Sunday, March 25, 2018

Muhammadiyah & Islamic Development in Indonesia

“Muhammadiyah & Islamic Development in Indonesia”, Jaringan Nusantara Regional Conference on “Islam & Development: Towards Democracy & Social Justice”, organised by IRF; NUS; IKMAS-UKM; & CRCS UGM, 23-25 March 2018, Palm Garden Resort, Putrajaya, Malaysia.



Muhammadiyah has been perceived as an example of a success blend of Islam and modernity in Indonesia. By adopting modern ethics of discipline, equality, and hardworking, this organization has become a rich and independent Islamic movement. Quantitatively, the number of Muhammadiyah’s educational and health institutions is only surpassed by the ones owned by Indonesian government. It has 177 colleges and university; thousands of higher, middle, and elementary schools; and hundreds of hospitals and other health institutions. Social, educational, and economic success of certain organization, however, does not necessarily indicate that it also embraces democratic value and religious tolerance. In the recent political dynamics, for instance, some members of Muhammadiyah have inclined to support Islamist groups or defended Islamist activists. This can be seen from their participation in the Aksi Bela Islam (Defending Islam Action), their defense of and protection for Ustadz Bachtiar Nasir, and their opposition to the ruling of the Constitutional Court on Penghayat Kepercayaan (Believers of Faith).

This paper, therefore, intends to explain Muhammadiyah’s position in the context of development, democracy, and religious tolerance in Indonesia. This paper, firstly, overviews the historically undisputed concern of Muhammadiyah on social services and then, secondly, it moves to discern its cultural transformation since the Congress in Aceh 1995, and based on that, thirdly, it analyses its responses on religious issues that occurred in 2017: The banning of the Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), the recurrent controversy on PKI (Indonesian Communist Party), and the ruling of the Constitutional Court on Penghayat Kepercayaan.

This paper argues that Muhammadiyah’s social position has been consistently guided by its long-held theology of Al-Ma’un (kindness) which has inspired its tremendous social and economic achievements. Muhammadiyah’s stand on religious issues, however, was often steered by Islamist imagery of the domination of Islam in Indonesia which has certain impacts on it position on democracy and tolerance towards religious minorities. It is the hegemony of the theology of Al-Ma’un that has been able to neutralize Muhammadiyah from Islamist inclination and fundamentalist tendency. It brings the members of Muhammadiyah to be more realistic in seeing the world and distancing themselves from utopic vision of caliphate or the dream of sharia as the Messiah that will solve every problem or the temptation to create an Islamic state.





Link: https://www.facebook.com/libertv.my/videos/1890325501042575/ or https://youtu.be/UPh_nPDW8lo

Monday, March 5, 2018

Seminar Pemikiran Reformis – Siri XI: Kiyai Haji Ahmad Dahlan

Kiyai Haji Ahmad Dahlan adalah seorang ulama pembaharu dan pemikir penting yang telah mencetuskan revolusi perjuangan yang besar dalam rangka pembaharuan di Indonesia.  Dahlan dilahirkan dalam keluarga yang terkenal dengan latar agama dan sosial, dan mempunyai pengaruh yang kuat di daerah Kauman, dalam gerak perjuangan dan dakwahnya. Berbeza dengan kebiasaan dan cara pemikiran masyarakat dalam lingkungannya, Dahlan menzahirkan pandangan hidup yang luas dan ufuk pemikiran yang jauh. Kesempatan mempelajari ilmu qira’at, tafsir, hadis, tauhid, fiqh, tasawwuf, dan falak di Makkah, dan kecenderungan menelaah karya-karya Shaykh Muhammad Abduh dan Muhammad Rashid Rida telah memberikan pengaruh yang besar dalam mencorakkan fikrah pembaharuan dalam jiwanya. Sebaik pulang ke Tanah Jawa, Muhammad Darwish menukar namanya kepada Haji Ahmad Dahlan. 

Dahlan dikenal sebagai faqih dan ulama besar yang mempunyai kefahaman dan ijtihad fiqh yang tersendiri. Beliau merupakan sang pencerah yang berhasil mengetengahkan idealisme dakwah dan pembaharuan yang digagaskan oleh Imam Muhammad Abduh ke Tanah Jawa. Usahanya menerapkan mazhab pemikiran Abduh dan revolusi pemikiran yang dibawanya telah menghasilkan pencerahan yang bermakna di daerahnya. Perjuangan Kiyai Dahlan bertolak dari cita-cita besar untuk menggerakkan revolusi, mencetuskan perubahan dan reformasi, dan membawa modernisasi Islam ke Indonesia. Hal ini diperlihatkan dalam perjuangannya bersama organisasi Islam seperti Budi Utomo dan Serikat Islam bagi menghapuskan bid‘ah, membanteras kepercayaan khurafat dan syirik, membungkam faham mistik dan tahyul dari warisan Hindhu-Buddha, menumpaskan feudalisme, dan mengusir kaum penjajah.

Dalam memimpin perubahan, dan merealisasikan idea-idea pembaharuannya, beliau tampil ke garis depan, memberi arahan dan “mempelopori perjuangan yang dahsyat itu” dengan meniupkan api perjuangan dan nahdah dan membangkitkan kesedaran ijtihad, dan menggerakkan aktivisme dan kegiatan rakyat dalam program keagamaan dan pendidikan, yang berhasil melenyapkan autoriti aparat agama dan membenamkan taqlid yang telah menyebabkan kemunduran pemikiran. Beliau membangun organisasi dakwah yang besar dengan mendirikan Muhammadiyah sebagai platform perjuangannya yang sah untuk membawa perubahan dan idealisme pemikiran yang segar di zamannya yang masih berkekalan hingga ke hari ini.

Link:
http://irfront.net/post/events/seminar-pemikiran-reformis-siri-xi-kiyai-haji-ahmad-dahlan/