Wednesday, January 15, 2014

99 Tahun Suara Muhammadiyah


Suara Muhammadiyah, 1-15 Januari 2014


Suara Muhammadiyah, menurut penelusuran Dr Kuntowijoyo sudah terbit sejak 1915. Semula bernama Sworo Muhamma diyah, berbahasa Jawa. Kemudian Suara Muhammadiyah dengan pesebarannya ke seluruh penjuru Nusantara dengan menggunakan bahasa Melayu, berjasa ikut menyatukan Nusantara/ Indonesia sebelum Sumpah Pemuda diteriakkan oleh para pemuda di tahun 1928. Ini menjadi prestasi tersendiri, bersama dengan Organisasi Muhammadiyah yang besar yang menyebar dan yang berakar di berbagai pelosok Tanah Air.

Suara Muhammadiyah, selama 99 tahun konsisten menyebarkan ajaran Islam dan berita kegiatan Muhamamdiyah, dinamika organisasi, pemikiran keislaman, dan ekspresi budaya yang digali dari nilai ajaran Islam. Semua itu dilakukan dalam konteks meneguhkan keberislaman serta mencerahkan pemikiran dalam kehidupan berbangsa. Oleh karena itu Suara Muhammadiyah selalu berusaha memilih tulisan dan informasi yang dapat dijadikan inspirasi oleh pembacanya. Isinya dapat dijadikan rujukan dan tuntunan bagi aktivis Muhammadiyah.

Tentu, Suara Muhammadiyah ikut merasakan derita bangsa yang berkali-kali menerima cobaan dan musibah. Mulai dari bencana politik, dari konflik ideologi politik dan pemberontakan politik di tingkat pusat dan daerah-daerah. Muhammadiyah juga ikut merasakan bencana ekonomi berupa krisis ekonomi yang parah di tahun 1930-an, di tahun 1940-an. Juga krisis ekonomi tahun 1960-an, dan di tahun 1990-an.

Konflik vertikal dan horizontal yang melahirkan bencana sosial, seperti, aneka kerusuhan, tawuran, perang lokal pun membuat Muhammadiyah prihatin. Suara Muhammadiyah, sebagai bagian dari Muhammadiyah, dengan kedewasaan berpikir, dengan wawasan Islam rahmatan lil’alamin dengan wawasan Nusantara yang utuh kemudian memosisikan diri sebagai bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.

Dengan demikian ketika majalah atau koran yang lahir sezaman dengan kelahiran Suara Muhammadiyah satu persatu hilang dari peredaran, Suara Muhammadiyah tetap bisa bertahan. Terus mengabdikan dirinya untuk kepentingan warga Muhammadiyah, untuk kepentingan umat, untuk kepentingan bangsa, negara dan umat manusia. Strategi mencerahkan harapan dan menjernihkan pikiran yang ditempuh Suara Muhammadiyah terbukti efektif untuk membuka ruang dialog keilmuan, dialog nilai, dialog kesadaran yang sangat berharga bagi semua. Ini yang menjadi semacam rahasia keberhasilan Suara Muhammadiyah mempertahankan diri, dan pelan-pelan mengembangkan diri. Suara Muhamamdiyah sampai hari ini tetap terus terbit tiap setengah bulan sekali, dengan oplag 25.000 sampai 30.000 eksemplar tiap terbit. Sebagai bagian dari Muhamadiyah yang besar, pada usia yang ke-99 tahun ini, Suara Muhamamdiyah, siap memasuki era industri media massa. Tentu yang dimaksud di sini adalah industry media massa berbasis nilai-nilai keislaman sebagaimana dipahami oleh warga Muhammadiyah.

Basis nilai inilah yang kemudian selalu dikembangkan menjadi energi solutif. Ini bermanfaat ketika Suara Muhammadiyah nantinya harus berjuang untuk mengatasi masalah internal dan eksternal.• (tof)

http://suara-muhammadiyah.com/2014/106-sm-no-01-2014.html


Wednesday, January 1, 2014

Muhammadiyah di Amerika Serikat

Suara Muhammadiyah, 01/99/ 1-15 Januari 2014, hal. 36-37.

 Oleh Ahmad Najib Burhani*

Kritik yang sering dilontarkan oleh pengamat asing, seperti Martin van Bruinessen, terhadap Islam di Indonesia adalah kurangnya rasa percaya diri dan lemahnya daya ekspansif ke luar negeri. Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama), misalnya, meski telah lahir di awal abad ke-20, namun organisasi ini masih terbatas lingkup kegiatan dan keanggotaannya di Indonesia, hampir bisa dikatakan tak memiliki pengikut orang asing di luar negeri. Ini berbeda, misalnya, dari organisasi-organisasi Islam yang lahir di negara Islam lain seperti Ikhwanul Muslimin (Mesir), Jamaah Tabligh (Pakistan), Ghulen movement (Turki), dan Hizbut Tahrir (Palestina). Meski organisasi-organisasi itu lebih muda dari Muhammadiyah dan NU, namun mereka telah berkembang pesat di berbagai negara. Mereka telah mampu mengekspor gagasan dan pemahaman keagamaannya hampir ke setiap sudut dunia tanpa bantuan pemerintah.

Salah satu sebab mengapa Islam Indonesia kurang ekspansif adalah kurangnya rasa percaya diri. Kalau dilihat daftar tokoh Islam dari Indonesia paska kemerdekaan, hanya sedikit yang memiliki pengaruh besar di tingkat internasional. Barangkali yang cukup mencolok hanya Mohamad Natsir dengan peran pentingnya, diantaranya, dapat dilihat di Rabitah ‘Alam Islami. Selain Natsir, kalaulah ada, agak sulit mencari tokoh Islam dari Indonesia yang sekaliber dia di kancah dunia.

