Sunday, March 27, 2016

Siapakah Drijowongso?

Diposting di Maret 26, 2016

Oleh : Mu’arif

Orang yang berkhidmat dalam Muhammadiyah ibarat bekerja dalam sunyi. Dalam kesunyian, ia tak butuh podium untuk menyampaikan gagasan. Juga tak perlu bendera (identitas kelompok) untuk menawarkan bantuan kepada orang lain. Ia pun laksana garam. Terasa asinnya tapi tak tampak wujudnya. Begitulah orang yang bekerja di belakang layar, menjadi sumber inspirasi dan sekaligus eksekutor gagasan di lapangan. Seperti halnya sosok Drijowongso dari Porong, Sidoarjo, ia bukanlah orang yang dikenal di kalangan Muhammadiyah, apalagi umat Islam di Hindia Belanda pada awal abad 21. Tetapi sosok Drijowongso adalah sekretaris Bagian PKO Muhammadiyah mendampingi Kyai Syuja’ (ketua). Barangkali yang luput dari perhatian para peneliti Muhammadiyah kini adalah latar belakang kehidupan Drijowongso.

Sosok Drijowongso adalah seorang buruh tani yang miskin asal Jawa Timur. Ia mengadu peruntungan nasib menjadi buruh tani tebu di Klaten. Anak dan istrinya ditinggalkan di Jawa Timur. Pandangan hidup Drijowongso sekuler, tetapi jiwanya selalu memberontak. Sudah bekerja keras di bawah tekanan para cukung Belanda, pendapatannya tak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya, apalagi untuk menghidupi anak dan istrinya. Terbakar semangat oleh bujukan Haji Misbach, para buruh tani tebu di Klaten berontak. Mereka melakukan pemogokan kerja secara massal pada sekitar tahun 1921. Drijowongso termasuk salah satu aktor di balik aksi pemogokan buruh tersebut. Kerugian besar ditanggung perusahaan milik para cukong kolonial. Akhirnya, buruh tani asal Porong tersebut ditangkap oleh tentara kolonial dan dijebloskan ke dalam penjara di Magelang selama satu setengah tahun.

Betapa sedih dan sengsara sosok Drijowongso selama di penjara. Anak dan istrinya tidak mendapat kiriman uang untuk membiayai hidup di kampung. Dalam keheningan di penjara, ia teringat pada sosok ulama modernis yang sangat murah hati. Teringat dalam pikirannya sebuah organisasi yang telah didirikan oleh ulama tersebut: Muhammadiyah.

Tampaknya, kemunculan sosok ulama modernis dari Kauman, Yogyakarta, sudah santer beredar di daerah Magelang. Bahkan, ulama tersebut juga mengajar di salah satu sekolah kolonial ternama di kota ini (OSVIA). Pandangan keagamaannya dinilai sangat maju. Apalagi, lahirnya gerakan Islam modern yang digagas oleh ulama modernis tersebut bertujuan untuk memajukan kaum pribumi. Drijowongso pun tertarik. Ia mengajukan permohonan kepada HB Muhammadiyah supaya berkenan menghidupi anak istrinya yang berada di Porong.

Haji Fachrodin (Soewara Moehammadijah no. 1/th ke-4/1922) mengisahkan, pada tanggal 20 November 1921, SI cabang Kediri mengundang HB Muhammadiyah Bagian Tabligh untuk menghadiri open bar vergadering di tempat tersebut. Utusan HB Muhammadiyah terdiri dari K.H. Ahmad Dahlan dan Haji Fachrodin. K.H. Ahmad Dahlan dan Haji Fachrodin diundang oleh SI cabang Kediri karena dalam struktur CSI, keduanya menjabat posisi teras. Dalam memenuhi undangan tersebut, HB Muhammadiyah mengajak Siti Moendjijah, adik kandung Haji Fachrodin yang menjadi salah satu santri putri KH. Ahmad Dahlan.

Dari Kediri, utusan HB Muhammadiyah melanjutkan kunjungan ke Sidoarjo. Pada tanggal 23 November 1921, utusan HB Muhammadiyah menjemput anak dan istri Drijowongso di Porong (Sidoarjo). Drijowongso memberikan kepercayaan kepada HB untuk menjaga, mendidik, dan menghidupi anak dan istrinya selama dia dalam penjara (Magelang).

Satu setengah tahun sudah lewat, Drijowongso baru saja keluar dari penjara di Magelang. Ia langsung menuju ke Yogyakarta, bermaksud menemui anak dan istrinya. Alangkah kagetnya dia sewaktu menemui anak dan istrinya. Sebelum dididik dan dibina oleh HB Muhammadiyah, anaknya masih kecil dan lugu. Kini, sang anak telah tumbuh besar, berpenampilan rapih, dan terdidik. Sang anak menyambut ayahnya dengan hormat lagi santun. Tutur katanya sangat sopan, berbeda jauh kondisinya ketika masih hidup di Porong. Begitu juga istri Drijowongso, lebih kelihatan rapih penampilannya, dan sangat sopan perilakunya. Anak dan istri Drijowongso seolah-olah pernah mengenyam pendidikan formal karena mereka memiliki wawasan yang luas, bahkan pengetahuan keagamaan yang memadai. Batin Drijowongso tersentuh. Ia merasa berhutang budi kepada Muhammadiyah. Pada hari itu juga, ia bertekad untuk terlibat aktif di Muhammadiyah. Pada waktu itu pula, HB Muhammadiyah sedang menggelar Rapat Tahunan (1923) bertempat di rumah R. Wedana Djajengprakosa. Sekretaris HB Muhammadiyah menerima Drijowongso yang bermaksud mengabdi di Muhammadiyah.

Itu baru sepenggal kisah Drijowongso sebagaimana yang dikisahkan oleh Ng. Djojosoegito dalam notulen “Peringatan Perkoempoelan Tahoenan Moehammadijah 30 Maart- 2 April 1923 di Jogjakarta” (Soewara Moehammadijah no 5 dan 6/th ke-4/1923). Di hadapan para peserta sidang, Drijowongso mengucapkan banyak terima kasih kepada Muhammadiyah. Tanpa ragu, Drijowongso menyatakan siap mengabdi di Muhammadiyah. Dia pun dipilih sebagai sekretaris Bagian PKO, mendampingi Kyai Syuja’.

Nama Drijowongso memang tidak banyak dikenal di kalangan Muhammadiyah. Sebab, ia seorang yang berkhidmat dalam berjuang di Muhammadiyah. Bekerja dalam sunyi, tetapi membuahkan hasil yang nyata. Spirit revolusioner tafsir Al-Maun rupanya mampu menggetarkan hatinya. Jika sebelumnya Drijowongso mengenal gagasan-gagasan revolusioner lewat pemikiran-pemikiran Sosialis-Marxis (gerakan kaum buruh), setelah bergaung dengan Muhammadiyah ia menemukan spirit yang sama namun berhaluan religius. Selain mengurus administrasi Bagian PKO, Drijowongso juga aktif menggalang dana untuk membangun rumah miskin dan balai pengobatan yang diperuntukkan bagi para dlu’afa pribumi.

http://suaramuhammadiyah.com/kolom/2016/03/26/siapakah-drijowongso/

Thursday, March 24, 2016

3 Tokoh Muhammadiyah Jatim yang Diabadikan sebagai Nama Rumah Sakit Pemerintah

 Penulis Redaksi - Maret 24, 2016
KH Mas Mansur (x) di depan Poliklinik Muhammadiyah Surabaya di Jl Karang Tembok. Salah satu karya nyata Muhammadiyah dalam bidang Kesehatan. (foto: repro pwm jatim)
PWMU.CO – Muhammadiyah sejak kelahirannya dikenal sebagai gerakan yang konsen pada dunia pendidikan dan kesehatan. Bahkan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, sudah mulai mendirikan sekolah setahun sebelum mendeklarasikan Muhammadiyah itu sendiri. Barulah setelah itu, berbagai sekolah milik Persyarikatan dengan modernisasi metode dan sarana pembelajaran tersebar ke seantero Nusantara.

Pada saat bersamaan dengan menjamurnya amal usaha bidang pendidikan, Muhammadiyah juga mengembangkan amal usaha di bidang kesehatan. Bersinergi dengan berbagai kalangan, poliklinik kesehatan –yang kemudian berkembang menjadi rumah sakit–, juga mulai berdiri-berderetan di bumi Indonesia. Di Jatim sendiri, hingga November 2015, tercatat amal usaha Muhammadiyah bidang Kesehatan sebanyak 72 buah, 29 di antaranya berbentuk rumah sakit, 43 buah Poliklinik, serta Balai Pengobatan (BP), Rumah Bersalin (RB), dan Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA).

Khusus bidang kesehatan, selain melahirkan AUMKes yang seabreg, sudah tentu melahirkan tokoh-tokoh penting di baliknya. Tanpa memperdebatkan apakah tokoh melahirkan sejarah atau sejarah yang melahirkan tokoh, yang jelas ada tokoh-tokoh penting dalam setiap peristiwa penting. Ketokohan para pejuang kesehatan Muhammadiyah ini tidak hanya diakui secara internal, tapi juga diakui secara nasional maupun regional. Tidak heran jika nama-nama mereka juga diabadikan sebagai nama rumah sakit milik negara.

Berikut adalah 3 tokoh Muhammadiyah Jatim yang namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit umum negara.


http://www.pwmu.co/2500/2016/03/3-tokoh-muhammadiyah-jatim-yang-diabadikan-sebagai-nama-rumah-sakit-pemerintah.html

1. RSUD Dr Soetomo Surabaya

Salah satu bangunan RSUD dr Soetomo Surabaya (foto: rsudrsoetomo.jatimprov)
Tidak banyak orang tahu bahwa dr Soetomo yang dijadikan nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Provinsi Jawa Timur di Surabaya itu adalah seorang tokoh Muhammadiyah. Memang dia dikenal sebagai salah satu pendiri Boedi Oetomo, tapi pada saat bersamaan juga tokoh penting Muhammadiyah. Tidak hanya sebagai Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam bidang kesehatan, tapi juga penanggung jawab poliklinik Muhammadiyah Surabaya. Poliklinik yang digawangi itulah yang hari ini menjadi Rumah Sakit KH Mas Mansyur Surabaya, Jl. KH Mas Mansyur.

Di Surabaya, dr Soetomo banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan Muhammadiyah. Termasuk bertukar pikiran dengan KH Mas Mansur –di kemudian hari menjadi Ketua (Umum) PP Muhammadiyah, meski dalam beberapa masalah memang terdapat ketidakcocokan pemikiran. Bersama koleganya, Soetomo mengelola Poliklinik Muhammadiyah yang saat pertama kali dibuka menempati Jl Sidodadi rumah nomor 57, yang tentu saja tanpa digaji.

Bukan hanya bertanggung jawab untuk mengelola poliklinik, bahkan dr Soetomo juga diberi tanggung jawab untuk memperkenalkan organisasi Muhammadiyah kepada khalayak saat acara pembukaan. Padahal acara pembukaan pada tanggal 14 September 1924 itu juga dihadiri langsung oleh perwakilan Pengurus Besar (sekarang Pimpinan Pusat) Muhammadiyah, Hadji Soedja’ dan Hadji Hadikoesoemo. “Njonjah-njonjah dan Toewan-toewan. Atas nama perserikatan kita jang namanja Moehammadijah, ja’ni oentoek memperingati Nabi kita, Nabi Moehammad s.a.w, kami mengoetjapkan selamat datang dan terima kasih oentoek perhatian toewan-toewan, jang tampak pada hari ini,” pidato Soetomo saat pembukaan.

“…haraplah kami hendak menerangkan perserikatan kami pada toewan-toewan. Perserikatan kami ini, sebagai djoega perserikatan lainnja jang memang matjam Djawa jang bertabi’at (bersifat) mendjadikan dan memperbaiki lahirnja ditanah Vorstenlanden…Meskipoen perserikatan kami itoe kelihatannja dan woedjoednja ada berlainan dengan persarikatan yang lainnja jang timboel didoenia pada waktoe jang koerang lebih bersama-sama. Ja’ni persarikatan kami ini ada bersifat Islam. Tetapi pada hakikatnja Persyarikatan kami itoe tiada lain hanja satoe dari beberapa pertoendjok lahirnja pikiran baroe. Jang menggetarkan bahagian antero doenia jang berfikir,” jelas dr Soetomo menjelaskan singkat tentang Muhammadiyah.

Atas peran Soetomo bersama 16 koleganya sesama dokter serta Muhammadiyah Surabaya dalam membangun poliklinik Muhammadiyah, maka sidang Pengurus Besar Muhammadiyah Yogyakarta memutuskan mengangkat Soetomo menjadi Medisch Adviseur Muhammadiyah bidang kesehatan. Salah satu kerja yang menjadi bagian dari Penolong Kesangsaraan Oemoem (PKO).


http://www.pwmu.co/2500/2016/03/3-tokoh-muhammadiyah-jatim-yang-diabadikan-sebagai-nama-rumah-sakit-pemerintah.html/2

2. RSUD dr Soewandhie Surabaya

Salah satu bangunan RSUD dr Soewandhie Surabaya (foto: rs-soewandhi.surabaya)
Pada November 1945, saat Belanda membonceng sekutu ingin kembali menjajah Indonesia, Surabaya menjadi lautan darah. Selama sebulan, terjadi pertempuran face to face antara Sekutu dan rakyat Surabaya. Ribuan orang gugur dalam pertempuran yang diabadikan sebagai Hari Pahlawan itu, serta tidak terhitung berapa korban yang terluka. Keahlian kedokteran Indonesia yang masih minim, membuat tidak banyak orang yang tampil sebagai sosok menonjol. Salah satunya adalah dr Moehammad Soewandhie.

Peran Soewandhie bisa dikata cukup dominan dalam memberi penanganan kesehatan korban perang karena posisinya sebagai koordinator Kesehatan Urusan Perang di Korp Palang Merah. Selain merawat dan menguburkan jenazah korban perang, seksi ini bersama masyarakat juga membuat dapur umum untuk mendukung kelancaran perjuangan kemerdekaan. Selain itu, pascapertempuran 10 November 1945, Soewandhie memimpin ‘pembookingan’ jawatan kereta api untuk mengungsikan pasien ke luar kota.

Saat itulah hampir tidak ada waktu baginya untuk istirahat sejenak sekalipun. Siang dan malam dihabiskan untuk menggordinir petugas medis menggotong korban ke stasiun Gubeng, untuk diberangkatkan ke rumah sakit luar Surabaya. Tidak hanya itu, seksi yang dipimpinnya juga melakukan pengungsian massal dengan alat transportasi apapun: mobil, dokar, hingga cikar. Tak ketinggalan, diapun ‘terpaksa’ ikut mengungsi serta mendirikan beberapa rumah sakit darurat di pengungsian.

Salah satu putra Muhammadiyah ini lebih banyak dikenal kiprahnya di dunia kesehatan. Padahal jauh sebelumnya, Soewandhie adalah tokoh pergerakan nasional yang gigih. Dia juga sempat tercatat sebagai anggota perkumpulan pemuda yang dianggap cikal bakal gerakan nasionalisme Indonesia yaitu Jong Java.

Suami dari Iniek Ismari yang dinikahinya di Kediri pada 28 Mei 1929 ini, selalu berada pada lintasan sejarah kebangsaan. Dari zaman penjajahan Belanda hingga Jepang, kiprahnya terus konsisten memperjuangkan kemerdekaan. Bahkan, ketika masa Jepang, Soewandhie bersama beberapa tokoh surabaya kala itu seperri Roeslan Abdulgani, Dul Arnowo, dan Sungkono selalu berkumpul untuk mengatur strategi menyongsong kemerdekaan 17 Agustus 1945. Rumahnya di jalan Anjasmoro 20 Surabaya merupakan tempat berkumpulnya tokoh-tokoh tersebut sebagai tempat rapat rahasia.

