginan Muhammaadiyah untuk mencegah negara berlaku sewenang-wenang terhadap teroris dianggap melawan BNPT dan Densus 88. Padahal, Muhammadiyah hanya tak setuju dengan cara-cara yang ditempuh BNPT dan Densus yang kadang justru melahirkan dendam kesumat dari keluarga dan anak teroris yang pada gilirannya malah melahirkan teroris-teroris baru. Hanya Muhammadiyah yang bisa jadi jembatan antara kelompok radikal-teroris dan pemerintah. Kelompok Islam lain sudah tak didengar oleh mereka karena dianggap selalu pro-pemerintah, apapun kebijakannya.

Dalam konteks Perppu, semangat Muhammadiyah untuk terus mengawal penegakan hokum yang merupakan bagian dari ciri kehidupan demokratis kadang diartikan sebagai keberpihakan kepada HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Padahal keputusan resmi Muhammadiyah pada Muktamar 2015 menyebutkan “Negara Pancasila sebagai Dar al-‘Ahdi wa al-Syahadah”. Indonesia adalah rumah bersama, sebagai hasil dari konsensus bangsa yang terdiri dari berbagai agama, suku, daerah, dan warna kulit. Tidak hanya sebagai rumah tempat mengukir perjanjian dan kesepakatan bersama, Indonesia adalah tempat mengabdi dan menunjukkan karya-karya terbaik.

Muhammadiyah hanya menuntut agar pengadilan dan pembubaran suatu ormas bisa menjadi pendidikan dan pembelajaran bagi masyarakat tentang demokrasi yang baik. Muhammadiyah tak menginginkan sejarah buruk masa lampau terulang lagi; ketika partai politik dan ormas tertentu mendukung kebijakan-kebijakan anti-demokrasi dari pemerintah, seperti dalam kasus pembubaran Partai Masyumi dan Murba di zaman Orde Lama. Langkah yang pada ujungnya menghanjurkan rezim itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan NKRI, Muhammadiyah sebetulnya sudah selesai dengan urusan ini. Sebagai bagian dari pendiri bangsa dan kelompok yang menumpahkan darah untuk berdirinya republik ini, Muhammadiyah sudah menunjukkan loyalitas dan darma baktinya kepada bangsa. Bukan hanya dalam slogan, meme, atau kata-kata, tapi dalam langkah nyata, kerja, dan amal usaha. Memang, saat ini perlu upaya yang lebih keras lagi untuk menunjukkan nasionalsme dan keislaman kita yang moderat. Seperti dikatakan oleh Abdul Mu’ti, sekretaris umum PP Muhammadiyah, Muslim moderat itu saat ini masih terlalu banyak diam dan karena itu “Kita harus menjadi moderat yang radikal”. Ini terutama karena kelompok intoleran semakin lantang dan berani.

Dalam beberapa aspek, terkait dengan kasus Aceh, keislaman Muhammadiyah memang berbeda dari kelompok Islam lain. Sebagai gerakan Islam non-mazhab, Muhammadiyah tentu berbeda dari gerakan Islam lain yang memilih untuk bermazhab. Namun Muhammadiyah bukanlah Wahabi. Muhammadiyah menggabungkan purifikasi dan dinamisasi. Ini yang menyebabkan gerakan ini disebut reformis dan modernis.

Terakhir, semakin ke belakang dan semakin tua, beban yang dipikul Muhammadiyah bukannya semakin ringan, tapi justru semakin berat. Apakah Muhammadiyah sanggup memikulnya? Di sini perlu dikutip ucapan seorang kader Muhammadiyah yang juga pahlawan nasional, Jenderal Soedirman: “Sungguh berat jadi kader Muhammadiyah, kalau ragu dan bimbang lebih baik pulang!”
-oo0oo-


*Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah; Peneliti LIPI


Thursday, November 16, 2017

Keterlibatan Muhammadiyah dalam Pembantaian 1965

Kolumnis: Wahyudi Akmaliah
14 November, 2017

Terkait keterlibatan kelompok Islam dalam pembunuhan massal peristiwa 1965-1966, banyak studi lebih memfokuskan kepada organisasi keislaman Nahdlatul Ulama, khususnya keterlibatan Banser NU. Keterlibatan sayap organisasi NU inilah yang kemudian memprakarsai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur untuk meminta maaf secara terbuka saat sedang menjabat presiden. 

