Saturday, December 29, 2012

Hubungan Soeharto dan Muhammadiyah

Suara Pembaruan, 30 Januari 2008

Oleh : Jeffrie Geovanie

Kurang lebih dua pekan sebelum Soeharto wafat, puluhan siswa Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah di Surabaya mendoakan kesembuhan Soeharto yang saat itu masih terbaring sakit di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta. Anak-anak yang masih polos itu tak peduli dengan kecaman banyak pihak terhadap Soeharto. Bahkan pimpinan sekolah itu pun, karena khawatir ikut dikecam, tak mengakui kalau anak didiknya berdoa khusus buat Soeharto. Cuma, diakui bahwa doa untuk Soeharto dilakukan sebagai bentuk kilas-balik perjalanan Soeharto.

Riwayat hidup Soeharto memang tak bisa dilepaskan dari Muhammadiyah. Meskipun tidak memiliki nomor baku Muhammadiyah (NBM) sebagai tanda keanggotaan secara resmi, Soeharto bisa dikatakan sebagai calon kader Muhammadiyah karena menurut Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh, lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah ditetapkan sebagai salah satu sumber calon kader, dan Soeharto, dalam sejarah hidupnya, pernah mengenyam pendidikan SD Muhammadiyah.

Lantaran pernah dididik di sekolah Muhammadiyah dalam banyak kesempatan Soeharto memberikan harapan dan doa untuk kebesaran Muhammadiyah. Hal itu antara lain dinyatakan pada saat membuka Muktamar Muhammadiyah ke-41 (Desember 1985) di Surakarta. "Sebagai orang yang pernah mengecap pendidikan Muhammadiyah, saya ikut mengharapkan agar Muhammadiyah tumbuh makin besar, makin kuat, dan makin banyak amalnya dalam bidang-bidang yang amat luas."

Pernyataan yang kurang lebih sama diungkapkan kembali pada saat membuka Muktamar ke-42 (1990) di Yogyakarta, dan secara lebih tegas dinyatakan pada saat membuka Muktamar ke- 43 (1995) di Banda Aceh. Saat itu, sang jenderal mengatakan bahwa dirinya merupakan bibit Muhammadiyah yang ditanamkan untuk Bangsa Indonesia.

Pernyataan Soeharto secara umum tidak hanya membanggakan warga Muhammadiyah, tapi juga memudahkan gerak langkah organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada 1912 itu. Setelah Soeharto mengaku sebagai bibit yang ditanamkan Muhammadiyah, banyak di antara tokoh birokrat yang mengaku simpatisan atau anggota Muhammadiyah.

Padahal, sebelum itu, banyak anggota Muhammadiyah yang menjadi pegawai negeri menyembunyikan jati dirinya. Saking bangganya terhadap Soeharto, salah satu tokoh Muhammadiyah, Lukman Harun, dalam suatu diskusi Pra Muktamar Aceh menyatakan, "bila perlu Muhammadiyah mengusulkan Pak Harto sebagai presiden seumur hidup...."

Kebijakan Politik
Meskipun demikian, bukan berarti Soeharto selalu berhubungan baik dengan Muhammadiyah. Ada sejumlah kebijakan politik yang membuat pimpinan Muhammadiyah bersitegang dengan Muhammadiyah, meskipun ketegangan itu lebih banyak latennya ketimbang mencuat di permukaan.

Ketegangan terjadi antara lain pada awal tahun 80-an, saat Soeharto mewajibkan seluruh kekuatan politik berasas tunggal Pancasila. Untuk mengantisipasi ketegangan yang meluas, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menghadap Presiden Soeharto. Dari pertemuan itu, Menteri Dalam Negeri Amir Machmud menjelaskan bahwa asas bagi ormas tidak harus Pancasila, karena ormas bukan kekuatan politik. Yang harus berasaskan Pancasila adalah parpol dan Golkar. PP Muhammadiyah sempat lega, namun kekhawatiran kembali muncul karena pada faktanya ormas-ormas pun dipaksa untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal.

Karena paksaan itu, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) terbelah antara yang menerima dengan yang tidak. Yang tidak menerima asas tunggal lantas membentuk HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) yang masih eksis hingga saat ini meskipun asas tunggal sudah tak lagi diwajibkan. Sedangkan Pelajar Islam Indonesia (PII) terpaksa menjadi organisasi "bawah tanah" karena tidak menerima asas tunggal.

Muhammadiyah sendiri baru menerima asas tunggal setelah melalui perdebatan yang cukup dinamis dalam Muktamar ke-41 (1985) di Surakarta. KH A.R Fachruddin, Ketua PP Muhammadiyah saat itu, mengibaratkan asas tunggal seperti "helm" bagi pengendara motor. Artinya, asas tunggal hanya dijadikan pelindung dari kemungkinan kecelakaan dalam perjalanan. Kebetulan, pada saat itu pemerintah baru saja mewajibkan pemakaian helm bagi semua pengendara motor.

Ketegangan hubungan Soeharto-Muhammadiyah kembali terjadi pada awal tahun 90-an, saat Amien Rais (waktu masih menjadi Wakil Ketua PP Muhammadiyah) melontarkan gagasan perlunya suksesi kepemimpinan nasional. Amien menginginkan gagasan ini menjadi sikap politik Muhammadiyah, yang diputuskan dalam Tanwir (semacam Rakernas) di Surabaya 1993. Tapi, urung karena diredam oleh tokoh-tokoh senior terutama Lukman Harun dan Ketua PP Muhammadiyah saat itu, Prof KH Ahmad Azhar Basyir, MA. Tapi, ketegangan belum berakhir karena meskipun tak menjadi keputusan institusional toh secara informal Amien Rais terus menggulirkan gagasan perlunya pergantian kepemimpinan nasional.

Puncak ketegangan terjadi saat memasuki 1997, terutama setelah Amien Rais mengritik kebijakan Soeharto di Busang, Kalimantan Timur dan Freeport di Irian Jaya. Ketegangan kali ini bahkan menular ke tubuh ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia) lantaran pada saat itu, Amien juga termasuk pejabat teras ICMI, yakni sebagai Ketua Dewan Pakar yang secara struktural tidak lebih rendah dari kursi Ketua Umum yang diduduki BJ Habibie.

Berbeda dengan ICMI yang kemudian melengserkan Amien Rais dari kursi Ketua Dewan Pakar di Muhammadiyah, kedudukan Amien semakin kokoh karena sebagian besar elite Muhammadiyah berdiri di belakang Amien yang nota bene Ketua PP Muhammadiyah. Dinamika hubungan Soeharto-Muhammadiyah kembali bergeser pada awal 2008, saat mantan presiden ini dirawat di RSPP. Amien Rais, yang masih dianggap sebagai tokoh Muhammadiyah, mengajak rakyat Indonesia untuk memaafkan kesalahan
Soeharto.

Meskipun ajakan ini dikecam para aktivis, terutama para korban kekerasan rezim Orde Baru, toh tidak sedikit dari tokoh utama Muhammadiyah yang mengamini ajakan Amien, tentu tidak diumumkan secara terbuka. Bisa jadi, doa puluhan siswa SD Muhammadiyah yang disinggung di awal tulisan ini merupakan puncak gunung es yang menggambarkan hubungan batin antara Soeharto dan Muhammadiyah. Wallahualam!