Sebagai tokoh yang berpandangan modern, Soewandhie akhirnya memilih bergabung dengan Muhammadiyah. Sebagai generasi Islam dia merasa perlu memiliki perkumpulan Islam. Disamping itu, Muhammadiyah seakan membuatnya nyaman karena dekat dengan amal-amal shaleh kepada sesama. Salah satu kecocokannya di Muhammadiyah kemudian semakin menjadikan dia sebagai tokoh pelopor kesehatan kala itu.

Di Muhammadiyah dia seperti mendapatkan ruang. Dia terlibat menjadi pengasuh balai kesehatan di Kampementstraat (Jl. KH Mas Masur) mulai tahun 1926. Bahkan, dalam periode kepemimpinan Muhammadiyah Surabaya 1962-1964, dirinya sempat dipercaya sebagai Ketua PD Muhammadiyah. Karena dia kemudian terpilih sebagai ketua Muhammadiyah cabang Surabaya Tengah (satu tingkat di bawah PD), dia memilih sebagai Ketua Cabang tersebut. Sementara untuk ketua PDM Kota Surabaya dijabat HM. Anwar Zain.

Pilihannya menjadi dokter ternyata menjadi panutan di dunia kedokteran, terutama pengabdiannya pada rakyat. Untuk mengenang jasanya sebagai seorang Dokter yang sekaligus seorang pejuang, pemerintah Kota Surabaya mengabadikan namanya sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di kawasan Tambakrejo.  Sosok yang wafat 16 Maret 1987, juga berperan dalam dunia olah raga di Surabaya: salah satu pendiri Surabayase Inlandsche Voetbalbond (SIVB) yang kini berubah menjadi Persebaya.


http://www.pwmu.co/2500/2016/03/3-tokoh-muhammadiyah-jatim-yang-diabadikan-sebagai-nama-rumah-sakit-pemerintah.html/3

3. RSUD dr Koesnadi Bondowoso


Salah satu bangunan RSUD dr Koesnadi Bondowoso (foto: portalkbr)

RSUD Pemerintah Kabupaten Bondowoso ini terletak di Jl. Kapten Pieree Tendean Nomor 3. Meski daerah ini dikenal bukan basis Muhammadiyah, tapi di tempat ini lahir tokoh besar Muhammadiyah. Yaitu Koesnadi, yang memang lebih banyak beraktivitas di Surabaya dan Jakarta. Lahir di Bondowoso, dia menempa diri saat muda di Surabaya dengan aktif di Hizbul Wathan (HW), Kepanduan milik Muhammadiyah.

Melanjutkan perkuliahan kedokteran di Jakarta, lantas dia banyak banyak berkecimpung dalam kegiatan Muhammadiyah. Dengan keahliannya sebagai pakar kesehatan, dalam setiap kepemimpinan PP Muhammadiyah dia selalu diamanahi sebagai Wakil Ketua (sekarang Ketua) yang membidangi Kesehatan. Namanya berkibar secara nasional sejak tahun 1962, sehingga dalam muktamar setengah abad itu dia terpilih sebagai anggota PP Muhammadiyah.

Dalam 6 muktamar kemudian, dia terus terpilih sebagai anggota PP. Mulai muktamar 1965 di Bandung, 1968 di Yogyakarta, 1971 di Ujung Pandan (Makassar), 1975 di Padang, 1978 di Surabaya, hingga yang terakhir pada muktamar 1985 di Surakarta. 11 bulan sebelum pelaksanaan muktamar ke-42 di Yogyakarta, 15-19 Desember 1990, Allah swt memanggilnya terlebih dahulu pada 24 Januari pada tahun yang sama. Pikiran-pikiran segar Koesnadi dalam menyelaraskan Islam dengan perkembangan kesehatan juga dijadikan rujukan negara ketika mengambil kebijakan.

Nama Koesnadi memang erat dengan dunia kesehatan. Di Muhammadiyah, dia selalu diamanahi tugas mengurus tentang kesehatan. Tak heran jika namanya selalu disebut-sebut dalam berbagai pendirian Rumah Sakit Muhammadiyah. Dalam pembangunan RS Siti Khodijah Sepanjang Sidoarjo 1967 misalnya, Koesnadi adalah peletak batu pertamanya. Sedangkan di Jakarta, dia juga tercatat sebagai inisiator pendirian Rumah Sakit Islam Jakarta (RSIJ) Cempaka Putih, dan Rumah Sakit Islam Jakarta (RSIJ) Sukapura.

Reputasi Koesnadi di belantara internasional juga tidak diragukan lagi dalam menyuarakan perbaikan kesehatan bagi umat manusia. Tak heran jika rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta 1983-1990 ini menjadi sosok penting di Indonesia bagi NOVIB (Nederlands Organisatie Voor Internationle Behulpazaam Heid). Yaitu  lembaga pemerintahan Belanda yang memberikan bantuan dana ke pihak-pihak yang memerlukannya. Sangat wajar jika Pemerintah Kabupaten Bondowoso akhirnya mengabadikan namanya sebagai nama RSUD setempat. (kholid)

http://www.pwmu.co/2500/2016/03/3-tokoh-muhammadiyah-jatim-yang-diabadikan-sebagai-nama-rumah-sakit-pemerintah.html/4

Wednesday, March 23, 2016

PP Muhammadiyah Terbitkan Buku Fiqh Air

Kosmopolitanisme Muhammadiyah diantaranya diwujudkan dlm orientasi fiqh yg dikembangkan; fiqh air, fiqh kebencanaan, fiqh difabel, fiqh jurnalistik, fiqh minoritas, dst. Menggantikan fiqh yg berorientasi ritual & ibadah.

PP Muhammadiyah Terbitkan Buku Fiqh Air
Diposting di Maret 4, 2016




Sesuatu hal yang senantiasa perlu kita ingat adalah bahwa Allah SWT lah yang menciptakan alam semesta seisinya, dengan demikian Dia juga lah yang memiliki dan mengaturnya. Dengan menyadari hal tersebut, manusia semestinya senantiasa berpegang kepada pandangan bahwa ia merupakan bagian dari kesatuan kosmos yang tanpa batas, dan hanya menempati jagad manusia, sebuah jagad kecil (microcosmos)—atau yang secara sederhana dapat disebut bumi—yang isinya dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menunjang hajat hidup dan berbagai kepentingannya.

Sebagai salah satu makhluk yang menempati jagad kecil, manusia telah digariskan oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah-Nya [di muka bumi]. Sebagai khalifah manusia, selain diberikan oleh Allah SWT untuk dapat memanfaatkannya, memiliki tugas untuk merawatnya juga, dan tidak mengekploitasinya secara berlebihan. Air sebagai salah satu unsur penyusun jagad kecil sudah ditakdirkan oleh Allah SWT sejak sebelum berjalannya waktu untuk dapat memberi manfaat, berkah, selain juga dapat menjadi bencana bagi manusia.

Adalah sesuatu yang penting untuk mengetahui makna air sebagaimana yang digariskan oleh Allah SWT melalui Al-Qur’an dan hadis Rasulullah, sehingga kita dapat menjadi manusia yang dapat memanfaatkannya secara tepat. Penggunaan air, dapat meliputi berbagai unsur lagi, sebagaimana yang akan dijelaskan di bab-bab dalam buku ini, yang menyangkut ketauhidan, tata nilai, hingga keadilan, yang semuanya telah banyak diungkit dalam Al-Qur’an yang tujuannya tidak lain adalah untuk mengarahkan langkah manusia ke jalan yang lurus, sehingga mereka tidak merugikan satu sama lain. Dengan demikian Penerbit Suara Muhammadiyah berinisiatif untuk menerbitkan buku Fikih Air yang disusun berdasarkan pada Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih ke-28 Tahun 2014 yang merupakan buah pikir dari Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini. Buku yang berdimensi ini 20 x 12,5 cm dengan ketebalan xxvi + 102 halaman ini dibanderol dengan harga Rp 27.000 ini menggarisbawahi dan mengingatkan kembali panduan mengenai nilai-nilai dan pengunaan air yang sesuai dengan yang digariskan oleh Allah SWT, baik melalui Al-Qur’an maupun hadis Rasulullah yang telah dikaji dengan baik oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Nilai-nilai dan pengunaan air yang akan dibahas dengan sangat detail dalam buku ini, tidak hanya meliputi penggunaan dalam tataran prifat, melainkan juga mencakup hingga tataran yang lebih luas seperti masyarakat, pemerintah, hingga pihak swasta.

Melalui buku yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah ini air digambarkan sebagai sesuatu yang harus selalu dihargai, dikelola, dan dimanfaatkan dengan baik dan bijak; dan dengan demikian menghasilkan manfaat dan syafaat yang nyata bagi umat manusia. Semoga buku ini dapat mencerahkan Anda sekalian. Selamat membaca. (adit)
 
http://suaramuhammadiyah.com/buku/2016/03/04/pp-muhammadiyah-terbitkan-buku-fiqh-air/

Monday, March 21, 2016

Pola “Muhammadiyah-Jawa” = “Teteh Melody-JKT48”: Apa Melody harus masuk IMM? (2)


Hubungan Muhammadiyah-Jawa
Melalui Muhammadiyah Jawa, A. Najib Burhani ingin menjelaskan dan menelusuri berbagai dokumen pada rentang waktu 1912 hingga 1930, yang membuktikan bahwa Muhammadiyah juga merupakan representasi dari Islam varian Jawa. Sebab selama ini, banyak kalangan—termasuk anggota Muhammadiyah—yang menganggap bahwa Nahdhatul ‘Ulama’-lah satu-satunya representasi Islam Jawa, terlihat secara kasar bahwa NU lebih dekat dengan tradisi Jawa, melalui tahlilan, slametan, dan mauludan, dibanding Muhammadiyah yang rasanya kurang memberikan apresiasi terhadap tradisi/budaya Jawa. Latar belakang penulisan buku mas Najib ini terkait dengan persoalan bahwa Muahammadiyah, yang dicirikan dengan gerakan puritan Islam, seolah-olah akan merubah semua budaya Jawa yang dianggap sinkretis. Sehingga, tidak bisa dipungkiri pandangan semacam inilah yang sekarang ini menyebar dan parahnya banyak kalangan menerima kenyataan itu taken for granted; apa adanya, tanpa kritik. Yang lebih menguatirkan lagi, fakta berupa dokumen serta berita resmi Muhammadiyah menunjukkan bahwa Muhammadiyah pada masa awal beridirnya sangat erat sekali dengan budaya Jawa, tidak hanya pada Keraton tapi juga Boedi Oetomo (BO) yang dahulu merupakan organisasi priyayi-Jawa, tidak ketahui sebagian besar orang, sehingga pandangan yang terlanjur menyebar tidak bisa dibendung. Sudah banyak kajian para sarjana menegenai hubungan Muhammadiyah dengan Jawa, tetapi belum ada kajian mengenai hubungan keduanya yang terjalin pada masa awal beridirnya. Nah, mas Najib melalui buku ini ingin bersikap kritis terhadap pandangan yang terlanjur mengakar dan diterima apa adanya,  dengan menutup kekosongan kajian tentang Muhammadiyah dalam hubungannya dengan budaya Jawa pada awal berdirinya.

Fokus pertama dari buku mas Najib ini adalah pada hubungan antara Islam dan Jawa. Jawa, sebagaimana juga budaya lain mempunyai apa yang disebut sebagai budaya dalam (deep culture). Budaya dalam ini sifatnya tidak terlihat secara kasat mata. Sedangkan budaya permukaan (surface culture) sebaliknya, bisa dilihat secara kasat mata, yang tercermin melalui bahasa, seni, pakaian, hari besar, makanan dsb. Budaya permukaan Jawa terlihat dari bahasa jawa, yang terdiri dari bahasa ngoko biasa dipakai untuk percapakan non-formal dan ditujukan untuk mereka yang umurnya sebaya, madya (semi-formal) dan kromo yang digunakan untuk percapakan formal, digunakan untuk percakapan dengan orang tua. Dari segi perayaan hari besar, Jawa memiliki beberapa hari besar, seperti grebeg Suro, Mauludan (Maulid Nabi), riyaya (Hari raya ‘idhul fitri dan idhul adha). Pakaian orang Jawa seperti blangkon, tapih untuk perempuan, beskap juga merupakan aspek dari budaya permukaan Jawa. Begitu juga dalam masalah makanan seperti sego tumpeng, bubur abang-putih biasanya untuk acara mithoni (acara peringatan tujuh bulanan kehamilan) dst, dibuat sesuai dengan maksud tertentu. Terakhir, seni Jawa klasik, yang dikenal banyak kalangan dengan jathilan, wayang wong, dan ludruk (h. 18-23). Buku mas Najib ini menekankan pada aspek budaya permukaan (surface culture) dalam memahami dan membaca sikap Muhammadiyah terhadap budaya Jawa.

Sarjana barat yang mengkaji hubungan Islan dengan Jawa bisa dibedakan ke dalam dua pandangan ekstrem: Pandangan Orientalis-Lama dan Pandangan yang berpusat pada Islam. Pertama, disebut oleh mas Najib sebagai Paradigma Orientalis Lama, bahasa keren-nya Old-Orientalist Paradigm yang berpandangan bahwa dalam mengkaji Jawa, sebaiknya para sarjana tidak mengfokuskan diri pada Islam sebagai faktor utama, karena Islam hanya bagian dari berbagai elemen budaya yang tersebar di Jawa, seperti pra-Hindu, Hindu, Budha, dan Kristen. Sehingga, dalam paradigma ini, menempakan Islam sebagai bagian kecil dari budaya Jawa. Para tokoh berparadigma orientalis-lama diwakili oleh Thomas Raffles, Clifford Geertz, dan James L. Peacock.

Pembagian masyarakat Jawa menjadi putihan dan abangan, pada mulanya ditemukan dalam tulisan Carel Poensen, sebagaimana dikutip dalam buku (cat. nomor 21, h. 25). Putihan ialah sebutan untuk orang Jawa yang Islam lahir-batin; tidak hanya sebatas pada status formal saja tetapi juga secara batiniyyah meyakini ajaran Islam. Sedangkan abangan sebutan untuk orang Jawa yang beragama Islam hanya sebatas status-formal saja, tetapi jauh di dalam batinnya masih mengimani agama Jawa (Jawanisme). Pemerintah Belanda juga akhirnya memakai istilah ini untuk membagi masyarakat Jawa sebagau usaha untuk menceraikan antara Islam dan adat (Jawa). Proyek ini dijalankan oleh Snouck Hurgronje dan Cornelis Van Vollenhoven untuk menerapkan adat sebagai system hukum di Indonesia pada waktu itu. Hal ini tidak lain hanya untuk semakin menjauhkan nuansa Islam; singkatnya mengadu domba Islam dan budaya. Namun hal tersebut tidak berjalan sesuai rencana, ternyata Islamisasi di Jawa melalui kerajaan/istana bahkan tumbuh dengan massif. Karenanya, pemerintah colonial mengubah strategi. Strategi yang diambil selanjutnya dengan usaha untuk membaratkan Jawa. Proyek pembaratan Jawa ini target utamanya adalah para prirayi, sebab mereka (priyayi) mempunyai kekuatan dan otoritas untuk mempengaruhi rakyat biasa dan mereka mempunyai akses pengetahuan yang lebih terbuka pada Barat daripada masyarakat biasa. Akhirnya, banyak kalangan priyayi yang sebelumnya dekat dengan Islam, harus terpisah bahkan semakin jauh dari Islam. Terjadilah trikotomi santri-abangan-priyayi yang dipopuleran Clifford Geertz dalam bukunya Religion of Java (1976). Sehingga, bisa dikatakan pertentangan yang terjadi antara Islam dan budaya (adat) tidak bisa dilepaskan dari peranan pemerintah colonial yang tidak menginginkan hubungan harmonis antara keduanya.