Permintaan maaf ini kemudian menggerakkan anak-anak muda NU mendirikan Syarikat Indonesia (Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakat) guna melakukan proses rekonsiliasi kultural, khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur pasca rezim Orde Baru.

Pertanyaannya: mengapa studi keterlibatan Muhammadiyah sedikit dan bahkan tak ada yang membahasnya, kecuali secara selintas? Apakah Muhammadiyah benar-benar bersih dari peristiwa yang mengakibatkan terbunuhnya 200 ribu-1 juta anggota PKI dan siapa pun yang di-PKI-kan?

Secara geografis dan kapital ekonomi, relatif sulit menemukan keterlibatan Muhammadiyah karena dua hal. Pertama, Muhammadiyah tumbuh dan besar di wilayah perkotaan. Kedua, profesi kebanyakan kelompok Islam modernis adalah berdagang. 

Dua hal itu kelihatannya menjauhkan Muhammadiyah dari konflik-konflik tanah di desa-desa nyaris seluruh Jawa sejak Partai Komunis Indonesia menggaungkan reforma agraria. Kebijakan reforma agraria pada 1960-an mengancam kiai dan pesantren, pemilik tanah luas, yang menciptakan prakondisi pembunuhan massal di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur (Woodward: 2011)Latar belakang inilah yang setidaknya menjadi alasan mengapa banyak para sarjana, baik dalam dan luar negeri, tidak menjadikan Muhammadiyah sebagai bagian dari subjek studi pembunuhan massal 1965-1966. 

Namun, latar belakang tersebut jadi janggal jika melihat dua fakta.

Pertama, sejarah KOKAM (Komando Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Muhammadiyah) sebagai badan paramiliter yang berdiri di Jakarta pada 1 Oktober 1965, pukul 21.30, adalah respons terhadap “Gerakan 30 September”. Ketua dan komandan pertamanya adalah Letnan Kolonel S. Prodjokusumo. KOKAM menyelenggaran pelatihan kursus “Kader Takari”, tujuannya untuk “meningkatkan mental, daya juang keluarga besar Muhammadiyah dalam menghadapi segala kemungkinan”.

Kursus kader ini dibuka pada 1 September 1965 ini, diikuti oleh 250 orang untuk angkatan pertama, diikuti orang tua dan angkatan muda, baik laki-laki maupun perempuan dari utusan Cabang. Acara ini diselenggarakan di Aula Universitas Muhammadiyah Jakarta dengan penanggung jawab PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah) DKI Jakarta.

Sebagai Komandan KOKAM, Letnan Kolonel S. Prodjokusumo mengeluarkan tiga instruksi penting: 1) Pembentukan KOKAM di setiap cabang Muhammadiyah dan tiap pimpinan cabang harus memberikan laporan setiap hari ke mabes KOKAM di Jl. Limau Kebayoran Baru; 2) Angkatan Muda Muhammadiyah disetiap cabang bertanggungjawab atas keselamatan semua keluarga Muhammadiyah di masing-masing cabang;  seluruh pimpinan Angkatan Muda Muhammadiyah agar siap dan waspada menghadapi segala yang terjadi guna membela agama, negara dan bangsa; 3) Mengadakan kerjasama yang sebaik-baiknya dengan kekuatan-kekuatan anti Gerakan 30 September.

Setelah selesai mengeluarkan instruksi (Perintah Harian) maka peserta kursus dipersilakan pulang ke tempat masing-masing dengan sikap waspada (sangpencerah.id, 30 September 2017).

Kedua, amplifikasi gerakan anti komunis. Secara historis, khususnya di pulau Jawa, NU (termasuk Banser dan GP Ansor) memiliki legitimasi lebih besar untuk mengakumulasi kebencian terhadap PKI saat rezim Orde Baru berkuasa. Namun setelah Soeharto tumbang, justru dari kelompok Islam modernis yang memimpin wacana dan gerakan anti-komunis. Apalagi saat ini mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Amien Rais, getol menyerukan isu kebangkitan PKI, yang pada level akar rumput dipercaya anggota Muhammadiyah di beberapa daerah.  Sebaliknya, kaum Nadhliyin justru kurang percaya isu tersebut, bahkan tak terpancing. 

