Monday, October 31, 2011

Muhammadiyah: Gerakan Civil Society Yang Mandiri, Tidak Anti Pemerintah

Jurnal MAARIF Vol. 4, No. 2 — Desember 2009

DR. Abdul Mu’ti

Beberapa hari menjelang pengumuman Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, saya menerima puluhan short message services (SMS) dari berbagai kalangan internal Muhammadiyah yang mengharapkan agar “tradisi” Menteri Pendidikan Nasional dijabat oleh kader Muhammadiyah tetap dapat dipelihara dan diperjuangkan. Kepada semua pengirim SMS saya sampaikan bahwa kewenangan penentuan jabatan menteri ada sepenuhnya di tangan presiden. Bahkan, kepada mereka yang saya kenal secara pribadi, saya sampaikan dengan nada setengah mengingatkan: tidak etis apabila Muhammadiyah merekomendasikan nama menteri sementara pada saat pemilihan presiden, Muhammadiyah mendukung calon lain – yang ternyata kalah.


Ketika presiden mengumumkan nama-nama menteri KIB II secara resmi, saya menerima SMS dengan nada berbeda-beda. Sebagian besar bernada marah dan pesimistis. ”Gara-gara berpolitik, sekarang Muhammadiyah kena batunya.

Gigit jari tidak mendapatkan satu pun jatah menteri. “Kecian deh lu”. Demikianlah antara lain SMS yang bernada marah. SMS yang bernada pesimistis antara lain berbunyi: ” Setelah Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Nasional dijabat oleh kader-kader NU, tamatlah riwayat pendidikan Muhammadiyah.” Tetapi, selain mereka yang menumpahkan kemarahan dan pesimisme, saya menerima juga SMS yang ksatria dan optimistis. ”Ketika Mendiknas dan Menag tidak lagi dipegang oleh kader Muhammadiyah, kini saatnya kita bangkit, tegak berdiri di luar pemerintahan. Muhammadiyah kini bisa bebas merdeka.”

Untuk ”meringankan beban” beberapa SMS bernada pesimistis dan marah saya kirim ke salah seorang politisi Muhammadiyah. Dengan gayanya yang khas, politisi Muhammadiyah ini menjawab: ”Lha wong Muhammadiyah tidak berpolitik kok minta jatah menteri. Kalau mau jabatan menteri ya berpolitik.” Ketika saya katakan bahwa jabatan menteri juga penting untuk ”kebanggaan” dan memperkuat dakwah, politisi Muhammadiyah ini menjawab: ”Sudahlah. Dulu, pada jaman Belanda, Muhammadiyah tidak memiliki menteri. Bahkan, Muhammadiyah juga ditekan oleh penjajah Belanda. Dalam situasi demikian, toh Muhammadiyah bisa hidup dan berkembang dengan baik.”

Dalam konteks gerakan Muhammadiyah, dialog singkat di atas bukanlah sekedar curahan hati atau pikiran tetapi lebih jauh memiliki makna yang menggambarkan pandangan internal Muhammadiyah mengenai relasi Muhammadiyah dengan negara. Bagaimana Muhammadiyah memahami diri dan posisinya terhadap negara dan bangsa. Pertanyaan pertama berhubungan dengan identitas Muhammadiyah sebagai gerakan sosial-keislaman. Pertanyaan kedua terkait dengan bagaimana interaksi Muhammadiyah dengan lingkungan sosial-politik dan sejauhmana lingkungan tersebut mempengaruhi karakter gerakan Muhammadiyah. Dua pertanyaan inilah yang akan dicoba dikaji dalam artikel ini.

Gerakan Civil-Society Para Priyayi

Selama ini terdapat dua pandangan mengenai Muhammadiyah yang menurut saya tidak sepenuhnya tepat. Pertama, pandangan yang berkaitan dengan motivasi kelahiran Muhammadiyah. Kedua, pandangan yang berhubungan dengan para pendiri Muhammadiyah.

Sebagian besar intelektual dan tokoh Muhammadiyah memahami bahwa kelahiran Muhammadiyah dilandasi oleh firman Allah Surat Ali Imran (3): 104. ”Ayat Muhammadiyah” tersebut mengandung tiga perintah. Pertama, perintah untuk membentuk organisasi yang solid sebagaimana dipahami dari lafadz ”ummat”. Kedua, perintah untuk berdakwah, mengajak manusia kepada jalan kebajikan (yad’u ila al-khair). Ketika, perintah untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar; memerintahkan kebenaran dan mencegah kejahatan.

Pemahaman ini memiliki dua implikasi yang sangat menentukan karakter gerakan Muhammadiyah. Pertama, kelahiran Muhammadiyah merupakan produk dari ”proses deduksi” atas tafsir Surat Ali Imran (3): 104. Jika mengikuti logika deduktif ini, pendirian Muhammadiyah merupakan ”pengamalan wahyu”. Posisi K.H. Ahmad Dahlan menyerupai Nabi Muhammad yang menerima wahyu dari Allah. Begitu menerima wahyu untuk menunaikan shalat, maka Nabi Muhammad langsung mengajarkan dan mengajak umatnya menunaikan shalat serta mendirikan masjid. Begitu memahami makna yang dikandung oleh wahyu Surat Ali Imran (3): 104, K.H. Ahmad Dahlan langsung mengajak sahabat-sahabatnya mendirikan Muhammadiyah. Pemahaman ini membentuk karakter Muhammadiyah sebagai gerakan ”Agama Islam” dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar.

Kedua, karena Muhammadiyah lebih dipahami sebagai gerakan ”Agama Islam” maka orientasi gerakannya sangat fokus kepada masalah-masalah keagamaan. Gerakan Muhammadiyah dititikberatkan pada hal-hal yang bersangkut paut dengan akidah, ibadah dan dakwah. Dalam bidang akidah, gerakan Muhammadiyah dititikbertakan pada pemurnian Islam, terutama pemberantasan sinkretisme, politeisme dan bentuk-bentuk kreatif lain dari takhayul dan khurafat. Dalam bidang ibadah, gerakan Muhammadiyah mengajak umat Islam untuk kembali kepada ajaran dasar Islam al-Quran dan Hadits, meninggalkan bid’ah dan taklid dalam beragama. Gerakan dakwah Muhammadiyah dimaknai sebagai proses islamisasi yaitu untuk mengajak masyarakat non-Muslim memeluk Agama Islam dan mereka yang telah memeluk Islam untuk memperbaharui keislamannya.

Terkait dengan latar belakang para pendiri gerakan, pendapat yang paling populer menyebutkan bahwa Muhammadiyah didirikan oleh para pedagang atau pengusaha pribumi Jawa. Pandangan ini didasarkan atas beberapa telaah sejarah yang menjelaskan bagaimana K.H. Ahmad Dahlan aktif berdagang dan mengembangkan Muhammadiyah melalui aktivitas bisnisnya. Muhammadiyah masa awal berkembang dan didukung oleh komunitas pedagang. Faktor inilah yang membentuk karakter Muhammadiyah sebagai gerakan yang mandiri, kreatif dan berani. Muhammadiyah terus berkembang, meskipun mendapatkan banyak tantangan dari masyarakat dan tekanan pemerintah Belanda.

Menyangkut kedua hal tersebut -proses kelahiran dan latar belakang para pendiri Muhammadiyah- saya memiliki pendapat yang sedikit berbeda. Pandangan saya ini berdasarkan atas kajian literatur sejarah, terutama sumber-sumber yang berasal dari murid langsung K.H. Ahmad Dahlan, dan dokumen-dokumen resmi persyarikatan. Menurut hemat saya, Muhammadiyah lebih merupakan gerakan sosial yang digerakkan oleh para priyayi-santri daripada gerakan Islam yang dimotori para pedagang pribumi. Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan sosial murni, tetapi gerakan sosial yang bertaut-erat dengan Islam dan menjadikan Islam sebagai solusi atas persoalan-persoalan sosial dan kehidupan. Dalam konteks ini, al-Quran dan Hadits lebih berperan sebagai pedoman atau landasan etik-normatif dan jawaban atas berbagai problematika kehidupan.

Karena itu, menurut hemat saya, kelahiran Muhammadiyah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial daripada keagamaan. Kelahiran Muhammadiyah merupakan wujud tanggungjawab sosial orang-orang yang beriman. Dengan demikian, proses kelahiran Muhammadiyah lebih bersifat ”induktif” bukan ”deduktif”.

Kesimpulan ini didasarkan atas dua argumen. Pertama, sebelum mendirikan Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan sudah merintis kegiatan pendidikan yang diselenggarakan melalui dua cara. Pertama, mengajarkan pendidikan agama ekstra-kurikuler di Sekolah Pamong Praja (OSVIA) Magelang dan Sekolah Guru (Kweekschool) di Jetis Yogyakarta. Kedua, mendirikan madrasah sendiri di emper (teras) rumahnya. Madrasah tersebut menggunakan meja-kursi dan mengajarkan ilmu agama dan non-agama sekaligus. Kegiatan pendidikan tersebut dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan sebagai wujud tanggungjawab sosial melihat kebodohan di masyarakat dan kesenjangan sosial antara kelompok santri tamatan pesantren yang melulu belajar ilmu agama dan para priyayi lulusan sekolah Belanda yang hanya mempelajari ilmu non-agama (Arifin, 1987).

Argumen kedua, gagasan pendirian Muhammadiyah –sebenarnya- bukan murni berasal dari K.H. Ahmad Dahlan melainkan dari murid-murid atau sahabat seperjuangannya di Budi Utomo. Sebagaimana ditulis Kyai Sudja, murid dan sahabat K.H. Ahmad Dahlan, para anggota Budi Utomo sangat tertarik dengan gagasan dan pemikiran Islam K.H. Ahmad Dahlan. Karena itu, agar gagasan-gagasan tersebut dapat tersosialisasi lebih luas dan dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang, para anggota Budi Utomo mengusulkan kepada K.H. Ahmad Dahlan untuk mendirikan organisasi. Semula K.H. Ahmad Dahlan agak ragu. Tetapi setelah mendalami al-Quran, khususnya Surat Ali Imran (3): 104, K.H. Ahmad Dahlan setuju dengan usul pendirian organisasi yang oleh K.H. Ahmad Dahlan diberi nama Muhammadiyah (K.H. Sudja, 2008). Ketika ditanya apa makna Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan menjawab: Muhammadiyah artinya pengikut Nabi Muhammad. Para anggota Muhammadiyah diharapkan dapat meneladani kehidupan Nabi Muhammad dan memperjuangkan ajarannya (Junus Salam, 1967). Karena itu, gagasan pendirian organisasi Muhammadiyah merupakan proses bottom-up yang berasal dari murid-murid K.H. Ahmad Dahlan yang kemudian mendapatkan afirmasi dari al-Quran.

Mengenai para pendiri Muhammadiyah, saya berpendapat bahwa anggota intinya adalah para priyayi-santri Jawa. Sebagaimana dijelaskan oleh K.H. Sudja (2008), mereka yang proaktif dan yang nama-namanya tercantum dalam akte pendirian Muhammadiyah adalah para priyayi-santri Jawa. Sebagian besar mereka bergelar Raden, Kyai Haji. Mereka adalah elit priyayi-santri yang dekat dengan Kesultanan Yogyakarta. K.H. Ahmad Dahlan sendiri, memiliki gelar Raden Ngabehi. Gelar ini melekat dengan jabatannya sebagai Ketib Amin (Najib Burhani, 2004). Dalam struktur Kesultanan Yogyakarta, K.H. Ahmad Dahlan termasuk salah seorang abdi dalem santri (Arifin, 1987). Karena posisi Ketib Amin tidak menuntut pekerjaan penuh (full time job), K.H. Ahmad Dahlan masih memiliki kesempatan untuk mengembangkan usaha batik dan memasarkan produknya ke luar Yogyakarta. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa para pendiri Muhammadiyah, khususnya K.H. Ahmad Dahlan bukanlah seorang yang berprofesi murni sebagai pedagang, tetapi juga seorang abdi dalem santri. K.H. Ahmad Dahlan adalah seorang santri-priyayi yang aktif berbisnis.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Muhammadiyah lebih merupakan gerakan sosial-keagamaan, bukan gerakan keagamaan murni. Gerakan Muhammadiyah yang dimotori oleh para elit priyayi-santri-pedagang ini terus berkembang sebagai gerakan berbasis massa (civil society) yang berpegang teguh pada Agama Islam sebagai landasan normatif-etik dalam setiap gerak langkahnya. Mandiri, Tidak Anti Pemerintah

Melihat latar belakang sosial para pendirinya, sangat bisa dipahami jika Muhammadiyah tidak memiliki tradisi perlawanan atau konfrontasi yang frontal dan terbuka dengan pemerintah. Meskipun banyak praktik keagamaan Kesultanan Yogyakarta yang sinkretik dan bertentangan dengan misi purifikasi akidah Islam, K.H. Ahmad Dahlan tidak pernah melakukan kritik terbuka. K.H. Ahmad Dahlan senantiasa mengedepankan dialog ilmiah dan pendekatan persuasif. Melihat arah kiblat Masjid Besar Kesultanan yang tidak sesuai dengan konsep falak dan fiqh yang diyakininya, K.H. Ahmad Dahlan melayangkan surat kepada Penghulu dan Ketib Amin untuk bermusyawarah dan berdialog. Ketika gagasannya tidak diterima, K.H. Ahmad Dahlan tidak memaksakan kehendak. K.H. Ahmad Dahlan mendirikan mushalla di rumahnya yang arah kiblatnya sesuai dengan ilmu falak. Pembuatan garis shaf di Masjid Besar Kesultanan yang mengikuti konsep kiblat K.H. Ahmad Dahlan yang berbuntut ketegangan antara K.H. Ahmad Dahlan dengan Pihak Kesultanan bukan atas perintahnya tetapi inisiatif kaum muda Kauman yang memandang keabsahan pendapat K.H. Ahmad Dahlan (K.H. Sudja: 2008).