Geertz, yang berpandangan dengan gaya orientalis lama, membuat garis demarkasi yang ketat antara Islam dan adat (Jawa). Baginya, Islam hanyalah bagian dari budaya Jawa, yang bahkan pengaruhnya amat kecil dibandingkan dengan elemen lain yang datang sebelum Islam seperti animism, dan Hindu-Budha. Filosofi Jawa seperti andap-asor; alus-kasar; semuanya didasari pada pemikiran filosofi Hindu dan Budha. Sopan-santun serta andap-asor  merupakan turunan dari konsep kasta dalam Hindu, yang digunakan dalam berhubungan sosial dengan orang yang lebih tinggi status sosialnya. Konsep alus-kasar, dalam bidang seni, menggambarkan pemikiran Hindu juga, istilah seni alus untuk kasta Brahma-Ksatria, dan kasar untuk masyarakat biasa (Weisya). Semua sarjana yang disebut dalam kelompok ini berpadangan bahwa Islam bukanlah faktor utama, karenanya Islam menjadi inferior. Pandangan tersebut tentu saja sejalan dengan pandangan orientalis Barat dalam melihat Islam (h. 24-34).

Pandangan kedua, pandangan yang berpusat pada Islam, atau Islam-centered. Sarjana barat yang sependapat dengan pandangan ini diwakili oleh Mark R. Woodward, Marshall G.S Hodgson dan Willliam R. Roff. Pandangan ini bertolak belakang dari pandangan Orientalis-lama. Pandangan ini menyatakan bahwa Islam lah faktor yang dominan dalam membentuk masyarakat Jawa, bukan Hindu-Budha seperti disebut oleh orintalis lama. Mas Najib mendasarkan argument pandangan ini dari Mark Woodward, yang juga turut hadir dalam acara Diskusi Majelis DIKTI waktu lalu. Dalam berbagai penelitian dan berbagai temuan Woodward dalam Islam in Java (1989), agama di Jawa tidaklah punya akar Hindu-Budha. Tidak cukup bukti untuk menyatakan bahwa Hindu-Budha punya pengaruh pada agama masyarakat Jawa. Misalnya saja, dalam budaya grebeg mulud (peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW), Woodward tidak menemukan lagi unsur-unsur Hindu-Budha dalam acara tersebut, tidak ada lagi epic Mahabharata dalam setiap detail acaranya. Islam telah menjadi agama resmi, dimana etika dan tata krama perbuatan juga bersandar kepadanya. Karena pola Islamisasi di Jawa berlangsung dari atas ke bawah (top-down) sehingga ketika Islam telah menjadi agama resmi istana, maka hal itu pula secara perlahan akan meresap dan diparaktikkan oleh masyarakat biasa yang berada di luar istana. Woodward menambahkan bahwa Hindu-Budha tidak lagi menjadi pondasi dasar budaya Jawa. Sebab Islam sudah beradaptasi dengan budaya pra-Islam, kemudian memunculkan tradisi baru yang justru sarat akan nilai-nilai Islam. Singkatnya, Islam telah merasuk begitu dalam pada budaya Jawa (h. 39-44).

Fokus kedua  dari buku ini menjelaskan tentang lingkungan sosial dimana Muhammadiyah didirikan, serta sikap Muhammadiyah dalam merespon budaya Jawa. Tidak bisa dipungkiri bahwa lingkungan serta konteks sosial dimana Muhammadiyah bediri, berkaitan erat dengan budaya Jawa. Muhammadiyah berdiri di Kauman, sebuah tempat yang sangat dekat dengan Keraton; pusat budaya Jawa Jogja. Keraton kasultanan Ngayogyakarta merupakan warisan dari Mataram Islam. Selain Keraton Jogja, pecahan Mataram Islam dibagi menjadi Keraton Kasunanan Surakarta. Pembangunan arsitektur keraton Jogja, menurut Woodward, merupakan data kongkret-komprehensif bahwa Islam telah mengakar di lingkungan Keraton. Bahkan dalam desain arsitekturnya, keraton dibangun berdasar pada konsep tasawwuf Islam yang menggambarkan hubungan antara manusia dengan Allah.

Selain itu, aspek yang tak kalah penting untuk menjelaskan lingkungan yang melingkupi pendirian organisasi Islam tertua ini adalah, bahwa Ahmad Dahlan merupakan seorang abdi dalem Keraton. Dalam wawancaranya bersama Gusti Joyo, mas Najib menemukan informasi bahwa julukan Ahmad Dahlan adalah Raden Ngabehi (R. Ng.), bukan Mas sebagaimana dijelaskan para sejarawan. Jika dilihat dari garis keturunannya, Ahmad Dahlan termasuk dalam keturunan Kyai-priyayi. Ayahnya, KH Abu Bakar bin Kyai Mas Sulaiman merupakan seoarang ketib dan abdi dalem yang menangani urusan keagamaan. Seteah kematian ayahnya, Ahmad Dahlan ditunjuk untuk menjadi ketib amin sehingga ia juga menjabat posisi resmi di Keraton. Salah satu tugasnya ialah memimpin grebeg, yang terdiri grebeg Mulud (peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad) dan  grebeg Besar (peringatan riyaya) serta acara keagamaan lain. Dalam posisi seperti ini, semakin meneguhkan bahwa sesungguhnya Ahmad Dahlan sangat menghormati tradisi Jawa. Sehingga terlihat jelas bahwa Muhammadiyah melakukan proses adaptasi terhadap budaya Jawa dengan cara yang baik, santun dan damai.

Ahmad Dahlan tidak saja menjadi abdi dalem tetapi ia juga menjadi anggota dari salah satu organisasi kebudayaan Jawa modern, Boedi Oetomo (BO), yang aggotanya terbatas pada kalangan priyayi saja. Pada tahun 1909, ia masuk menjadi anggota Boedi Oetomo setelah diperkenalkan oleh Mas Djojosumarto. Organisasi ini membuat Ahmad Dahlan menjadi anggota aktif sampai wafatnya pada 1923.

Hubungan yang terjalin antara BO dan Ahmad Dahlan semakin erat dengan pembentukan Muhammadiyah. Pada awal gagasan pendirian Muhammadiyah, Ahmad Dahlan banyak dibantu oleh BO. Diskusi mengenai aturan administrasi pendirian organisasi baru juga banyak dilakukan Ahmad Dahlan bersama pengurus Boedi Oetomo. Pada masa itu, pemerintah Belanda tidak mudah mengizinkan berdirinya organisasi baru, karena itu pada proses kelengkapan administrasi BO juga melakukan supervisi langsung. Masuknya tujuh (7) anggota Muhammadiyah ke BO merupakan saran dari BO agar bisa memudahkan persyaratan administrasi perizinan pendirian organisasi secara resmi, merupakan salah satu contohnya. Tidak hanya itu, setelah berdirinya Muhammadiyah, hubungan kedua organisasi ini pun berlangsung harmonis. Beberapa guru dari sekolah BO mengajar di sekolah Muhammadiyah begitu juga sebaliknya, guru-guru agama Muhammadiyah diperkenankan mengajar di sekolah pemerintah seperti H.K.S Purowerjo dan OSVIA di Magelang, Jawa Tengah. Inilah kiranya jalan Muhammadiyah dalam merasionalisasi dan modernisasi masyarakat Kauman khususnya kala itu, yaitu dengan jalan pendidikan. Sedangkan dalam upayanya membendung proyek kristenisasi di Jawa yang didudukung oleh pemerintah Belanda kala itu, Muhammadiyah mulai mendirikan rumah sakit sebagaimana dilakukan oleh Kristen (h. 72-6).

Dalam konteks sosial seperti dijelaskan diatas, Muhammadiyah tidak akan bisa dilepaskan dari budaya Jawa. Alih-alih mengutuk budaya Jawa, Ahmad Dahlan beserta para anggota Muhammadiyah awal sangat mengapresiasi tradisi Jawa. Tradisi Kauman dimana Muhammadiyah lahir didukung dengan sebagian besar anggota Muhammadiyah awal merupakan abdi dalem, termasuk sang pendiri Ahmad Dahlan menjadikan organisasi Islam ini tidak bisa keluar dari tradisi/budaya Jawa. Tercatat tujuh dari Sembilan pendiri Muhammadiyah pada perijinan resmi kepada pemerintah adalah abdi dalem, dua yang lain juga masih keturunan priyayi serta keturunan abdi dalem pamethakan (pejabat urusan agama keraton) (h. 82-4). Apalagi kedekatan Ahmad Dahlan kepada Boedi Oetomo semakin menunjukkan keterbukaan Muhammadiyah untuk belajar dari organisasi kebudayaan (Jawa) ini. Sehingga hampir seluruh dokumen yang digunakan mas Najib memberikan gambaran bahwa sikap Muhammadiyah pada budaya Jawa bisa dilihat terutama kali pada budaya permukaan: dari aspek perilaku, bahasa, busana, dan nama.

Dalam berperilaku, Ahmad Dahlan (dan Muhammadiyah) tidak pernah melanggar aturan, unggah-ungguh budaya Jawa (Keraton). Bahkan, ia sebagai ketib amin berhubungan baik dengan Sultan (Raja). Selain itu, anggota Muhammadiyah lain, yang juga merupakan abdi dalem keraton juga turut serta dalam mengapresiasi tata cara perilaku Jawa. tidak hanya itu, sebagai ketib amin, Ahmad Dahlan menjalankan tugas untuk mengurus acara besar kegamaan Keraton yang selalu rutin diadakan, seperti grebeg Mulud yang dilaksanakan sebagai peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW, grebeg Besar dilaksanakan ketika hari raya kurban hingga Sekaten. Dari sini terlihat sikap jelas Muhammadiyah dalam memberikan apresiasi terhadap budaya Jawa. hingga saat ini, Muhammadiyah tidak mengecam grebeg (h. 95-101).

Tidak hanya dalam aturan perilaku Muhamamdiyah mengapresiasi budaya Jawa. Dari sisi bahasa, Muhammadiyah di masa awal juga menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa penerjemahan al-Qurān. Inilah pandangan Muhammadiyah, yang membolehkan penerjemahan al-Qurān dengan bahasa selain bahasa Arab (a’jami). Selain itu, dalam hal  penerbitan Muhammadiyah juga menggunakan bahasa Jawa dan Melayu. Dari sisi ibadah, Ahmad Dahlan bahkan membolehkan orang yang belum mampu sholat dengan bahasa Arab, supaya belajar dahulu menggunakan bahasa Jawa. Hingga dalam penyampaian khutbah Jum’at, yang pada saat itu sebagian besar disampaikan menggunakan bahasa Arab, Muhammadiyah memulai penggunaan bahasa Jawa, dengan alasan supaya mudah dipahami dan dimengerti jama’ah.

Beskap, belangkon, kuluk, atela merupakan pakaian yang sering digunakan oleh anggota Muhammadiyah. Inilah bentuk kecintaan pada budaya Jawa. hampir semua foto-foto dokumen lama menunjukkan jelas bahwa sebagian besar memakai baju khas Jawa. Apalagi perihal nama, banyak nama Jawa dalam anggota (juga pendiri) Muhammadiyah, dengan berbagai sebutan seperti Mas, Raden, dan Haji. (h. 102-17).

Focus Ketiga dari buku ini yaitu pergeseran sikap Muhammadiyah terhadap budaya Jawa.  Pembahasan sebelumnya telah menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak pernah menentang budaya Jawa bahkan dalam banyak hal mengapresiasi. Namun seiring berjalan waktu, banyak perubahan serta pergeseran sikap Muhammadiyah terhadap budaya. Mas Najib memberikan pemetaan sebab pergeseran itu menjadi faktor internal dan ekternal. Faktor internal banyak dipengaruhi oleh keadaan dalam intern Muhammadiyah. Penyebab pertama pergeseran sikap dari dalam (internal) adalah pengaruh anggota Muhammadiyah dari Minangkabau. Satu tokoh Muhammadiyah yang banyak mempengaruhi pemahaman agama yang keras serta menentang tradisi adalah Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA), dikenal dengan Haji Rasul; Ayah dari Buya Hamka. Haji Rasul, yang merupakan pendiri Muhammadiyah di Minangkabau, dalam setiap dakwahnya sering mengktirik berbagai tradisi adat, sehingga terjadi pertentangan antara ulama tradisional, Kaum Tua dengan Kaum Adat. Karakter pemahaman agama Haji Rasul bercorak revivalis-putiran.

Selain dari pengaruh anggota Minangkabau, pendirian Majelis Tarjih juga merupakan faktor lain yang turut berkontribusi menggeser sikap Muhammadiyah pada budaya. Majelis ini didirikan resmi pada tahun 1928 di Kongres Muhammadiyah ketujuh di Yogyakarta. Pendirian majelis ini awalnya bertujuan untuk menaganai permasalahan khilāfiyyah, terutama dalam masalah yang berkaitan dengan hukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Tetapi setelah berjalan, Majelis ini mulai mengeluarkan fatwa-fatwa yang malah menghambat adanya inovasi, karena khawatir akan bid’ah. Pendirian majelis ini juga terkesan kontradiktif, karena pemahaman Muhammadiyah akan Islam tidak mengikuti (terikat) madzhab tertentu, sehingga pendirian Majelis ini dianggap sebagai madzhabnya Muhammadiyah. Hal ini pula yang menyebabkan Muhammadiyah terlalu sibuk dengan persoalan ibadah dalam makna yang sempit, dari pada mengurus persoalan sosial yang dahulu menjadi ciri utama gerakan Al-Maun. Ini yang disebut dalam buku sebagai Paradigma ber-orientasi Syari’at (Syariah-oriented). Dalam keterkaitannya dengan budaya Jawa, nama-nama Jawa juga berkurang dan banyak bermunculan nama Arab, itu bukan permasalahan tetapi menjadi persoalan ketika nama Arab dianggap lebih mulia dari nama Jawa. Muhammadiyah saat itu tampil sebagai gerakan purifikasi daripada gerakan sosial serta modernisasi (h. 130-43).

Sedangkan dari faktor eksternal, kemenangan Wahabi di Mekkah, menguatnya Nasionalisme dan pendirian Nahdhatul ‘Ulama merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran sikap di Muhammadiyah. Pada tahun 1924 Wahabi yang berhasil menaklukkan Mekkah, bertekad memurnikan ajaran-ajaran agama. Gerakan ini secara eksternal turut mempengaruhi pergeseran Muhammadiyah menjadi sangat puritan. Aspek nasionalisme, juga turut memberikan andil dalam perubahan sikap terutama kali jika dilihat dari aspek bahasa. Bahasa Jawa yang sebelumya menjadi bahasa resmi dalam penerbitan maupun dakwahnya perlahan diganti menjadi bahasa Indonesia, terutama setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945. Lahirnya NU pada 1926, dengan cirinya yang erat dengan budaya/tradisi Jawa, semakin meneguhkan posisi Muhammadiyah sebagai ‘lawan’-nya, karena Muhammadiyah pada saat itu cenderung kepada gerakan purifikasi. Sehingga tergambar citra bahwa Muhammadiyah lebih dekat dengan Wahabi dan NU dekat dengan budaya Jawa (h. 144-6).

Pada saat itulah kiranya pertama kali lahir pandangan yang selalu mempertentangkan Muhammadiyah dan Nahdhatul ‘Ulama. Pandangan itu yang senantiasa diulang-ulang, direpoduksi sehingga secara tidak sadar mengakar kuat dalam benak dan alam bawah sadar kita. Dari titik inilah sebetulnya, perpecahan pandangan yang banyak menghubungkan Muhammadiyah dengan ideology Wahhabi bisa dijelaskan dengan bijak. Karena bagaiamanapun juga, kelahiran Muhammadiyah tidak akan pernah bisa dilepaskan dari tradisi Jawa, baik personal pendirinya (mayoritas abdi dalem Keraton, berperilaku Jawa, berbahasa, bernama dan berbusana Jawa), maupun secara organisatoris; yang dalam pendirian serta perkembangannya banyak dibantu Boedi Oetomo. Begitu sebaliknya, Keraton sebagai symbol budaya Jawa bagi masyarakat Kauman (Jogja pada umumnya), tidak akan bisa melepaskan bagian sejarah perjalanannya dari Muhammadiyah.

