Sunday, July 4, 2010

Dari Jogja Kembali ke Jogja

Seputar Indonesia, Monday, 05 July 2010

Abdul Mu’ti
Direktur Eksekutif CDCC,
Dosen Pascasarjana Uhamka, Jakarta

Ke Jogja kita kembali Abad kedua kita mulai Tekad membaja di hati Walau jalan mendaki Kutipan Mars Muhammadiyah ke-46 tersebut berkumandang di Stadion Mandala Krida,Yogyakarta.

Tidak hanya di arena muktamar, Mars Muhammadiyah juga menjadi ring back tone ratusan ribu handphone warga Muhammadiyah. Bagi sebagian besar warga Muhammadiyah, mars muktamar memiliki dua makna. Pertama, tasyakur atas segala nikmat dan karya nyata atas pengabdian dan perjuangan Muhammadiyah selama seratus pertama.

Kedua, tekad untuk meneguhkan khitah, kepribadian, dan identitas Muhammadiyah. Kembali ke Jogja (Yogya) berarti kembali kepada spirit awal kelahiran, nilai-nilai dasar perjuangan Muhammadiyah yang otentik. Kembali ke Yogya berarti kembali kepada tradisi gerakan Muhammadiyah.

Gerakan Tradisional Muhammadiyah

Sepanjang perjalanan hidup satu abad, Muhammadiyah memiliki empat tradisi gerakan.Tradisi pertama adalah pengajian. Muhammadiyah adalah gerakan pengajian.Kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah melekat dengan pengajian. Berbeda dengan organisasi yang lainnya, tradisi pengajian Muhammadiyah memiliki dua ciri khas.

Pertama, pengkajian terdapat sumber-sumber utama ajaran Islam: Alquran dan Hadis.Kedua, kontekstualisasi ajaran Islam dengan realitas kehidupan masyarakat. Melalui pengajian, Muhammadiyah berusaha membuka wawasan dan kesadaran agar umat terlibat dalam penyelesaian masalah- masalah kehidupan.

Pengajian Muhammadiyah bukanlah kegiatan eskapis yang menghibur jamaah dengan canda tawa atau meninabobokan dengan harapan-harapan indah kehidupan akhirat berupa surga dengan segala kenikmatannya. Pengajian bukanlah ajang pengobatan jasmani atau pertobatan rohani di mana jamaah menangis meraung-raung meratapi dosanya secara histeris.

Tradisi pengajian Muhammadiyah berusaha mengajak jamaah melakukan refleksi diri dan membangkitkan amal nyata. Selama satu abad, Muhammadiyah berhasil mengembangkan pengajian yang membumi, bukan melangit. Singkatnya,Muhammadiyah telah mengembangkan tradisi keilmuan yang mencerahkan dan mencerdaskan. Tradisi kedua, melembagakan amal saleh.

Muhammadiyah tidak bergerak dengan kata-kata, tetapi melalui amal yang nyata.Menurut Muhammadiyah, iman tidak akan sempurna tanpa amal saleh. Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan, kesehatan, panti asuhan dan berbagai pelayanan sosial sebagai pengamalan iman (faith in action). Muhammadiyah memahami amal saleh dalam empat pengertian. Pertama, perbuatan yang saleh (baik) yang dimulai dengan niat yang baik.Kedua,perbuatan baik yang dilaksanakan sesuai dengan tuntunan syariah dalam bentuk ibadah mahdlahdan akhlak mulia.

Ketiga, perbuatan yang bermanfaat bagi seluruh umat manusia.Keempat, perbuatan yang senantiasa meningkat karena terus menerus diperbaharui dan disempurnakan. Berdasarkan pemahaman tersebut, Muhammadiyah berusaha mengembangkan amal usaha sebagai perwujudan amal saleh.Bagi Muhammadiyah amal usaha bukanlah alat propaganda, tetapi sarana dakwah untuk melayani sesama manusia menuju terwujudnya masyarakat utama yang diridai Allah SWT.

Melalui berbagai amal usahanya, Muhammadiyah berkomitmen untuk membangun masyarakat yang cerdas,sehat dan makmur. Sesuai dengan konsep amal saleh, amal usaha Muhammadiyah dikembangkan dengan tata kelola yang baik (good governance) seperti akuntabilitas, transparansi,profesional dan mandiri. Dengan tradisi tersebut, Muhammadiyah mampu menghidupi diri sendiri dan menghidupkan orang lain. Tradisi ketiga adalah kepemimpinan kolektif-kolegial.