Penulis adalah Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Wakil Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah

Friday, December 28, 2012

Ketika Soeharto Masuk Sekolah Muhammadiyah

 Masa masa sulit almarhum Soeharto adalah saat menyelesaikan studi. Keterbatasan biaya dari orangtua membuatnya harus berpindah dari Yogyakarta ke Wonogiri, ikut pamannya yang mempunyai penghidupan lebih baik.

Namun, ikut bersama dengan paman dan bibi tidak semuanya mulus. Ia harus kembali ke orangtuanya di Kemusuk, Yogyakarta dan menyelesaikan sekolah. Masuklah Soeharto ke sekolah Muhammadiyah yang tidak memerlukan sepatu. Hal ini terungkap dalam buku otobiografi Soeharto, Ucapan, Pikiran dan Tindakan  Saya. Berikut nulikannya:

Satu hal lagi yang saya kenang mengenai hidup di rumah  Kiai Darjatmo ialah sewaktu saya diizinkan membantunya dalam membuat catatan (resep) obat-obatan tradisional yang diberikan sewaktu mengobati orang sakit.

Nama obat-obatan yang ganjil, ramuan yang aneh, tanam-tanaman yang langka dan yang banyak terdapat di tengah kampung serta peringatan-peringatan saya tuliskan untuk orang yang sakit, yang kadang-kadang saya kerjakan hingga larut malam. Maka saya mengenal pelbagai macam daun-daunan, akar-akaran, pohon-pohonan, rerumputan. Memang Pak Darjatmo itu suka memberikan petunjuk apa yang mesti dimakan atau dioleskan dan apa larangan-larangannya.

Bermacam orang datang minta tolong kepada Pak Darjatmo, dari mulai yang sakit kulit, sakit panas sampai kepada yang mempersoalkan perkawinan dan perceraian, yang mendambakan anak, kesulitan dalam berdagang, urusan dengan penguasa, yang merasa kemasukan setan, yang tertimpa oleh pemerasan orang ketiga, dan macam-macam lagi. Dan saya tahu dari dekat bahwa memang banyak diantara mereka yang meminta tolong itu, kemudian sembuh setelah mengikuti petunjuk Pak Darjatmo.

Pada suatu waktu berakhir juga hubungan saya dengan Pak Darjatmo. Saya kembali ke kampung asal, ke Kemusuk. Dan dari sana saya pergi setiap hari ke Yogya, naik sepeda, untuk menyelesaikan pelajaran di sekolah Muhammadiyah. Saya terpaksa meninggalkan Wonogiri dan langgar Kiai Darjatmo gara-gara peraturan sekolah yang mengharuskan murid pakai celana pendek dan bersepatu, sedang orang tua saya tak mampu membelikan.

Di Yogya, walaupun di kota, saya bersekolah pakai sarung atau kain, dan tidak bersepatu. Namun, saya tidak merasa kikuk, karena saya tidak seorang diri yang demikian. Masih ada sejumlah murid lagi yang datang seperti saya.

Pada masa itu saya mendengar tentang protes menentang penjajahan Belanda. Saya dengar adanya rapat-rapat umum di kota Yogya, yang digerakkan oleh tokoh-tokoh politik. Sampai di sekolahpun para pelajar ikut-ikutan membicarakan apa-apa yang telah didengar di tempat-tempat rapat umum itu. Tetapi semua ini belum memberi kesan yang kuat kepada saya. Saya memusatkan pikiran pada pelajaran dan menamatkan sekolah pada tahun 1939.

Setelah menamatkan sekolah schakel Muhammadiyah sebenarnya saya masih ingin melanjutkannya. Tetapi baik ayah maupun keluarga lainnya tidak ada yang sanggup membelanjai saya sekolah. Keadaan ekonomi- keluarga kami rendah sekali. Saya masih ingat saja akan apa yang dikatakan ayah saya waktu itu. "Nak," katanya,"Tak lebih dari ini yang dapat kulakukan untuk melanjutkan sekolahmu. Dari sekarang kamu sebaiknya mencari pekerjaan saja. Dan kalau sudah dapat, Insya Allah, kamu dapat melanjutkan pelajaranmu dengan uangmu sendiri." Sulit mendapatkan pekerjaan tanpa bantuan orang yang berkedudukan atau yang berpengaruh, tanpa uluran tangan orang kaya ataupun pengusaha besar waktu itu.

Saya berusaha kian kemasi mencoba mendapatkan sumber nafkah. Tetapi tidak juga berhasil.  Akhirnya saya kembali ke Wuryantoro, tempat banyak kenalan yang saya harapkan akan bisa membuka jalan.

Benar juga. Setelah sekian banyak jalan yang saya tempuh, akhirnya saya diterima sebagai pembantu klerek pada sebuah Bank Desa (Volks-bank). Walaupun saya tidak begitu senang dengan pekerjaan ini, saya anggap lebih baik melakukannya daripada `nganggur di tengah suasana yang muram.

Saya mengikuti klerek bank berkeliling kampung dengan sepeda, dengan mengenakan pakaian Jawa lengkap, dengan kain blangkon dan baju beskap. Di kantor-kantor lurah kami menampung permintaan para petani, pedagang kecil dan pemilik warung yang menginginkan pinjaman.

Sebenarnya saya sudah mengetahui cukup banyak mengenai kebutuhan orang-orang kecil itu sewaktu saya bersama Pak Prawirowihardjo tempo hari dan sewaktu membantu Pak Hardjowijono dan Pak Darjatmo. Tetapi saya tidak banyak bicara. Saya merasa pada tempatnya kalau lebih banyak mendengarkan lagi.

Boleh dibilang setiap malam saya mengajak Kamin, seorang teman waktu itu, untuk belajar pembukuan. Mantri Bank Desa itu mengakui, bahwa otak saya encer. Tidak sampai dua bulan saya sudah menguasai seluruh pembukuan. Waktu itu saya memakai sepeda hitam. Kamin memakai sepeda hijau. Saya selalu disuruh Kamin mendayung sepeda di muka. "Ayo Mas Harto yang di depan, saya di belakang", kata Kamin.

Sekali waktu saya meminjam kain pada bibi karena kain saya sendiri sudah usang, tak patut lagi dipakai mendampingi klerek Bank Desa. Pada suatu hari saya bernasib jelek. Waktu turun dari sepeda yang sudah reot, kain yang saya pakai tersangkut pada per sadel yang menonjol keluar dan sobek. Saya dicela oleh klerek yang saya dampingi. Padahal saya tidak bersalah, cuma jalan hidup saya saja yang demikian. Tetapi bibi juga memarahi saya. Saya dibentaknya, dengan mengatakan, kain itu adalah satu-satunya kain yang baik. Tak ada lagi yang lainnya yang bisa diberikan, sekalipun mungkin saja sebenarnya ia masih mau menolong saya.

