Thursday, June 27, 2013

Buya Syafii Maarif dan Bung Hatta

Koran Sindo, Jum'at, 28 Juni 2013

Oleh Ahmad Najib Burhani*

Dalam tiga Pemilu yang dilangsungkan di Indonesia pasca Reformasi 1998, jumlah perolehan suara partai-partai Islam terus mengalami kemunduran dibanding Pemilu 1955 (44 persen). Perolehan suara seluruh partai Islam (PPP, PKS, PBB, PAN, PKB) pada Pemilu 1999 sekitar 37 persen, sedikit naik pada Pemilu 2004 menjadi 38 persen, dan kemudian turun drastik menjadi 29 persen pada Pemilu 2009. Jumlah suara partai Islam akan semakin kecil lagi bila dibedakan antara partai Islam yang berasaskan Islam (PPP, PKS, PBB) dan partai berasaskan Pancasila namun berbasiskan massa dari ormas Islam (PAN dan PKB). Melihat berbagai survey yang ada belakangan ini, penurunan ini sepertinya akan terus berlanjut di Pemilu 2014 yang akan datang.

Namun demikian, menurunnya suara partai-partai Islam di atas tidak berarti bahwa Islam politik juga mengalami kemunduran. Justru sebaliknya, seperti ditulis Tanuwidjaja (2010), Islam politik terus mengalami kenaikan. Perda tentang moralitas, regulasi atau perda anti-Ahmadiyah, dan Perda syariah lainnya menjamur di berbagai daerah. Yang menarik, Perda-perda syariah itu banyak yang dikeluarkan di daerah-daerah yang dimenangkan oleh partai sekular seperti PDIP, Golkar, dan Partai Demokrat. Bagaimana menjelaskan fenomena turunnya suara partai Islam yang bersamaan dengan naiknya Islam politik ini?

Islam politik saat ini tidak hanya diusung oleh partai yang berlabelkan atau berasaskan Islam. Partai yang dulu disebut sekular dan nasionalis pun, seperti PDIP dan Golkar, kini telah mengusung Islam politik (Tanuwidjaja 2010). Sejak 2006, misalnya, PDIP telah memiliki Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi). Sementara Golkar telah lama didominasi oleh alumni HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Saat ini hampir tidak ada perbedaan berarti antara partai-partai politik peserta Pemilu di Indonesia dalam hal ideologi, kecuali apa yang tertulis dalam AD/ART saja. Ini tentu sangat berbeda dari tahun 1950-an ketika, seperti ditulis Clifford Geertz, Indonesia dikuasai oleh politik aliran. Ketika itu, semua partai berjuang dan berperang demi ideologinya.

Saat ini, partai-partai sekular tidak berani melawan Perda-perda diskriminatif, seperti perda anti-Ahmadiyah, karena takut dituduh anti-Islam. Partai-partai itu juga mendukung perda-perda moralitas hanya karena ingin menunjukkan komitmennya kepada Islam. Inilah yang disebut dengan naiknya Islam politik yang bersamaan dengan turunnya suara partai-partai Islam. Fenomena ini terjadi terutama berkat desakralisasi yang dilakukan oleh Nurcholish Madjid sejak tahun 1970-an dan juga peran Orde Baru yang mempromosikan ideology pembangunan sebagai ganti dari ideologi yang lain.

Lantas apa hubungan fenomena politik Islam di Indonesia dengan Buya Syafii dan Bung Hatta? Dua tokoh ini memberikan alternatif bagi politik Islam yang lebih humanis. Muhammad Hatta atau dikenal dengan Bung Hatta adalah tokoh yang sangat dikagumi dan menjadi idola bagi Buya Syafii dalam konteks hidup bernegara dan dalam menerjemahkan hubungan agama dan negara. Ada dua hal utama yang diperjuangkan oleh dua tokoh ini. Pertama, negara harus sekular, tapi masyarakat harus taat beragama. Kedua, Islam politik itu harus mengikuti prinsip garam, bukan gincu, dan berdasarkan prinsip kemanusiaan atau rahmatan lil ‘alamin.