Di aras lokal, keterlibatan Muhammadiyah dalam peristiwa 1965-1966 ini bekerja secara kontradiktif; sebagai tempat perlindungan sekaligus melegitimasi kekerasan. 

Riset Mark Woodward berjudul "Only Now We Can Speak: Remembering the Politicide in Yogyakarta"(2011) mengungkapkan bahwa di Yogyakarta, orang-orang Muhammadiyah melindungi siapapun yang dituduh PKI di tengah gencarnya upaya pembersihan rejim Orde Baru. Anggota PKI yang kebanyakan muslim abangan pun memilih jadi muslim yang berafiliasi dengan Muhammadiyah. Pilihan menjadi anggota Muhammadiyah didorong motif yang sangat sederhana: selain tidak memiliki banyak hafalan untuk doa-doa, cara ibadah Muhammadiyah yang lebih efektif justru memudahkan mereka mempraktikan nilai-nilai kejawaan dan keislaman secara bersamaan.

Situasi berbeda ditemukan di Medan. Seperti terungkap dalam kiriman telegram 6 Desember 1965 dari Konjen AS di Medan ke Kedubes AS, para ustadz Muhammadiyah terlibat memprovokasi jamaahnya agar membunuh orang-orang yang secara sadar terlibat PKI. Ini karena, menurut mereka, membunuh orang-orang PKI itu sebanding dengan “membunuh seekor ayam”. Kebijakan organisasi Muhamamdiyah ini memiliki implikasi tafsir yang sama dengan kelompok konservatif NU ketika menyikapi PKI. Untuk lebih jelasnya dan kekhawatiran untuk menghindari kesalahan persepsi, saya taruh teks itu secara lengkap. Teks ini saya kutip dari Human Rights Watch melalui situsnya www.hrw.org (18 Oktober 2017).

"Sumber Muhammadiah melaporkan, para pengkhotbah di masjid Muhammadiyah menyerukan kepada jemaat mereka bahwa semua orang yang secara sadar bergabung dengan PKI harus dibunuh. Anggota PKI 'sadar' diklasifikasikan sebagai kafir terendah, penumpahan darahnya sebanding dengan membunuh seekor ayam. Pernyataan ini tampaknya memberi izin kepada Muslim Muhammadiyah untuk membunuh. Kebijakan Muhammadiyah yang reformis sangat mirip dengan isu 'Tafsir Final' keluaran NU yang konservatif, yang memperlihatkan bahwa pendapat Muslim mengenai penyingkiran anggota-anggota PKI diambil dengan suara bulat." (Kabel berlabel "Rahasia" dari Konsulat AS di Medan ke Kedutaan Besar AS di Jakarta, 6 Desember 1965)".

Melihat dua respon berbeda mengenai PKI, apa yang diungkapkan Abdulah Mu’ti, Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah terkait dengan dokumen rahasia Amerika Serikat pada tahun 1965 ini memang ada benarnya, meskipun kurang tepat. Menurutnya, keterlibatan Muhammadiyah dalam peristiwa 1965 itu lebih bersifat pernyataan pribadi ketimbang keputusan organisasi. 

Namun, melihat berdirinya KOKAM, di mana organisasi tersebut merupakan bagian dari organisasi otonom di bawah langsung Pimpinan Muhammadiyah, sulit untuk menilai pernyataan tersebut sebagai pandangan pribadi. Dari yang telah diteliti para sarjana seperti Southwood dan Flanagan (1983), Fein (1993), Robinson (1995), dapat diketahui bahwa pembunuhan massal itu dilakukan Angkatan Darat, dalam hal ini RPKAD dengan meminta (dan "memaksa") bantuan milisi-milisi lokal di daerah. Dengan kata lain, pembunuhan dilakukan secara sistematis dan teroganisir.

Maksud sistematis dan teroganisir di sini lebih kompleks ketimbang bahwa pola pembunuhan telah direncanakan dan disiapkan dengan matang, baik sebab dan akibatnya, serta terukur dampaknya.