Tiadanya tokoh Islam dari Indonesia di tingkat internasional dan minimnya pengaruh Islam Indonesia dalam pergaulan global inilah diantaranya yang menyebabkan umat Islam dari Indonesia sering dianggap sebelah mata, atau paling tidak hanya dianggap saudara lebih muda, oleh umat Islam dari negara lain. Ketika kita bertemu dengan umat Islam dari negara lain di sebuah masjid di Inggris atau Amerika Serikat, misalnya, mereka sering memandang kita lebih rendah keislamannya. Bahkan kadang mereka menganggap pengetahuan keislaman kita lebih rendah dari orang awam yang berasal dari satu negara Arab atau dari Pakistan. Indonesia hanya dibanggakan sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, tak lebih dari itu.

Fenomena di atas itulah yang menyebabkan ilmuwan asing sering menyebut umat Islam Indonesia itu mengalami minority complex di hadapan umat Islam negara lain. Atau, kita ini mayoritas secara angka, namun mental kita adalah mental minoritas. Padahal pada tahun 1970-an yang lalu Fazlur Rahman, tokoh neo-modernis Muslim dari Pakistan/ Amerika Serikat, sering menyebut Indonesia, bersama dengan Turki, sebagai tempat masa depan peradaban Islam. Melihat perkembangan saat ini, sepertinya harapan itu masih jauh terwujud.

Kondisi umat Islam Indonesia saat ini di tingkat global tentu agak mengherankan jika mengingat pencapaian pada tahun 1950-an dan tahun 1960-an. Selain ada tokoh Mohamad Natsir, dulu negara-negara Islam membanggakan peran Sukarno. Sukarno tidak hanya dipuji di dunia Islam, tapi juga di kancah dunia secara umum, terutama pada perannya dalam gerakan non-blok. Dengan bangga orang dari negara lain memakai nama Sukarno untuk nama jalan dan masjid. Apakah kita memiliki nama lain dari Indonesia yang begitu berpengaruh di dunia seperti Sukarno dan Natsir setelah 1945? Sepertinya belum ada.

Lemahnya rasa percaya diri umat Islam Indonesia dan kurangnya semangat ekspansi ke luar negeri inilah diantaranya yang melatarbelakangi pendirian beberapa PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) sejak tahun 2005. Saat ini ada beberapa PCIM yang cukup aktif, diantaranya adalah PCIM Mesir, PCIM Malaysia, PCIM Rusia, dan PCIM Jepang. Penulis secara langsung terlibat dalam pembentukan dan menjadi pengurus awal di dua PCIM, yaitu PCIM Inggris Raya dan PCIM Amerika Serikat. Namun demikian, sepanjang pengetahuan penulis, hingga saat ini belum banyak aktivitas yang dilakukan oleh dua PCIM itu. Diantaranya untuk menghidupkan kembali PCIM Amerika Serikat itulah pada awal bulan Ramadan ini diselenggarakan semisal muktamar kecil melalui telekonferensi untuk membentuk kepengurusan baru dan membicarakan program PCIM Amerika Serikat.

“Muktamar online” itu diantaranya dihadiri oleh Ahmad Syamil, profesor di Arkansas State University; Muhamad Ali, profesor di University of California, Riverside; dan Halbana Tarmizi, profesor di Bemidji State University. Pertemuan online ini akhirnya memilih Muhammad Ali sebagai ketua tim formatur yang pada akhir Ramadan ini harus selesai membentuk kepengurusan PCIM Amerika Serikat yang baru.

PCIM Amerika Serikat ini agak unik dibandingkan dengan PCIM dari negara lain. Jika di negara lain mayoritas anggotanya adalah pelajar, di Amerika Serikat, seperti terlihat dari peserta muktamar online di atas, banyak anggotanya yang merupakan profesor di berbagai perguruan tinggi di Amerika. Banyak juga yang merupakan tokoh senior dan penduduk Amerika serikat seperti Imam Shamsi Ali, imam masjid Jamaica di New York; Abdul Nur Adnan, 40 tahun bekerja di VOA (Voice of America); Dutamardin Umar, tokoh masyarakat Indonesia di Virginia; Firdaus Kadir, tokoh masyarakat Indonesia di Maryland; dan lain-lain. Sementara yang pelajar diantaranya adalah Rahmawi Husen (Texas/ Yogyakarta), Dani Muhtada (Illinois), Tuti Alawiyah (Texas), Sri Rejeki Murtiningsing (Oklahoma), dan Ahmad Najib Burhani (California). Pendeknya, anggota PCIM Amerika Serikat terdiri dari tiga komponen utama: professor, pelajar, dan penduduk tetap Amerika dari Indonesia.

Berangkat dari beragamnya latar belakang anggota PCIM Amerika Serikat itulah maka beberapa agenda yang dirancang juga sangat mencerminkan latar belakang itu. Diantara program yang dirancang adalah memperkenalkan Islam Indonesia, terutama Muhammadiyah, ke kalangan akademisi di Amerika Serikat seperti melalui AAR (American Academy of Religion) dan MESA (Middle East Studies Association). Kegiatan lain yang dirancang adalah membantu orang-orang Muhammadiyah yang berkunjung atau belajar ke Amerika. Dan terakhir adalah transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dari Amerika ke Indonesia.
-oo0oo-


*Doktor dari Univ. California, Santa Barbara dan salah satu pendiri PCIM Amerika Serikat.

Download edisi cetak Suara Muhammadiyah