Republika, 02 Juli 2010
Muhammadiyah Satu Abad
Agus Basri
Staf Ahli Wakil Ketua MPR RI
Pada sepotong pagi nan sepi, seorang peserta muktamar Muhammadiyah tampak celingukan di dekat Tugu Malioboro, Yogyakarta. Sembari memanggul koper, peserta yang datang dari jauh (luar Jawa) ini tak tahu ke mana dan bertanya pada siapa. Ia kemudian dihampiri seorang sesepuh berpeci dengan tubuh agak besar dan berkacamata, yang menanyakan hendak ke mana anak muda yang tampak bengong ini. Seketika, pemuda lincah ini menjawab akan mengikuti muktamar Muhammadiyah, tetapi tak tahu arahnya.
Orang tua ini segera menawarkan diri mengantarkannya ke lokasi yang dituju sembari tangannya mengawe tukang becak. Dengan sangat sopan, tukang becak yang tahu betul siapa orang tua ini segera mendekatkan becak dan mempersilakan-nya. Tak ada kata tawar-menawar atau menanyakan hendak ke mana.Anehnya, orang tua ini pula yang menjinjing dan membawakan koper si anak muda yang terbengong-bengong itu. Sesampainya di lokasi muktamar, orang tua ini pula yang turun duluan dengan men-jinjing(kan) koper, diikuti pemuda klimis di belakangnya.
Sesepuh itu menunjukkan tempat yang dituju. Sampai di pintu gerbang, menaruh koper dan "mempersilakan" pemuda itu dengan ibu jarinya secara sopan. Sekumpulan orang yang melihat adegan satu episode ini pun terbengong-bengong, seakan sudah lupa dan tak sadar bahwa untuk ke sekian kalinyasesepuh yang amat dihormati itu melakukan hal serupa. Anak muda itu kian bingung dan "seperti terpelanting" manakala diberi tahu bahwa "si pembawa koper" yang mengantarkannya-yang sudah pergi dengan becak tadi-adalah Pak AR Fachruddin, ketua umum PP Muhammadiyah, priagung yang paling dihormati di Muhammadiyah lantaran ilmu, amalan, kesantunan, dan satu-satunya tokoh panutan.
Cerita yang sudah diembus angin zaman tiga dekade dan (kadang-kadang saja) masih menjadi cerita yang melegenda ini tidak saja menjadi contoh kepemimpinan seorang Pak AR (baca Pak A-Er), yang mencerminkan keteladanan kepemimpinannya yang tawadhu dan rendah hati, tapi juga (menjadi) pencitraan Muhammadiyah sebagai organisasi.Organisasi tidak (dibawa) ke mana-mana, tapi dengan apik dapat diterima di mana-mana, di berbagai {policy) perjamuan. Sampai kemudian, ada yang mengatakannya menjadi Muhammadiyah ada di mana-mana, itu juga berarti berada di mana-mana. Bahkan, kemudian diartikan, ada orangnya yang dipasang (juga memasang) ke mana.
Maka, menjadilah makna yang sesungguhnya, seperti terus bergulir seiring dengan perjalanan waktu, dan- sungguh eloknya-mengalami "penggerusan makna". Sehingga, menjadi pengertian yang terakhir bahwa Muhammadiyah ada di mana-mana, bahkan pemimpinnya (bisa juga dibaca atau ditambahkan mengirim orang) ke mana-mana.Kini, menyambut Muktamar ke-4 6 Muhammadiyah di Yogyakarta, organisasi yang mengaku modern sudah sejak awal kelahirannya dan telah memasuki usia 100 tahun alias seabad ini bakal menjadi gerakan pen-cerahan yang menjangkau zaman di hadapan.
Untuk itu pula, tak mengherankan perhelatan akbar irti bakal dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui teleconference dari Kota Madinah Al-Munaunuarah. Ini menunjukkan bahwa kemo-dernan zaman tak terkendala oleh teritori dan waktu, sekaligus cerminan sebagai organisasi yang berkemajuan, yang menjemput zaman-sebagaimana dikehendaki pendiri dan Bapak Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.
Segudang amalan Muhammadiyah yang berjibun, dari pendidikan tingkat kanak-kanak hingga perguruan tinggi, rumah sakit, dan perbankan sampai panti yatim piatu-sebagai bukti pengamalan teologi Al-Maun dari Ahmad Dahlan, mencerminkan gurita organisasi yang kian membesar. Namun, sejumlah kritik terlontar yang mengatakan bahwa Muhammadiyah telah kehilangan kreativitas dan makna kemo-dernan sebagaimana yang dikehendaki Kiai Dahlan.
Muhammadiyah tak mampu menerobos sekat zaman di hadapannya dan tak pula kini menjadi unggulan sebagaimana pada masa awal kelahirannya yang amat terkenal dengan sekolah sistem klasikal dan pelurusan arah kiblat (masjid)-sesuatu terobosan dan "revolusi hasil pemikiran luar biasa" yang amat meng-gemparkan umat manusia pada awal abad ke-20 (tahun 1912).
Maka, tak mengherankan jika pada Muktamar Satu Abad Muhammadiyah kali ini, panitia bertekad mengangkat tiga isu besar keumatan, kemasyarakatan, dan kebangsaan.Ketua Panitia Pengarah Muktamar, Haedar Nashir, misalnya, mengingatkan terjadinya krisis sosial budaya dimasyarakat jamak. Termasuk, memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan dan disorientasi nilai keagamaan yang "me-luasi" segenap warga negara. Pun, memudar pula kohesi dan integrasi sosial.
Inilah yang oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dien Syamsuddin, disebut sebagai "buta aksara moral" atau "mata hati yang buta". Sesuatu yang bisa jadi tak lepas dari lemahnya keteladanan dan ketiadaan tokoh panutan. Pun, lemahnya terobosan kreativitas yang mengempang zaman.Untuk "menyelesaikannya", tentu saja melalui pendidikan karakter bangsa. Dien, dalam pertemuannya dengan pimpinan MPR RI, bahkan menyebut contoh berbagai bentuk terobosan dan kreativitas brilian pimpinan MPR RI yang merangsek mendatangi ormas dan tokoh-tokoh-bahkan, katanya, sekelas Abu Bakar Baasyir.
Untuk dan dalam rangka semua itu pula, kiranya Muhammadiyah perlu meneguhkan tekad melakukan revitalisasi (pendidikan) karakter bangsa yang menjangkau jauh ke depan, ke hadapan zaman. Sehingga, elanvital persyarikatan (kembali) dapat lincah bergerak, melakukan terobosan, memutar roda yang berkemajuan dengan kreasi-kreasinya yang besar, dan menghasilkan karya besar.Menjadi organisasi yang berpenampilan elegan, terhormat, dan bermartabat-menukik pun secara apik-serta dapat diterima di mana-mana-dalam kosakata makna yang sesungguhnya (bukan ada di mana-mana dengan ke mana-mana).Dan, jadilah organisasi "yang mencerahkan zaman". Rahmatan lil alamin. Billahi sabilil haq. Fastabiqul khairat. Wallahu mustaan. rn
No comments:
Post a Comment