Begitulah kiranya gambaran hubungan Muhammadiyah-Jawa. Jika kita mau melihat sejarah dengan jernih, tampak sekali bahwa Muhammadiyah sangatlah mengapresiasi budaya Jawa, dan tidak cenderung kepada gerakan Wahabi—sebagaimana tergambar di benak sebagian orang saat ini. Muhammadiyah dan Jawa bukanlah entitas yang saling bertentangan tetapi saling mengisi dan berdialog dengan cara: yang Islam dan Jawa punyai yaitu halus, damai dan bijak. Sehingga bisa dikatakan Muhammadiyah adalah Islam-Jawa. 

Retrieved from: https://rifdoisme.wordpress.com/2016/03/17/pola-muhammadiyah-jawa-teteh-melody-jkt48-apa-melody-harus-masuk-imm-2/#more-616

Pola “Muhammadiyah-Jawa” = “Teteh Melody-JKT48”: Apa perlu Melody masuk IMM? (1)


Perbincangan mengenai Muhammadiyah tampaknya tidak akan pernah selesai dibicarakan. Mulai dari sekedar perdebatan klasik seputar permasaahan fiqhiyyah (furu’iyyah) seperti qunūth, tahlilan, dan slametan hingga penelitian akademik, dengan topic yang beragam. Sejak dahulu, Muhammadiyah memang salah satu organisasi keagamaan Islam di Indonesia yang banyak dijadikan objek penelitian, tidak hanya peneliti dalam negeri namun juga luar negri. Salah satu penelitian bercorak antropologis mengenai Muhammadiyah adalah karya dari Mitsuo Nakamura (1976) yang berjudul The Crescent Arises Over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town. Dalam karyanya ini, Nakamura banyak membahas mengenai hubungan Muhammadiyah dengan lokalitas budaya Jawa pada abad kedua-puluh. Kalau dari namanya, tentu saja kita bisa menebak, dari mana Eyang Nakamura berasal? Betul sekali, bukan dari Korea, tapi dari negara tempat lahirnya AKB48: Jepang. Belio ini merupakan salah satu peneliti luar negri yang dengan setia mengkaji Muhammdiyah selama berpuluh-puluh tahun, bahkan belio juga menyempatkan hadir di Muktamar Muhammadiyah. Tentu saja tidak untuk nyalon jadi formatur, tapi untuk menyaksikan bagaimana organisasi Muhammadiyah—yang telah ia teliti berpuluh tahun ini—menyelenggarakan majelis tertingginya serta keputusan apa saja yang dihasilkan. Begitulah setianya para peneliti Muhammadiyah mencurahkan waktunya untuk senantiasa mengupgrade informasi, serta menambah referensi informasi melalui dokumen-dokumen resmi Muktamar.

Saya selalu bertanya sendiri, Lah saya, yang secara legal-formal jadi kader Muhammadiyah melalui organisasi otonom (ortom)-nya, sudah ngapain? Sekadar membaca naskah dan dokumentasi Muktamar saja, masih terselip rasa malas. Mengapa para peneliti (baik dalam maupun luar negri) sebegitu giat dan serius memahami organisasi ini? Pertanyaan ini patut untuk senantiasa dijadikan bahan refleksi bersama.

Perbincangan mengenai Muhammadiyah akhir-akhir ini juga ramai terjadi di media online, bukan membincangkan persoalan tahlilan-slametan-qunūth tapi soal kedekatan ideology Muhammadiyah dengan ideology Wahhabi. Tentu saja, hal seperti itu tidak mengherankan, sebab organisasi yang didirikan Raden Ngabehi Ahmad Dahlan[1] ini mengusung misi purifikisi (satu lagi dinamisasi) dengan slogan al-rujū’ ilā l-Qur’ān wa l-sunnah, tidak jauh berbeda lah secara etimologis sama gerakan Wahabi, tapi secara pemahaman dan praktik purifikasi tentu saja keduanya memiliki perbedaan. Selanjutnya perbincangan ini direspon website  Suara Muhammadiyah (SM) dengan editorial berjudul Muhammadiyah Lā Wahhabiyah. Dalam tulisan itu dinyatakan bahwa pihak yang mengaitkan organisasi Muhammadiyah (serta ormas Islam modern lain) dengan Wahabi merupakan pihak yang sama dengan dulu; tidak suka dengan ancaman Muhammadiyah terhadap basis-massa di akar rumput yang “terbiasa memelihara tradisi yang berbau syirk, bidah dan khurafat atau TBC”.[2] Pada paragraf sebelumnya, selain bantahan terhadap pengaitan Muhammadiyah dengan Wahhabi, tulisan itu menjelaskan masalah pihak yang mencoba mengaitkan Muhammadiyah dengan pelaku bom Sarinah; yang diduga pelakunya “bukan dari Pesantren NU”. Pernyataan ini, menurut editorial SM memojokkan pesantren lain, yang bukan dari NU, “Suatu pengaitan yang ceroboh dan menyimpan maksud negatif untuk memojokkan kembali Muhammadiyah.”

Menurut hemat saya, tanggapan editorial SM, alih-alih menjernihkan susasana, malah berpotensi akan menyulut perdebatan lain. Meskipun di akhir tulisan menyatakan, bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan Islam tertau di Republik ini tidak akan terhasut oleh pandangan atau pendapat yang berpotensi menyudutkan gerakan ini, tetapi hal itu tentu saja tidak perlu dilakukan dengan (juga) menyudutkan pihak lain—yang barangkali tidak pernah bermaksud menyudutkan Muhammadiyah. Tertutama kali, jika memang tulisan itu ditujukan untuk membalas pernyataan ormas Islam lain, yang disebut sebagai “pemelihara TBC”. Maka, perlu sikap bijak dalam menjernihkan suasana ini, tidak dengan reaktif saja, tetapi perlu ada komunikasi dan tabayyun, agar jelas posisi permasalahan ini. Di tengah-tengah perdebatan yang ada di media maya, di sisi lain muncul satu contoh baik dalam menanggapi perdebatan itu, yang ditunjukkan dalam Diskusi Bulanan Majelis Pendidikan Tinggi dan Penelitian Pengembangan (Majelis DIKTI-LITBANG) PP Muhammadiyah, bertajuk: “Muhammadiyah dan Budaya Jawa”. Melalui diskusi ilmiah seperti ini, para warga Muhammadiyah serta masyarakat pada umumnya diharapkan tidak akan mudah digiring pada opini-opini yang mengarahkan pada konflik—minimal sinis—antar organisasi Islam. Tidak hanya itu, diskusi dan kajian ilmiah akan menambah wawasan warga persyarikatan untuk menyikapi “tuduhan” kepada Muhammadiyah dengan jernih, sehingga argumentasi yang digunakan tidak emosional tapi rasional-akademis yang didasari pada temuan dan hasil penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga, diksusi semacam ini sangat perlu dilakukan secara berkala, tidak hanya perihal menjernihkan hubungan Muhammadiyah dengan budaya Jawa dan juga hubungannya dengan Wahabi, tetapi dikembangkan ke pembahasan yang lebih luas.

Diskusi bulanan ini sekaligus membedah buku Dr. Ahmad Najib Burhani yang berjudul Muhammadiyah Jawa. Panelis lain yang turur hadir adalah Dr. Mark Woodward, salah satu pengamat Islam Jawa yang berasal dari negri Paman Sam. Tema diksusi ini tentu masih amat jarang didengar. Saya menduga, kelangkaan judul/tema kajian yang mencoba menghubungkan Muhammadiyah dengan budaya Jawa, karena itu merupakan hal tabu, bagi aktivis, anggota, pimpinan serta simpatisan. Muhammadiyah selama ini selalu digambarkan sebagai organsasi yang berseberangan dengan budaya, yang selama ini dikaitkan dengan corak gerakannya di wilayah purifikasi. Banyak masyarakat awam yang mengganggap sebelah mata pada Muhammdiyah, saya yakin, banyak juga dari kader serta simpatisan Muhammadiyah yang belum banyak tahu mengenai hubungan Muhammadiyah dengan budaya Jawa, sehingga seolah ada ‘ketakutan’ memperbincangkan Muhammadiyah dengan budaya Jawa.

Buku Muhammadiyah Jawa karya Ahmad Najib Burhani ini ingin menunjukkan bahwa betapa Muhammadiyah di awal hidupnya, terutama KH Ahmad Dahlan sangat erat dengan budaya Jawa. Buku itu merupakan Tesis Master mas Najib (panggilan akrab-nya penulis) yang berjudul The Muhammadiyah’s Attitude to Javanese Culture in 1912-1930: Appreciation and Tension di bidang Studi Islam Fakultas Teologi Universitas Leiden, Belanda pada tahun 2004. Buku ini, sejauh yang saya tahu, sebelum diterbitkan oleh Penerbit Suara Muhammadiyah, pernah diterbitkan oleh Penerbit Al-Wasat Publishing House pada tahun 2010.

Identiknya Muhammadiyah dengan gerakan pemurnian di Arab Saudi (Wahabi) tentu saja tidak hanya menimbulkan perdebatan tapi juga berpotensi menyulut sinisme antar gerakan Islam. Padahal, gerakan berlambang matahari ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari budaya Jawa, bukan pada Wahhabi. Hubungan Muhammadiyah-Jawa yang coba digali dalam buku Muhammadiyah Jawa tampak begitu erat hubungannya dengan branding Melody-JKT48. Tentu saja ini membuat kita tertawa (sinis juga, kayaknya). Muhammadiyah Jawa merupakan satu usaha untuk menjelaskan bahwa Muhammadiyah tidak akan pernah bisa dipisahkan dari tanah kelahirannya: Kauman, yang secara geografis letaknya sangat dekat dengan Keraton sebagai pusat kebudayaan Jawa. Muhammadiyah menjadi tampak sangat njawani, bukan hanya karena letak geografisnya saja, tetapi dalam kelahirannya pun, tujuh (7) dari sembilan orang pendirinya merupakan abdi dalem keraton, terkhusus Ahmad Dahlan yang juga seorang ketib amin.

Di belahan dunia lain (di luar Muhammadiyah maksudnya), hal serupa juga terjadi pada teh Melody JKT48. Ketika orang menyebut Melody, saya kira, banyak orang akan mengaitkannya dengan JKT48, bahkan sejak dalam pikiran, kata mbah Pram. Tidak bisa menjelaskan teh Melody secara komprehensif saat ini tanpa keterkaitan-eratnya dengan—apa yang disebut idol group—JKT48, begitu sebaliknya, memahami perkembangan serta gerak-gerik JKT48 tidak bisa tidak akan membahas tentang teh Meoldy, yang saat ini nota-benenya menjadi General Manager di JKT48. Tidak hanya itu menurut saya yang menarik. Melody berasal dari latar belakang tradisi sunda, yang jauh berbeda dari tradisi JKT48 yang hampir semua konsepnya tidak pernah dilepaskan dari (Kapitalisme a la) Jepang membuat semakin menarik melihat akulturasi atau adaptasi yang terjadi sehingga terbentuk semacam branding di benak semua orang: Melody JKT48. Begitu pula Muhammadiyah yang coba dipaparkan dalam buku mas Najib ini, menggambarkan adaptasi Muhammadiyah terhadap Jawa yang dilakukan dengan sangat apik dan unik.

Tulisan saya ini mengacu pada informasi serta data yang ada dalam buku ini. Karena dalam buku Muhammadiyah Jawa telah banyak dijelaskan mengenai hubungan Muhammadiyah dengan budaya Jawa (meskipun nanti saya akan jelaskan secara singkat). Sumber untuk pembahasan Melody JKT48 dilakukan dengan teknik wawancara fans JKT48, data informasi dari website resmi JKT48 serta analisis video yang relevan dengan pembahasan ini. Tulisan ini sejujurnya ingin menjawab pertanyaan: Bagaimana pola Muhammadiyah-Jawa berhubungan dengan Melody JKT48 (karena Melody ada di group JKT48, maka disingkat menjadi Melody JKT48)? Apa peran ortom dalam membangun Muhammadiyah-Jawa pada masa sekarang? Bagaimana seharusnya IMM memahami budaya Jawa?

[1] Berdasarkan wawancara Ahmad Najib Burhani dengan GPBH Joyokusumo, gelar Raden Ngabehi (R. Ng.) ini disematkan kepada Ahmad Dahlan (Burhani, 2010: 55, catatan kaki nomor 80).
[2] Lihat http://suaramuhammadiyah.com/editorial/tajuk/2016/03/09/muhammadiyyah-la-wahhabiyyah/  diposting pada 9 Maret 2016, diakses 12 Maret 2016 pukul 19.00 WIB.

Retrieved from: https://rifdoisme.wordpress.com/2016/03/16/pola-muhammadiyah-jawa-teteh-melody-jkt48-apa-perlu-melody-masuk-imm/#more-610

Sunday, March 20, 2016

Al-Munir dan Kyai Ahmad Dahlan


Oleh Mu’arif

Padang Panjang, 1916. Seorang ulama terkemuka dan sekaligus pengelola majalah Islam baru saja pulang dari kunjungannya ke Semenanjung Malaya (semenanjung besar di barat daya pulau Sumatera yang dipisahkan oleh selat Malaka, kini disebut Malaysia) dalam rangka memenuhi undangan dari para pembaca Al-Munir. Setahun kemudian, ia langsung mempersiapkan kunjungan berikutnya ke Pulau Jawa (1917). Ulama terkemuka itu bernama Haji Abdulkarim Amrullah atau lebih dikenal dengan sebutan Haji Rasul yang tidak lain adalah ayah kandung Buya HAMKA (Haji Abdulmalik Karim Amrullah).

Dari Padang naik kapal menuju Batavia. Ia disamput oleh Dt. Tumenggung, orang Minangkabau yang menetap di Batavia. Dari Batavia menuju Bandung, bertemu Abdul Muis, orang Minang yang menjadi tokoh pergerakan nasional. Dari Bandung diteruskan ke Pekalongan, lalu ke Surabaya.

Haji Rasul berkunjung ke Pulau Jawa ketika kekuatan pergerakan umat Islam semakin menggeliat di bawah bendera Syarikat Islam pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya (Jawa Timur). Sosok Tjokro memang telah menginspirasi kader-kader pergerakan nasional. Ia memimpin SI cabang Surabaya secara independen, tidak terikat secara struktural dengan Syarikat Islam (sebelumnya bernama Syarikat Dagang Islam) pimpinan Haji Samanhudi di Surakarta.

Tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, pengampu Surau Jembatan Besi ini bertemu dan berdialog dengan tokoh-tokoh SI di Bandung, Pekalongan, dan Surabaya. di Pekalongan, ia sempat menemui anak dan menantunya yang telah lama merantau. Pada waktu itu, berita tentang sosok ulama pembaru dari Yogyakarta sudah santer beredar.

Dari Pekalongan, Haji Rasul berkunjung ke Yogyakarta, menemui seorang khatib yang menjadi motor gerakan pembaruan Islam di kampung Kauman. Haji Rasul bertemu dan berdialog dengan Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Dari pertemuan tersebut, Haji Rasul makin mantap menjadi salah satu pembina Muhammadiyah di Padang Panjang, sekalipun ia sendiri tidak pernah masuk dalam struktur kepengurusan organisasi ini. Tetapi menantunya yang tinggal di Pekalongan bahkan menjadi salah satu tokoh yang pernah mengomandani kepengurusan Muhammadiyah di tingkat pusat.