Sikap persuasif dilakukan K.H. Ahmad Dahlan ketika terjadi perbedaan Idul Fitri dengan Grebeg. Sebagai seorang ulama, K.H. Ahmad Dahlan menyadari bahwa Idul Fitri merupakan Syariat Islam yang harus dilaksanakan sesuai dengan Sunnah Nabi. Sedangkan Grebeg merupakan tradisi yang harus dilaksanakan sesuai dengan sistem Kesultanan. Dalam posisi demikian, K.H. Ahmad Dahlan meminta untuk dapat bertemu dengan Sultan melalui Penghulu. K.H. Ahmad Dahlan menempuh jalur birokrasi ini agar tidak menimbulkan ketegangan. Pertemuan dengan Sultan menghasilkan solusi jalan tengah (win-win solution): Shalat Idul Fitri dilaksanakan sesuai dengan hitungan Falak. Grebeg dilaksanakan sesuai dengan kalender Aboge (Arifin, 1987).

Begitu pula sikap Muhammadiyah terhadap pemerintah Belanda. Tidak ada keraguan lagi betapa Muhammadiyah sangat anti terhadap penjajahan. Selain menimbulkan penderitaan rakyat, penjajahan juga bertentangan dengan prinsip Tauhid Islam. Para tokoh Muhammadiyah seperti K.H. Fachrudin, bahkan K.H. Ahmad Dahlan menentang keras penjajahan. Penentangan Muhammadiyah terhadap misi Kristen di Indonesia bukan disebabkan oleh sikap anti atau kebencian Muhammadiyah terhadap Agama Kristen, tetapi lebih disebabkan oleh sikap pemerintah Belanda yang tidak netral dan kebijakan pemerintahan yang selalu berpihak kepada kelompok Kristen (Alwi Shihab, 1998).

Meskipun demikian, sikap anti-kolonialisme tidak serta merta membuat K.H. Ahmad Dahlan dan para tokoh Muhammadiyah bermusuhan dengan Belanda. Secara resmi Muhammadiyah mengajukan ijin pendirian organisasi kepada pemerintah Belanda. Sistem pendidikan Muhammadiyah juga mengakomodir sistem sekolah Belanda. Oleh karenanya, Belanda tidak menaruh kecurigaan kepada gerakan Muhammadiyah. Sikap akomodatif membuat sekolah-sekolah Muhammadiyah mendapatkan subsidi pemerintah. Akibat dari sikap ”akomodatif” dan ”kooperatif” tersebut K.H. Ahmad Dahlan dituding sebagai kyai kafir dan antek penjajahan. Bahkan, Muhammadiyah juga sempat dikucilkan oleh gerakan-gerakan Islam dan politik yang mengambil sikap oposisi dan konfrontasi kepada Belanda (Jainuri, 2002).

Muhammadiyah memiliki alasan-alasan teologis dan politis yang mendasari kerjasama dan kesediaan menerima subsidi dari pemerintah Belanda. Menurut K.H. Hisyam, Muhammadiyah menerima bantuan dari Belanda karena uang tersebut hakikatnya adalah uang rakyat Indonesia. Jika Muhammadiyah tidak mau menerima maka subsidi tersebut akan dialokasikan kepada organisasi lain (Djarnawi Hadikusumo, t.th). Walaupun menerima subsidi, tidak berarti Muhammadiyah menjadi sub-ordinat pemerintah Belanda. Ketika pemerintah Belanda memberlakukan Ordonansi Guru dan Haji, Muhammadiyah tampil di barisan terdepan menentang pemberlakuan ordonansi tersebut. Muhammadiyah aktif melakukan tekanan politik dan menggalang kekuatan berbagai elemen sosial dan politik melawan pemberlakukan Ordonansi Guru.

Perjuangan Muhammadiyah berhasil. Usul-usul Muhammadiyah diterima dan Ordonansi Guru dirubah sebelum akhirnya dicabut (Alfian, 1989). Sikap akomodatif dan kooperatif tidak membuat Muhammadiyah kehilangan sikap kritis, khususnya menyangkut misi dakwah dan keadilan sosial. Menerima bantuan tidak membuat Muhammadiyah kehilangan kemandirian. Muhammadiyah memahami subsidi atau bantuan sebagai bentuk kerjasama (partnership). Karena itu, Muhammadiyah mengkritik keras kebijakan pemerintah Belanda yang mengurangi subsidi untuk rumah sakit dan layanan sosial Muhammadiyah. Menurut Muhammadiyah, pemerintah Belanda sudah bersikap tidak adil karena ternyata pengurangan subsidi dilakukan untuk menambah subsidi bagi lembaga-lembaga Kristen. Karena itu, Muhammadiyah meminta agar seluruh subsidi untuk Muhammadiyah dan yang lainnya dicabut (Syukrianta dan Munir Mulkhan, 1985).

Sikap kritis dan kooperatif ini senantiasa menjadi ciri gerakan Muhammadiyah. Pada masa Orde Baru, Muhammadiyah merupakan organisasi Islam yang banyak bermitra dengan pemerintah. Sikap Muhammadiyah yang tidak konfrontatif membuat organisasi Muhammadiyah dan para tokohnya dekat dengan pemerintah. Harus diakui, perkembangan dan akselerasi kegiatan Muhammadiyah dipengaruhi oleh kedekatannya dengan pemerintah. Kedekatan inilah yang membuat Muhammadiyah menjadi sangat melekat dengan pemerintah (government-attached). Mayoritas anggota dan pimpinan adalah pegawai negeri. Tidak hanya itu, susunan Majelis di dalam struktur organisasi Muhammadiyah juga disesuaikan dengan departemen pemerintah. Tetapi, hal ini sama sekali tidak berarti bahwa Muhammadiyah tergantung kepada pemerintah. Sebagian besar kegiatan Muhammadiyah dan amal usaha berasal dari filantropi Islam: zakat, infaq, shadaqah, wakaf dan sebagainya. Tanpa pemerintah, Muhammadiyah tetap dapat berkembang.

Penutup

Persoalannya, mengapa kalangan internal Muhammadiyah sedikit gundah ketika tidak ada kadernya yang menjadi menteri? Pertama, menurut Muhammadiyah pemerintah adalah mitra yang sangat penting dalam bekerja untuk mewujudkan cita-citanya: membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dengan kekuatan politik yang dimilikinya, pemerintah memiliki kekuatan yang mampu “mengarahkan” rakyatnya. Kedekatan dengan pemerintah akan memiliki dampak positif bagi dakwah Muhammadiyah. Faktor strategis inilah yang menjadi alasan mengapa Muhammadiyah begitu peduli dengan pemerintah dan berusaha mentransfer kadernya untuk berperan dalam pemerintahan.

Kedua, dalam pandangan Muhammadiyah, kemandirian bukan berarti menolak bantuan atau kerjasama dengan pihak lain. Kemandirian bagi Muhammadiyah berarti kemampuan menjadi kemitraan sesuai dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat, dan bermanfaat. Kemampuan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak merupakan indikator tertanamnya sikap terbuka dan kebebasan berkehendak.

Karena itu, sebagai gerakan civil society Muhammadiyah bukanlah anti pemerintah. Bekerjasama dengan pemerintah tidak berarti Muhammadiyah menjadi subordinat atau underbouw pemerintah. Dalam mencapai tujuannya, Muhammadiyah perlu mengembangkan kemitraan strategis dengan berbagai pihak tanpa kehilangan jatidirinya sebagai gerakan sosial berbasis massa yang mandiri. SMS yang mengaitkan jabatan menteri dengan Muhammadiyah barangkali dapat dimaknai dalam konteks ini.

Referensi

Alfian, Muhammadiyah: The Political Behaviour of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism, (Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 1989).

Arifin, M.T., Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah Dalam Bidang Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987).

Burhani, Ahmad Najib, Muhammadiyah and Javanese Culture: Appreciation and Tension, (Leiden University: Unpublished Thesis, 2004).

Hadikusumo, Djarnawi, Matahari-Matahari Muhammadiyah, (Yogyakarta: Persatuan, t.th).

Jainuri, Achmad, Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Muhammadiyah Masa Awal, (Surabaya: LPAM, 2002).

Shihab, Alwi, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, cetakan I, 1998).

Sudja, K.H., Islam Berkemajuan: Kisah-Kisah K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal, (Jakarta: Al-Wasath, 2008).

Syukrianta, AR dan Abdul Munir Mulkhan (Editor), Perkembangan Pemikiran Muhammadiyah Dari Masa Ke Masa, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 1985).

Abdul Mu’ti

Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar & MenengahPimpinan Pusat Muhammadiyah

Friday, October 28, 2011

Pandangan tentang Muhammadiyah

Republika, Minggu, 23 Oktober 2011 pukul 10:14:00

Buku Jalan Lain Muhammadiyah masih hangat karena diterbitkan pada bulan ini. Buku ini berupa kumpulan tulisan yang kaya gagasan dan pemikiran, khususnya berkaitan Muhammadiyah. Kumpulan tulisan ini pernah disampaikan di berbagai forum maupun ditulis di rubrik opini media massa.

Yang menarik, buku lebih dari 300 halaman ini tidak hanya memuat perkembangan Muhammadiyah. Tafsir sebagai orang dalam di organisasi Islam yang didirikan Ahmad Dahlan berani menyampaikan kritikan tajam terhadap gerakan Islam umumnya, termasuk Muhammadiyah, dalam melaksanakan aktivitas gerakannya. Kritik-kritik berharga tersebut tentunya bukan tanpa alasan. Selama ini, penulis buku ini dikenal sebagai aktivis sekaligus pemikir Muhammadiyah yang langsung terjun ke akar rumput.

Buku Tafsir yang Menafsirkan ini terdiri atas 33 tulisan yang dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama diberi tema "Mengembalikan Kulturalisme Muhammadiyah", isinya khusus mengenai Muhammadiyah. Ada 12 tulisan, di antaranya judul yang menarik isinya lebih mengingatkan Muhammadiyah, yaitu mengenai amal usaha Muhammadiyah yang hingga kini berkembang pesat di mana-mana.

Amal Usaha Muhammadiyah memiliki 'usaha' di bidang pendidikan, mulai dari tingkat TK, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Belum lagi di bidang kesehatan, santunan kaum dhuafa, sampai ekonomi. Siapa yang tidak tergiur? Mantan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syafii Maarif menulis, AUM tidak jarang menjadi rebutan sebagai mata pencaharian pengurusnya. Namun, yang ikhlas juga tidak kurang jumlahnya. Berkaitan kegiatan AUM ini, Tafsir memberi pandangan dengan judul "Amal Usaha Muhammadiyah: Berkah atau 'Fitnah'?"

Tulisan lainnya yang mengkritik Muhammadiyah berjudul "Awan Gelap di Balik Jargon Pembaruan Muhammadiyah". Dalam tulisannya, Tafsir menilai, Muhammadiyah mengalami kekeringan intelektual akibat kehilangan rujukan tradisi intelektual klasik yang sedemikian luas sebagai inspirasi semangat berpikir/berijtihad. Singkatnya, ruang gerakan pemikiran Muhammadiyah mati suri.

Dia menjelaskan, ada tiga hal yang menyebabkan mandeknya pemikiran di tubuh Muhammadiyah. Ketiga pemikiran itu diuraikan secara rinci, termasuk kehadiran liberalisme Muhammadiyah. Tulisan menarik lainnya, yaitu "Distorsi Pembaharuan Muhammadiyah" dan "Politisasi Muhammadiyah dalam Pilkada".

Di bagian kedua buku ini, Tafsir menyoroti tema-tema berkaitan dengan umat dan kesehariannya: "Islam Rahmah", "Islam Barokah", dan "Islam Syariah". Ada 10 tulisan menarik yang kaya gagasan dan inspirasi bagi umat, sedangkan bagian ketiga diberi judul "Menimbang Perspektif Lain untuk Muhammadiyah". Temanya lebih luas, berisi pemikiran yang dikaitkan dengan kondisi saat ini.

Terhadap pemikiran dan gagasan Tafsir ini, Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr Abdul Mu'ti M Ed memiliki penilaian tersendiri. Menurutnya, Tafsir memiliki kemampuan melihat permasalahan dari sudut pandang yang unik dan menarik. Karena itu, dia menyarankan agar membaca gagasan dan pemikiran Tafsir harus dengan nalar yang jernih dan hati yang tenang. Dari situlah pembaca dapat menemukan perspektif baru yang sangat menantang pemahaman dan tradisi yang mapan.susie evidia y, ed:subroto

Judul Buku : Jalan Lain Muhammadiyah
Penulis : Drs Tafsir, M Ag
Penerbit : Al-Wasat Publishing House
Cetakan : Oktober 2011
Tebal : 337 halaman

Thursday, October 27, 2011

Intelektualisme Muhammadiyah: Masa depan yang terpasung

Baidhawy, Zakiyuddin. 2006. "Intelektualisme Muhammadiyah: Masa depan yang terpasung." Jurnal Maarif, 1 (1): 20-23.