Dan kejadian ini merupakan perpisahan dengan tempat saya bekerja. Tidak begitu menyesal, sebab memang saya tidak mendapat kesenangan bekerja di sana. Cuma waktu berjabatan tangan dengan Kasmin, saya mesti menundukkan muka. Terharu meninggalkannya.

Saya menganggur lagi, tetapi saya tidak putus asa. Saya cari kesempatan yang lebih baik. Saya pikir saya akan mencoba mengadu nasib di Solo. Saya benar-benar mendambakan pekerjaan. Apa saja, asal halal.

Ada seorang teman yang menganjurkan untuk melamar ke Angkatan Laut Belanda. Tetapi lowongan yang ada di sana ialah sebagai juru masak. Saya pikir, biarlah itu nanti saya jadikan sebagai cadangan yang paling akhir.

Di Solo pun ternyata tidak ada pekerjaan. Maka saya kembali ke Wuryantoro. Waktu itu saya isi dengan pekerjaan gotong-royong, membangun sebuah langgar, menggali parit, dan membereskan lumbung. Tetapi setelah itu, hari depan saya gelap lagi.

Sumber: http://fdanila.multiply.com

Retrieved from: http://pcpmminggir.blogspot.com/2012/12/ketika-soeharto-masuk-sekolah.html

Tuesday, December 25, 2012

Indonesia's Muhammadiyah Movement: Moderation as Weakness

Qantara.de, 24.12.2012

The Indonesian Muhammadiyah movement was founded one hundred years ago as a reformist socio-religious movement. But its initially moderate interpretation of Islam has been marginalised by hardliners over the past few years.

By Bettina David

In late November Indonesia's Muhammadiyah, one of the world's largest mass Muslim organisations, celebrated the 100th anniversary of its foundation – an event that passed by almost unnoticed by western media.

With more than 25 million members, it is Indonesia's second largest Muslim organisation. Together with the traditionalist Nahdlatul Ulama ("Awakening of Religious Scholars", NU), a group with 30 million adherents, it represents a moderate strain of Islam that has long characterised society in the southeast Asian island kingdom.
pictured: the head office of Muhammadiyah in Jakarta (photo: Wikipedia)
"Vision of an Indonesian-Islamic modern age": The Muhammadiya represents a moderate strain of Islam that has long characterised society in Indonesia
Founded in 1912 by Ahmad Dahlan (1868–1923) in the central Javanese sultanate of Yogyakarta, the movement stands for the vision of an Indonesian-Islamic modern age.

Dahlan was influenced by, among others, the ideas of the Egyptian Muhammad Abduh and other pioneers of a fundamental reform of Islam – one that aimed to cleanse it of "un-Islamic" local traditions, demanded a strict return to the Koran and Sunnah, and aimed to show – using a rational interpretation of these sources – that Islam need not exclude modern science and technology.
Ahmad Dahlan was descended from a family of religious scholars. Despite his alignment with middle eastern reformist Islam, he remained throughout his life in the service of the Sultan's Palace – a traditional centre of Javanese Islam known for its religious syncretism.

The ethos of the Muhammadiyah ideology
The Javanese approach – decisive espousal of one's own convictions without necessarily allowing this to lead to direct confrontation – also had a defining influence on the organisation he founded. Muhammadiyah pursues the dissemination of its ideas via a broad network of social, charitable and educational institutions.

Thousands of mosques, just over 10,000 nurseries and schools, 172 colleges, innumerable hospitals, orphanages and elderly care homes are testimony to the group's commitment to civil society.
The importance of education and rational thought was paramount. The ethos propagated in Muhammadiyah ideology is characterised by an almost Calvinist-style emphasis on values such as self-discipline, punctuality, diligence, selfless charitable engagement for the community, order and a personal responsibility to God.

The role of women
The education of women was an important concern from the outset. The women's organisations within Muhammadiyah – 'Aisyiyah and Nasyiatul 'Aisyiyah – are committed to a range of issues such as gender-sensitive interpretations of the Koran and for the empowerment of women on a grassroots level.
Followers of Muhammadiyah group of Muslims perform special prayer in Jogjakarta (photo: Tarko Sudiarno/AFP/Getty Images)
 

Islam and gender politics: The two women's organisations within Muhammadiyah are committed to a range of issues such as gender-sensitive interpretations of the Koran and for the empowerment of women on a grassroots level The organisation's schools and universities have produced a great many people who have had a considerable influence on Indonesia's political, social and religious life from the colonial era right through to the contemporary age of democratisation, and who laid the foundation stone for the formation of the nation's Muslim middle class.

In contrast to the NU, most members of Muhammadiyah are derived from the urban milieu. The fact that the movement has survived one hundred years of far-reaching political and social transformation is not least owing to its ability to adapt flexibly and pragmatically to relevant cultural and socio-political realities.

Spirit of optimism and backlash
In the 1980s and 1990s, Indonesian mainstream Islam was influenced by the neo-modernism advocated by prominent liberal Muslims such as Nurcholis Madjid and Abdurrahman Wahid from the Muhammadiyah and NU milieu. At the time, the views of thinkers such as Fazlur Rahman and Nasr Hamid Abu Zaid were openly and intensively received and discussed – in particular at Islamic universities – in Indonesia, probably more so than in any other Muslim country.
Abdurrahman Wahid (right) and Bambang Yudhoyono during prayer (photo: AP)
 

Abdurrahman Wahid (right) – Indonesia's president from 1999-2001 – had a major influence on Indonesian mainstream Islam. Under president Yudhoyono (left) however, Islam in Indonesia has become much more conservative But the strengthening of Islamist movements and the West's "War on Terror" over the last decade have also left their mark on Indonesia. Until 2005, the organisation was led by Ahmad Syafi'i Ma'arif – the liberal advocate of a decidedly pluralist Islam. He was then succeeded by one of the movement's hardliners, Din Syamsuddin.

The movement has since experienced a clear shift to the right, and progressive personalities such as Syafi'i Ma'arif have long lost the influence they once had. Their views are however still being heard and openly discussed in the media.

Global polarisation constraints
It is exactly this – the organisation's integrative ability to unify both progressive and conservative voices under one umbrella and maintain a balance that is sometimes tilted to the left, and sometimes to the right – that appears to be under increasing threat from the constraints of global polarisation.
Since the 1990s, and even more after the end of the Suharto era, trans-national ideologies such as that of the Muslim Brotherhood and Hizb ut-Tahrir are attracting a continually growing number of student supporters. Although it once wowed youth with its vision of a truly Islamic society, in comparison to these new dynamic movements Muhammadiyah appears like a colossus of mostly older men and women ossified by its hidebound hierarchies and obdurate bureaucracy.

Young people now find idealism and the opportunity to take an active part in shaping society according to one's own ideas under the banner of political Islam, the trans-national alignment of which also corresponds to clearly burgeoning aspirations of global positioning, recognition and participation.