Untuk yang pertama, Buya Syafii selalu mengutip peran Bung Hatta dalam menghapuskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam kepada pemeluknya.” Penghapusan ini menegaskan bahwa negara harus bersikap netral terhadap semua agama dan keyakinan, serta tak berhak menjadi hakim dalam urusan teologi. Negara juga tak boleh memaksakan keyakinan atau syariat tertentu kepada rakyatnya. Negara tak punya urusan dengan keyakinan ortodok ataupun keyakinan sesat yang berkembang di masyarakat. Apa yang terjadi sekarang dengan perda anti-Ahmadiyah adalah keikutsertaan negara dalam menentukan mana keyakinan yang ortodok dan dukungan terhadap ortodoksi itu.

Pilihan menjadi negara sekular, tapi masyarakat beragama, seperti yang dilakukan oleh Buya Syafii dan Bung Hatta itu memiliki banyak kesamaan dengan Abdullahi Ahmed An-Na’im dari Sudan dan Rachid Ghannouchi dari Tunisia. Bagi mereka, justru dalam suasana sekular seperti itu maka keberagamaan yang genuine akan tercipta. Orang taat beribadah bukan karena takut negara atau takut diserang kelompok garis keras, tapi benar-benar keluar dari keyakinannya. Seperti terjadi sekarang ini, keberpihakan negara pada Islam justru mengarahkannya pada keberpihakan kepada aliran atau jenis keyakinan agama tertentu dan memusuhi aliran keagamaan yang lain.

Untuk prinsip kedua, Bung Hatta dan Buya Syafii termasuk orang yang berpihak kepada Islam substantif. Sebagaimana prinsip garam, tak kelihatan tapi terasa, agama itu tak perlu ditampilkan dengan simbol-simbol tapi miskin makna. Simbol-simbol itu hanya menjadikan agama seperti gincu, terlihat tapi tak terasa. Untuk apa, misalnya, menyebut dirinya partai Islam tapi korupsinya tak kalah dari partai sekular. Untuk apa bangga dengan kenaikan jumlah masjid dan pemakai jilbab jika banyak kebebasan beragama kelompok-kelompok agama minoritas terus mengalami penindasan. Untuk apa mengundang-undangkan shariah jika itu justru membuat orang tidak bisa menjadi Muslim yang baik “by conviction and free choice” (An-Na’im 2008, 1).

Sebelum kejadian Turki Spring yang saat ini masih berlangsung, model dari partai Islam yang cukup dihargai dan jadi referensi saat ini adalah AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan) di Turki. Partai ini dianggap mampu melepas simbol-simbol agama tapi membangun ekonomi rakyat. Model ini barangkali yang dulu hendak dikembangkan Bung Hatta dengan ekonomi kerakyatannya, meski dia tidak banyak melakukannya melalui partai politik. Namun demikian, jika model Turki itu ternyata hilang atau tampak dipermukaan saja, maka akan sulit mencari contoh partai Islam yang bisa mewakili Islam substantif di luar negeri.

Dalam menyambut hiruk-pikuk Pemilu 2014, dalam memperingati 10 tahun Maarif Institute (2003-2013), dan ulang tahun ke-78 Buya Syafii (lahir 1935) yang jatuh di bulan ini, kita perlu menengok kembali politik Islam yang ramah dan humanis itu. Buya Syafii telah memperjuangkan moralitas kebangsaan dan kemanusiaan ini selama bertahun-tahun meski perpolitikan nasional belum juga membaik. Semoga beliau tetap konsisten dengan perjuangannya di tengah perpolitikan nasional yang kehilangan fatsoen sekarang ini.

-oo0oo-

*Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).

From: http://www.koran-sindo.com/node/324438

Tuesday, June 18, 2013

Hamka's Great Story: Islam for Indonesia

Resonansi
Hamka's Great Story: Islam for Indonesia

Selasa, 18 Juni 2013, 07:57 WIB

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ahmad Syafii Maarif

Sabtu pagi, 8 Juni 2013, sekitar satu jam, Prof James R Rush dari Arizona State University mewawancarai saya di kawasan Kuningan, Jakarta. Setelah berbicara tentang Islam di Indonesia, kemudian diskusi mengerucut kepada karyanya tentang Prof DR Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) dengan judul di atas.