Muhammadiyah menjelang satu abad. Organisasi Islam ini sedari awal identik dengan "gerakan tajdid." Kini, sejalan dengan makin udzurnya usia, kejumudan menggerogoti memori kolektif Muhammadiyin. Inilah saatnya untuk bercermin diri tentang perlunya spirit tajdid terus dihidupkan, setelah sekian lama berkubang dalam problem kontinuitas tanpa perubahan. Yaitu, rutinitas amal usaha minus kreatifitas dan inovasi pikiran-pikiran dan gerakan-gerakan alternatif yang cemerlang. Jika dipandang perlu Muhammadiyah ganti kulit, seperti ular nglungsumi agar tubuh dan spirit mudanya bangkit kembali, gairahnya bergejolak, kehangatannya memuncak, dan mampu memproduksi kembali zaman keemasan.

Tanpa syarat, upaya radikal ini harus digalakkan. Mengingat bahwa penyakit kronis yang menjangkiti organisasi yang diinisiasi oleh KH. AHmad Dahlan ini adalah jatuh dalam perangkap kebekuan modernistik. Dan nasibnya kian hari bertambah buruk. Beberapa indikasi dapat disebutkan antara lain: Pertama, seiring bergulirnya waktu dan perubahan, Muhammadyah terjerat involusi tajdid. Formulasi syariah dan kodifikasi Himpunan Putusan Tarjih (HPT), Pedoman Hidup Islami Muhammadiyah (PHIM), menjerumuskan Muhammadiyah dalam pengkristalan mazhab baru. Pengkristalan ideologi ini pada gilirannya menunjukkan wajah kolonial dengan kekuatan imperatif yang tabu atas perkembangan pemikiran dan harakah Islam berhadapan dengan akselerasi tantangan kontemporer. Muhammadiyah lebih tampil serupa kekuatan imperialis yang memiliki "mandat suci" untuk menghegemoni dan menindas atas nama keutuhan dan kemurnian Islam yang sebenar-benarnya.

Ini berimplikasi pada semakin menggelembungnya arus utama dalam Muhammadiyah yang selalu memahami dan menempatkan realitas kehidupan dalam dua sisi yang paling bertentangan secara diametral. Oposisi biner yang membagi dunia dalam dua kutub hitam-putih. Islam dalam realitas keber-Islam-an mengalami siplifikasi kedalam dua polar: Islam Murni versus Islam Tidak Murni.

download file

Tuesday, October 18, 2011

Komunitas Muhammadiyah Kultural (Berjuang dari Garis Pinggir)

Penulis: Benni Setiawan

“Tadi, habis ada pertemuan alumni JIMM di PDM Solo. Kita berencana membuat jaringan Muhammadiyah-Non Struktural yang didukung oleh seorang anggota DPRD Solo”

Kira-kira itu pesan singkat (SMS) dari teman yang saya terima pertengahan bulan Oktober lalu. Muhammadiyah non-struktural yang kemudian disebut Muhammadiyah Kultural bukanlah sebuah gerakan vis-à-vis Muhammadiyah struktural. Muhammadiyah kultural merupakan komunitas kader-kader Muhammadiyah yang tidak tertampung oleh Muhammadiyah struktural, entah karena keterbatasan ruang di Muhammadiyah, perbedaaan cara pandang dengan “Muhammadiyah resmi”, atau karena rasa nyaman untuk membesarkan Muhammadiyah melalui jalur kultural.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapa saja Muhammadiyah kultural itu? Bagaimana mereka melakukan transformasi teologis guna turut serta dalam membesarkan Muhammadiyah dan memberi kontribusi positif bagi bangsa Indonesia?

Beberapa komunitas Muhammadiyah kultural yang hingga saat ini masih eksis adalah Ma’arif Institute, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Lembaga Studi Islam dan Sosial (LSIP Yogyakarta), dan Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS Surabaya). Sebenarnya masih banyak lagi komunitas Muhammadiyah kultural. Namun dalam tulisan ini hanya akan dibatasi oleh empat lembaga tersebut.

Ma’arif Institute

Dalam buku Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam, Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme, Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: LSAF dan Paramadina, Juni 2010), Maarif Institute digolongkan dalam lembaga Islam progresif yang mengembangkan pengarustamaan (mainstreaming) dan diseminasi ide-ide sekulisme, liberalisme, dan pluralisme.

Maarif Institute didirikan pada 28 Februari 2003 di Jakarta atas prakarsa Ahmad Syafii Maarif. Gagasan pokok Maarif Institute adalah menyosialisasikan gagasan pembaruan Islam, melakukan dialog, dan kerjasama antaragama, antarkebudayaan, dan antarperadaban guna mewujudkan keadaban, perdamaian, saling pengertian, dan kerjasama yang konstruktif bagi kemanusiaan. Oleh karena itu, apa yang kini dikembangkan oleh Maarif Institute tidak lain merupakan ikhtiar untuk merealisasikan gagasan besar Syafii Maarif yang terangkum dalam konsep keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan (Budhy Munawar-Rachman, 2010: 111-112).

Dalam pandangan Ahmad Syafii Maarif sebagaimana dikutip Budhy Munawar-Rachman (115-116), Islam harus fleksibel atas perubahan yang terjadi, sehingga kitab suci tidak tersubordinasi oleh kekuasaan yang mengatasnamakan semangat Islam, dan selanjutnya malah melakukan tirani atas nama Islam. Syafii Maarif menekankan pentingnya dimensi etik dalam praktik kenegaraan ketimbang formalisme. Dasar-dasar kenegaraan itu adalah keadilan untuk kemanusiaan, dan itulah yang menurutnya dituntut al-Qur’an, bukan bentuk formal negara Islam.

Lebih lanjut, dalam mengapresiasi pemikiran Nurcholish Madjid, cita-cita keislaman dan cita-cita keindonesiaan bertemu dalam Pancasila sebagai ideologi terbuka yang harus ditafsirkan secara “proaktif”. Dengan semangat Sumpah Pemuda dan nilai-nilai luhur Pancasila, maka dimensi negatif politik identitas yang bermuatan agama, etnisitas, dan ideologi, akan dikawal dan diarahkan, demi memperkokoh semangat integrasi nasional, sesuatu yang mutlak bagi masa depan Indonesia sebagai bangsa dan negara (Ahmad Syafii Maarif, “Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia, dalam Ihsan Ali Fauzi dan Samsul Riza Panggabean, 2010: 28).

Pikiran-pikiran tentang sekularisme politik Syafii Maarif inilah yang selanjutnya dikembangkan dalam Maarif Institute—sehingga Maarif Institute menjadi wadah pengembangan pikirian Syafii Maarif.

Untuk memperkuat dan menyebarkan wacana yang dikembangkannya, Maarif Institute membuat website dengan alamat www.maarifinstitute.org. Selain membuat website Maarif Institute juga menerbitkan jurnal Maarif yang terbit setiap bulan.

Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)

Sebagaimana Maarif Institute, JIMM masuk dalam kategori lembaga Islam progresif ala Budhy Munawar-Rachman. JIMM berdiri tahun 2003. Dalam perekrutan anggota, JIMM menyelenggarakan berbagai workshop dengan tiga pilar kajian, yaitu pemikiran Islam kontemporer, ilmu sosial kritis, dan the social movement (gerakan sosial baru). Ketiga wacana itu diolah sebagai pemikiran Islam kontemporer yang di dalamnya mengkaji soal hermeneutika al-Qur’an, hermeneutika sosial, syariat demokratik, teologi pembebasan, pluralisme, dan multikulturalisme (Pradana Boy (ed), 2004: viii-ix). Dari ketiga tema kajian itu, yang paling mendapat banyak kritik dari Muhammadiyah adalah hermeneutika. Walaupun kini tema ini sudah mulai banyak diperbincangkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan beberapa pemimpin harian Majelis dan Lembaga.

Kelahiran JIMM tidak dapat dipisahkan dari peran serta Ahmad Syafii Maarif yang kala itu menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Selain Buya Syafii, beberapa tokoh yang kala itu mendukung sepenuhnya lahirnya perkumpulan anak muda progresif karena gelisah melihat kondisi Muhammadiyah dan kebangsaan adalah M. Amin Abdullah (pendekar dan bapak hermeneutika Indonesia), Abdul Munir Mulkhan (syekh siti jenar-nya Muhammadiyah, kini komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), dan M. Dawam Rahardjo (ekonom dan budayawan Muhammadiyah yang fasih dan menguasai wacana keislaman).

Selain itu, embrio JIMM dirintis oleh Moeslim Abdurrahman (dulu Direktur Maarif Institute, kini Direktur al-Maun Institute). Moeslim yang pernah memimpin Lembaga Buruh Tani dan Nelayan PP Muhammadiyah yang menjadi cikal bakal Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) menegaskan bahwa JIMM mencoba membangun pemikiran baru dan menjadikan tajdid (pembaruan)—nilai yang selama ini dijunjung tinggi oleh Muhammadiyah—sebagai langkah JIMM menafsir kembali makna Islam yang lebih relevan (Moeslim Abdurrahman dalam Ahmad Fuad Fanani, 2004: xxi. Baca juga Budhy Munawar-Rachman, 2010: 117-118).

Aktivis JIMM kini banyak bersembunyi di balik lembaga-lembaga yang mereka didirikan. JIMM pasca Muktamar Malang 2005 memang kian meredup. Banyak pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah belum rela jika nama Muhammadiyah berdiri di belakang Jaringan Intelektul Muda (JIM).

Kemunculan tulisan-tulisan kritis anak muda Muhammadiyah yang tergabung dalam JIMM pasca 2005 pun kian menurun—jika tidak mau disebut meredup. Walaupun demikian, aktivis JIMM masih terus berkarya dengan sesekali menulis di berbagai media massa namun tidak menggunakan atribut JIMM lagi. Namun dalam setiap gagasannya trilogi JIMM masih terus menjadi spirit kader muda Muhammadiyah ini.

Lembaga Studi Islam dan Politik (LSIP)

Seiring terus menurunnya intensitas atau aktivitas JIMM, kader JIMM terus mengembangkan sayap geraknya. Mereka tidak lagi melekatkan nama JIMM di belakang namanya, namun menggunakan atribut baru yang lebih dapat diterima oleh warga Muhammadiyah khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Salah satunya adalah LSIP.

Latar belakang berdirinya LSIP adalah, situasi keterbukaan, globalisasi, hegemoni, ketidakadilan serta pluralisme bergabung menjadi satu di bumi republik ini. Ada tarik menarik yang demikian hebat antara keterbukaan, globalisasi, hegemoni dengan ketidakadilan dan pluralisme di pihak lain.

Situasi seperti itu jelas membutuhkan transformasi yang lebih memadai, tidak bisa secara gradualistik. Dibutuhkan kerja-kerja pemihakan dan pembelaan yang jelas atas kondisi timpang. Tidak bisa ketimpangan dibebankan pada satu kelompok masyarakat, yang tergolong mustadz’afin dan terhegemoni.

Pihak-pihak yang terhegemoni oleh sebuah tradisi tertentu adalah bukti bahwa kita belum berhasil “melepaskan diri”, sehingga butuh ruang dan pemihakan yang jelas. Tradisi-tradisi yang membiarkan masyarakat terpuruk bisa jadi merupakan penyebab lain yang menimbulkan adanya frustasi sosial dan banyaknya kemungkaran-kemungkaran sosial di tengah masyarakat agama.

Oleh sebab itulah, menjadi penting hadirnya sebuah ruang dan suasana baru untuk bisa menerjemahkan problem-problem sosial yang dilihat dan dialami masyarakat. Tafsir-tafsir atas kondisi sosial yang timpang hanya akan mungkin muncul ketika ada ruang dan kedewasaan untuk saling terbuka, kritik, dan kritis.

Dari manakah situasi terbuka akan tumbuh? Di situlah, pilar-pilar memahami problem sosial dari sisi teks-teks dan konteks keagamaan menjadi sangat dibutuhkan. Tetapi bukan hanya itu saja, tradisi berpikir kritis dan membebaskan harus senantiasa menjadi bagian dari kehidupannya.

Kemajuan teknologi dan informasi jelas memberikan banyak manfaat, tetapi akan menyebabkan kita terpuruk apabila di antara kita dan lingkungan sekitar tidak tumbuh mental pembebasan dan kesadaran diri yang memadai. Kepalsuan dan fatamorga-fatamorgana harus diakhiri (Sekilas tentang LSIP).

Dari latar belakang tersebut, dapat dibaca lembaga yang didirikan Zuly Qodir, Isngadi, Thufail AM, Budi Asyhari-Afwan, dan lain-lain yang notabene adalah aktivis JIMM di Yogyakarta, merupakan perwujudan atau implementasi nyata dari spirit trilogi JIMM. LSIP memosisikan dirinya sebagai sebuah lembaga yang ingin memberi kontribusi positif bagi perkembangan kajian keislaman dipadu dengan realitas politik kekinian sebagai cikal bakal pembebasan manusia dari hegemoni yang tidak memihak.