Radical voices drive the debate
As a result, the once so progressive Muhammadiyah is increasingly finding itself in the paradoxical situation of losing its clout due to its moderate stance: the group is too liberal for the radicals, and too conservative for the liberals.
A rally of Hizb ut-Tahrir supporters (photo: AP)
 

In Indonesia's public discourse, it is the radical voices like the Hizb ut-Tahrir that are increasingly driving the debate, Bettina David writes Being moderate now appears to be viewed as a weakness and an inability to take a clear stance. Instead of bringing new ideas to the table, it seems as though movement is now mainly concerned with issuing defensive reactions. In public discourse, it is the radical voices that are increasingly driving the debate.

But while on the one hand there are complaints that the group's own mosques and institutions are being infiltrated by representatives of political Islam such as the PKS (Justice and Prosperity Party), on the other hand it is obvious that similar ideas have long featured in Muhammadiyah's internal discourse – views that are also being represented by the movement's own protégés.

As part of its centenary celebrations, Muhammadiyah organised an International Research Conference from late November until early December. This not only gave the stage to figures within Muhammadiyah, but invited renowned international scholars to talk about the history and the future of the movement and the urgent need for a reset of its position and social vision. The fact that in this process, dialogue with the West still appears to be important to the movement, is a moderately hopeful sign.

Bettina David
© Qantara.de 2012
The author has been an expert on Indonesia for many years, and publishes journalistic and academic articles on the role of Islam and how Indonesian society is changing.
Translated from the German by Nina Coon
Editor: Lewis Gropp/Qantara.de

Retrieved from: http://en.qantara.de/Moderation-as-Weakness/20388c22312i0p9/

Saturday, December 8, 2012

Interlocutors of Indonesian Islam

The Jakarta Globe
Ahmad Najib Burhani | December 08, 2012

A few months ago, the Japanese anthropologist Mitsuo Nakamura told me that studying Nahdlatul Ulama as an organization was beyond the imagination of any American scholar from the 1950s to the ’70s. But he is not the only academic to have noticed this. George McT. Kahin of Cornell University stated the same thing. Even NU-expert Martin van Bruinessen was not expecting to study NU as his primary focus when he came to Indonesia for the first time in the 1980s.

During the early decades of Indonesian independence, NU was relatively unorganized and its management was largely based on the authority of religious teachers ( kyai ). Of course there were a number of scholars who studied NU-affiliated religious schools ( pesantren ) and its kyai, but not NU as an organization.

Even though NU was one of the winners of Indonesia’s first legislative elections, in 1955, most of the academic work during these years focused on modernist movements, like Muhammadiyah. But since the 1980s, there has been a dramatic shift, especially visible in American scholarship on Indonesian Islam, toward a more NU-centric approach.

Weber and the Protestant Ethic

Most of the early academic work on Indonesian Islam was done by Christian missionaries and colonial officials. Before World War II, American scholars relied heavily on Europe, particularly the Netherlands, when they studied Indonesian Islam. But this changed after WW II when Americans wanted to see for themselves what was going on in Indonesia, a key player in the Non-Aligned Movement.

The main characteristic of the early US scholarship on Indonesian Islam was the influence of Max Weber. This can be seen clearly in the work of Clifford Geertz, Harry J. Benda, Lance Castles and also that of Nakamura.

Fred Inglis wrote in 2000 that Geertz, who would become highly influential, came to Indonesia in the early 1950s with an intention to find a local variant of the Protestant ethic in Muslim societies — inspired by Weber’s famous “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.” Other scholars did likewise, like Robert N. Bellah in his “Tokugawa Religion.”

A good example of the influence of Weber in Geertz’s work is the santri-priyayi-abangan trichotomy — similar to Weber’s distinction between the urban middle class, warrior nobilities and peasants.

How come Weber was so influential in Indonesian studies?

The dominance of the Weberian perspective among US scholars in general at the time was one factor. Geertz was a student of Talcott Parsons, and Parsons was the one who introduced Weber to American academia by translating “The Protestant Ethic” into English.

But of course Geertz’s choice to use the Weberian perspective was not simply because of this teacher-student relation. The most important reason was because he tried to find the relation between religious ideas and human conduct, politics and economic development — between religion and social change. For this analytical endeavor, Weber provided very useful tools.

Recent studies have been trying to uncover whether there were any other motives behind the Weberian approach in Indonesian studies — political ones perhaps. Inglish among others has argued that US scholars visiting Indonesia at the time were greatly influenced by the idea that capitalism was to be promoted to counter to Sukarno’s “Asian socialism.”

As the Cold War was raging, Sukarno was among those taking the initiative to establish the NAM. Furthermore, although Sukarno was a leader of the so-called non-bloc nations, he was also a good friend of communist Cuba’s Fidel Castro and close to the People’s Republic of China. To challenge Sukarno’s hegemony, the US government needed to promote and support capitalism in Indonesia. Coincidentally, modernist Islamic movements at that time were opposing Sukarno. This is presumably one of the reasons why American scholars focused on modernist movements and neglected NU — a Sukarno ally in promoting his Nasakom (nationalism, religion and communism) ideology.

From an academic perspective, another reason for not looking closely at what was going on within NU was that many scholars believed this organization would be left behind by modernization. Modernism and rationality, they believed, had no place in NU. And if Indonesia were to be become a modern country — like the United States — then it had to follow the Protestant ethic and especially the spirit of capitalism. “New Indonesia,” using a term coined by Geertz, would thus only appear with the help of Muhammadiyah and other modernist movements.

New era of scholarship

James Peacock’s work is the culmination of American scholarship on Indonesian Islam from a Weberian vantage point and seeing Muhammadiyah as the incarnation of the Protestant ethic in the Muslim world. But Peacock’s books were published almost at the same time as Edward Said’s “Orientalism” (1978), which marked the beginning of a new era of scholarship on Islam all over the world.

New generations of American scholars of Indonesian Islam were no longer unconsciously trapped by the Weberian perspective — look at Robert Hefner, John Bowen and Mark Woodward.

There are four factors that have contributed to this paradigm shift.

The first is — using Edward Tiryakian’s term — “Durkheim’s religious revival.” Among other things, this trend was due to a new translation of Emile Durkheim’s “The Elementary Forms of the Religious Life.” It was also stimulated by a broad swing in social science toward cultural analysis, structuralism and post-modernism. Interestingly, Geertz was also a pioneer in this regard.

The second factor that contributed to the shift away from Weberian scholarship on Indonesia was the decline of the modernist paradigm in universities, mainly thanks to critique from post-modernist and culturalist circles.

A third, related factor that gave rise to a new era of scholarship is the fading away of the orientalist tradition. We can see this for instance in the references used in scholarship since the 1980s. Researchers started to quote Marshal Hodgson, Talal Asad, Charles Taylor and Michel Foucault — instead of Christian missionaries and colonial officials. But not only did scholars start to use other sources as part of their move away from orientalism, there was also a change in their perception of Indonesian Islam.

Before the ’80s, scholars almost unanimously considered Indonesian Islam as a peripheral, or superficial form of the faith. This was a consequence of the binary perspective used by orientalists, who approached Islam in a normative way and used the Middle East as their point of reference.

The final factor leading to the paradigm shift were the dynamics of Indonesian Islam itself — particularly under the influence of longtime NU-leader Abdurrahman “Gus Dur” Wahid.