Sebelum melakukan pembunuhan biasanya RPKAD, dibantu para milisi lokal yang terdari dari beragam organisasi kepemudaan non-komunis, sudah memiliki daftar nama-nama orang PKI yang harus dibunuh. Namun seringkali di lapangan terjadi praktik “operasi tidak teratur” sehingga jumlah korbannya melampaui daftar nama-nama orang PKI yang harus dibunuh.

Di Jombang dan Kediri, misalnya, militer bersikap relatif pasif, meskipun bukan berarti mereka tidak memberikan izin membunuh. Sikap militer yang seperti itu membuka arena pertarungan bagi kelompok-kelompok Islam setempat—dengan persetujuan diam-diam dari para kyai—untuk membunuh orang-orang PKI tanpa adanya penengah yang mampu mengendalikan kelompok-kelompok ini (Sulistyo, 2011). Dengan kata lain, konteks lokal dan bagaimana relasi kekuasaan antar kelompok masyarakat sipil dan keagamaan saat itu menentukan bagaimana skala pembunuhan massal terjadi.

Bertolak dari penjelasan di atas, jawaban atas pertanyaan yang saya ajukan ini tidak cukup untuk dijadikan basis argumen yang kuat, namun bisa menjadi pemantik diskusi dan riset lanjutan lebih dalam tentang keterlibatan Muhammadiyah dalam peristiwa 1965-1966, baik secara organisasi maupun perorangan.

Hal ini perlu dilakukan agar masa lalu diletakkan pada tempatnya ketimbang terus-terusan jadi hantu, sehingga diskursus 1965 dan upaya rekonsiliasi bisa menyumbang pembaharuan narasi sejarah.

Muhammadiyah memiliki banyak doktor lulusan dalam dan luar negeri yang cukup kompeten di bidangnya, khususnya ilmu sosial dan kemanusiaan. Namun dengan kompetensi tersebut, apakah potensi riset-riset tentang keterlibatan Muhammadiyah dalam pembantaian massal 1965 bisa dilakukan oleh mereka? Jika melihat konteks politik saat ini, di tengah menguatnya populisme Islam di ruang publik, saya ragu itu bisa terjadi.

======

Catatan dari redaksi:

Tirto
 menghubungi Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak untuk mendapatkan konfirmasi mengenai keterlibatan Muhammadiyah, khususnya melalui Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM) dalam pembunuhan massal 1965. Melalui sambungan telepon, Dahnil mengatakan: "Iya, fakta sejarah memang pada saat itu kelompok Islam berhadap-hadapan dengan kelompok PKI saat itu. Itu fakta sejarah, tidak perlu ditutup-tutupi, termasuk Kokam."
Kokam, kata Dahnil, didirikan Kolonel H.S. Projokusumo atas instruksi Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Lukman Harun. Sebelumnya, Projokosumo sudah meminta izin dari komandan RPKAD saat itu, Sarwo Edhie Wibowo. Dan RPKAD tidak sekadar memberi izin. 

"Kader (Kokam) angkatan pertama," terang Dahnil, "dilatih oleh RPKAD melalui Pak H.S. Prodjokusumo karena memang pada saat itu kader-kader Muhammadiyah banyak dari TNI. Makanya Kokam baretnya merah, karena itu identik dengan Pak H.S. Prodjokusumo dari RPKAD yang sekarang disebut Kopassus. Dalam sejarah Kokam, memang teman-teman Kokam banyak dilatih Kopassus sebagai paramiliter. Termasuk saat Orde Baru, Kokam juga dilatih Kopassus di Jawa Tengah dan lainnya.

Ketika ditanya sikapnya tentang rekonsiliasi, Dahnil menjelaskan bahwa rekonsiliasi perlu dilakukan. "Jangan dosa dan dendam, baik dendam kelompok Islam kepada keturunan PKI, atau keturunan PKI kepada Islam itu dirawat" 

*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi tirto.id.
https://tirto.id/keterlibatan-muhammadiyah-dalam-pembantaian-1965-cz3m

Wednesday, November 15, 2017

Menjadi Muhammadiyah Milenial

Geotimes, 15 November 2017


Tak heran jika Lembaga Zakat, Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah (Lazismu) dan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) menjadi dua lembaga Muhammadiyah paling hits saat ini. Karena secara ideologis, Muhammadiyah sudah tuntas. Kiprah Lazismu dan MDMC sekaligus meneguhkan bahwa dakwah Muhammadiyah senantiasa peka zaman.