Hal ini tercermin dari maksud dan tujuan LSIP, untuk ikut serta membantu pemerintah Republik Indonesia khususnya umat Islam dalam mewujudkan partisipasi warga negara yang demokratis dan berkeadilan berdasarkan kearifan lokal melalui pencerahan wacana dan praksis sosial; menjadi ruang untuk terjadinya perbedaaan pandangan, bertukar pikiran, dan menggali khazanah keagamaan yang inklusif, terbuka, toleran, dan pluralis dari mana saja asalnya; didedikasikan untuk persemaian rahmat semua agama bagi tumbuhnya masyarakat sipil yang demokratis, yang mampu menghormati dan menghargai segala bentuk perbedaaan.

Sependek pengetahuan penulis, LSIP telah mengadakan workshop tentang perempuan yang melibatkan seluruh elemen lintas agama. Salah satu hasil workshop-workshop itu adalah lahirnya buku Abdur Rozaki dan Nur Khalik Ridwan, Pemberdayaan Politik Perempuan Lintas-Agama (2008) dan M. Subkhi Ridho (ed), Perempuan, Agama dan Demokrasi (2007).

Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS)

LKAS, Institute for Religion and Social Studies (IRSS) at Surabaya (Multikultural-Transformatif, Mencerahkan-Inklusif dan Progresif-Membebaskan). Lembaga ini didirikan pada 17 Ramadhan tahun 2003 oleh sekelompok kaum muda JIMM kritis di Surabaya, seperti Choirul Mahfud dan Muh Kholid AS. Ia berdiri berdasarkan fakta sosial-agama yang bertalian erat dalam penciptaan damai-konflik di Indonesia.

Kegiatan LKAS selain diskusi rutin, seminar, workshop yang bekerja sama dengan lembaga lain juga dalam hal penerbitan. Sebagai lembaga yang digawangi anak-anak muda, LKAS mampu membangun komunikasi intensif dengan etnis Tionghoa di Surabaya dan sekitarnya.

Garis pinggir

Maarif Institute, JIMM, LSIP, LKAS tidak menggunakan nama Muhammadiyah—meskipun JIMM, menggunakan Muhammadiyah di belakangnya. Walaupun chasing-nya bukan Muhammadiyah, tetapi ruhnya adalah Muhammadiyah. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa tidak semua kader Muhammadiyah dapat tertampung oleh organisasi yang didirikan oleh K. H. Ahmad Dahlan satu abad yang lalu. Selain karena porsi kepemimpinan masih didominasi oleh empat L (Loe Lagi Loe Lagi), jabatan di Muhammadiyah sangat terbatas. Mereka juga menyadari bahwa berkarya dan membesarkan Muhammadiyah serta berkiprah untuk bangsa tidak mesti harus masuk dalam struktur Muhammadiyah. Masih banyak cara dan jalan guna mendarmabaktikan tenaga dan pikiran untuk nusa dan bangsa.

Kader-kader Muhammadiyah yang mencoba berijtihad untuk mendirikan lembaga atau organisasi lain di luar persyarikatan merupakan potensi bagi organisasi yang kini dipimpin oleh M Din Syamsuddin ini. Keberadaan mereka perlu diuri-uri. Adalah hal yang kontraproduktif jika mereka dimusuhi atau bahkan mendapat resistensi atas nama warga Muhammadiyah atau persyarikatan.

Komunitas Muhammadiyah kultural ini merupakan berkat bagi Muhammadiyah. Komunitas ini dapat menjadi penopang Muhammadiyah di tengah ketidakmampuan persyarikatan menjangkau beberapa bidang gerak. Komunitas ini pun sayap gerak Muhammadiyah selain Majelis dan Lembaga yang resmi di bentuk atas usulan dan hasil Muktamar.

Komunitas Muhammadiyah kultural merupakan kelompok ikhlas yang berjuang dari garing pinggir persyarikatan. Mereka mendedikasikan ilmu yang mereka peroleh dari berbagai belahan dunia untuk membesarkan Muhammadiyah secara tidak langsung. Keterbatasan ruang di Muhammadiyah tidak menyiutkan nyali mereka untuk berkarya.

Maka dari itu, sudah selayaknya Muhammadiyah memberi ruang lebih bagi komunitas-komunitas ini untuk terus berkembang. Salah satunya dengan sentuhan atau pemihakan tokoh-tokoh atau pun pimpinan yang kini mengelola organisasi. Sebagaimana ketika Buya Syafii, Amin Abdullah, Munir Mulkhan, dan Dawam Rahardjo membidani lahirnya Maarif Institute dan JIMM.

Komunitas Muhammadiyah kultural yang dalam bahasa Miftachul Huda (Ikhwanul Muhammadiyah, Benturan Ideolohgis dan Kaderisasi dalam Muhammadiyah, 2007: 86-90) sebagai kaum pinggiran ini, harapan Muhammadiyah tetap menyandang sebagai gerakan pembaruan dapat dipenuhi. Tentu saja jika kaum pinggiran ini mampu secara terus menerus melakukan kritik dan masukan terhadap Muhammadiyah dari waktu ke waktu. selain itu, kaum pinggiran yang mayoritas dihuni oleh para kalangan terdidik secara akademis ini diharapkan mampu mempertahankan nuansa intelektual akademis yang selalu dihembuskan yang berfungsi sebagai kontrol rutinitas aktivitas Muhammadiyah.

Komunitas Muhammadiyah kultural yang mungkin lebih luwes dan lincah karena dibidani oleh anak-anak muda produktif ini memang kadang menyampaikan statement tanpa tedeng aling-aling (terbuka, ceplas-ceplos). Lebih dari itu, mainstreamnya mungkin agak berbeda dari Muhammadiyah structural merupakan keragaman yang tidak perlu dipersoalkan.

Komunitas Muhammadiyah kultural biarkan bermain di garis pinggir, tanpa harus terjebak oleh rutinitas persyarikatan yang kadang menjemukan. Mereka adalah bagian dari Muhammadiyah. Maka tidak elok jika mereka harus dimusuhi atau dicap liberal, sekuler, pluralis, dan seterusnya. Biarkan mereka menemukan “surganya” sendiri. Hal ini karena Muhammadiyah adalah tenda besar, bukan payung yang sempit.

Retrieved from: http://www.majalahbasis.com/index.php/article/detail/134

Sunday, October 16, 2011

Panglima Besar Jenderal Sudirman: Kader Muhammadiyah


“Tentara tidak berpolitik, tidak memihak kepada golongan, atau partai politik tertentu. Politik negara adalah politik tentara.” Kalimat itu diucapkan Panglima Besar Jenderal Sudirman, pahlawan nasional yang riwayatnya ditulis dengan tinta emas dalam sejarah Indonesia. Buku ini mengungkap sisi kehidupan spiritualreligius Jenderal Sudirman dalam pembentukan kepribadiannya. 
Judul : Panglima Besar Jenderal Sudirman
Kader Muhammadiyah
No. ISBN : 979-9246-27-X 
Penulis : Sardiman AM 
Editor : Rachmi N. Hamidawati 
Penerbit : AKN  
Tahun Terbit : 2005
Jumlah Halaman : 312
Ukuran : 15 x 23
Kertas : HVS 70gr
Cetakan : Black-White
Berat Buku : 415 gram

Jendral Soedirman Pahlawan Pembela Kemerdekaan
1916 - 1950


Di Bodas Karangjati lah Sudirman dilahirkan, tepatnya di kabupaten Purbalingga tanggal 24 Januari 1916. Pendidikan terakhirnya adalah Sekolah Guru Muhammadiyah di Solo, tapi tidak sampai tamat. Kemudian ia menjadi guru di Muhammadiyah Cilacap. Semasa mudanya Sudirman aktif dalam organisasi pramuka dan terkenal sangat disiplin.

Dimasa pendudukan Jepang, Sudirman sangat memperhatikan masalah sosial. Lalu ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Dan ia juga menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Keresidenan Banyumas.
 
Pada masa itu pula Sudirman mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Kemudian ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Jasa pertama Sudirman setelah kemerdekaan ialah merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas.
 
Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia diangkat menjadi Panglima Divisi V / Banyumas dengan pangkat kolonel. Bulan Desember 1945 ia memimpin pasukan TKR dalam pertempuran melawan Inggris di Ambarawa. Tanggal 12 Desember dilancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Akhirnya pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.
 
Dalam Konferensi TKR tanggal 12 Nopember 1945 Sudirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR. Lalu tanggal 18 Desember 1945 ia dilantik oleh Presiden dengan pangkat Jenderal. Sejak itu TKR tumbuh menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
 
Sewaktu Belanda melancarkan Agresi Militer II, Jendral Sudirman sedang sakit, tetapi ia menolak saran Presiden untuk tetap tinggal didalam kota. Kurang lebih tujuh bulan ia mempimpim perang gerilya di hutan-hutan dan gunung-gunung. Banyak penderitaan yang dialaminya terutama penyakitnya sering kambuh dan tidak tersedianya obat-obatan.
 
Pulang dari medan gerilya, karena masih sakit, ia tidak dapat memimpin Angkatan Perang secara langsung, tetapi buah pemikirannya selalu dibutuhkan oleh Pemerintah.
 
Pengalima Besar Jenderal Sudirman meninggal dunia di Magelang pada tanggal 29 Januari 1950 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
 
 Pembelengguan Sebuah Fakta Sejarah


Judul: Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman
 
Penulis:Dr Abdul Haris Nasution, Dr H Roeslan Abdulgani, Prof SI Poeradisastra, Sides Sudyarto DS (editor)Kompas, 13 Maret 2003. SOEDIRMAN, salah seorang pahlawan nasional dan simbol Tentara Nasional Indonesia (TNI) bukanlah nama yang asing di telinga. Ia mendapat tempat istimewa dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia karena menjabat panglima angkatan bersenjata pada awal berdirinya republik ini. Namun, pengetahuan tentang Soedirman yang diberikan bangku sekolah tidak pernah cukup mendalam. Sementara ketersediaan literatur yang membahas Soedirman secara khusus jumlahnya tidak memadai.
Dalam kurun waktu 25 tahun pertama pascakemerdekaan, tercatat hanya ada satu buku saja yang menempatkan Soedirman sebagai pokok bahasan, yaitu "Djenderal Soedirman Pahlawan Kemerdekaan" (1963) yang ditulis Solichin Salam. Selebihnya pembahasan tentang Soedirman selalu hanya merupakan pelengkap bagi kerangka bahasan lain seperti tentang gerakan Pemuda Muhammadiyah, kepanduan Hizbul Wathan, perang revolusi kemerdekaan, tentara, politik militer, hingga tentang Tan Malaka.

Baru sekitar tahun 1980-an mulai bermunculan buku yang membahas Soedirman secara lebih spesifik, seperti "Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman" karya SA Soekanto (1981), "Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia, Kisah Seorang Pengawal" (1992) yang ditulis Tjokropranolo, mantan Gubernur DKI Tahun 1977-1982, atau "Panglima Besar Jenderal Sudirman Kader Muhammadiyah" (2000) karya Sardiman AM. Meskipun cukup banyak kuantitasnya, namun sebagian besar buku yang hadir tersebut cenderung mengaitkan tokoh ini dengan dunia ketentaraan dan lebih berupa memoar atau biografi Soedirman sebagai seorang tokoh.

Sedikit saja buku seperti "Genesis of Power General Sudirman and the Indonesian Military in Politics 1945-49" (1992) yang ditulis Salim Said, yang mengupas sikap dan pandangan politik Soedirman secara lebih mendalam, baik menyangkut penentangan Soedirman terhadap langkah politik pemerintah yang menjalin kerja sama dengan Belanda, tentang langkah-langkah politis yang diambil Soedirman dalam rangka mengedepankan sikap politiknya, dan keterkaitan Soedirman dengan Peristiwa 3 Juli 1946. Umumnya jika sampai pada pembahasan tentang hal tersebut, penulis-penulis cenderung "melindungi" keterlibatan Soedirman dalam peristiwa yang diyakini sebagai upaya coup d' ètat dan "membersihkan" kecenderungan ideologi kiri Soedirman dengan berbagai alasan.

Fakta sejarah tersebut memang rawan dibicarakan ketika rezim yang berkuasa bersandar
pada kekuatan militer yang mengangkat Soedirman sebagai panglima besarnya. Tak ayal lagi, ketika buku yang menganalisis Peristiwa 3 Juli 1946 terbit, pemerintah Orde Baru langsung membelenggu peredarannya lewat daftar cekal Kejaksaan Agung (Kejagung). "Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman", buku yang mengangkat Peristiwa 3 Juli 1946 sebagai fokus bahasan, memaparkan pergolakan internal para elite politik Indonesia pada awal kemerdekaan dengan titik berat telaah pada pandangan dan sikap politik yang diambil Soedirman selaku panglima besar dalam menanggapi berbagai situasi politik yang berkembang saat itu.

Panglima Besar Soedirman" merupakan kumpulan beberapa tulisan, di antaranya tulisan dua pelaku sejarah bangsa ini yaitu Abdul Haris Nasution dari kalangan militer dan Roeslan Abdulgani yang mewakili unsur sipil yang turut berjuang dalam perang kemerdekaan. Selain itu, termaktub pula analisis terhadap Peristiwa 3 Juli 1946 dari SI Poeradisastra, sejarawan dan Guru Besar UI, dan rangkuman dari Sides Sudyarto DS, pemenang sayembara puisi Prasasti Ancol tahun 1977 dan mantan wartawan yang pernah bergabung di Kompas tahun 1974-1981.