He successfully transformed NU from a traditionalist to a more progressive movement. He also played a key role in changing the image of Indonesian Islam — from the “peripheral Islam” of the orientalists to an “authentic Islam” no less orthodox than forms of the faith practiced in the Middle East. NU no longer feels inferior in the face of modernism and has even been able to become a trendsetter in the Indonesian Islamic discourse — at times even critiquing Muhammadiyah.

Combined, these four factors changed for good the way scholars all over the world approach religion in the largest Muslim-majority nation-state. Yet they also remind us of the non-academic considerations that over time have shaped the endeavors of Islam’s interlocutors.

Ahmad Najib Burhani is a researcher at the Indonesian Institute of Sciences (LIPI).

Available at: http://www.thejakartaglobe.com/opinion/interlocutors-of-indonesian-islam/560447

Thursday, December 6, 2012

Muhammadiyah, Seabad Perubahan

Kompas, Jum'at, 7 Desember 2012, hal. 7.

Oleh Martin van Bruinessen



Buku klasik Mitsuo Nakamura, The Crescent Arises over the Banyan Tree (Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin), merupakan kajian antropologi penting dan rujukan wajib bagi setiap peneliti yang ingin memahami fenomena Muhammadiyah. Tahun ini, Professor Nakamura sempat meluncurkan edisi perbaikan buku lama, yang dilengkapi dengan pengamatan dan analisanya tentang perkembangan Muhammadiyah di Kota Gede selama empat dasawarsa setelah penelitian aslinya. Tambahan tersebut sebetulnya setebal buku awal dan layak dianggap sebagai The Crescent jilid kedua, tak kurang menarik daripada jilid pertama. Sebagai pengamat setia Muhammadiyah yang paling senior, dalam kerjasamanya dengan para cendekiawan muda Muhammadiyah, Pak Nakamura juga yang memelopori konferensi ilmiah tentang ormas yang telah berumur satu abad, di Malang akhir pekan lalu. Tulisan sederhana ini merupakan tanggapan terhadap tulisan beliau yang dimuat di Kompas pada tanggal 23 November.

Pengamatan Nakamura bahwa Muhammadiyah telah memudar dan kurang dinamis daripada dulu, agaknya, tak terlepas dari perubahan mendasar dalam komposisi keanggotaannya. Sampai setengah abad lalu, orang Muhammadiyah pada umumnya dikenal sebagai wiraswasta dan pekerja keras – para pengusaha batik Yogyakarta dan Pekajangan (Pekalongan) dan para pengrajin dan saudagar Kota Gede sering disebut sebagai ikon Muhammadiyah. Pepapat Jawa “Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe” sangat tepat untuk  menggambarkan etos kerja kaum Muhammadiyah ketika itu.  Berbagai pengamat asing telah berkomentar bahwa sikap dan perilaku kaum Muslim modernis itu mirip sikap dan perilaku kaum Kalvinis yang menurut Weber cocok dengan perkembangan ekonomi kapitalisme. Dari semua golongan pribumi, kaum santri modern yang kelihatannya berpotensi menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan demokrasi politik.

Mulai tahun 1970-an kita bisa melihat keanggotaan Muhammadiyah semakin diwarnai oleh  pegawai negeri dan birokrat daripada kaum wiraswasta. Hal itu tak berarti bahwa Muhammadiyah mulai menggarap golongan lain yang dulu tak dilayani, tetapi mencerminkan perubahan internal dalam keluarga besar Muhammadiyah. Selama Indonesia masih dijajahi Belanda, orang Islam kebanyakan enggan bekerja untuk pemerintah yang kafir dan menilai pekerjaan sebagai wiraswasta lebih mulia. Pasca kemerdekaan, sikap terhadap negara dan pemerintah tentu saja berubah. Selain itu, dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan pendidikan massal pada Orde Baru, lapangan kerja di jajaran birokrasi dan dunia pendidikan sangat meluas. Anak-anak para pengusaha yang telah membesarkan Muhammadiyah rata-rata meninggalkan usaha orangtua mereka dan memilih karir di birokrasi atau lembaga pendidikan. Ikon Muhammadiyah yang lama, para pengusaha batik dan perak di Yogya, Pekajangan dan Kota Gede, tinggal namanya saja. Generasi muda keluarga pengrajin dan saudagar itu sebagian besar beralih profesi menjadi pegawai negeri, guru/dosen, dokter, pengacara dan sebagainya. Muhammadiyah telah menjadi organisasi kelas menengah birokrat yang terbesar di Indonesia, dan pandangan kemasyarakatan Muhammadiyah, agaknya, mencerminkan sikap dan pandangan golongan yang dominan di dalamnya.

Paska Reformasi, ada persepsi bahwa Muhammadiyah terancam infiltrasi gerakan Islam radikal bersifat transnasional, seperti Tarbiyah/PKS dan Salafi. Pada hemat saya, mungkin lebih baik kita melihat fenomena itu juga sebagai pergumulan atau pergeseran antar-generasi, tak jauh berbeda dengan pergeseran dari wiraswasta ke pegawai negeri. Saya harus mengaku bahwa pengetahuan saya sangat terbatas dan parsial, tetapi aktivis Tarbiyah atau Salafi di dalam Muhammadiyah yang saya kenal (secara langsung atau tidak langsung) tidak berasal dari luar Muhammadiyah tetapi lahir dan dibesarkan di dalamnya. Mereka merupakan bagian dari proses regenerasi dan reformasi (pembaharuan, pemurnian) internal yang tak pernah berhenti – dan selain mereka, tentu saja, ada kelompok-kelompok lain yang juga mencari cara bermakna untuk mengaktualisasi (tajdid) dan meneterapkan nilai-nilai Islam.

Di mata banyak anak muda, organisasi Muhammadiyah sudah terlalu mapan; kegiatan sosialnya dilakukan secara rutin dan tanpa semangat menciptakan dunia yang lebih adil, dan wacana keagamaannya tak lagi sanggup memenuhi kebutuhan generasi muda akan spiritualitas dan relevansi sosial. Tak sulit dimengerti kalau sebagian mereka tertarik kepada faham dan aksi Ikhwan, Hizbut Tahrir atau Salafi, dan sebagian lain tertarik kepada intelektualisme Islam yang kerap (oleh penentangnya) dicap “liberal”. Walaupun semua mereka mengambil ilham dari gerakan dan pemikir di luar Muhammadiyah (dan di luar Indonesia), tidak tepatlah, saya kira, kalau kita melihat pergumulan pemikiran itu sebagai ancaman dari luar. Dalam proses globalisasi, masyarakat seperti Indonesia dan organisasi seperti Muhammadiyah bukan obyek yang secara pasif menerima pengaruh dari luar saja; orang-orang Indonesia dan anggota-anggota Muhammadiyah juga memainkan peranan aktif dalam proses itu: mereka memilih yang dianggap cocok dan perlu, dan menolak yang tak dibutuhkan.