Dialah Buya AR. Sutan Mansur, menantu Haji Rasul dan kakak ipar Buya HAMKA. Buya HAMKA merekam dengan baik perjalanan ayahnya ketika berkunjung ke Yogyakarta dan singgah di rumah Kyai Ahmad Dahlan. Dalam buku Ayahku (1967),

HAMKA mengisahkan bahwa sosok Kyai Ahmad Dahlan sebelum mendirikan Muhammadiyah adalah anggota Jami’atul Khair. Khatib Amin (Kyai Ahmad Dahlan) adalah pembaca setia majalah Al-Urwatul Wutsqa dan Al-Manar—terbit di Mesir. Ketika di Padang Panjang terbit majalah Al-Munir (1911)—dari segi konten mirip Al-Manar—konon Kyai Ahmad Dahlan meluapkan kegembiraannya dengan cara menjadi salah satu pelanggan dan pembaca setia majalah yang menggunakan huruf Arab berbahasa Melayu ini.

Begitu besar pengaruh Al-Munir dalam pemikiran pembaruan Kyai Ahmad Dahlan, konon Haji Rasul selalu mengulang-ulang kisah penerbitan majalah ini dengan gerakan pembaruan Muhammadiyah kepada anaknya. HAMKA sendiri pada waktu itu masih belum bisa memahami ketika ayahnya selalu mengulang-ulang kisah ketika tahun 1911 Al-Munir terbit mengusung gagasan pembaruan Islam. Setahun berikutnya (1912), Kyai Ahmad Dahlan sebagai salah satu pelanggan dan pembaca setia Al-Munir mendirikan organisasi Muhammadiyah. Seakan-akan Haji Rasul hendak menyampaikan kepada anaknya bahwa penerbitan majalah Al-Munir pada tahun 1911 di Padang Panjang dan berdirinya organisasi Muhammadiyah pada tahun 1912 di Yogyakarta adalah satu matarantai pembaruan Islam di tanah air ini.

Ketika HAMKA mulai aktif di Muhammadiyah barulah ia memahami kisah yang sering diulang-ulang oleh ayahnya tentang matarantai gerakan pembaruan Islam dari penerbitan majalah Al-Munir di Padang Panjang hingga berdirinya Muhammadiyah di Yogyakarta. Bahkan, kesaksian K.R.H. Hadjid, salah seorang murid Kyai Ahmad Dahlan, menguatkan tesis ini. Kepada Buya HAMKA, Hadjid pernah menceritakan bagaimana pentingnya majalah Al-Munir dalam mematangkan dan sekaligus menguatkan gagasan-gagasan pembaruan Kyai Ahmad Dahlan. Ketika heboh reaksi para penghulu Kraton Yogyakarta menanggapi gagasan-gagasan pembaruan Kyai Ahmad Dahlan, konon beberapa makalah (artikel) Al-Munir menjadi rujukan untuk menangkis serangan kritik dan cemoohan para penghulu Kraton.

Ketika Al-Munir berhenti terbit pada akhir tahun 1915, para pelanggan dan pembaca setia majalah ini merasakan kehilangan. Tetapi artikel-artikel karangan Haji Abdullah Ahmad, salah seorang redaktur Al-Munir, yang telah dimuat di majalah ini diterbitkan kembali menjadi sebuah buku dengan judul Ilmu Sejati (seputar tauhid).

Kumpulan artikel karangan Haji Rasul yang pernah dimuat di Al-Munir juga diterbitkan kembali dalam berbagai topik. Ketika Haji Rasul bertamu ke rumah Kyai Ahmad Dahlan di Kauman, sang khatib yang tidak lain adalah pelanggan dan pembaca setia Al-Munir memohon ijin untuk menyalin kembali karangan-karangan Haji Rasul untuk disebarkan lewat organisasi Muhammadiyah dan jaringan sekolah-sekolahnya.

Retrieved from: http://suaramuhammadiyah.com/kolom/2016/03/19/al-munir-dan-kyai-ahmad-dahlan/

Friday, March 18, 2016

Silsilah Nasab KH Ahmad Dahlan Pendiri PP Muhammadiah

• Nabi Muhammad SAW
• Fatimah Az-Zahra
• Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahra binti Muhammad
• Al-Imam Sayyidina Hussain
• Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin bin
• Sayyidina Muhammad Al Baqir bin
• Sayyidina Ja’far As-Sodiq bin
• Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin
• Sayyid Muhammad An-Naqib bin
• Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi bin
• Ahmad al-Muhajir bin
• Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah bin
• Sayyid Alawi Awwal bin
• Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah bin
• Sayyid Alawi Ats-Tsani bin
• Sayyid Ali Kholi’ Qosim bin
• Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
• Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin
• Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad, India) bin
• Sayyid Abdullah Al-’Azhomatu Khan bin
• Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan bin
• Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Al-Khan bin
• Sayyid Maulana Malik Ibrahim Asmoroqandi / Syech Samsu Tamres bin
• Adipati Andayaningrat / Kyai Ageng Penging Sepuh / Syarif Muhammad Kebungsuan II
• Kyai Ageng Kebo Kanigoro bergelar Kyai Ageng Banyu Biru bergelar Kyai Ageng Gribig I bergelar Sunan Geseng
• Ki Ageng Gribig II .
• Ki Ageng Gribig III / Kyai Getayu
• Ki Ageng Gribig IV
• Ki Demang Juru Sapisan
• Ki Demang Juru Kapindo
• Kyai Ilyas
• Kyai Murthada
• KH. Muhammad Sulaiman
• KH. Abu Bakar
• KH Ahmad Dahlan Pendiri PP Muhammadiyah.

Mungkin akan ada penyesuaian data silsilah diatas bila diketemukan data lbh tua lagi.

Data Silsilah Nasab KH Ahmad Dahlan diatas merujuk catatan kuno Pangeran Kajoran tahun 1677 yang menyebutkan bahwa Kyai Ageng Gribig Jati Anom bernama lain Sunan Geseng murid dari Sunan Kalijaga dan Syech Siti Jenar serta menantu dari Sunan Pandanaran II beliau lebih di kenal dengan sebutan Kyai Ageng Kebo Kanigoro dari Pajang. Pada jaman dulu jamak satu orang mengunakan beberapa nama penyamaran untuk menyembunyikan jati diri mereka atw menghindar dari kejaran tentara Demak Bintaro.

Sejarah Kyai Ageng Banyu Biru alias Kyai Ageng Kanigoro alias Kyai Ageng Gribig alias Sunan Geseng diulas kisahnya di dalam kitab kuno Sunan Tembayat 1443 saka sebagai sumber data silsilah KH Ahmad Dahlan tersebut diatas.
Semoga bermanfaat ……….

  






Sumber: http://ranji.sarkub.com/silsilah-nasab-kh-ahmad-dahlan-pendiri-pp-muhammadiah-yang-sesungguhnya-masih-saudara-sepupu-gus-dur-nu/ 

Komentar dari Kanzum Qalam (melalui FB Muhammadiyah Studies, 18 Maret 2016): Mungkin kami agak berbeda, kami lebih yakin dengan penelitian murid langsung KH. Ahmad Dahlan, yaitu Kyai Sudja' , yang mengatakan bahwa KH. Ahmad Dahlan keturunan langsung Sunan Giri...

 Silsilah KH. Ahmad Dahlan adalah sebagai berikut :

01. Sunan Giri I (Prabu Satmata), salah seorang anggota wali songo, berputera


02. Sunan Giri II (Sunan Dalem), penguasa Giri Kedaton 1506-1546, berputera

03. Pangeran Kedhanyang (Ki Ageng Gribig I), makamnya berada di kota Malang. Penduduk setempat mengenalinya sebagai adik Sunan Giri (lebih tepatnya adik Sunan Giri IV/Sunan Prapen), berputera

04. Ki Ageng Gribig II, sosok inilah yang kemudian menjadi suami Raden Ayu Seledah, puteri Sunan Prapen (Sunan Giri IV), berputera

05. Ki Ageng Gribig III, yang merupakan Guru Sultan Agung Mataram, serta menjadi pelopor acara “Yaqowiyu”, yang dimulai pada sekitar tahun 1589 Masehi.

Ki Ageng Gribig III dalam salah satu versi yang beredar, merupakan putera dari Ki Ageng Gribig yang tinggal di Gribig. Makam Ki Ageng Gribig III, berada di Jatinom Klaten, berputera

06. Ki Ageng Gribig IV, sosok yang membantu Sultan Agung dalam mengatasi gejolak politik di Palembang (tahun 1636M), serta menjadi adik ipar Sultan Agung Mataram, berputera

07. Demang Jurang Juru Sapisan, berputera

08. Demang Jurang Juru Kapindo, berputera

09. Kyai Ilyas, berputera

10. Kyai Murtadha, berputera

11. Kyai Muhammad Sulaiman, berputera

12. Kyai Abu Bakar, berputera

13. Kyai Haji Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah...

Catatan :
(*) Pada masa Sunan Giri II (Sunan Dalem), sekitar tahun 1535, Giri Kedhaton mendapat serangan dari Adipati Sengguruh.

Berdasarkan Tedhak Dermayudan, serangan ini berhasil ditahan oleh putra Sunan Giri, yang bernama Pangeran Kedhanyang. Bukan itu saja, kemenangan ini memberi peluang Islam menyebar di daerah Jaha, Wendit, Kipanjen, Dinaya dan Palawijen.

Pangeran Kedhanyang di-informasikan bermukim daerah Gribig Jawa Timur. Dan kehadiran Sang Pangeran di daerah ini, bukan tidak mungkin menjadi cikal bakal penguasa Gribig, yang dikenal sebagai Ki Ageng Gribig.

(*) Silsilah Sunan Giri :

Sunan Giri I (Prabu Satmata) bin Maulana Ishaq bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Maulana Husin Jumadil Kubro bin Ahmad Syah Jalaluddin bin ’Abdullah Azmatkhan bin Abdul Malik Azmat Khan bin ‘Alwi ‘Ammil Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath bin ‘Ali Khali Qasam bin ‘Alwi Shohib Baiti Jubair bin Muhammad Maula Ash-Shaouma’ah bin ‘Alwi al-Mubtakir bin ‘Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa An-Naqib bin Muhammad An-Naqib bin ‘Ali Al-’Uraidhi bin Sayyidina Ja’far Ash-Shadiq bin Sayyidina Muhammad al-Baqir bin Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Sayyidina Husain Asy-Syahid bin Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah...

Pembahasan :
Misteri Ki Ageng Gribig, Leluhur Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) ? 

http://kanzunqalam.com/2016/03/14/misteri-ki-ageng-gribig-leluhur-kyai-haji-ahmad-dahlan-muhammadiyah/

Thursday, March 17, 2016

52 Tahun IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah)

Foto dari: http://kebumen.muhammadiyah.or.id/artikel-sejarah-berdirinya-ikatan-mahasiswa-muhammadiyah-detail-321.html 

 Foto dari WA group Kornas Fokal IMM



Foto dari Facebook Ramadhoni Adiyatama

Djazman Alkindi, salah satu pendiri IMM
Foto dari Facebook Sudarnoto Abdul Hakim


KELAHIRAN YANG DIPERSOALKAN
Penulis : Farid Fathoni AF
Diterbitkan Oleh PT Bina Ilmu, Jl Tunjungan 53 E, Surabaya 60275
Cetakan Pertama, 1990
Foto dari: http://kaderbijaksana.blogspot.jp/2015/12/kelahiran-yang-dipersoalkan.html 
Download buku ini

Foto dari WA group Forsilat IMM Ciputat
Download buku ini

Foto dari:
http://mimindigenous.blogspot.jp/2013/05/tak-sekadar-merah-buku-baru.html 
 Foto dari: http://mimindigenous.blogspot.jp/2014/05/genealogi-kaum-merah-pemikiran-dan.html






MENYAMBUT MILAD IMM KE-52
"Kontribusi saya ke Muhammadiyah selama lbh dari 50 th, tak ada artinya dibanding kontribusi Muhammadiyah dlm membangun pribadi saya, terutama saat-saat indah sebagai aktivis Ikatan".

Keterangan Gambar kanan atas:
Rombongan DPP IMM sehabis salat di Mesdjid Baiturahman, Istana Merdeka Nov 1964, berpose brsm bbrp anggota Cakrabirawa, Patwal Presiden RI.
DPP IMM brsm KHA Badawi, Ketua PP Muhammadiyah baru menyerahkan Bintang Muhammadiyah kpd Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi.
Dipojok kiri bawah alm Mas Djazman al Kindi (Ketua DPP IMM) dan saya dipojok kanan atas. Di atas alm Mas Djazman, alm Mas Zuhdi (Wkl Ketua DPP IMM, terakhir WaGub Jatim). Ada Bu Hadiroh PP Aisyiyah sekarang di brs belakang dan Pak Rosyad Sholeh.

LESSONS LEARNED
1. Sebaik-baik kaderisasi dlm Muhammadiyah adalah keterlibatan aktivis Ikatan, dlm berbagai bentuk praksis kegiatan persyarikatan diberbagai bidang dan tingkatan.
Darul Arqom penting, tapi tanpa keterkibatan dlm praksis, DA akan lbh banyak bersifat wacana.
2. Jangan pernah bersikap & beranggapan bhw kita sbg kader telah begitu besar sumbangan kita ke Muhammadiyah, sehingga kita mengaggap persyarikatan sbg milik kita, dan kita merasa berhak meng"acak-acak" Muhammadiyah semau kita dg melupakan paugeran / tata-tertib organisasi.
Nasehat Buya Syafii Maarif patut diteladani, bhw "tanpa Muhammadiyah, saya hanya akan menjadi guru SD Inpres di Desa IDT di Sumatra Barat".
Juga, tanpa Muhammadiyah saya hanya akan jadi gelandangan Ibukota, bergelantungan di bus kota, tanpa seorangpun kenal& menyapa
3. Muhammadiyah sbgmn disebut Prof James L Peacock (North Caroline University) adalah "The Largest Islamic Humanutarian Movement" in the world.
Oleh karena itu, sebagai aktivis persyarikatan, jangan sesekali kita pernah merasa kecil.
Muhammadiyah yg didukung oleh tak kurang dari 30.000 unit organisasi dari Pusat hg ke ranting, ribuan lembaga amal usaha dan puluhan juta kader & anggota, juga dicatat sbg MEGA NGO dan gerakan masyarajat sipil Islami terbesar di dunia, yg sekaligus bersama Saudara kita kaum Nahdiyin, dianggap sbg kelompok Islam moderat dan pilar serta pengawal demokratisasi tanah air (Douglass Ramage & Andrew Mc Tyre, Seeing Indonesia as a Normal Country).
Selamat mensyukuri MILAD IMM ke-52.
Salam juang utk segenap kader; aktivis dan para akumni IMM.
We are proud of you.
"Hanya padaMU Ya ALLAH hamba sembah menghadap",
"Hanya padaMU ya TUHAN hamba palingkan harap".