Buku yang pertama kali dicetak sebanyak 5.000 eksemplar dan diluncurkan sekitar awal tahun 1984, ini tamat riwayat peredarannya di masyarakat kurang lebih enam bulan kemudian, tepatnya tanggal 28 Agustus 1984, setelah diharamkan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) lewat fatwa No 167/JA/8/1984. Menurut Sides, editor buku itu yang sempat diinterogasi Kejagung sebanyak sembilan kali, tidak ada alasan formal yang menjadi landasan pencekalan buku yang bermuatan fakta sejarah tersebut.

Dalam "Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman", Nasution menuangkan pengalaman pribadi sebagai prajurit di lapangan yang langsung menerima perintah Soedirman. Sebagai seorang bawahan, ia lebih banyak menyoroti kepemimpinan Soedirman sebagai panglima besar dalam menyikapi berbagai kondisi politik bangsa dan menghindari pembahasan tentang Peristiwa 3 Juli 1946. Meskipun begitu, ia mengakui bahwa dirinya berseberangan pendapat dengan Soedirman dalam persoalan "Reorganisasi-Rasionalisasi" (Re-Ra) tentara yang merupakan imbas dari Perjanjian Renville tahun 1948.

Dalam mengulas Soedirman, Abdulgani menempatkan panglima besar tersebut dalam konteks pertikaian ideologi yang mendominasi kala itu. Meskipun dalam Peristiwa 3 Juli 1946 di Yogyakarta Soedirman dituduh membantu upaya coup d' ètat terhadap duet Soekarno-Hatta, dengan membebaskan orang-orang dari kelompok Marxisme-Leninisme independen (Tan Malaka) yang ditahan di Penjara Wirogunan, namun menurut Abdulgani tekad untuk mempertahankan kemerdekaan dan loyalitas terhadap negara tetap dipegang teguh Soedirman yang secara historis masuk dalam kelompok Islamisme, namun bukan aliran yang fanatik dan intoleran. Walaupun sempat berseberangan pandangan politik dengan pemerintah yang saat itu dikuasai kelompok Marxisme-Liberalisme moderat (Amir Sjarifuddin dan Sjahrir), Soedirman tidak memanfaatkan posisi panglima besar yang strategis untuk menggulingkan pemerintah resmi Soekarno-Hatta.

Poeradisastra sebagai seorang sejarawan berupaya obyektif dalam melihat fakta Peristiwa 3 Juli 1946. Analisis terhadap rangkaian kejadian, proses sidang di Mahkamah Agung, kesaksian Soedirman, serta pernyataan dan pembelaan dari para pelaku yang terlibat dalam peristiwa itu, seperti Iwa Koesoema Soemantri, Ahmad Soebardjo, dan M Yamin dari kubu Persatuan Perjuangan yang berafiliasi pada Tan Malaka, melahirkan satu kesimpulan bahwa telah terjadi tawar-menawar antara Soedirman dengan para anggota Kabinet Sjahrir yang secara coute que coute membentuk pra-anggapan peristiwa tersebut sebagai suatu coup d' ètat.

Meskipun Poeradisastra tidak mengingkari keterlibatan Soedirman dalam Peristiwa 3 Juli 1946, namun ia yakin Soedirman melakukan negosiasi tersebut untuk menyelamatkan keutuhan komando tentara saat itu. Sejarah membuktikan, Soedirman tetap menjaga manunggalnya tentara dengan pemerintah. Ia mengorbankan hati nuraninya yang tidak setuju dengan keputusan pemerintah untuk berkompromi dengan Belanda demi persatuan negara dan membayar beban psikologisnya dengan kesehatan yang kian hari semakin memburuk.

Upaya meminta Soekarno mengubah susunan Kabinet Sjahrir dan menerima minimum program Persatuan Perjuangan 7 pasal yang dikenal dengan Peristiwa 3 Juli 1946, memang tidak dibahas secara mendalam dalam wacana sejarah Indonesia selama ini. Padahal, peristiwa tersebut jelas melibatkan Soedirman yang disinyalir mendukung Persatuan Perjuangan yang berada di bawah komando Tan Malaka. Kedekatan dan kesamaan visi Soedirman dengan Tan Malaka yang oleh Orde Baru dituding sebagai komunis mengindikasikan ideologi yang dianut Soedirman.Hal inilah yang coba ditutupi rezim Orde Baru yang berdiri di atas kekuatan militer. Bagaimana publik akan bereaksi jika menyadari fakta bahwa Panglima Besar TNI adalah seorang sosialis! (Nurul Fatchiati)

Retrieved from: http://alumni-unsoed.tripod.com/id17.html

Wednesday, October 12, 2011

Moehammadyah and "Terug naar Koran en Soennah"

"Moehammadyah" in Blumberger, John Theodor Petrus. 1931. De nationalistische beweging in Nederlandsch-Indië. Haarlem: H.D. Tjeenk Willink & Zoon. pp. 90-101 and 339-347.

Het snel toenemend wereldverkeer van technischen en geestelijken aard heeft niet nagelaten allerwegen grooten invloed uit te oefenen op het godsdienstig, politiek en sociaal stelsel van den Islam. Door veelvuldige aanrakingen met andere godsdiensten en religieuze opvattingen, met moderne wetenschappelijke instellingen en methoden, heeft het veelomvattend stelsel van den Islam, zooals het is opgebouwd op den grondslag van den Koran (Allah's eigenwoorden, aan Mohammad geopenbaard) en de Soennah (ten rechte ,,Hadith", d. i. overlevering betreffende het doen en laten van den Profeet en van zijn gezellen), zich moeten aanpassen aan de onafwijsbare eischen der wereld-evolutie.

Vooruitstrevenden onder de Moslims, die den tijdgeest beseften en vele der in de Fikh-boeken van de vier scholen — Sjafiietische, Hanafietische, Malikietische en Hanbalietische — gegeven interpretatiesdergewijde teksten als belemmeringen gevoelden voor de maatschappelijke evolutie, riepen allengs luider: ,,Terug naar Koran en Soennah", met terzijdestelling van allerlei verstarde regelen der plichtenleer, vastgelegd door de vier Imams, hoofden diet rechtsscholen. Zelfstandige bronnenstudie (..idjtihad"), buiten de Kitabs om, was echter volgens de orthodoxie ongeoorloofd; immers zou dat beteekenen aantasting van het gezag der Imams, aan wier autoriteit de rechtzinnigen zich hadden te onderwerpen (,,taklid").

... Leider dier beweging was Kjahi Hadji Ahmad Dahlan, die moderne leerstelh'ngen verkondigde op het gebied van het onderwijs aan Islamieten, ook aan vrouwen en meisjes. Zijn godsdienstige propaganda (,,tablegh") ontmoette heftig verzet van de zijde der orthodoxe gemeente. De energieke Dahlan liet zich daardoor niet afschrikken! Op 18 November 1912 richtte hij een vereeniging op, onder den naam ..Moehammadyah", met het doel het wereldsch onderwijs te bevorderen op godsdienstigen grondslag en de eenheid en de kracht van den Islam te versterken. De vereeniging representeerde den wereldwijzen modernen ,,santri", die door veelvuldige aanrakingen met de buitenwereld in zijn handel en zijn bedrijf zich bewust was geworden van de sleur, waarin de Islam was vervallen; die zich opmaakte om zijn godsdienst op te heffen door de dogmatische en wettelijke beginselen zooveel mogelijk te doen aanpassen aan veranderde levensomstandigheden. Zoo kan Moehammadyah eenigermate worden aangemerkt als te behooren tot de reformistische Islam-beweging uit de school van Moehammad Abdoeh, den Egyptischen Sjeich, die beoogt den Islam te bevrijden van de banden, welke actieve deelneming aan den vooruitgang van den nieuwen tijd bemoeilijkten.

Monday, October 10, 2011

Muhammadiyah dan Alternatif Kiblat Rohani Politik

Jurnal MAARIF Vol. 5, No. 1 — Juni 2010

Mohamad Sobary

Masih besarkah relevansi kehadiran Muhammadiyah bagi kehidupan –terutama dalam kepemimpinan bangsa?”

Bagi para tokoh yang bekerja di dalam Muhammadiyah, dan mengurus segala hal teknis operasional organisasi, pertanyaan ini mungkin tak begitu perlu dikemukakan karena dari detik ke detik, dari menit ke menit, dan jam demi jam lewat –berkembang menjadi hari– terus menerus sepanjang bulan, dan tahun-tahun pun silih berganti hingga ke detik ini, para tokoh itu –boleh disebut para birokrat–sibuk di dalam dan demi Muhammadiyah, sehingga tak berlebihan bila mereka merasa, seolah mereka diciptakan khusus untuk Muhammadiyah. Dengan demikian, bagi yang sibuk di urusan teknis birokrasi tadi, Muhammadiyah tetap relevan semenjak dilahirkan sampai hari ini. Buat para tokoh yang sifat urusannya birokratik, mudah untuk tetap merasa bangga menyaksikan organisasi pembaruan ini masih solid, dan tetap memelihara orientasi keumatan, dengan panji-panji yang berkibar di seluruh tanah air.

Bila dilihat dari urusan-urusan teknisnya, yang kecil-kecil, maupun dari segi peran orang-orang kecil di dalamnya, perkumpulan kita ini sungguh raksasa dan penting sekali. Kiblat perjuangan Muhammadiyah sejak dulu sudah tepat, karena dilihat dari peran orang-orang kecil, yang urusannya serba teknis, Muhammadiyah tetap mengawal kehidupan umat dengan mengutamakan core business-nya: memelihara amal usaha di bidang pendidikan, dan pelayanan kesehatan, tanpa melupakan pesan keagamaan K.H.A. Dahlan, untuk mengamalkan sepenuh hati surat Al Maun. Ini panggilan keduniaan yang tetap dipanggul Muhammadiyah, dan segenap para kadernya, yang harus dibesarkan hatinya karena tanpa mereka Muhammadiyah sungguh bukan apa-apa.

Sekolah-sekolah madrasah Muhammadiyah, akademi, dan semua universitasnya, siapa yang menjaga bila bukan mereka, yang hidup hanya untuk ibadah di Muhammadiyah? Semua lembaga pendidikan tadi berkembang, makin besar, makin sibuk dan di dalamnya para pimpinannya jarang bernapas leluasa karena kesibukan itu sungguh menguras segenap tenaga dan pemikirannya.

Di semua rumah sakit, para kader pun sibuk. Perawat, dokter dan petugas paramedis maupun ‘tangan-tangan’ administratifnya, semua menyadari –dengan kekaguman tersembunyi– Muhammadiyah ini jan edan tenan”, sungguh luar biasa. Seolah Muhammadiyah malah lebih dari hanya sebuah negara. Apa lagi negara yang pejabatnya belum juga hijrah dari zaman jahiliahnya. Maka, tak kurang alasan bagi kita untuk membanggakan diri: untung Indonesia ini punya Muhammadiyah. Kalau tidak, apa pemerintah –wa bil khusus menteri sosial maupun menteri pendidikan– berani mengangkat dagu ketika berjalan di depan rakyat miskin di seluruh pelosok tanah air?

“Kalau begitulah persoalannya, lantas apa sebab tanpa ba tanpa bu, tiba-tiba muncul pertanyaan mengenai masih seberapa besar tingkat relevansi Muhammadiyah bagi kehidupan umat? Bukankah sudah terang bagaikan siang, perkumpulan kita ini mentereng dan menjawab kebutuhan umat dengan penuh tanggungjawab? Bukankah di dalam Muhammadiyah kita bermandikan amal usaha, dan segenap kemuliaan religius, yang tak mungkin terhapus dari kitab malaikat pencatat amal kebaikan manusia?”

Betul. Memang begitu. Tapi itu Muhammadiyah dilihat dari lapis bawah, dari segi teknis, dan dari kacamata orang-orang kecil, yang peran sosialnya juga kecil. Muhammadiyah terlalu besar, terlalu penting, hanya untuk disorot dari perspektif itu. Inti pertanyaan kita menyangkut relevansi kepemimpinan bangsa dan dengan demikian ini porsi pertanyaan strategis bagi para pimpinan di PP Muhammadiyah. Ini renungan buat Mas Din, dan kawan-kawan, yang secara bersama-sama bertanggungjawab menavigasi kapal besar bernama Muhammmadiyah ini. Juga buat mereka yang kelak akan terpilih untuk menduduki berbagai jabatan strategis di dalamnya.

Perkara ini penting, dan sensitif bagi kita, karena sebagai bangsa, kita bangsa yang tak punya kiblat. Pemerintah pun tak punya. Orientasi politik kita duit. Jiwa kekuasaan kita duit. Wawasan keagamaan kita duit. Khotbah rohaniah kita duit. Orientasi politik kita penuh keserakahan mempertahankan jabatan biarpun tak produktif lagi. Sikap kebudayaan kita otoriter, despotik, dan penindas, biarpun dibungkus warna rohani. Sebentar-sebentar ‘kita’ berlagak agamis, dan berzikir-zikir, tapi tak ada makna zikir sebagai usaha memperteguh status keumatan dan kekhalifahan kita agar kita bisa agak ramah terhadap kemanusiaan, keadilan dan kebenaran.