Tepat pada 18 November 2017, Muhammadiyah berusia 105 tahun. Sudah mafhum, sejak berdiri 1912, gerakan Muhammadiyah selalu bernuansa modern. Adopsi muatan dan metodologi pendidikan modern Belanda pada sekolah-sekolah Muhammadiyah kala itu merupakan salah satu contohnya. Alam pikiran dan tindakan Muhammadiyah seringkali melampaui zamannya. Berkemajuan, demikian warga Muhammadiyah menyebutnya.

Bicara hari ini, Lazismu dan MDMC adalah fenomena menarik. Keduanya ngetren saat gaya hidup milenial tengah menguat. Melanjutkan gerakan Muhammadiyah yang telah sangat sukses dengan berbagai amal usaha di bidang pendidikan melalui sekolah dan perguruan tinggi, kesehatan melalui rumah sakit, dan bidang sosial melalui panti asuhan.

Jika gerakan-gerakan itu cenderung bersifat formal, maka Lazismu dan MDMC tampak lebih cair, kultural dan kekinian dengan tidak meninggalkan sisi well-managed dan well-trained. Tak heran, tokoh Muhammadiyah Hajriyanto Y Thohari menyebut kedua lembaga itu sebagai pewaris otentik spirit filantropisme dan volunterisme Muhammadiyah.

Filantropisme dan volunterisme sangat khas milenial. Di antara ciri generasi ini adalah amat suka berbagi dan menjadi relawan. Gerakan kerelawanan seperti Indonesia Mengajar dan Kelas Inspirasi sangat diminati anak muda Indonesia. Demikian pula, platform donasi seperti kitabisa.com teramat populer dan terbukti efektif menarik minat generasi milenial. Muhammadiyah sudah punya keduanya pada Lazismu dan MDMC.

Gerakan-gerakan kekinian itu menarik, karena dua hal. Pertama, menyedot perhatian publik dalam skala luas. Kedua, memuat narasi kebajikan yang sejalan dengan ajaran agama. Artinya, itulah dakwah kekinian, dakwah milenial. Sejalan dengan filosofi dakwah, yaitu mengajak pada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Namun, apakah itu berarti dakwah Muhammadiyah telah melekat di kalangan milenial Indonesia?

Secara maknawi, peneliti Neil Howe dan William Strauss dalam buku Millennials Rising: The Next Great Generation (Vintage Books, 2000) mengartikan generasi milenial sebagai mereka yang terlahir antara 1982 hingga kisaran 20 tahun setelahnya. Artinya pada 2017 ini, mereka berusia antara 15 hingga 35 tahun. Media sosial dan platform digital adalah ciri paling khas menggambarkan generasi ini.

Itu artinya, cara paling sederhana mengukur dakwah milenial Muhammadiyah adalah melihat sejauh mana gerakannya dikenal di media sosial, dan sejauh mana konten-konten dakwahnya diserap anak muda via digital. Inilah persoalannya. Rasa-rasanya, gerakan dakwah Muhammadiyah masih belum cukup fasih memasuki ranah ini.

Akun instagram resmi Muhammadiyah @lensamu hanya memiliki 33k followers, sementara akun Muhammadiyah lainnya @persyarikatan_Muhammadiyah memiliki 34k followers. Bandingkan dengan akun Nahdlatul Ulama (NU) @nahdlatululama yang memiliki 296k followers atau Front Pembela Islam @dpp_fpi dengan 300k followers.

Lebih-lebih jika disandingkan dengan akun personal para muballigh dan muballighoh kekinian yang menembus angka jutaan, seperti akun @okisetiwanadewi dengan 5,8m followers, @yusufmansurnew dan @aagym masing-masing 1,7m followers, @hanan_attaki 1,5m followers dan @felixsiauw 1,3m followers. Tentu tak sulit bagi mereka memviralkan konten-konten dakwah pada generasi milenial.