Arkamaya House, Ciputat, 13 Maret 2016

Foto dan keterangan dari Facebook Sudibyo Markus, salah satu pendiri IMM

Foto dari Facebook Dede Haris Sumarno

Wednesday, March 16, 2016

Kelahiran Yang Dipersoalkan

By: IMM Hatta-Feb → Selasa, 19 November 2013

A. PENDAHULUAN IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) ialah organisasi mahasiswaIslam di Indonesia yang memiliki hubungan struktural dengan organisasi Muhammadiyahdengan kedudukan sebagai organisasi otonom. Memiliki tujuan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah.
Keberadaan IMM di perguruan tinggi Muhammadiyah telah diatur secara jelas dalam qoidah pada bab 10 pasal 39 ayat 3: "Organisasi Mahasiswa yang ada di dalam Perguruan Tinggi Muhammadiyah adalah Senat Mahasiswa dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)”. Sedangkan di kampus perguruan tinggi lainnya, IMM bergerak dengan status organisasi ekstra-kampus — sama seperti Himpunan Mahasiswa Islam mapun KAMMI — dengan anggota para mahasiswa yang sebelumnya pernah bersekolah di sekolah Muhammadiyah.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) didirikan di Yogyakarta pada tangal 14 Maret 1964, bertepatan dengan tanggal 29 Syawwal 1384 H. Dibandingkan dengan organisasi otonom lainya di Muhammadiyah, IMM paling belakangan dibentuknya. Organisasi otonom lainnya seperti Nasyiatul `Aisyiyah (NA) didirikan pada tanggal 16 Mei 1931 (28 Dzulhijjah 1349 H); Pemuda Muhammadiyah dibentuk pada tanggal 2 Mei 1932 (25 Dzulhijjah 1350 H); dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM, yang namanya diganti menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah [IRM]) didirikan pada tanggal 18 Juli 1961 (5 Shaffar 1381 H).
Kelahiran IMM dan keberadaannya hingga sekarang cukup sarat dengan sejarah yang melatarbelakangi, mewarnai, dan sekaligus dijalaninya. Dalam konteks kehidupan umat dan bangsa, dinamika gerakan Muhammadiyah dan organisasi otonomnya, serta kehidupan organisasi-organisasi mahasiswa yang sudah ada, bisa dikatakan IMM memiliki sejarahnya sendiri yang unik. Hal ini karena sejarah kelahiran IMM tidak luput dari beragam penilaian dan pengakuan yang berbeda dan tidak jarang ada yang menyudutkannya dari pihak-pihak tertentu. Pandangan yang tidak apresiatif terhadap IMM ini berkaitan dengan aktivitas dan keterlibatan IMM dalam pergolakan sejarah bangsa Indonesia pada pertengahan tahun 1960-an; serta menyangkut keberadaan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada waktu itu.
Ketika IMM dibentuk secara resmi, itu bertepatan dengan masa-masanya HMI yang sedang gencar dirusuhi oleh PKI dan CGMI serta terancam mau dibubarkan oleh rezim kekuasaan Soekarno. Sehingga kemudian muncul anggapan dan persepsi yang keliru bahwa IMM didirikan adalah untuk menampung dan mewadahi anggota HMI jika dibubarkan. Logikanya dalam mispersepsi ini, karena HMI tidak jadi dibubarkan, maka IMM tidak perlu didirikan. Anggapan dan klaim yang mengatakan bahwa IMM lahir karena HMI akan dibubarkan, menurut Noor Chozin Agham, adalah keliru dan kurang cerdas dalam memberi interpretasi terhadap fakta dan data sejarah. Justru sebaliknya, salah satu faktor historis kelahiran IMM adalah untuk membantu eksistensi HMI dan turut mempertahankannya dari rongrongan PKI yang menginginkannya untuk dibubarkan.
Penilaian yang kurang apresiatif terhadap kelahiran IMM juga bisa terbaca pada jawaban terhadap pertanyaan Victor I. Tanja. Dalam bukunya Tanja mempertanyakan: Barangkali kita akan heran, mengapa Muhammadiyah memandang perlu untuk membentuk organisasi mahasiswanya sendiri? Dari salah seorang anggota HMI (yang tidak disebutkan atau menyebutkan namanya) keluar jawaban, bahwa selama masa pemerintahan Presiden Soekarno dahulu untuk mendapatkan persetujuan darinya, sebuah organisasi harus dapat membuktikan bahwa ia mempunyai dukungan kuat dari masyarakat luas. Untuk memenuhi persayaratan inilah maka bukan saja Muhammadiyah, tetapi semua gerakan sosial politik yang ada di tanah air harus membentuk sebanyak mungkin organisasi-organisasi penunjang.
Daftar isi
·         1 Latar Belakang Sejarah
·         2 Program Kerja
·         3 Pimpinan
·         4 Bibliografi
·         5 Lihat Pula
Latar Belakang Sejarah
Sesungguhnya ada dua faktor integral yang menjadi dasar dan latar belakang sejarah berdirinya IMM, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Yang dimaksud dengan faktor intern adalah faktor yang terdapat dan ada dalam organisasi Muhmmadiyah itu sendiri. Sedangkan faktor ekstern adalah hal-hal dan keadaan yang datang dari dan berada di luar Muhammadiyah, yaitu situasi dan kondisi kehidupan umat dan bangsa serta dinamika gerakan organisasi-organisasi mahasiswa.
Faktor intern sebetulnya lebih dominan dalam bentuk motivasi idealis dari dalam, yaitu dorongan untuk mengembangkan ideologi, paham, dan cita-cita Muhammadiyah. Untuk mewujudkan cita-cita dan merefleksikan ideologinya itu, maka Muhammadiyah mesti bersinggungan dan berinteraksi dengan berbagai lapisan dan golongan masyarakat yang majemuk. Ada masyarakat petani, pedagang, birokrat, intelektual, profesional, mahasiswa. dan sbagainya.
Interaksi dan persinggungan Muhammadiyah dengan mahasiswa untuk merealisasikan maksud dan tujuannya itu, cara dan strateginya bukan secara langsung terjun mendakwahi dan memengaruhinya di kampus-kampus perguruan tinggi. Tetapi caranya adalah dengan menyediakan dan membentuk wadah khusus yang bisa menarik animo dan mengembangkan potensi mahasiswa. Anggapan mengenai pentingnya wadah bagi mahasiswa tersebut lahir pada saat Muktamar ke-25 Muhammadiyah (Kongres Seperempat Abad Kelahiran Muhammdiyah) pada tahun 1936 di Jakarta. Pada kesempatan itu dicetuskan pula cita-cita besar Muhammadiyah untuk mendidirkan universitas atau perguruan tinggi Muhammadiyah.
Namun demikian, keinginan untuk menghimpun dan membina mahasiswa-mahasiswa Muhammadiyah tersebut tidak bisa langsung terwujud, karena pada saat itu Muhammadiyah belum memiliki perguruan tinggi sendiri. Untuk menjembataninya, maka para mahasiswa yang sepaham, atau mempunyai alam pikiran yang sama, dengan Muhammadiyah itu diwadahi dalam organisasi otonom yang telah ada seperti NA dan Pemuda Muhammadiyah, serta tidak sedikit pula yang berkecimpung di HMI. Pada tanggal 18 November 1955, Muhammadiyah baru bisa mewujudkan cita-citanya untuk mendirikan perguruan tinggi yang sejak lama telah dicetuskannya pada tahun 1936, yaitu dengan berdirinya Fakultas Hukum dan Filsafat di Padang Panjang. Pada tahun 1958, fakultas serupa dibangun di Surakarta; kemudian di Yogyakarta berdiri Akademi Tabligh Muhammadiyah; dan Fakultas Ilmu Sosial di Jakarta, yang kemudian berkembang menjadi Universitas Muhammadiyah Jakarta. Kendati demikian, cita-cita untuk membentuk organisasi bagi mahasiswa muhammadiyah tersebut belum bisa terbentuk juga pada waktu itu. Kendala utamanya karena Muhammadiyah—yang waktu itu masih menjadi anggota istimewa Masyumi—terikat Ikrar Abadi umat Islam yang dicetuskan pada tanggal 25 Desember 1949, yang salah satu isinya menyatakan satu-satunya organisasi mahasiswa Islam adalah HMI.
Sejak kegiatan pendidikan tinggi atau perguruan tinggi Muhammadiyah berkembang pada tahun 1960-an itulah kembali santer ide tentang perlunya organisasi yang khusus mewadahi dan menangani mahasiswa. Sementara itu, menjelang Muktamar Muhammadiyah Setengah Abad di Jakarta pada tahun 1962, mahasiswa-mahasiswa perguruan tinggi Muhammadiyah mengadakan Kongres Mahasiswa Muhammadiyah di Yogyakarta. Dari kongres ini pula upaya untuk membentuk organisasi khusus bagi mahasiswa Muhammadiyah kembali mengemuka. Pada tanggal 15 Desember 1963 mulai diadakan penjajagan berdirinya Lembaga Dakwah Mahasiswa yang idenya berasal dari Drs. Mohammad Djazman, dan kemudian dikoordinir oleh Ir. Margono, dr. Soedibjo Markoes, dan Drs. A. Rosyad Sholeh.
Dorongan untuk segera membentuk wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah juga datang dari para mahasiswa Muhammadiyah yang ada di Jakarta seperti Nurwijoyo Sarjono, M.Z. Suherman, M. Yasin, Sutrisno Muhdam dan yang lainnya. Dengan banyaknya desakan dan dorongan tersebut, maka PP Pemuda Muhammadiyah—waktu itu M. Fachrurrazi sebagai Ketua Umum dan M. Djazman Al Kindi sebagai Sekretaris Umum—mengusulkan kepada PP Muhammadiyah—yang waktu itu diketuai oleh K.H. Ahmad Badawi—untuk mendirikan organisasi khusus bagi mahasiswa yang diiberi nama Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah—atas usul Drs. Mohammad Djazman yang--, dan kemudian disetujui oleh PP Muhammadiyah serta diresmikan pada tanggal 14 Maret 1964 (29 Syawwal 1384). Peresmian berdirinya IMM itu resepsinya diadakan di gedung Dinoto Yogyakarta; dan ditandai dengan penandatanganan "Enam Penegasan IMM" oleh K.H. Ahmad Badawi, yang berbunyi:
1.     Menegaskan bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa Islam;
2.     Menegaskan bahwa kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan IMM;
3.     Menegaskan bahwa ilmu adalah amaliah dan amala adalah ilmiah;
4.     Menegaskan bahwa amal IMM adalah lilLahi Ta'ala dan seenantiasa diabdikan untuk kepentingan rakyat.
Sedangkan faktor ekstern berdirinya IMM berkaitan dengan situasi dan kondisi kehidupan di luar dan di sekitar Muhammadiyah. Hal ini paling tidak bertalian dengan keadaan umat Islam, kehidupan berbangsa dan bernegara rakyat Indonesia, serta dinamika gerakan mahasiswa.
Keadaan dan kehidupan umat Islam waktu itu masih banyak dipenuhi oleh tradisi, paham, dan keyakinan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Keyakinan dan praktek keagamaan umat Islam, termasuk di dalamnya adalah mahasiswa, banyak bercampur baur dengan takhayul, bid`ah, dan khurafat.
Sementara itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga tengah terancam oleh pengaruh ideologi komunis (PKI), keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan konflik kekuasaan antar golongan dan partai politik. Sehingga, kendati waktu itu Indonesia telah merdeka selama kurang lebih 20 tahun, namun tidak bisa mencerminkan makna dan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Demokrasi dan kedaulatan rakyat terkungkung, sementara tirani kekuasaan dan otoritarianisme merajalela akibat kebijakan demokrasi terpimpin ala Soekarno.
Keadaan politik Indonesia sekitar awal sampai dengan pertengahan tahun '60-an, tulis Cosmas Batubara, sangat menarik. Banyak pengamat politik yang mengatakan bahwa perkembangan dan kehidupan politik saat itu diwarnai oleh tiga pelaku politik yang amat dominan, yaitu: Diri pribadi Presiden soekarno; ABRI (terutama sekali angkatan Darat); dan PKI. Ketiga kekuatan politik tersebut sangat mewarnai dan memengaruhi perilaku dan orientasi kehidupan berbangsa, dan bernegara di berbagai lapisan dan kelompok masyarakat. Di kalangan organisasi mahasiswa, orientasi dan perilaku politiknya juga terbagi ke dalam tiga kekuatan dominan tadi. Organisasi mahasiswa yang secara tajam mengikuti garis Presiden Soekarno adalah GMNI, dan yang sejalan dengan garis ABRI adalah HMI, PMKRI, dan SOMAL (Sekretariat Organisasi-Organisasi Mahasiswa Lokal). Sedangkan yang mengikuti dan mendukung garis PKI adalah CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia). Di tengah kemelut dan pertentangan garis politik tersebut, pergolakan organisasi-organisasi mahasiswa sampai dengan terjadinya G30S 1965 terlihat menemui jalan buntu dalam mempertahankan partisipasinya di era kemerdekaan RI. Pada waktu itu sejak Kongres Mahasiswa Indonesia di malang pada tanggal 8 Juni 1947, organisais-organisasi mahasiswa seperti HMI, PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia), PMKI (Persekutuan Mahasiswa Kristen Indonesia; yang pada tahun 1950 berubah menjadi GMKI [Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia]), PMJ (Persatuan Mahasiswa Jogjakarta), PMD (Persatuan Mahasiswa Djakarta), MMM (Masyarakat Mahasiswa Malang), PMKH (Persatuan Mahasiswa Kedokteran Hewan), dan SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia) berfusi ke dalam PPMI (Perserikatan Perhimpunan-Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) yang bersifat independen. Independensi PPMI sebagai penggalang kekuatan anti-imperialisme pada mulanya berjalan kompak. Tetapi setelah mengadakan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika (KMAA) di Bandung tahun 1957—yang menjadi prestasi puncak PPMI—masing-masing organisasinya kemudian memisahkan diri. Hal ini karena pada tahun 1958 PPMI menerima CGMI, selundupan PKI, yang kemudian melancarkan aksi intervensi untuk memengaruhi organisasi mahasiswa lain agar keluar dari PPMI. Akhirnya , karena kuatnya pengaruh dan intervensi dari CGMI tersebut, maka masing-masing organisasi dalam PPMI memisahkan diri. Pada bulan oktober 1965, setelah PKI dilumpuhkan, PPMI akhirnya secara resmi membubarkan diri. Sasaran gerakan CGMI sebetulnya ingin mendominasi gerakan mahasiswa dan kehidupan kampus serta ingin menyingkirkan organisasi-organisasi mahasiswa Islam seperti HMI.
Sesungguhnya sebelum PPMI membubarkan diri, antara tahun 1964 sampai 1965 masing-masing organisasi mahasiswa yang berfusi di dalamnya bersikap sok revolusioner. Pada akhirnya HMI juga tidak ketinggalan untuk menjadi bagian dari kekuatan revolusioner. Menurut Deliar Noer, waktu itu HMI dengan keras turut menyanyikan senandung Demokrasi Terpimpin. Slogan-slogan Soekarno mulai dikumandangkan seperti "Nasakom jiwaku", "revolusioner", dan "ganyang Malaysia". Bahkan pada tahun 1964 HMI memecat beberapa anggota penasihatnya yang telah alumni karena tidak sesuai dengan revolusi. HMI juga mengecam keras Kasman Singodimedjo yang sedang menghadapi pengadilan di Bogor dan menuntut dihukum sekeras-kerasnya bila bersalah.