Lalu ini persoalan kita: mengapa Muhammadiyah membebek di belakang orang/pemerintah yang tak punya kiblat? Mengapa kita tak tampil ke muka, dan meneriakkan alternatif kepemimpinan bangsa yang tegas, agar kita tak tenggelam dalam kejahiliyahan lebih dalam? Kalau Muhammadiyah bungkam dalam perkara ini, lantas kepemimpinan macam apa yang membuat kita bisa merasa masih relevan bagi kehidupan? Kepemimpinan yang cenderung membiarkan kebathilan demi kebathilan bersimaharajalela di depan mata, apa itu masih bisa disebut kepemimpinan? Dalam status politik-rohaniah yang remang-remang ini, apa Muhammadiyah masih Muhammadiyah?

Mas Din itu cukup hebat secara politik. Bahkan paham agama bukan secara main-main. Tapi mengapa Muhammadiyah di bawah kepemimpinannya tak memberi banyak pilihan kiblat bagi bangsa? Kalau dilihat apa adanya, pola pemikiran politik Mas Din itu konvensionil: politik hanya berarti strategi menang memperebutkan jabatan PP Muhammadiyah. Ini benar, dan tidak makruh sama sekali.

Tapi ke dalam maupun keluar Muhammadiyah, wawasannya mengenai politik itu selalu berarti jabatan, posisi baru, menang, mengalahkan, jabatan, posisi baru, dst. Itulah kurang lebih, sejak beliau mengincar –dan memenangkan– jabatan ketua Pemuda Muhammadiyah di Palembang, dengan back up kekuatan besar –sangat besar– yang tak tampak. Panembahan Senopati di Mataram –bahkan para pendahulunya sejak zaman Singasari– pun warna politiknya itu juga. Mengapa kaum muda menyukai konvensi, dan bukan memberontak mencari modus orientasi dan ekspresi politik, yang betul-betul tanda kemudaan, agar bumi yang tua ini agak terasa muda?

Politik keumatannya terbentang antara sampai dan tak sampai, karena dominasi politik kekuasaan di dalam jiwanya. Pemahaman keagamaanya mungkin setara dengan Pak AR, bahkan juga KH. A. Dahlan. Kecuali fiqih mas Din pasti juga berorientasi tasawuf, tapi bila kiai Dahlan, Pak AR atau Buya Syafii berada dalam kategori pengamal, Mas Din puas menjadi pengamat. Beliau ini orang lapangan dalam politik, tapi bukan orang lapangan dalam tasawuf, sehingga tak begitu kaya akan rohani politik. Maka, luas dan dalamnya pengetahuan agamanya, telah membuatnya patut disebut guru ilmu, tapi tak seperti Pak AR, guru laku, yang zuhud, dan saleh, dan membiarkan dirinya miskin, asal kepemimpinannya kaya rohani, kaya gagasan menyejahterakan umat. Dan kekiaiannya legitimate secara politik, secara sosiologis, dan juga secara moral.

Dan ini lalu menjadi problem Muhammadiyah. Ini problem kita. Di Muhammadiyah, problem kita tak terletak di umat, melainkan di elite. Umat dan semua kader tak bermasalah. Umat tak kurang suatu apa, karena semua bermandikan amal usaha yang tak pantas diragukan ketulusannya.

Umat di bawah sibuk menjaga kehormatan Muhammadiyah. Tapi di elite-nya sulit menjaga keutuhan komitmen perjuangan sebagaimana harusnya. Elite-nya selalu bermasalah. Kita, misalnya, tak sensitif menanggapi masalah umat. Misalnya mengapa PP Muhammadiyah membisu atas begitu banyaknya fakta sosiologis mengenai anak sekolah yang nekat gantung diri karena tak bisa bayar SPP? Mengapa ke-Islam-an kita tak terusik melihat begitu banyak gedung sekolah roboh, dan anak-anak belajar dalam suasana mengenaskan? Dan mengapa kita membisu menyaksikan ketidakadilan hukum dan kemanusiaan, di depan mata kita setiap detik, setiap hari?

Bangsa kita bukan hanya tak memiliki kiblat. Di kalangan pemerintahan, orang tak mengenal apa yang namanya tanggung jawab publik, atau akuntabilitas publik. Yang ada akuntabilitas raja-raja di Jakarta. Ini semua bahasa. Dan baha-sa ini menantang Muhammadiyah untuk mengumandangkan adzankepemimpinan yang segar, seperti segarnya orientasi keumatan Pak AR.

Ini semua juga politik dan merupakan momentum penting untuk mendakwahkan rohani politik bagi seluruh bangsa. Kita mendambakan kepemimpinan seperti itu supaya Muhammadiyah patut dianggap kiblat yang tegak, lurus, istiqomah. Tapi tampaknya Mas Din berpendirian lain dan memilih diam saja, karena politik sebagaimana diuraikan di atas bukan politik sebagaimana beliau kenal dalam percaturan merebut posisi strategis. Ini bukan politik untuk mengalahkan lawan. Saya pribadi, yang bukan apa-apa, dan tak pernah tergoda untuk turut berebut kekuasaan macam itu di Muhammadiyah, tiap saat merasa tersandera oleh kebekuan politik yang tak mengenal gizi rohani.

Tapi bagaimanapun –alhamdulillah, was syukrulilah– masih ada kebanggaan kita dalam urusan kepemimpinan ini. Ketika Buya Syafii Maarif menolak permintaan SBY untuk diajak bicara kasus enam koma tujuh trilyun itu, kita merasa hidup lagi, dan merasa ada lilin menyala dalam kegelapan, ke arah mana kita hendak menuju. Ini wujud kepemimpinan yang jelas kiblat politiknya, jelas kiblat rohaninya, dan jelas pula orientasi ideologi kerakyatannya. Lantas kenapa PP Muhammadiyah –dan Mas Din– diam, tanpa komentar, untuk memperbesar perkumpulan? Mas Din mengira, semua jenis diam itu emas. Padahal, dia salah besar: di sini diam itu batu, hanya batu hitam semata.

Mohamad Sobary, Budayawan, mantan Pemimpin Umum Kantor Berita Antara dan Eksekutif Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership for Governance Reform)

Saturday, October 8, 2011

Tinjauan Pemikiran Keagamaan Muhammadiyah

Penulis: Mutohharun Jinan

Sedikitnya ada dua pandangan yang agak bertolak belakang tentang kehadiran Muhammadiyah seabad lalu. Yang pertama, jika menelusuri kembali dokumen awal berdirinya Muhammadiyah, tak satupun yang menjelaskan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan tajdid pemikiran keagamaan.

Argumen normatif yang sering dikemukakan adalah bahwa dalam Anggaran Dasar pertama disebutkan bahwa maksud dan tujuan Muhammadiyah adalah ”menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad kepada penduduk Bumiputra, di dalam residensi Yogyakarta. Memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.” Rumusan ini menegaskan tentang identitas diri Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Penegasan identitas diri inilah yang membedakan Muhammadiyah dengan gerakan Islam semasanya yang umumnya mengikatkan diri pada orientasi ideologi keagamaan tertentu sebagai gerakan reformis (Al-Irsyad), memberantas bid’ah, khurafat, dan takhayul secara radikal (Persis), dan ahlus sunnah wal jamaah (NU) (Federspiel, 2004).

Pandangan yang kedua mengatakan, Muhammadiyah lahir berhadapan dengan kondisi sosial yang sangat timpang, antara lain ketimpangan praktik dualisme pendidikan, yakni pendidikan Belanda yang sekular untuk kaum priyayi dan anak-anak Belanda, di satu sisi, dan pendidikan pesantren yang sangat tradisional untuk penduduk pribumi dan rakyat jelata, di sisi lain. Tafsir sosial dilakukan KH Ahamd Dahlan pada masanya dengan cara melakukan penerjemahan teks-teks al-Qur'an ke dalam praksis sosial. Barangkali, karena KH Ahmad Dahlan tampaknya tidak banyak berteori, maka sementara pengamat menggolongkannya sebagai man of action, bukan man of thought. Iman yang tampil mengemuka dalam bentuk perbuatan bukan dalam konseptual teoritik. Namun demikian, secara lebih mendasar, apa yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan itu bukan berarti tanpa refleksi kritis dan mendalam serta pijakan pemikiran yang kokoh. Asumsinya, suatu tindakan yang sangat kuat berpengaruh dalam masyarakat hampir pasti didahului oleh refleksi dan pembaruan pemikiran.

Menolak salah satu atau kedua pandangan tersebut sambil mencari-cari dan menunjukkan fakta baru agaknya bukanlah pilihan tepat. Lebih-lebih bila melihat perkembangan Muhammadiyah selama satu abad ini, dua pandangan tersebut sama-sama menemukan korelasi, relevansi, dan dukungan fakta baru. Oleh karena itu, meskipun tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh pandangan yang kedua, tulisan ini akan menunjukkan keabsahan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaruan pemikiran keagamaan Islam di Indonesia. Bahkan Muhammadiyah secara internal mengalami dinamika yang sangat kompleks paralel dengan koteks zaman yang menyertai.

Akar Tradisi Pembaruan Pemikiran

Pemikiran keagamaan dalam Muhammadiyah mencakup dimensi-dimensi yang luas dan meliputi tema-tema yang beragam. Dalam realitasnya, pemikiran keagamaan merupakan produk pemahaman yang dihasilkan oleh kaum ulama atau pemikir Islam tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan keyakinan (aqidah) sebagai dimensi yang fundamental, atau masalah-masalah ‘ibadah dan sosial kemasyarakatan (mu‘amalah), termasuk politik. Lebih dari itu, pemikiran keagamaan juga mencakup prinsip-prinsip metodologis yang digunakan untuk memahami dan menafsirkan ajaran Islam dalam konteks historis dan sosial tertentu.

Pada periode awal setelah gerakan ini berdiri para elite Muhammadiyah telah meletakkan dasar pemikiran keagamaan yang kreatif liberatif, menurut konteks saat itu. Wawasan dasar keagamaan ini menjadi unsur penting formulasi ideologi gerakan, yang memberikan landasan untuk mengkritisi tatanan kehidupan yang ingin dirubah, merumuskan tujuan yang ingin dicapai, membenarkan kebijakan dan langkah praktis guna mencapai tujuan. Dasar pandangan ini telah mendorong munculnya semangat pembaruan ke dalam berbagai aspek kehidupan dan menerima nilai-nilai modern seperti: perubahan, rasionalitas, keteraturan, orientasi jangka panjang, rajin, kerja keras, tepat waktu, hemat, dan lain sebagainya (Jainuri, 2002).

Pada tingkat individu, ideologi ini tidak hanya membentuk watak prilaku warga Muhammadiyah yang terbuka, menerima perubahan, rasional, adaptif, dan sebagainya, yang menjadi ciri utama kemodernan seseorang, tetapi juga telah melahirkan berbagai ragam institusi sosial yang membantu mencerahkan dan menyadarkan umat bahwa kemajuan dan kebahagiaan hidup merupakan tujuan yang bisa dicapai melalui kecerdasan dan bekerja keras. Sebagaimana yang dapat ditemukan dalam jejak KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah untuk merevitalisasi kehidupan keagamaan. Semangat yang diusung adalah Islam harus dikemas lebih baik, agar kesan “medieval rubbish” dapat dihilangkan. itu Islam hanya dianggap sebagai agama kalangan bawah, cerminan dari ketertinggalan dan keterbelakangan.

Secara internal, upaya revitalisasi itu diwujudkan dengan mengaktualisasikan ajaran Islam dalam realitas kongkrit kehidupan sosial-ekonomi. Salah satu landasan teologis yang dia gunakan adalah Surat al-Ma’un. Pembaruan Islam yang cukup orisinal dari KH Ahmad Dahlan dapat dirujuk pada pemahaman dan pengamalan Surat Al-Ma’un. Gagasan dan pelajaran tentang Surat Al-Maun, merupakan contoh yang paling monumental dari pembaruan yang berorientasi pada amal sosial-kesejahteraan, yang kemudian melahirkan lembaga Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Langkah momumental ini dalam wacana Islam kontemporer disebut dengan ”teologi transformatif”, karena Islam tidak sekadar menjadi seperangkat ajaran ritual-ibadah semata, tetapi justru peduli dan terlibat dalam memecahkan masalah-masalah konkret yang dihadapi manusia.

Langkah pembaruan lainnya ialah dalam merintis pendidikan ”modern” yang memadukan pelajaran agama dan umum. Menurut Kuntowijoyo, gagasan pendidikan yang dipelopori KH Ahmad Dahlan, merupakan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek ”iman” dan ”kemajuan”, sehingga dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah kepribadiannya. Lembaga pendidikan Islam ”modern” bahkan menjadi ciri utama kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah, yang membedakannya dari lembaga pondok pesantren kala itu. Pendidikan Islam “modern” itulah yang di belakang hari diadopsi dan menjadi lembaga pendidikan umat Islam secara umum (Kuntowijoyo,1998).

Adapun langkah pembaruan dalam bidang doktriner adalah KH Ahmad Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik, dalam bidang ibadah, membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang muamalah, membersihkan kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam, ia merombak taklid untuk kemudian memberikan kebebasan dalam berijtihad. Langkah ini pada masa lalu merupakan gerak pembaruan yang sukses, yang mampu melahirkan generasi tercerahkan dan terpelajar Muslim, yang jika diukur dengan keberhasilan umat Islam saat ini tentu saja akan lain, karena konteksnya berbeda.