Penyusupan faham dan gaya aksi gerakan Islam transnasional ke dalam Muhammadiyah merupakan bagian dari perkembangan yang lebih umum, yaitu memudarnya batas negara-bangsa. Sebagai akibat kebijakan ekonomi neoliberal dan perkembangan teknologi komunikasi (Internet dan handphone), peranan negara bangsa telah mundur dan berbagai aktor non-pemerintah, sebagiannya transnasional, mengambil peranan lebih menonjol. Manusia, barang, uang, pemikiran dan unsur budaya lainnya lebih mudah melintasi batas antar-negara. Di Indonesia, proses globalisasi ini dipercepat lagi setelah era reformasi. Banyak orang Indonesia telah hidup bertahun-tahun di luar negeri untuk studi atau kerja; lebih banyak lagi yang telah berkunjung ke negara lain dalam rangka ibadah atau wisata (atau, kalau anggota DPR, studi perbandingan). Wawasan banyak orang Indonesia tidak lagi terbatas pada daerah dan negara bangsa tetapi mencakup bagian dunia lainnya: Barat, Arab, Iran, Cina.

Muhammadiyah selama ini merupakan ormas Islam kebangsaan, dengan anggota dan cabang-cabang di seluruh Indonesia. Walaupun ada beberapa cabang luar negeri, anggota-anggota cabang itu adalah orang Indonesia juga; tak ada orang Muhammadiyah yang bukan warga negara Indonesia. Selain itu, Muhammadiyah, seperti juga halnya NU, telah memainkan peranan penting dalam proses nation-building (pembentukan bangsa) Indonesia. Muhammadiyah lahir di Yogya dan lama diwarnai nilai-nilai budaya Jawa, tetapi sebagai ormas Muhammadiyah mencakup seluruh Indonesia, dan struktur organisasinya (wilayah-cabang-ranting) identik dengan struktur pemerintahan negara.

Tetapi wawasan dan ambisi sebagian generasi muda sudah melintas batas negara bangsa. Cita-cita mereka, nalar mereka, perjuangan mereka diilhami oleh ide-ide, tokoh-tokoh, atau gerakan-gerakan di bagian dunia lainnya – dari faham Salafi sampai hermeneutika, dari gerakan antiglobalisasi sampai perennialisme, dari perekonomian Islam sampai teologi pembebasan. Tantangan rumit bagi Muhammadiyah ialah tetap bagaimana menjadi rumah bagi mereka, tempat di mana mereka bisa tukar menukar pemikiran dan berdebat bebas tentang implikasi pemikiran untuk aksi, serta wadah untuk aktivitas sosial dan keagamaan mereka tanpa mengorbankan identitas Muhammadiyah.

Martin van Bruinessen
Professor Emeritus Universitas Utrecht (Negeri Belanda) dan Peneliti Senior Asia Research Institute (Singapura)



Wednesday, December 5, 2012

Muhammadiyah Abad Kedua

Republika, Kamis, 06 Desember 2012

Oleh Azyumardi Azra

Mengikuti International Research Conference on Muhammadiyah (IRCM) di kampus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pekan lalu, 29 November--2 Desember, banyak agenda bagi Muhammadiyah dalam melangkah ke abad kedua eksistensinya (18 November 1912--18 November 2012).

IRCM yang menghadirkan 56 penyaji makalah dari dalam dan luar negeri memang membahas secara kritis berbagai aspek organisasi Muhammadiyah. Agaknya inilah konferensi riset terbesar yang diabdikan untuk membahas satu ormas semacam Muhammadiyah.

Bahwa Muhammadiyah merupakan salah dari dua organisasi terbesar negeri ini setelah NU tidak perlu dipersoalkan lagi. Begitu juga dengan kenyataan Muhammadiyah merupakan ormas pendidikan dan dakwah terbesar di Dunia Muslim. Dan, tentu saja, Muhammadiyah telah memberikan banyak kontribusi kepada negeri ini dalam peningkatan kualitas warga bangsa, bahkan jauh sebelum Indonesia mencapai kemerdekaan.

Tetapi, banyak agenda bagi Muhammadiyah dalam milenium kedua, tidak hanya untuk bertahan dalam zaman yang terus berubah secara cepat. Tetapi, lebih-lebih lagi untuk meningkatkan peran dan kontribusinya bagi Indonesia dan, lebih jauh lagi, bagi masyarakat internasional.
Muhammadiyah dengan segala pencapaiannya sepanjang satu abad silam berada dalam posisi yang tepat dan pantas untuk meningkatkan kontribusinya kepada warga negara-bangsa Indonesia dan dunia global.

Agenda pokok ke depan bagi Muhammadiyah adalah penegasan kembali identitas atau dalam tema besar riset konferensi adalah “(me)wacana(kan) pencarian identitas yang terbarukan bagi Muhammadiyah untuk era pascasatu milenium." Identitas yang menjadi raison d’etre Muhammadiyah sepanjang abad silam tak lain adalah tajdid, pembaruan—tegasnya pemurnian—Islam dari apa yang disebut Muhammadiyah sebagai ‘TBC’ (takhyul, bid’ah, churafat).

Tetapi juga jelas, dalam perjalanan waktu, khususnya tiga dasawarsa terakhir, agenda-agenda tajdid Muhammadiyah kehilangan elan-nya karena perubahan sosial, budaya, politik, dan agama yang kian cepat. Dan juga, karena Muhammadiyah juga kian "gemuk" sehingga menjadi lamban.

Di tengah perkembangan itu, konvergensi keagamaan terus terjadi di antara Muhammadiyah, NU, dan ormas Islam lain—sehingga hampir tidak ada lagi keributan furu’iyah. Tapi, kini ideologi puritanisme Muhammadiyah ditantang paham dan praksis keagamaan ultrapuritan yang pada dasarnya bersifat transnasional.

Tantangan kaum ultrapuritan bukan hanya menyedot kalangan warga Muhammadiyah—walaupun masih dalam skala sangat terbatas, tetapi juga lembaga-lembaganya sejak dari masjid, sekolah sampai universitas. Bahkan, bukan tidak mungkin infiltrasi kelompok ultrapuritan juga sudah merambah ke lembaga Muhammadiyah lain seperti rumah sakit, klinik, dan rumah yatim piatu.

Karena sangat urgen, bagi pimpinan dan aktivis Muhammadiyah sejak tingkat nasional ke tingkat lokal memberikan perhatian lebih pada pemeliharaan lembaga-lembaganya. Infiltrasi kaum ultrapuritan ke dalam Muhammadiyah secara potensial lebih besar daripada ke dalam ormas Islam lain semacam NU.

Hal ini tidak lain adalah karena terdapat banyak afinitas ideologis antara Muhammadiyah yang juga pernah puritan dengan kelompok-kelompok ultrapuritan yang berkecambah khususnya sejak masa pasca-Soeharto. Bagaimanapun, infiltrasi kelompok ultrapuritan dapat membawa potensi friksi di antara pimpinan dan warga Muhammadiyah sendiri.

Lebih jauh lagi, gejala ini dapat menimbulkan dampak tertentu bagi Muhammadiyah yang bersama NU dan ormas Islam lain dalam memelihara tradisi Islam washatiyah Indonesia. Jika Islam washatiyah negeri ini mengalami gangguan, bisa diduga juga bakal memengaruhi arsitektur politik negara-bangsa Indonesia ke depan.