Kendati HMI telah berusaha menunjukkan eksistensi dirinya sebagai bagian dari kekuatan revolusioner, namun tetap saja HMI menjadi sasaran CGMI dan/atau PKI untuk dibubarkan. Pada saat saat HMI terdesak itulah Ikatan mahasiswa Muhammadiyah lahir pada tanggal 14 maret 1964 (29 Syawal 1384 H). Itulah sebabnya muncul persepsi yang keliru bahwa IMM dibentuk adalah sebagai persiapan untuk menampung aggota-anggota HMI kalau terjadi dibubarkan. Persepsi yang keliru ini dikaitkan dengan dekatnya hubungan HMI dengan Muhammadiyah. Sebagaimana diketahui bahwa HMI pada mulanya didirikan dan dibesarkan oleh orang-orang Muhammadiyah, maka kalau HMI dibubarkan Muhammadiyah harus menyediakan wadah lain.
Persepsi tersebut adalah keliru, karena kelahiran IMM salah satu faktor historisnya adalah justru untuk membantu dan mempertahankan eksistensi HMI supaya tidak mempan dengan usaha-usaha PKI yang ingin membubarkannya. Sebab, kalau kelahiran IMM diperuntukkan untuk mengganti HMI jika dibubarkan, maka IMM tidak perlu repot-repot terlibat dalam beraksi menentang PKI yang mau membubarkan HMI. Di antara praduga mengapa kehadiran IMM dalam sejarah gerakan mahasiswa dipersoalkan adalah karena sangat dekatnya kelahiran IMM—kendati ide dasarnya sudah ada sejak tahun 1936—dengan peristiwa G 30 S/PKI. Sehingga muncul pertanyaan (yang menggugat), mengapa IMM yang baru lahir sudah langsung terlibat dalam peristiwa nasional dan sejarah besar dalam pergulatan bangsa melawan dan menghancurkan PKI. Pada tahun 1965, IMM juga ikut bergabung dalam wadah KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), dan Slamet Sukirnanto, salah seorang tokoh DPP IMM, pada saat dibentuknya KAMI menjadi salah satu Ketua Presidium Pusat KAMI. IMM sendiri pada masa-masa awal berdiriya tidak luput dari ancaman dan teror PKI. Reaksi jahat dari PKI terhadap kelahiran IMM tersebut tidak saja tejadi di pusat, tetapi juga di daerah-daerah. Untuk menyelamatkan eksistensi IMM yang baru berdiri itu, maka dalam kesempatan audiensi dan silaturahmi dengan Presiden Soekarno di Istana Negara Jakarta pada tanggal 14 Februari 1965 DPP IMM meminta restunya. "Saja beri restu kepada Ikatan Mahasiswa Muhammadijah", demikian pernyataan yang ditandatangai oleh Presiden Soekarno. Karena IMM merupakan kebutuhan intern dan ekstern Muhammadiyah, maka tokoh-tokoh PP Pemuda Muhammadiyah yang sebelumnya bergabung dengan HMI kembali, sekaligus untuk membina dan mengembangkan IMM. Dalam hal ini juga muncul klaim dan persepsi yang keliru, bahwa IMM dilahirkan oleh HMI. Tokoh-tokoh Pemuda Muhammadiyah khususnya yang terlibat menghembangkan HMI, karena waktu itu IMM belum ada. Sementara keterlibatan mereka di HMI adalah untuk mengembangkan ideologi Muhammadiyah. Buktinya setelah sekian lama ada di HMI, ternyata HMI yang sudah dimasuki oleh mahasiswa dari berbagai kalangan ormas keislaman itu pada akhirnya berbeda dengan orientasi Muhammadiyah. Oleh karena itu adalah wajar jika pada akhirnya mereka kembali ke Muhammadiyah sekaligus untuk turut mengembangkan IMM. Hal ini seperti yang terjadi di Yogyakarta, Jakarta, Riau, Padang, Ujungpandang dan lain lain. Juga perlu dicatat bahwa para tokoh PP Pemuda Muhammadiyah dan NA yang terlibat dalam mengusahakan terbentunya IMM sejak awal sampai berdirinya adalah mereka yang betul-betul tidak pernah terlibat dalam HMI. Berdirinya IMM berdasarkan perjalanan sejarahnya tersebut adalah karena tuntutan dan keharusan sejarah (historical nessecity) dalam kontek kehidupan umat, bangsa, dan negara serta dinamika gerakan mahasiswa di Indonesia. Adapun maksud berdirinya IMM adalah: 1. Turut memelihara martabat dan membela kejayaan bangsa; 2. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam; 3. Sebagai upaya untuk menopang, melangsungkan, dan meneruskan cita-cita pendirian Muhammadiyah; 4. Sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna cita-cita pembaruan dan amal usaha Muhammadiyah; 5. Membina, meningkatkan, dan memadukan iman dan ilmu serta amal dalam kehidupan bangsa, umat, dan persyarikatan.
Dinamika Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Seperti halnya organisasi-organisasi lain, dalam karier sejarahnya IMM mengalami dinamika gerakan yang naik turun dan pasang surut. Selama lebih dari tiga setengah dasawarsa ini, IMM telah mengalami empat periode gerakan. Pertama, periode pergolakan dan pemantapan (1964-1971). Kedua, periode pengembangan (1971-1975). Ketiga, periode tantangan (1975-1985). Keempat, periode kebangkitan (1985-?).
Dalam periode pergolakan dan pemantapan ini, IMM yang masih sangat muda harus berhadapan dengan situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya di tengah kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama yang sangat rawan dan kritis. IMM pada saat itu langsung berhadapan dengan kebijakan Manipol Usdek Bung Karno, Nasakom, dan ancaman PKI. Dalam periode ini kegiatan-kegiatan IMM lebih banyak diarahkan kepada pembinaan personel, penguatan organisasi, pembentukan dan pengembangan IMM di kota-kota maupun perguruan tinggi. Dalam periode ini pula pola gerakan, prinsip perjuangan dan perangkat organisasi IMM berhasil ditetapkan.
Dalam periode ini telah terselenggara tiga kali Musyawarah Nasional (Muktamar) dan empat kali Konferensi Nasional (Tanwir) serta terbentuk lima kali formasi kepemimpinan IMM. Selama periode ini Mohammad Djazman Al-Kindi terus menjadi Ketua Umum DPP IMM. Kepemimpinan pertama (DPP Sementara) pra-Munas berlangsung dari tahun 1964-1965, dengan Ketuanya Mohammad Djazman Al-Kindi. Kepemimpinan kedua (1965-1967) adalah hasil Munas I di Surakarta (1-5 Mei 1965). Ketua Umum: Mohammad Djazman Al-Kindi; dan Sekretaris Jendral: A. Rosyad Sholeh. Kepemimpinan ketiga hasil reshuffle pada pertengahan 1966, Ketua Umumnya tetap; dan Soedibjo Markoes menjadi Pejabat Sekjen. Kepemimpinan keempat (1967-1969) hasil Munas II di Banjarmasin (26-30 November 1967), Ketua Umum tetap; dan Sekjennya adalah Syamsu Udaya Nurdin. Kepemimpinan kelima hasil reshuffle pada Konfernas di Magelang (1-4 Juli 1970), Ketua Umum-nya masih tetap; sedangkan yang menjadi Sekjen adalah Bahransyah Usman.
Selain Djazman, tokoh-tokoh awal IMM lainnya yang terkenal di antaranya seperti: A. Rosyad Sholeh, Soedibjo Markoes, Mohammad Arief, Sutrisno Muhdam, Zulkabir, Syamsu Udaya Nurdin, Nurwijoyo Sarjono, Basri Tambun, Fathurrahman, Soemarwan, Ali Kyai Demak, Sudar, M. Husni Thamrin, M. Susanto, Siti Ramlah, Deddy Abu Bakar, Slamet Sukirnanto, M. Amien Rais, Yahya Muhaimin, Abuseri Dimyati, Marzuki Usman, Abdul Hadi W.M. Machnun Husein, dll.
Peran dan kehendak IMM untuk meneguhkan dan memantapkan eksistensinya secara signifikan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara serta untuk kepentingan ummat dan Muhammadiyah selama periode ini tampak menonjol, baik melalui pernyataan deklarasi-deklarasinya—seperti Deklarasi Kota Barat 1965 dan Deklarasi Garut 1967—maupun dengan aktivitas kegiatan dan artikulasi gerakannya. Mulai tahun 1971-1975 disebut sebagai periode pengembangan, karena masalah-masalah yang menyangkut konsolidasi pimpinan dan organisasi tidak terlalu banyak dipersoalkan. Orientasi kegiatan dan dinamika gerakan IMM sudah mulai banyak diarahkan pada pengembangan organisasi seperti melalui program-program sosial, ekonomi, dan pendidikan. Dinamika gerakan IMM ini semakin memperteguh concern IMM terhadap masalah-masalah kehidupan mahasiswa, umat, dan bangsa di tengah gejolak sosial dan modernisasi pembangunan. Hal ini misalnya seperti yang dinyatakan dalam Deklarasi Baiturrahman 1975, maupun dalam hasil rumusan pemikiran dari Munas dan Konferensi IMM. Dalam periode ini hanya terjadi satu kali suksesi kepemimpinan di tingkat DPP IMM. Munas III di Yogyakarta (14-19 Maret 1971) menghasilkan A. Rosyad Sholeh sebagai Ketua Umum; dan Machnun Husein sebagai Sekjen. Kemudian Konfernas V di Padang memutuskan penambahan personalia staf DPP IMM, yaitu: Alfian Darmawan, Abbas Sani, Maksum Saidrum, Ajeng Kartini, Dahlan Rais, Ahmad Syaichu, dan Arief Hasbu.
Dalam periode ini pula terjadi peristiwa penting yang mewarnai keberadaan IMM, yaitu dalam hal pembentukan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) dan peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari 1974). Waktu itu IMM tidak diakui sebagai salah satu pencetus kelahiran KNPI (23 Juli 1973), karena tidak ikut menandatangani Deklarasi Pemuda Indonesia sebagai landasan berdirinya KNPI. Sementara, pembuat dan perumus Deklarasi Pemuda Indonesia itu adalah Slamet Sukirnanto, salah seorang anggota DPP IMM, yang waktu itu tidak bersedia menandatangani deklarasi tersebut atas nama IMM. Ketidakikut sertaan Slamet Sukirnanto menandatangani deklarasi tersebut, dikarenakan pembentukan wadah generasi muda itu semula adalah secara perorangan dan sekedar sebagai wadah komunikasi antara generasi muda serta keanggotaannya bersifat pribadi. Namun ternyata pada saat penandatanganan harus mengatasnamakan organisasi. Dalam hal inilah letak persoalannya. Secara organisatoris, Slamet Sukirnanto menolak menandatangani deklarasi itu, tetapi secara pribadi ia bersedia. Ketika terjadi peristiwa Malari—yang berakibat pada tindakan represif terhadap gerakan mahasiswa--, maka pada tanggal 16 Januari 1974 IMM mengirim surat kepada Presiden Soeharto untuk mengadakan referendum dalam upaya mencari kebenaran obyektif mengenai kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah. Upaya ini diharapkan dapat tetap menjaga keutuhan persatuan serta kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar jangan sampai menjadi korban para pemegang policy. Dalam menghadapi aksi Malari tersebut, IMM berharap agar pemerintah tidak memadamkan aspirasi dan idealisme mahasiswa.
Di antara ide dan gagasan pemikiran IMM pada periode ini adalah mengenai pendidikan. Dalam hal ini IMM menyadari bahwa pendidikan adalah suatu usaha "human investmen" yang penting untuk melukis dan mewarnai masa depan bangsa. Pendidikan merupakan salah satu unsur terpenting untuk menumbuhkan dan membina mental attitude bangsa. Kemudian mengenai masalah organisasi mahasiswa, IMM berpendapat bahwa keberadaannya harus berfungsi sebagai organisasi kader dan sekaligus dakwah. Karena itu organisasi mahasiswa harus menganut asas potensi, partisipasi, keluwesan, dan kesederhanaan.
Sedangkan dalam hal generasi muda, IMM berpendangan bahwa pembinaannya harus senantiasa dikaitkan dengan strategi pembangunan nasional yang berjangka panjang. Untuk itu perlu adanya pembauran antara konsep generasi muda sebagai pelanjut dengan konsep generasi muda sebagai pembaharu. Demikian pula halnya dengan perpaduan antara pengertian kader dan pioner.
Setelah melewati periode pergolakan dan pemantapan serta pengembangan, pada tahun 1975-1985 IMM berada dalam periode tantangan. Dalam periode ini Muktamar IV IMM di Semarang (21-25 Desember 1975), menghasilkan Zulkabir sebagai Ketua Umum; dan M. Alfian Darmawan sebagai Sekjen. Dalam periode ini IMM sebetulnya tidak menghadapi konflik atau tantangan yang berarti, yang menyebabkan organisasi ini mengalami stagnasi. Namun persoalannya terletak pada terjadinya kevakuman kepemimpinan di tingkat nasional (DPP IMM) selama lebih kurang satu dasawarsa. Selama periode ini di tingkat DPP tidak terjadi suksesi dan regenerasi kepemimpinan, atau dengan kata lain tidak terselenggara musyawarah nasional atau muktamar, yang seharusnya berlangsung pada tahun 1978.
Kevakuman dan terjadinya kemandegan IMM di DPP ini menimbulkan keprihatinan dan keheranan bagi banyak pihak, khususnya di kalangan Muhammadiyah dan ortomnya. Pada tahun 1983, H.S. Prodjokusumo misalnya menanggapi masalah ini dalam tulisannya IMM Bangkitlah. Kemudian dengan nada menyindir dan dalam gaya personifikasi—tanpa bisa menutupi kekecewaannya tehadap IMM—Umar Hasyim menulis: "Merenungi sejarahmu, kita jadi heran, ketika sejak Muktamar ke-4 tahun 1975 itu anda dengan lelapnya tidur nyenyak selama sepuluh tahun, karena pada bulan April 1986 engkau baru berhasil bermuktamar dan memilih kepengurusan DPP lagi. Sungguh luar biasa sekali, suasana dunia dimana anda berada ini demikian gegap gempitanya, tetapi anda bisa lelap tidur." Namun demikian, kendati di tingkat DPP terjadi kevakuman, justru di bawahnya IMM tetap eksis dan bergerak. Aktivitas kegiatan, program kerja, dan kaderisasi di tingkat bawah itu terus berjalan. Kevakuman DPP IMM tidak memengaruhi aktivitas IMM di Daerah, Cabang, dan Komisariat. Identitas IMM ternyata begitu kuat melekat pada jiwa para pimpinan dan kader IMM di bawah. Di level bawah IMM masih tetap tumbuh subur. Meski berada dalam periode tantangan, IMM masih tetap berusaha untuk melahirkan ide dan gagasan pemikirannya. Di antara ide dan gagasannya itu adalah mengenai perlunya Menteri Negara Urusan Pemuda. Ide dan gagasan pemikiran tersebut berangkat dari latar belakang kemahasiswaan dan kepemudaan yang tidak mempunyai saluran yang semestinya. Untuk itulah IMM mengusulkan kepada Presiden Soeharto untuk mengnagkat seorang Menteri Negara Urusan Pemuda yang menyelenggarakan dan membina komunikasi dengan seluruh eksponen generasi muda. Kemudian, ketika terjadi Keputusan 15 November 1978 (KNOP 15), IMM mengusulkan perlunya pengendalian dan pengarahan konsumsi masyarakat. Hal ini mengingat telah terjadinya bentuk konsumsi yang non-esensial dan tidak produktif. Di samping itu, perlunya perlindungan dan pembinaan industri kecil agar dapat bersaing dengan industri besar, oleh IMM dikemukakan kepada pemerintah. Demikian pula halnya dengan pemerataan pendapatan dan kesempatan kerja perlu diperhatikan oleh pemerintah. Setelah mengalami kevakuman dan kemandegan selama satu dasawarsa itu, maka pada tahun 1985 IMM mulai memasuki periode kebangkitan. Periode ini dimulai dengan adanya SK PP Muhammadiyah No. 10/PP/1985 tertanggal 31 Agustus 1985 tentang pembentukan DPP (Sementara) IMM. DPP(S) ini terdiri dari:
·         Ketua : Immawan Wahyudi (DIY)
·         Ketua I : Drs. Anwar Abbas (DKI)
·         Ketua II : Drs. M. Din Syamsuddin (DKI)
·         Ketua III : Farid Fathoni AF (Surakarta)
·         Sekretaris I : Mukhlis Ahasan Uji (DIY)
·         Sekretaris II : Nizam Burhanuddin (DKI)
·         Sekretarus III: Agus Syamsuddin (DIY)
·         Bendahara I : St. Daulah Khoiriati (DIY)