Secara institusional, pada perempat pertama abad ke-20 Muhammadiyah dikenal sebagai simbol perubahan, kemajuan, dan karenanya dikenal sebagai gerakan modern. Stereotyping keagamaan yang menempel pada diri seorang Muslim sebagai eksklusif, tertutup, dan kolot terpatahkan oleh seorang anggota Muhammadiyah yang memiliki watak rasional dan terbuka. Pandangan dunia yang menjauhkan diri dari kehidupan dunia diganti dengan pandangan yang menyebutkan bahwa Islam membolehkan umatnya untuk memperoleh kebahagiaan duniawi. Sikap keagamaan yang intolerant diganti dengan toleran; sikap budaya yang uniformitas diganti dengan pluralis; pandangan keilmuan yang membatasi pada ilmu agama diganti dengan wawasan bahwa ilmu tidak hanya terbatas pada ilmu agama. Stigma sosial yang menggambarkan orang Muslim itu malas, miskin, bodoh terbantahkan oleh semangat yang dikembangkan oleh warga Muhammadiyah yang kerja keras, memiliki penghasilan, dan memiliki pengetahuan untuk menekuni profesinya.

Dua Wajah Pembaruan

Dari penelusuran warisan tradisi pembaruan pada masa formatif sebagaimana yang dilakukan Ahmad Dahlan dan satu periode sesudahnya menunjukkan adanya varian atau wajah pembaruan yang bersifat pemurnian dan dinamisasi atau berkemajuan. Menariknya dua wajah pembaruan ini di kemudian hari terjadi tarik menarik dan saling mengabsahkan diri sebagai pewaris tunggal tradisi pemikiran Muhammadiyah, tentang hal ini akan dijelaskan pada bagian terakhir tulisan nanti. Watak pembaharu itu tercermin dalam berbagai macam pernyataan resmi organisasi dan dalam kiprahnya memajukan umat secara kolektif dan berkelanjutan. Jika pembaruan masa lalu lebih bersifat individual dan berhenti dengan kematian tokohnya, sekalipun mungkin ide-idenya dilanjutkan oleh tokoh lain, pemaharuan Muhammadiyah telah berlangsung seabad, dilakukan secara kolektif dan bersifat komperhensif, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.

Mempertimbangkan dinamika pada masa awal perkembangannya, maka Muhammadiyah telah melakukan tajdid dalam soal aqidah, ibadah dan muamalah dunyawiyah yang mengilhami dua wajah pembaruan, yaitu purfikasi dan dinamisasi. Secara harfiyah purifikasi berarti pemurnian. Pemurnian itu dikenakan pada bidang aqidah dan ibadah. Muhammadiyah sepanjang sejarahnya telah melaksanakan pemurnian itu.

Upaya purifikasi dalam bidang akidah lebih dipertegas oleh KH Mas Mansur (1896-1946). Menurut dia, kemunduran umat Islam karena lemahnya iman, kebodohan dan kecenderungan mementingkan diri sendiri. Semua bentuk kelemahan ini telah menghambat upaya umat Islam dalam perbaiki nasib mereka, dan sebagai dampak dari kesalahan mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Karena itu, Mas Mansur minta agar umat Islam mau kembali pada al-Qur’an dan Sunnah untuk menemukan semangat Islam yang sebenarnya dan menjalin kerjasama antara ulama’ dan kaum intelektual demi kepentingan agama, masyarakat dan bangsa (Mulkhan, 2000).

Kalau dilihat dalam realitasnya ada dua macam pemurnian. Yang pertama adalah pemurnian radikal dan yang kedua adalah pemurnian moderat. Dalam hal aqidah, pemurnian radikal menyatakan bahwa aqidah seorang Muslim harus bersih sama sekali dari unsur-unsur asing atau luar. Pemahaman aqidah, terikat oleh teks dan tidak memerlukan pemahaman rasional. Kelompok puritan radikal itu selanjutnya mendapatkan pengikutnya sekarang ini, bahkan lebih radikal. Mereka mengecam, misalnya, pemasangan foto K. H. Ahmad Dahlan di sekolah-sekolah Muhammadiyah karena berbau syirik. Mereka juga mengharamkan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Padamu Negeri karena rawan syirik.; apalagi penghormatan bendera merah putih di berbagai macam upacara (Mughni, 2001).

Sedangkan puritan moderat melakkan purifikasi terhadap hal-hal yang memang dilarang oleh agama karena berkaitan langsung dengan syirik, misalnya pemujaan terhadap kuburan dan orang yang ada di dalamnya. Meminta berkah dari orang yang sudah meninggal dan menjadikannya sebagai wasilah dalam berdoa kepada Allah adalah perbuatan syirik.

Dalam pandangan Muhammadiyah, purifikasi juga diberlakukan pada persoalan ibadah. Dalam banyak hadis disebutkan bahwa Rasulullah SAW mewanti-wanti agar umat Islam tidak melakukan perbuatan bid’ah karena bid’ah itu adalah kesesatan dan kesesatan itu tempatnya di neraka. Persoalan bid’ah dalam ibadah telah menjadi perbincangan yang lama sekali dalam sejarah Islam. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa sebagian ulama menyatakan bahwa ada dua macam bid’ah, yakni dlalalah dan hasanah. Bid’ah dlalalah dikenakan pada persoalan ibadah (agama), sedangkan bid’ah hasanah dikenakan pada persoalan non-ibadah (dunyawiyah).

Muhammadiyah termasuk kelompok yang berada di tengah-tengah dua ekstrem itu. Muhammadiyah membedakan mana yang ibadah dan mana yang merupakan instrumen untuk kesempurnaan ibadah. Maka, menurut Muhammadiyah, arsitektur dan mebelair dalam masjid adalah persoalan duniawi; bahasa khutbah adalah duniawi; pengumuman pra-khutbah adalah dunia. Dalam konteks ini mungkin Muhammadiyah telah memiliki keputusan-keputusan formal, misalnya Putusan Tarjih dan keputusan-keputusan musyawarah lainnya, yang menurut penulis sudah sangat tepat. Tetapi dalam diskursus lesan dan sikap keagamaan warga Muhammadiyah, tampaknya ada beberapa hal yang perlu dipikirkan ulang.

Di luar aqidah dan ibadah, lapangan kehidupan manusia jauh lebih luas. Islam memberikan peluang yang sangat terbuka bagi ijtihad agar kehidupan manusia menjadi dinamis. Dengan inspirasi al-Qur’an umat Islam harus mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk selalu berinovasi dalam rangka mencapai kesempurnaan hidup. Proses inilah yang disebut sebagai dinamika peradaban. Dinamisasi harus juga diarahkan untuk mewujudkan realitas bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Al-Qur’an mendorong dapat agar terus mendinamisasi kehidupan ini. Bagi umat Islam itu tidak mungkin dicapai tanpa mendinamisasi ajaran Islam. Artinya, ajaran Islam jangan menjadikan terpasung dan terbelakang; jangan malah menghambat kemajuan. Di sinilah perlunya reinterpretasi yang terus-menerus agar pemamahan bermakna bagi kemanusiaan universal, dan prilaku keagamaan mampu memberikan warna bagi bangunan peradaban. Melalui pemahaman seperti ini, akan terjadi pencepatan dinamisasi pemahaman agama yang menjadi penopang peradaban utama (Mughni: 2001)

Dalam bahasa yang lebih sederhana, dinamisasi merupakan kerja wilayah muamalah yang luas, seperti pendidikan dan lain sebagainya. Pembaruan Muhammadiyah dalam sisi dinamisasi berdiri diatas paradigma pembaruan Muhammadiyah lebih berorientasi pada substansi dan penerapan nilai-nilai daripada formalisasi dan struktur, kendati tidak mengabaikan format dan struktur. Dalam tradisi pembaruan Muhammadiyah dalam dirinya tersirat dan tersurat watak tengahan dibanding gerakan-gerakan Islam lainnya. Dengan demikian paradigma modernis-reformis dalam tubuh Muhammadiyah cenderung eklektik atau berada di tengah, sehingga dapat dikatakan sebagai berdiri dalam posisi paradigma wasithiyyah. Posisi dan peran tengahan itu bukan berarti kehilangan ketegasan dan jatidiri karena dalam hal-hal prinsip yang fundamental tetap kokoh.

Karakter gerakan ”tengahan” yang menjadi kepribadian dan orientasi gerakan Muhammadiyah ditunjukkan antara lain, pertama dalam jatidirinya selaku gerakan Islam yang sejak awal menampilkan tajdid yang bersifat pemurnian (tajrid, tandhif) sekaligus pembaruan (tajdid, ishlah) secara seimbang. Kedua, dalam strategi dan orientasi gerakannya yang istiqamah sejak kelahirannya memilih jalur dakwah pembinaan masyarakat untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dan tidak memilih jalan perjuangan politik-praktis di ranah kekuasaan negara sebagaimana halnya partai politik. Ketiga, orientasi pada praksis yakni menghadirkan Islam selain dalam dakwah bi-lisan tetapi lebih penting lagi dalam dakwah bil-hal dengan mendirikan berbagai amal usaha pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, pemberdayaan masyarakat, dan sebagainya. Keempat, menempatkan dan memerankan diri sebagai gerakan pembaruan atau reformisme atau modernisme Islam sepanjang kemauan atau prinsip ajaran Islam. Kelima, kepribadian Muhammadiyah yang diwujudkan dalam sifat-sifat yang menunjukkan sosok tengahan (Haedar Nashir, 2009).

Karena posisinya yang tengahan atau moderat, maka paradigma modernis-reformis cenderung eklektik atau berada di antara banyak kutub ekstrem. Dalam tajdid atau pembaruan, menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah, M. Din Syamsuddin, ketika membuka Koluqium Pemikiran Islam di UM Malang tahun 2008, pembaruan Muhammadiyah itu bersifat baina tajrid wa tajdid (antara pemurnian dan pembaruan). Majelis Tarjih bahkan telah melakukan kodifikasi paradigma tajdid dalam dua orientasi yakni pemurnian (purifikasi) dan pengembangan (dinamisasi). Paradigma pembaruan yang berperspektif purifikasi dan dinamisasi itu dalam konteks sosiologi pemikiran Islam sebenarnya termasuk jalan tengah dari kutub ekstrem yang cenderung radikal-tekstual di satu pihak dan radikal-kontekstual di pihak lain, yang menemukan titik temu dalam purifikasi dan dinamisasi.

Agenda Pembaruan

Sebagaimana disebutkan bahwa watak dasar pembaruan pemikiran keagamaan Muhammadiyah awal yang bercorak reformis dan rasionalistik mengalami transformasi menuju purifikatif dan dinamis. Dinamisasi pembaruan Muhammadiyah memerlukan basis keilmuan yang kokoh dan reorientasi terhadap tradisi pembaruannya. Namun pada ranah ini sempat terjadi tarik menarik antara apakah Muhammadiyah kembali sebagai gerakan purifikasi atau sebagai gerakan yang berwajah dinamisasi. Sejalan dengan dinamika sosial dan intelektual, pemikiran keagamaan dalam Muhammadiyah mengalami proses institusionalisasi dan ideologisasi.

Dalam fakta historisnya, dengan kuatnya pengaruh kaum ‘ulama yang cenderung skolastik pada periode pertengahan Muhammadiyah, tendensi purifikasionisme untuk jangka waktu lama mendominasi wacana keagamaan, sampai munculnya tendensi liberal pada periode kontemporer. Kecenderungan liberal dalam pembaruan keagamaan ini mendapatkan respons kritis dari kelompok yang dapat disebut sebagai neo-revivalis (ortodoks) yang merupakan kontinuitas dari tendensi purifikasionisme awal. Pemikir-pemikir Muhammadiyah yang bercorak neo-revivalis tidak sependapat dengan pemikiran keagamaan bercorak liberal, dan menegaskan urgensi kembali kepada warisan pemikiran keagamaan generasi Muhammadiyah sebelumnya yang bercorak pemurnian (purifikasionis) (Fuad, 2010).

Sebagai contoh pembaruan dalam bidang pemikiran keagamaan. Proses institusionalisasi pemikiran juga mengalami hambatan prosedural dan epistemologis. Dalam wacana tentang pluralisme keagamaan (seperti tertuang dalam Tafsir Tematik Tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama), terdapat kontroversi terutama di kalangan orang-orang Muhammadiyah, antara yang mendukung gagasan pluralisme keagamaan dan implikasi-implikasi yang menyertainya dan yang menolak sama sekali gagasan pluralisme keagamaan. Karya tafsir tersebut sesungguhnya dihasilkan oleh lembaga resmi Muhammadiyah, yaitu Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Namun karena topik yang dibicarakan tergolong kotroversial dan pandangan-pandangan yang tertuang dalam buku tersebut juga mengundang perdebatan teologis, maka banyak reaksi yang timbul terhadap tafsir yang dinilai liberal tersebut. Di sinilah terjadi tarik menarik pemikiran, antara tendensi revivalisme-ortodoksi dan tendensi liberal.

Dialektika pembaruan Muhammadiyah juga menggores jelas dalam berbagai institusi (baik penerbitan maupun kelompok studi) yang belakangan muncul di Muhammadiyah. Di satu pihak tumbuh gagasan-gagasan yang membawa Muhammadiyah dalam rumah yang tertutup dengan dalih kembali kepada al-Quran dan sunnah sambil meminimalisir ruang dinamisasi gerakan. Dalam Muhammadiyah tegas-tegas disebutkan ada aspek “pemurnian” selain “pembaruan”, juga ada anjuran ‘nahi mungkar’ selain anjuran ber ‘amar ma’ruf’. Gerakan pemurnian, kalau tidak pandai mengemasnya akan sangat mudah beralih menjadi ‘radikal-ideologis-kultural’ untuk menyerang realitas perkembangan sosio-historis dan realitas perkembangan sosio-kultural keummatan Islam yang sangat kompleks dan beraneka ragam, tidak hanya di tanah air tetapi juga di seluruh dunia Muslim.