Saat saya tanyakan mengapa dia tertarik meneliti Buya Hamka, jawabannya langsung. Bermula dengan membaca novel-novel Buya Hamka, seperti Merantau ke Deli, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, berlanjut kepada karya-karya besar lainnya, termasuk Tafsir al-Azhar lengkap 30 juz, James Rush selama puluhan tahun kemudian telah membedah pujangga, pemikir, alim, mufasir, dan sejarawan seorang Hamka yang fenomenal dan multitalented ini.

Kepada saya diperlihatkan draf karyanya setebal sekitar 350 halaman. Sekarang sedang dicarikan penerbit di Amerika agar bisa terbit dan beredar tahun 2014. Pagi itu saya yang didampingi oleh Asmul Khairi MPd, MM, merasa sangat bahagia mendengar rencana Prof Rush, seorang Indonesianis yang tertarik dengan kajian mengenai Islam Indonesia. Hamka adalah bagian menyatu dari kajian itu.

Di wajah Rush terlihat simpati dan minat yang mendalam untuk menganal lebih jauh tentang sosok Hamka (1908-1981), seorang otodidak sejati, yang tidak banyak dilahirkan sepanjang sejarah umat manusia di muka bumi. Indonesia tentu termasuk yang beruntung karena dari rahimnya telah lahir seorang Hamka dengan karya-karyanya lebih dari 100 judul dan masih dibaca orang sampai hari ini, termasuk oleh rakyat Malaysia yang amat mengagumi pujangga kelahiran Sungai Batang, Maninjau, Sumatra Barat, ini.

Menurut Rush, dalam menyampaikan pendapat-pendapatnya, Hamka punya kepercayaan diri yang tinggi. Dalam teologi, Hamka menjaga keseimbangan antara paham Muktazilah yang serbarasional pada satu kutub dan Asy’ariyah pada kutub yang lain. Saya sampaikan kepada Rush, bila karyanya di atas sudah beredar agar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, demi mencapai radius publik yang lebih luas. Rush tersenyum tanda setuju.

Bagi tuan dan puan yang ingin berkomunikasi dengan Rush, dapat dikontak melalui e-mail: james.rush@asu.edu. Sekiranya Rush tidak mengontak saya berkali-kali untuk bertemu di Jakarta, boleh jadi Indonesianis yang tertarik dengan kajian Islam ini tidak akan pernah saya kenal.

Didorong oleh wawancara dengan Rush tentang Hamka, saya kembali membuka buku yang dieditori sahabat saya, Rusjdi Hamka, dan teman-temannya di bawah judul: Perjalanan Terakhir Buya Hamka (Jakarta: Panji Masyarakat, 1981). Tuan dan puan boleh saja menilai saya seorang cengeng karena saat membaca buku itu air mata ini tetes tak tertahankan. Kata pengantar Bung Rusjdi dalam buku itu yang dari hari ke hari menggambarkan kondisi Buya Hamka, yang sedang menghadapi saat-saat terakhirnya sejak 15 Juli jam 09.00 pagi, bagi saya sangat mengesankan, tulus, dan otentik.

Mufasir besar ini wafat pada jam 10.41.08 pagi, hari Jumat, 24 Juli 1981/22 Ramadhan 1401, di RS Pusat Pertamina, Kebayoran Baru, Jakarta, dalam usia 73 tahun enam bulan. Mohammad Natsir, sahabat Buya, menyaksikan seluruh detik-detik terakhir perjalanan sosok manusia piawai yang dikagumi puluhan juta manusia, termasuk Prof James Rush ini.

Hamka pernah hendak dihancurkan oleh Pramoedya Ananta Toer bersama Lekra saat jaya-jayanya PKI, namun berakhir dengan kegagalan total. Urat tunggang Hamka di bumi Indonesia ternyata teramat kuat untuk digoyang. Semestinya seorang sastrawan besar semisal Pramoedya tidak berbuat latah seperti itu.

Tetapi, kita pun maklum ketika sastra dikorbankan untuk kepentingan politik kekuasaan, segalanya bisa terjadi. Dan, itulah yang ditimpakan atas diri Hamka. Catatan yang satu ini tidak sempat saya diskusikan dengan Prof Rush.

Akhirnya, mari sama kita tunggu terbit dan beredarnya tahun depan, karya Rush tentang Hamka seperti judul di atas.

http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/06/18/mokdbs-hamkas-great-story-islam-for-indonesia






Redaktur : M Irwan Ariefyanto