Muhammadiyah memandang kepemimpinan sebagai lembaga amanah dan pengabdian.Selama satu abad Muhammadiyah telah mengembangkan kepemimpinan pelayan (servant leadership) di mana fungsi dan tugas utama pemimpin adalah melayani umat sebagai wujud pengabdian kepada Allah (ibadah). Muhammadiyah tidak memiliki sistem privelegebagi mereka yang menduduki jabatan struktural organisasi.

Dengan sistem rekrutmen dan pemilihan yang terbuka, Muhammadiyah mengembangkan tradisi permusyawaratan (syura) di mana posisi seorang ketua adalah seorang imam yang dimajukan selangkah tetapi tidak dengan otoritas abso-lut. Sebagai organisasi modern Muhammadiyah mengembangkan tradisi egalitarianisme yang memungkinkan siapa saja yang berkompeten, berakhlak, dan berkomitmen memimpin persyarikatan. Pergantian kepemimpinan adalah hal yang biasa, sebagaimana bergulirnya siang dengan malam.

Tradisi keempat, kritis kepada kekuasaan. Muhammadiyah adalah gerakan amar ma’ruf nahi munkar. Sesuai dengan identitas ini, Muhammadiyah senantiasa bersikap proaktif untuk membangun kebaikan dan korektif terhadap kejahatan. Muhammadiyah tidak anti negara dan pemerintah.Sejak kelahirannya, Muhammadiyah bersikap kritis kepada pemerintah, tetapi pada saat yang sama juga kooperatif.

Pada masa kolonialisme, Muhammadiyah menentang keras berbagai kebijakan kolonial yang destruktif terhadap agama, moral dan kesejahteraan masyarakat. Tetapi, Muhammadiyah juga bersedia menerima subsidi pemerintah yang tidak mengikat. Amar ma’ruf nahi munkar merupakan landasan ideologis yang mendorong Muhammadiyah terlibat dalam dinamika politik kenegaraan yang kritis dan harmonis.

Karena itu,adalah hal yang biasa jika para pemimpin Muhammadiyah melontarkan komentar keras kepada pemerintah. Mantan presiden Soekarno dan Soeharto adalah kader Muhammadiyah. Walau demikian, Muhammadiyah tetap vokal kepada keduanya.

Kembali ke Jogja

Muktamar ke-46 diselenggarakan di Yogyakarta.Penyelenggaraan muktamar ini memiliki beberapa makna. Pertama, kembalinya penyelenggaraan Muktamar ke Kota Yogyakarta,tempat kelahiran Muhammadiyah. Yogya tidak memiliki makna lain kecuali sebagai tuan rumah.Terakhir kali Yogyakarta menjadi tuan rumah Muktamar tahun 1990, berikutnya di Banda Aceh (1995),Jakarta (2000), dan Malang (2005).

Kedua, kembalinya kepemimpinan Muhammadiyah ke pangkuan tokoh Yogyakarta. Muhammadiyah adalah organisasi yang terbuka, nonrasial dan nondiskriminatif yang tidak memiliki darah biru di tubuhnya. Siapa pun yang memiliki kemampuan kepemimpinan, keulamaan dan keteladanan dapat menjadi ketua atau pimpinan Muhammadiyah. Tokoh ”luar” Yogyakarta yang terpilih menjadi ketua antara lain KH Mas Mansur (Surabaya),Buya AR Sutan Mansyur (Sumatera Barat) dan Din Syamsuddin (Nusa Tenggara Barat).

Jika kembali ke Yogya dimaknai dalam pengertian sempit ini, maka Muhammadiyah mundur jauh ke belakang.Muhammadiyah harus membuah jauh kultur primordial yang tidak sesuai dengan ideologi, khitah dan kepribadiannya. Ketiga, kembalinya Muhammadiyah kepada khitah, kepribadian dan spirit perjuangan.

Kembali ke Yogya adalah momentum untuk memperkuat gerakan tradisional Muhammadiyah: pengajian yang mencerahkan dan mencerdaskan, amal saleh yang terlembaga dalam pelayanan sosial yang profesional, kepemimpinan kolektif-kolegial dan amar ma’ruf nahi munkar yang konstruktif bagi kehidupan kebangsaan. Muktamar memiliki makna yang sangat substantif, untuk menyusun rencana strategis dan program kerja yang bermanfaat, bukan sekedar persaingan memilih pimpinan atau pertarungan kekuasaan.(*)

No comments:

Post a Comment