Tak jauh beda, akun resmi filantropi Muhammadiyah @lazismu hanya memiliki 3k followers, berbanding 14k followers milik @nucare_lazisnu. Keduanya masih lebih sedikit daripada akun Dompet Peduli Umat milik Daarut Tauhid @dpu.dt dengan 27k followers. Apalagi akun fundraising @kitabisacom yang mempunyai followers sebanyak 72k.

Sekilas tampak dangkal membandingkan jumlah followers akun-akun itu. Tidak substantif dan hanya melihat kulit muka. Apalagi, jika mengacu jumlah pengikut real warga Muhammadiyah beserta kiprahnya. Organisasi ini memiliki 9.515 lembaga pendidikan, 2.119 lembaga kesehatan, dan 525 lembaga sosial. Itu lebih kongkrit dan tepat sasaran. Namun kini eranya generasi milenial.

Saya teringat kata-kata Ali bin Abi Thalib, “Didiklah anak-anakmu sesuai zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.” Merujuk klasifikasi Howe dan Strauss, millennial saeculum terbagi empat generasi, yaitu generasi baby boom (terlahir antara 1943-1960), generasi X (1961-1981), generasi Y atau milenial (1982–2004) dan generasi Z atau homelanders (sejak 2005). Dari sini, tampak jelas, generasi milenial memasuki usia paling produktif.

Pakar pendidikan Diana G. Oblinger and James L. Oblinger dalam Educating the Net Generation (Educause, 2005) mengamini itu. Bagi keduanya, penting untuk menerapkan strategi pembelajaran sesuai generasinya. Dalam konteks dakwah, tentu penting pula menyesuaikan metode dan konten dakwah agar kekinian. Agar mudah dinikmati anak muda via media sosial (medsos).


Pengaruh medsos tak bisa dipandang remeh. Pada 2010, pemuda Tunisia mengoordinir massa dengan facebook dan twitter melawan rezim Presiden Zine El Abidine Ben Ali. Di Mesir pada 2011, dengan tagar #Jan25 via twitter dan video-video youtube para aktivis menentang rezim Hosni Mubarak. Pada 2014, revolusi payung di Hongkong juga diorganisir lewat medsos. Tahun lalu di negara ini, medsos pula yang menjadi alat penggerak aksi fenomenal 1410, 411, dan 212.

Jika medsos bisa menggalang kekuatan massa, tentunya medsos juga bisa menjadi instrumen gerakan dakwah, sosial dan kemanusiaan. Terlebih, konten dakwah pencerahan amat diperlukan, lantaran dewasa ini, sumber narasi kebencian seringkali bermula dari konten-konten medsos yang viral berupa meme-meme, tagar, maupun pesan-pesan instan di grup-grup aplikasi messenger.

Pertanyaannya, bisakah metode dan konten dakwah Muhammadiyah, yang konon mencerahkan dan berkemajuan itu, menjadi narasi tandingan atas ujaran kebencian yang hilir mudik?

Sebenarnya, upaya menghadirkan unsur kekinian dalam dakwah Muhammadiyah telah banyak dilakukan. Semisal @lensamu yang kian hadir dengan desain-desain kece dan eye catching tanpa mengabaikan substansi dakwah. Atau televisi Muhammadiyah, TvMu, yang cukup sadar milenial dengan tampil multi-platform, mulai dari satelit parabola, streaming website, televisi berlangganan, dan yang terpenting, via akun youtube, TvMu channel.

Namun, bagi Muhammadiyah, dakwah medsos masih layaknya narasi kecil. Padahal, bagi generasi milenial, medsos adalah narasi besar, sang penentu perubahan. Muhammadiyah agaknya perlu memperhatikan kategori yang dalam dunia scouting disebut sebagai current ability dan potential ability. Current ability menandai kemampuan saat ini, sedangkan potential ability menunjukkan potensi di masa depan. Harus disadari, dakwah medsos dapat melahirkan potential ability yang luar biasa dalam tubuh Muhammadiyah.

A
la kulli hal, memperbanyak follower akun medsos tak semata untuk ke-aku-an. Ini juga soal memviralkan kebajikan. Untuk amar ma’ruf nahi munkar. Atau seperti jargon kaum muda Muhammadiyah; fastabiqul khoirot, berlomba-lomba dalam kebajikan. Selamat Milad Muhammadiyah Milenial!

https://geotimes.co.id/kolom/muhammadiyah-milenial/