·         Bendahara II : Asmuyeni Muchtar (DKI)
Setelah dilantik pada tanggal 1 september 1985, DPP(S) IMM mulai menata organisasi dan menjalankan aktivitasnya. Pada tanggal 7-10 desember 1985 DPP(S) berhasil mengadakan Tanwir ke-7 IMM di Surakarta. Tanwir yang bertemakan "Bangkit dan Tegaskan Identitas Ikatan" ini pada akhirnya mampu membangkitkan IMM dari tidurnya yang panjang. Hingga kemudian pada tanggal 14-18 april 1986 DPP(S) berhasil menyelenggarakan Muktamar ke-5 IMM di Padang, Sumatera Barat. Selain pada akhirnya berhasil menyusun kepengurusan DPP IMM yang baru periode 1986-1989 (Ketua Umum: Nizam Burhanuddin; dan Sekjen: M. Arifin Nawawi), Muktamar V itu juga mampu merumuskan konsep pengembangan wawasan bangsa dan umat kaitannya dengan identitas Ikatan, penyusunan ulang sistem perkaderan, pengembangan organisasi dan pembahasan program kerja. Dalam Muktamar V itu IMM juga bisa menghasilkan Deklarasi Padang, yang mengartikulasikan visi dan keberpihakan IMM terhadap masalah-masalah dunia internasional, umat Islam di Indonesia, Muhammadiyah, IMM sendiri, serta pembinaan generasi muda dan mahasiswa. Dalam periode kebangkitan ini IMM tidak lepas dari halangan dan tantangan. Artikulasi gerakan IMM pun mengalami dinamika dan fluktuasi. Dalam periode kebangkitan (sampai sekarang) ini IMM telah mengalami beberapa kali Muktamar dan Tanwir, yang berperan untuk menpertahankan eksistensi IMM dan menyinambungkan regenerasi kepemimpinannya.
Muktamar VI di Ujungpandang (7-12 Juli 1989) menghasilkan DPP IMM (periode 1989-1992), dengan M. Agus Samsudin sebagai Ketua Umum; dan Fauzan sebagai Sekjen. Kemudian Tanwir VIII di Medan (24-28 April 1991), memutuskan Abdul Al Hasyir sebagai Sekjen, menggantikan Fauzan. Pada tanggal 25-31 Desember 1992 IMM berhasil menyelenggarakan Muktamar VII di Purwokerto, yang menghasilkan Tatang Sutahyar W sebagai Ketua Umum; dan Syahril Syah sebagai Sekjen untuk periode 1993-1995. Selanjutnya, pada Tanwir IX di Palembang (7-11 Juli 1994) terjadi pergantian Ketua Umum dari Tatang Sutahyar oleh Syahril Syah sebagai Pj. Ketua Umum, dan Armyn Gultom sebagai Sekjen. Selanjutnya, pada tanggal 25-31 Maret 1995 IMM kembali mengadakan Muktamar VIII di Kendari yang berhasil memilih Syahril Syah sebagai Ketua Umum dan Abd. Rohim Ghazali sebagai Sekjen untuk periode 1995-1997. Kemudian pada tanggal 22 Februari-2 Maret 1997, IMM kembali mengadakan Muktamar IX di Medan yang menghasilkan Irwan Badillah sebagai Ketua Umum dan M. Irfan Islami Dj. sebagai Sekjen untuk periode 1997-2000. Sampai sekarang IMM memiliki 26 DPD dan 115 PC, serta anggota sebanyak kurang lebih 567.000 orang. Anggota IMM tersebut tersebar di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta serta perguruan tinggi Muhammadiyah khususnya. Artikulasi gerakan IMM tidak terbatas dalam aktivitas dan pelaksanaan program-program kerja yang rutin belaka, tetapi juga aktif dalam menyikapi dan merespons persoalan-persoalan sosial-politik dan kemanusiaan, baik dalam skala lokal, nasional, maupun global. Kepedulian dan keberpihakan IMM seperti ini, karena IMM tidak ingin teralienasi oleh dinamika zaman dan terbawa arus secara pasif oleh perubahan sosial yang terus bergulir. Begitu pula ketika terjadi aksi-aksi gerakan reformasi yang banyak dilakukan kalangan mahasiswa dan kaum intelektual pada tahun 1997, IMM tidak ketinggalan melibatkan diri dan aktif bergerak di dalamnya. Baik di tingkat pusat maupun daerah, bersama eksponen Angkatan Muda Muhammadiyah lainnya IMM bergerak untuk mendukung dan menyukseskan aksi gerakan reformasi yang berhasil melengserkan Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaannya. Di Yogyakarta misalnya IMM bergabung dalam Komnas AMM bersama organisasi otonom lainnya dalam mengartikulasikan gerakan dan tuntutan reformasi. Selain itu di beberapa Komisariat dan Korkom, IMM juga banyak mengadakan aksi dan gerakan serupa. Begitu pula dengan IMM di daerah-daerah lainnya, seperti di Jakarta yang menamakan gerakannya dengan FAKSI IMM (Front Aksi untuk Reformasi). Di Surabaya dan Ujungpandang IMM ada dalam GEMPAR (Gerakan Mahasiswa Pro Amien Rais) dsb. Selain itu, ketika akan berlangsung jajak pendapat penentuan status Timor-Timur pada tanggal 30 Agustus 1999, IMM juga berpartisipasi aktif dalam pemantauannya. Pada waktu akan, selama, dan sesudah berlangsung jajak pendapat tersebut IMM telah mengirimkan Immawan Wachid Ridwan (Biro Kerjasama Luar Negeri dan Hubungan Internasional DPP IMM) ke Timor-Timur untuk melakukan pemantauan bersama LSM dan OKP lainnya.
Susunan dan Struktur Organisasi Seperti Muhammadiyah dan organisasi otonom lainnya, secara vertikal IMM memiliki susunan organisasi mulai dari tingkat pusat sampai komisariat. Lengkapnya: Komisariat, Cabang, Daerah, dan Pusat. Kepemimpinannya disebut Pmpinan Komisariat (PK), Pimpinan Cabang (PC), Dewan Pimpinan Daerah (DPD), dan Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Komisariat ialah kesatuan anggota dalam suatu fakultas/akademi atau tempat tertentu. Cabang ialah kesatuan komisariat-komisariat dalam suatu Daerah Tingkat II atau daerah tertentu. Daerah ialah kesatuan cabang-cabang dalam suatu Propinsi/Daerah Tingkat I. Pusat ialah kesatuan daerah-daerah dalam Negara Republik Indonesia. Sebagai salah satu organisasi otonom Muhammadiyah, maka masing-masing level dari susunan organisasi tersebut mempunyai hubungan keorganisasian yang horizontal dengan Pimpinan Muhammadiyah. DPP IMM dengan PP Muhammadiyah; DPD IMM dengan PW Muhammadiyah; PC IMM dengan PD Muhammadiyah; dan PK IMM dengan PC/PR Muhammadiyah.
Adapun struktur organisasi IMM, berdasarkan hasil Muktamar IX di Medan adalah sebagai berikut. Mulai dari tingkat DPP sampai PK terdiri dari Ketua Umum, Sekretaris Jenderal—khusus untuk DPP, sedang untuk DPD sampai PK: Sekretaris Umum--, Bendahara Umum (bersama dua wakilnya); ditambah dengan beberapa Ketua Bidang dan Sekretaris Bidang (Organisasi, Kader, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Hikmah. Sosial Ekonomi, dan Immawati). Struktur organisasi ini dibantu oleh sebuah biro, beberapa lembaga studi, dan dua korps (Biro Kerjasama Luar Negeri dan Hubungan Iternasional [hanya ada di DPP]; Lembaga Studi Kelembagaan dan Pengembangan Organisasi; Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumber Daya Kader; Lembaga Pengembangan Ilmu Agama dan Sosial Budaya; Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Penerapan Teknologi; Lembaga Pers IMM [hanya ada di tingkat DPP dan DPD]; Lembaga Pengkajian Strategi dan Kebijakan; Lembaga Kesejahteraan Rakyat dan Lingkungan Hidup; Lembaga Studi dan Pengembangan Ekonomi Ummat [istilah lembaga hanya untuk DPP dan DPD, sedang di PC menggunakan istilah departemen]; Korps Instruktur [hanya ada di tingkat DPP sampai PC]; dan Korps Immawati). Kemudian di tingkat PK, departemen yang ada adalah: Departemen Organisasi, Kader, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Hikmah, dan Sosial Ekonomi.
Program Kerja
Secara umum program kerja IMM dilaksanakan untuk memantapkan eksistensi organisasi demi mencapai tujuannya, "mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah" (AD IMM Pasal 6). Untuk menunjang pencapaian tujuan IMM tersebut, maka perencanaan dan pelaksanaan program kerja diorientasikan bagi terbentuknya profil kader IMM yang memiliki kompetensi dasar aqidah, kompetensi dasar intelektual, dan kompetensi dasar humanitas . Sebagai organisasi yang bergerak di bidang keagamaan, kemasyarakatan, dan kemahasiswaan, maka program kerja IMM pada dasarnya tidak bisa lepas dari tiga bidang garapan tersebut. Perencanaan dan pelaksanaan program kerja tersebut memiliki stressing yang berbeda-beda (berurutan dan saling menunjang) pada masing-masing level kepemimpinan.
·         Di tingkat Komisariat: kemahasiswaan, perkaderan, keorganisasian, kemasyarakatan.
·         Di tingkat Cabang: Perkaderan, kemahasiswaan, keorganisasian, kemasyarakatan.
·         Di tingkat Daerah: keorganisasian, kemasyarakatan, perkaderan, kemahasiswaan.
·         Di tingkast Pusat: Kemasyarakatan, keorganisasian, perkaderan, kemahasiswaan.
Berkaitan dengan program kerja jangka panjang, maka sasaran utamanya diarahkan pada upaya perumusan visi dan peran sosial politik IMM memasuki abad XXI. Hal ini tidak lepas dari ikhtiar untuk memantapkan eksistensi IMM demi tercapainya tujuan organisasi (lihat AD IMM Pasal 6). Sasaran utama dan program jangka panjang ini merujuk pada dan melanjutkan prioritas program yang telah diputuskan pada Muktamar VII IMM di Purwokerto (1992). Program dimaksud menetapkan strategi pembinaan dan pengembangan organisasi secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan selama lima periode muktamar IMM.
Periode Muktamar IX diarahkan pada pemantapan konsolidasi internal (organisasi, pimpinan, dan program) dengan meningkatkan upaya pembangunan kualitas institusional dan pemantapan mekanisme kaderisasi dalam menghadapi perkembangan situasi sosial politik nasional yang semakin dinamis. Periode Muktamar X diarahkan pada penguatan orientasi kekaderan dengan meningkatkan mutu sumber daya kader sebagai penopang utama kekuatan organisasi dalam transformasi sosial masyarakat. Periode Muktamar XI diarahkan pada penguatan peran institusi organisasi baik secara internal (pelopor, pelangsung, dan penyempurna gerakan pembaruan dan amal usaha Muhammadiyah) maupun eksternal (kader umat dan kader bangsa).
Periode Muktamar XII diarahkan pada pemantapan peran IMM dalam wilayah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara memasuki era globalisasi yang lebih luas. Periode Muktamar XIII diarahkan pada pemberdayaan institusi organisasi serta pemantapan peranan IMM dalam kehidupan sosial politik bangsa.
Kemudian pelaksanaan program jangka panjang itu memiliki sasaran khusus pada masing-masing bidangnya. Bidang Organisasi diarahkan pada terciptanya struktur dan fungsi organisasi serta mekanisme kepemimpinan yang mantap dan mendukung gerak IMM dalam mencapai tujuannya. Program konsolidasi gerakan IMM juga diarahkan bagi terciptanya kekuatan gerak IMM baik ke dalam maupun ke luar sebagai modal penggerak bagi pengembangan gerakan IMM. Bidang Kaderisasi diarahkan pada penguatan tiga kompetensi dasar kader IMM (aqidah, intelektual, dan humanitas) yang secara dinamis mampu menempatkan diri sebagai agen pelaku perubahan sosial bagi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi diarahkan pada pembangunan budaya iptek dan penguatan paradigma ilmu yang melandasi setiap agenda dan aksi gerakan IMMdalam menyikapi tantangan zaman. Bidang Hikmah diarahkan pada penguatan peran sosial politik IMM di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam peran serta dan partisipasi sosial politik generasi muda (mahasiswa). Bidang Sosial Ekonomi diarahkan pada penumbuhkembangan budaya dan wawasan wiraswasta di lingkungan IMM, terutama dalam membangun dan memberdayakan potensi ekonomi kerakyatan. Bidang Immawati diarahkan pada upaya penguatan jati diri dan peran aktif sumber daya kader puteri IMM dalam transformasi sosial menuju masyarakat utama.
Pimpinan
Tingkatan Kepemimpinan
·         DPP (Dewan Pimpinan Pusat) berkedudukan di Ibukota Indonesia
·         DPD (Dewan Pimpinan Daerah) berkedudukan di Ibukota Provinsi
·         PC (Pimpinan Cabang) berkedudukan di Ibukota Kabupaten
·         PK (Pimpinan Komisariat) berkedudukan di Fakultas/Universitas
Selain itu, IMM juga mempunyai lembaga pimpinan yang dinamakan dengan KORKOM (koordinator komisariat) yang dibentuk di suatu universitas yang mempunyai komisariat lebih dari 2. Tugasnya adalah untuk mengkoodinir dan membantu kerja Pimpinan Cabang di suatu Universitas.
·         Khusus IMM di Fakultas Teknik (Komisariat Aufklärung) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) memiliki tingkatan kepemimpinan di bawah komisariat yaitu yang disebut "Rayon". Rayon ini berkedudukan di jurusan bukan fakultas. Rayon dibentuk berlandaskan Musyawarah Komisariat "Aufklärung Teknik". IMM Aufklärung beserta Rayon-Rayonnya senantiasa berusaha memaksimalkan Tri Kompetensi (Religiusitas, Humanitas, Intelektualitas) dengan cara menjadikan Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai panduan kehidupan sehari-hari. Islam ada di hati, ada di lisan, dan ada di perbuatan. Sehingga ini yang menjadikan kader "Lantang Bicara Berani Aksi dan Bertanggungjawab". Lebih lengkap kunjungi http://imm-aufklarung.org/
BUKU REFERENSI
·         Agham, Noor Chozin, Melacak Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Dari Muktamar I sampai Muktamar V, Jakarta: Yayasan Penerbit Pers Perkasa bersama Penerbit dan Percetakan Dikdasmen PP Muhammadiyah, 1997.
·         Batubara, Cosmas, "Kilas Balik Kelahiran Orde Baru dan Peranan Para Mahasiswa" dalam Haris Munandar (Peny.), Pembangunan Politik, Situasi Global, dan Hak Asasi di Indonesia: Kumpulan Esei Guna Menghormati Prof. Miriam Budiardjo, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994.
·         DPP IMM, Tanfidz Keputusan Muktamar VIII IMM, 1995.
·         -------, Tanfidz Keputusan Muktamar IX IMM, 1997.
·         Fathoni AF, Farid, Kelahiran yang Dipersoalkan, Dua Puluh Enam Tahun Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah 1964-1990, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990.
·         Hamid, Almisar et al., Seperempat Abad Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Jakarta: DPP IMM, 1989.
·         Hasyim, Umar, Muhammadiyah Jalan Lurus dalam Tajdid, Dakwah, Kaderisasi dan Pendidikan: Kritik dan Terapinya, Surabya: PT Bina Ilmu 1990.
·         Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Politik Nasional 1945-1965, Jakarta: Grafiti Pers, 1987.
·         Tanja, Victor I., Himpunan Mahasiswa Islam, Sejarah dan Kedudukannya di Tengah Gerakan-gerakan Muslim Pembaharuan di Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 1982.
wikipedia
 
Sumber: http://immhatta-feb.blogspot.jp/2013/11/kelahiran-yang-dipersoalkan.html