Sedang penekanan pada sisi ‘nahi mungkar’, dengan sedikit mengesampingkan ‘amar ma’ruf’ juga berpotensi akan mudah terbawa arus jihad dan radikalisme dengan menggunakan kekerasan (gerakan radikalisme agama) dalam menegakkan perintah-perintah agama secara paksa (coersive) dan bukannya persuasif (persuasive). Gelombang radikalisme sekriptural rasanya akan memikat dan menarik generasi muda yang haus akan pengetahuan agama, yang masih labil secara kejiwaan apalagi ekonomi, fenomena ketidakadilan yang mereka saksikan di berbagai tempat di negeri mereka masing-masing.

Sementara di pihak lain, muncul kelompok komunitas dalam Muhammadiyah yang menyadari akan peran yang harus dimainkannya dalam konteks perjuangan umat. Komunitas ini mengajak Muhammadiyah perlu melakukan kerja intelektual dan bukan mencari sumber otoritatif yang tertutup, juga bukan merekonstruksi sejarah masa lalu. Tetapi sebaliknya, melakukan dekonstruksi teks untuk melakukan dialog peradaban yang kini menantang Islam dan umat Islam di mana-mana. Apalagi, dalam konteks dialog peradaban global seperti yang sekarang berlangsung, Islam memerlukan ketegasan sikap terhadap orang lain dan dengan jujur mengakui bahwa Islam telah menjadi kenyataan sejarah.

Dengan demikian, gerakan pemikiran yang diusung oleh Muhammadiyah adalah menempatkan al-Qur'an sebagai spirit utama dalam dinamika zaman yang semakin kompleks. Baik kompleksitas sains, politik, ekonomi maupun perkembangan ilmu-ilmu maupun isu-isu kemanusiaan yang belakangan semakin menggurita. Teori spider web Amin Abdullah yang memberikan deskripsi yang sangat berarti bagaimana menempatkan al-Qur'an di tengah kompleksitas yang sedemikian rupa itu, mungkin bisa dijadikan model oleh Muhammadiyah.

Di samping itu, kini berkembang sejumlah tawaran bagi Muhammadiyah dalam melakukan reorientasi terhadap gerakan tajdid yang diperankannya. Jalaluddin Rahmat pernah menawarkan formulasi Tauhid Sosial sebagaimana gagasan Dr. M. Amien Rais sebagai blueprint (cetak biru) tajdid Muhammadiyah jilid dua. Ahmad Syafii Maarif menawarkan Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu untuk melangkah ke depan di tengah pergulatan pemikiran Islam dan tantangan besar yang demikian kompleks saat ini. Tawaran-tawaran pemikiran tersebut berangkat dari penilaian bahwa gerakan Islam modern seperti Muhammadiyah selama ini cenderung terlalu ad-hoc, kaya amal tetapi kering pemikiran, dan kehilangan daya transformasionalnya di tengah perubahan dan perkembangan zaman yang sarat kompleksitas masalah dan tantangan sebagaimana kritik kaum noemodernisme terhadap modernisme.

Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid, M. Syamsul Anwar sebagaiman dikutip Haedar Nashir, juga memberikan tawaran bahwa kini pembaruan Muhammadiyah memerlukan pengembangan dari paradigma tajdid juz’i-‘alami (pembaruan praksis amaliah) ke tajdid usuli-nazari (pembaruan pemikiran yang lebih mendasar). Dalam konteks ini secara sistemik tentu saja keseluruhan pengembangan pemikiran tajdid itu berada dalam bingkai dan legalitas organisasi, bukan bersifat perseorangan kecuali untuk wacana dan pengembangan wawasan pemikiran. Pembaruan Muhammadiyah bersifat jama’iy atau kolektif, tetapi tentu saja memerlukan etos ijtihad dan sistem yang lebih dinamis agar tidak mengalami kelambanan dan tidak terperangkap pada posisi statis. Sedangkan berbagai variasi dan pengembangan wacana pemikiran sebaiknya diberi ruang yang lebih longgar agar tradisi pemikiran terus berkembang, tentu saja disertai sikap tasamuh dan memiliki pertanggungjawaban intelektual yang tinggi.

Sekurang-kurangnya ada empat alasan dan agenda mengapa kaum Muhammadiyah harus tetap memperkuat perannya dalam tajdid atau pembaruan Islam. Pertama, mengembalikan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaruan Islam yang sadar akan beban sejarah yang dipikulnya. Artinya, Muhammadiyah harus semakin lebih dewasa dan matang dalam merespon berbagai persoalan krusial yang berkembang di masyarakat, bukan malah membiarkan dominasi kaum konservatif di dalam tubuh Muhammadiyah yang sewaktu-waktu bisa menjadi benalu dan penghambat kemajuan.

Dalam perjalanan sejarahnya, Muhammadiyah telah membawa semangat pembebasan, yakni bagaimana membebaskan manusia dari belenggu kebodohan dan mendorong penghargaan pada harkat dan martabat kemanusiaan. Muhammadiyah tidak hanya memelihara kaum konservatif yang hanya mengurusi masalah-masalah ritual-formalisme organisasi sembari mengabaikan persoalan-persoalan sosial tanpa paradigma keilmuan yang jelas.

Kedua, Muhammadiyah harus terbuka terhadap pikiran-pikiran progresif-liberatif, sehingga tidak menjadi organisasi Islam yang eksklusif-tekstualis. Selama ini, ada sejumlah kekhawatiran dari para elit Muhammadiyah terhadap anak-anak muda yang senang mengkaji pemikiran-pemikiran progresif, yang sesungguhnya wajar sebagai sebuah refleksi eforia intelektual. Seyogyanya para elit Muhammadiyah memberi ruang kebebasan untuk berwacana dan mengekpresikan ide-idenya, baik melalui forum-forum ilmiah maupun tulisan di berbagai media massa. Bukan malah mengebiri dan mengganggapnya sebagai ancaman bagi Muhammadiyah. Generasi baru pemikiran Islam tidak hanya bercorak liberal sebagai kelanjutan dari reformisme awal yang dianut Dahlan, tetapi juga bercorak “liberal yang liberatif” atau transformatif. Corak ini tidak berhenti pada dimensi intelektual melainkan menterjemahkannya dalam bentuk gerakan sosial baru (new social movement), dengan hermeneutika dan ilmu sosial kritis sebagai perangkat metodologisnya (Fuad, 2010).

Ketiga, perlunya dialog lintas generasi di Muhammadiyah secara berkesinambungan. Selama ini, kondisi yang tampak adalah kurangnya intensitas pertemuan antara generasi muda dengan generasi tua. Bahkan ada kesan generasi tua merasa sudah begitu senior, bahkan lebih superior dibanding generasi mudanya. Kondisi seperti ini harusnya tak boleh terjadi, sebab masa depan Muhammadiyah tak cukup dibebankan hanya kepada kaum tua. Kaum muda Muhammadiyah harusnya mengambil bagian dan peran yang signifikan bersama-sama dengan kaum tua, dan merumuskan kembali prinsip purifikasi dan dinamisasi Islam dengan berbagai problem dan perkembangan zaman sekarang ini. Dari situlah mereka dapat melakukan kerja-kerja religius dan kebudayaan untuk masa depan yang lebih mencerahkan.

Keempat, perkembangan wacana pemikiran Islam yang demikian cepat makin menjelaskan bahwa gaya konservatif tidak lagi memadai untuk merespons masalah aktual yang terus bergulir. Lambatnya kaum konservatif Muhammadiyah merespons masalah-masalah aktual, salah satunya disebabkan oleh adanya monopoli tafsir. Kecenderungan ini merupakan kensekuensi logis dari klaim kebenaran yang menyebabkan sakralisasi terhadap tafsir keagamaan.

Catatan Penutup

Rekonstruksi Muhammadiyah sebagai gerakan permbaharuan diarahkan untuk menjawab tantangan kemajuan yang dihadapi oleh Muhammadiyah. Aspek penting dari rekonstruksi ini adalah menumbuhkan kesadaran warga Muhammadiyah untuk tidak puas dengan keadaan yang ada. Mereka harus merasa sebagai kelompok yang tidak ingin mempertahankan sesuatu itu sebagaimana adanya (status quo), tetapi menjadi kelompok yang selalu peka terhadap perubahan bagi perbaikan kehidupan masyarakat. Berbagai tantangan yang dihadapi oleh Muhammadiyah sebagian merupakan problem yang muncul akibat pembaruan yang telah dilakukannya. Orang mengkaitkan kemajuan ini dengan semakin meratanya ide dan ciri kemodernan yang dulu umumnya hanya ditemukan di kalangan warga Muhammadiyah, tetapi sekarang ini hampir menggejala di kalangan masyarakat luas. Dalam beberapa aspek pemikiran, dari sebagian kelompok yang disebut terakhir ini bahkan ditemukan ide dan gagasan yang lebih maju, atau, paling tidak, responsif terhadap wacana yang berkembang terkait dengan masalah keagamaan kontemporer.

Muhammadiyah telah mengukir kisah sukses melakukan perubahan ke arah kemajuan dalam kehidupan umat/masyarakat dari kondisi tradisional ke kemajuan selaras dengan tuntutan zaman. Dengan semangat kembali pada sumber ajaran Islam yang murni (al-Quran dan al-Sunnah yang maqbulah) Muhammadiyah mampu memperbarui alam berfikir dan model amaliah umat Islam dalam sejumlah bidang kehidupan seperti pendidikan, gerakan perempuan, pelayanan kesehatan dan sosial, pemberdayaan masyarakat, di samping pemurnian akidah dan ibadah serta pembinaan akhlak Islami. Muhammadiyah dalam konteks kehidupan masyarakat telah berhasil memodernisasi kehidupan sosial dengan tetap mengokohkan fondasi iman dan kepribadian, sehingga mampu menampilkan Islam yang murni dan berkemajuan.

Kini dalam usia satu abad Muhammadiyah dihadapkan pada masalah dan tantangan baru dalam kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan yang semakin kompleks. Muhammadiyah dengan paradigma tajdid dituntut untuk memperkaya dan mempertajam orientasi tajdidnya yang bersifat pemurnian dan pengembangan, sehingga mampu menjadi gerakan alternatif di tengah lalulintas berbagai gerakan Islam dan gerakan sosial-kemasyarakatan yang pusparagam. Masalah demokrasi, hak asasi manusia, dan kesadaran baru di tengah arus globalisasi memerlukan penghadapan tajdid Muhammadiyah. Hal serupa diperlukan ketika menghadapi masalah krisis moral dan spiritual yang diakibatkan oleh kehidupan modern yang kehilangan keseimbangan dalam peradaban umat manusia.

Daftar Pustaka

Abdullah, Amin. Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung: Mizan, 2000).

Fadl, Khalid Abou, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustofa, (Jakarta: Serambi, 2006)

Federspiel, Howard M. Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan Persis di Era Kemunculan Negara Indonesia 1923-1957, terj. Ruslani Kurniawan Abdullah, Jakarta: Serambi, 2004.

Jaenuri, Achmad, Ideologi Kaum Reformis, Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal, (Surabaya: LPAM, 2002).

Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 1998).

Mughni, Syafiq A. Nilai-Nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).

Mulkhan, Abdul Munir, Neo-Sufisme dan Pudarnya Fundamentalisme di Pedesaan (Yogyakarta: UII Press, 2000).

Nashir, Haedar, “Memahami Manhaj Gerakan Muhammadiyah,” dalam Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah, dan Langkah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2009).

________, “Paradigma Tajdid Muhammadiyah sebagai Gerakan Modernis Reformis”, Makalah disajikan dalam Seminar Pra-Muktamar,“Satu Abad Gerakan Tajdid Muhammadiyah Menuju Peradaban Utama: Paradigma, Model, dan Strategi Tajdid”, yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 21 s.d 22 November 2009

Saleh, Fauzan. Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, (Jakarta: Serambi, 2004).

Soemantri, Gumilar Rusliwa, “Tajdid Muhammadiyah, Islam dan Kebangsaan”, Seminar Pra-Muktamar Satu Abad Gerakan Tajdid Muhammadiyah Menuju Peradaban Utama: Paradigma, Model, dan Strategi Tajdid, yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 21 s.d 22 November 2009.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Identitas

Nama : Mutohharun Jinan, S.Ag. M.Ag.

Tempat dan tgl lahir : Sragen 2 Maret 1973

Alamat rumah : Kadipiro 1/1 Sambirejo Sragen

Alamat Tinggal : Pondok Hajjah Nuriyah Shabran UMS

Makamhaji Kartosuro Solo 57161 (0271) 725047

Agama : Islam

Pekerjaan : Pembina Pondok Hajjah Nuriyah Shabran UMS

Nama ayah dan Ibu : Mujahid dan Sri Wahyuni

Status Sipil : Menikah

Nama Istri : Riastuti Nurhayati, S.Ag.

Nama anak : 1. Auziqna Fadli Rosihan Nuha

Retrieved from: http://www.majalahbasis.com/index.php/article/detail/135