Dalam kaitan itu, pimpinan Muhammadiyah dituntut mempertimbangkan kembali format lebih produktif dalam hubungan dengan rejim yang berkuasa. Memang tidak ada masalah lagi dalam hal format hubungan Muhammadiyah dengan negara; bahwa Muhammadiyah menerima dan mendukung NKRI, UUD 1945, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Masalahnya kemudian adalah hubungan antara pimpinan pusat Muhammadiyah dengan rezim berkuasa tidak selalu mulus, sehingga menimbulkan dampak tertentu pada lembaga-lembaga Muhammadiyah baik di tingkat pusat maupun daerah.

Sebagai ormas independen, vis-a-vis kekuasaan adalah wajar belaka jika kalangan pimpinan Muhammadiyah bersikap kritis terhadap rezim penguasa. Sikap kritis itu juga adalah bagian dari pengejawantahan Muhammadiyah sebagai Islamic-based Civil Society. Tetapi ke depan, pimpinan Muhammadiyah seyogianya dapat menemukan format baru dalam relasi dengan rezim penguasa tanpa harus kehilangan jati dirinya.

Retrieved from: http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/12/12/05/mekc4g-muhammadiyah-abad-kedua

Tuesday, December 4, 2012

Makna Konferensi Riset tentang Muhammadiyah (2)

Republika, Selasa, 04 Desember 2012

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Memang, bila dilihat dari jendela pemikiran Islam, Muhammadiyah belum banyak menghasilkan karya-karya besar. Mungkin, karena selama satu abad berjalan energinya lebih banyak terkuras oleh kegiatan amal sosial dan kemanusiaan. Tetapi, karena tantangan kemanusiaan semakin berat dan beragam di dunia yang semakin terbelah, Muhammadiyah tidak bisa lagi hanya mencurahkan perhatiannya pada masalah-masalah aksi sosial dan layanan kemanusiaan.

Sisi-sisi yang bernuansa filosofi dan pemikiran mendalam harus dijadikan agenda besar agar "Islam yang berkemajuan" yang merupakan trade mark Muhammadiyah menemukan wujudnya yang lebih konkret.

Saran saya ini tidak mengada-ada.Dalam tempo dekat ini, jumlah anak muda Muhammadiyah dengan kualifikasi PhD akan semakin meledak.

Nama-nama, semisal Syamsul Arifin, Hilman Latief, Ahmad Najib Burhani, Sukidi Mulyadi, Siti Ruhaini Dzulhayatin, Tafsir, Ahmad-Norma Permata, Zakiyuddin Baidhawy, Perdana Boy ZTF, Raja Juli Antoni, Fajar Riza Ul Haq, Ahmad Fuad Fanani, dan sederetan intelektual muda Muhammadiyah lainnya adalah testimoni nyata dari ledakan itu.

Sebagian nama ini berkumpul di Malang pada akhir November sampai awal Desember untuk berbincang secara akademik tentang berbagai aspek gerakan Muhammadiyah. Di sana, bertemu Indonesianis Barat dan Timur bersama intelektual muda Muhammadiyah. Konferensi Riset Internasional serupa ini baru pertama kali berlaku sepanjang se jarah Muhammadiyah.

Oleh sebab itu, patut benar dihargai dan kemudian dicermati tentang apa yang akan mereka suarakan di forum Malang itu. Almarhum Moeslim Abdurrahman adalah di antara tokoh senior spiritual dan intelektual Muhammadiyah yang berjasa besar dalam mendorong ledakan kaum muda pemikir itu.

Perkara timbul kontroversi di kalangan warga Muhammadiyah akibat ledakan tersebut, harus disikapi biasa-biasa saja.

Bukankah Ahmad Dahlan adalah tokoh yang paling kontroversial di zamannya? Yang perlu dijaga adalah agar komunikasi antargenerasi tetap berlangsung dengan akrab, terlepas dari kemungkinan perbedaan pendapat. Saya sering menyampaikan kepada anak-anak muda itu agar tetap bersikap santun dan sopan kepada generasi yang lebih tua, sekalipun mungkin cara pandang sudah berbeda. Sebab, semua hasil pemikiran pasti terikat dengan zaman.

Mereka yang takut kepada pemikiran yang berbeda adalah manusia fosil. Di era kepemimpinan Mas Mansur, antara 1938-1940, dikenalkan Langkah Dua Belas. Rumusan Langkah Kedua di bawah judul "Memperluas Paham Agama" dengan jelas mengatakan, "Hendaklah paham agama yang sesungguhnya itu dibentangkan dengan arti yang seluas-luasnya. Boleh diujikan dan diperbandingkan, sehingga kita warga Muhammadiyah mengerti perluasan agama Islam, itulah yang paling benar, ringan, dan berguna. Maka, dahulukanlah pekerjaan keagamaan itu."
Bunyi rumusan ini sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa Indonesia ketika itu. Tetapi, substansinya sa ngat jelas, orang tidak boleh berpaham sempit dalam menafsirkan agama, sebab pasti akan berlawanan dengan diktum "Islam yang berkemajuan" yang dicanangkan Muhammadiyah sejak lama.

Dokumen-dokumen resmi PP Muhammadiyah ini sering tidak dirujuk oleh para aktivis gerakan, sehingga timbul salah paham yang tidak pada tempatnya antargenerasi. Berkat kegigihan Dr Haedar Natsir, hampir semua dokumen penting ini telah dibukukan.

Dengan demikian, jika timbul beda pendapat dan pemikiran di kalangan warga Muhammadiyah, tempat rujukannya sekarang dengan sangat mudah dapat diakses.

Oleh sebab itu, sikap mudah menghukum pendapat seseorang dari sudut pandang Langkah Dua Belas ini harus ditinggalkan karena dapat mematikan perkembangan pemikiran keislaman yang tak mungkin dipasung untuk selama-lamanya. Guru saya, Fazlur Rahman, pernah menga takan, "Sebuah Islam yang yang tak mampu memberi jawaban kepada persoalan-persoalan kemanusiaan, tidak akan punya masa depan."

Akhirnya, sekiranya nanti dalam perbincangan di Malang muncul berbagai kontroversi hasil pemikiran yang tajam sekalipun, jangan cepat- cepat diberi reaksi berlebihan karena berlawanan dengan semangat pembaruan yang telah diusung Muhammadiyah selama satu abad. Dengan sikap terbuka inilah, kita semestinya memaknai Kon - ferensi Riset Internasional tentang Muhammadiyah yang telah disiapkan sejak lama. Semoga!

Retrieved from: http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/12/12/04/mehvg4-makna-konferensi-riset-tentang-muhammadiyah-2

Saturday, December 1, 2012

Menjaga Pembaruan Melintas Abad

Syamsul Arifin ; Guru besar UMM, Pengurus Majelis
Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah 
JAWA POS, 01 Desember 2012

MENYAMBUT milad akbar seabad Muhammadiyah, temu ilmiah bertajuk International Research Conference on Muhammadiyah (ICRM) diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sejak 29 November sampai 2 Desember 2012 besok. Jika dibanding kegiatan yang dilaksanakan secara serentak pada 18 November lalu, misalnya di Gelora Bung Karno, konferensi internasional ini jauh dari gebyar seremoni. 

Di tengah euforia melintas ke abad kedua, Muhammadiyah dihadapkan pada berbagai permasalahan internal dan eksternal yang berpotensi mengganggu dinamika. Karena itu, paparan peneliti Muhammadiyah, baik dari luar Muhammadiyah (outsider) maupun kalangan dalam sendiri (insider), perlu dijadikan sumber rujukan mutakhir untuk evaluasi abad pertama. 

Melalui kerangka Muhammadiyah studies (menurut istilah Ahmad Najib Burhani), Muhammadiyah telah memperoleh apresiasi, kritik, serta harapan dari sejumlah peneliti. Tiga jenis sikap keilmuan itu terartikulasikan secara objektif dalam konferensi. Peneliti Muhammadiyah dari Jepang yang sekaligus ketua pengarah konferensi, Mitsuo Nakamura, mengapresiasi Muhammadiyah sebagai gerakan berbasis keagamaan (Islam) namun kemanfaatannya dirasakan komunitas lintas agama (komunitas di luar Islam). 

Penulis buku The Crescent Arises over the Banyan Tree (ISEAS, Singapore, 2012) itu menyebutkan, dengan daya tahan yang dimiliki, Muhammadiyah memiliki banyak kesempatan mengembangbiakkan berbagai unit amal usaha seperti pendidikan, kesehatan, serta filantropi. Tapi, peningkatan statistik pada sisi amal usaha juga disertai bersemainya benih-benih permasalahan. Muhammadiyah terkesan mengalami stagnasi jika dibanding gerakan keagamaan yang lebih baru.

Selain itu, Mitsuo Nakamura galau terhadap polaritas pemikiran di kalangan Muhammadiyah, terutama antara kubu Salafi yang cenderung konservatif vis-à-vis kubu moderat dan liberal. Muhammadiyah memang tidak tahan dari infiltrasi ideologi lain. Dengan mengangkat isu infiltrasi, Mitsuo ingin mengungkap suatu fenomena penting bahwa dalam Muhammadiyah telah terjadi perubahan (change) identitas. 

Perubahan itulah yang dipotret Pradana Boy, kandidat doktor National University of Singapore, yang juga intelektual muda Muhammadiyah. Dalam makalahnya yang bertajuk Another Face of Puritan Islam: Muhammadiyah and Radicalism among Youth, dia menelisik keterkaitan antara Muhammadiyah dan kelompok Islam radikal. Boy mungkin bisa membuat banyak orang kaget karena mengatakan bahwa beberapa pelaku teror di Bali mengenyam pendidikan yang berafiliasi kepada Muhammadiyah. Secara spesifik, dia menyebut Amrozi dan Ali Imron sebagai contoh. Kakak beradik itu disebut bisa masuk jaringan gerakan Islam radikal karena pada diri mereka telah terbentuk paham radikal ketika mengenyam pendidikan di Muhammadiyah. 

Temuan penelitian Pradana Boy, tampaknya, mengukuhkan pengamatan Mitsuo Nakamura dan M.C. Ricklefs dari Australian National University (ANU), Australia, yang juga narasumber konferensi. Ricklefs menemukan fenomena infiltrasi dari paham dan ideologi radikal, sehingga wajah Muhammadiyah juga memperlihatkan guratan radikalisme selain guratan dominan reformisme dan moderatisme.

Alhasil, jika merujuk pada Mitsuo Nakamura, Pradana Boy, dan M.C. Ricklefs, Muhammadiyah selama rentang waktu seabad pertama telah mengalami perubahan (change). Tapi, tidak semua narasumber senada dengan hasil pengamatan tiga pakar itu. Misalnya, narasumber lain seperti James Peacock (University of North Carolina, AS) dan Robin Bush (Asian Research Institute, NUS, Singapore). Peacock yang menulis makalah 1970 to 2010: Continuities and Change mengakui adanya perubahan pada Muhammadiyah. Namun, perubahan yang dilihat Peacock tidak berakibat pada terjadinya pergeseran secara radikal yang dapat menggerus watak Muhammadiyah sebagai representasi Islam moderat plus reformis. 

Perubahan yang terekam oleh Peacock justru kian memperkuat watak tersebut. James Peacock merekam aktivitas Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin yang terlibat secara aktif dalam berbagai forum interfaith dan inter-civilization dialogue yang berskala internasional. Bahkan, Din secara periodik menggelar World Peace Forum seperti yang dilaksanakan di Bogor beberapa hari lalu. Aktivitas yang ditampilkan Din jarang dilakukan tokoh puncak Muhammadiyah pada periode sebelumnya.

Jadi, bisa dikatakan, aktivitas Din merupakan perubahan yang tetap berkesinambungan (change and continuity) dengan watak Muhammadiyah. Dikatakan sebagai fenomena perubahan karena isu seputar dialog antar-iman dan peradaban jarang disebut serta diterjemahkan ke aktivitas yang riil. Sementara itu, aspek kesinambungannya (continuity), keterlibatan pada isu tersebut tidak lebih merupakan kelanjutan belaka watak moderat dan reformis Muhammadiyah yang menuntut bersikap inklusif terhadap kelompok lain yang bahkan berbeda agama sekalipun. 

Kenyataan itulah yang ingin dipertegas Robin Bush melalui paper yang berjudul A Snapshot of Muhammadiyah: Portrait of Social Change, Values and Identity. Menurut Robin, pada Muhammadiyah, sebagaimana terlihat pada perilaku pengikutnya, tetap melekat sikap kebajikan (virtues) seperti terbuka, demokratis, toleran terhadap perbedaan, serta mendukung aksi kesetaraan sosial (social equity). Dengan kebajikan itulah, banyak kalangan dari luar Muhammadiyah, bahkan yang berbeda agama, yang merasa nyaman dan aman berinteraksi dengan Muhammadiyah. 

Penelitian oleh Abdul Mu'thi dan Izza Rohman yang disajikan dalam konferensi membuktikan hal tersebut. Melalui penelitian yang mendalam di Kupang, Mu'thi dan Izza menemukan kategori baru dalam Muhammadiyah, yakni Kristen-Muhammadiyah (Krismuha). Kategori itu didasarkan pada fenomena banyaknya mahasiswa berlatar belakang Kristen yang kuliah di Universitas Muhammadiyah Kupang. 

Memang, beragam cara pandang hasil kajian terhadap Muhammadiyah dibentangkan para narasumber dari luar negeri dan dalam negeri. Namun, suatu hal penting adalah melanjutkan apa yang disebut Christian Harijanto, narasumber dari Curtin University, Perth, Australia, dengan the reforms projects atau proyek pembaruan. Denyut pembaruan harus dijaga agar Muhammadiyah tetap eksis dan terus berdedikasi melayani umat dari berbagai kalangan. Tanpa reformasi, gerak Muhammadiyah dalam memasuki abad kedua akan melambat.


Retrieved from: http://budisansblog.blogspot.com/2012/12/menjaga-pembaruan-melintas-abad.html?spref=fb