Seputar Indonesia, Friday, 02 July 2010
Prof Bambang Setiaji
Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta
Sekolah merupakan amal usaha utama persyarikatan Muhammadiyah yang sejak semula merupakan pilihan Kiai Haji Ahmad Dahlan sebagai wahana perjuangan memajukan bangsa.
Sementara tokoh pergerakan lain mencoba melalui jalur politik dan ekonomi. Pada periode dekade pertama abad ke-20 gerakan-gerakan politik mulai dibangun menggantikan pemberontakan bersenjata yang dilakukan secara sporadis sepanjang masa kolonial. Gerakan ekonomi juga dilakukan melalui asosiasi atau persyarikatan dagang seperti misalnya Syarikat Dagang Islam (SDI) yang juga dilakukan untuk mengimbangi firma dagang VOC. Gerakan Islam tradisional dilakukan melalui bentuk pendidikan pesantren yang hanya mempelajari ilmu agama. Belanda melaksanakan pendidikan secara diskriminatif. Pendidikan yang berkualitas diperuntukkan untuk keluarga Belanda di Indonesia dan anak pejabat atau bangsawan pribumi.
Sementara untuk rakyat, Pemerintah Hindia Belanda membuat sekolah rakyat dan sekolah pedesaan. Sekolah kualitas dua didesain oleh pemerintah kolonial untuk memperoleh tenaga kerja murah yang bisa bahasa Belanda baik di perkebunan-perkebunan maupun di kantor-kantor pemerintah. KH Ahmad Dahlan membuat dua koreksi sekaligus, pertama beliau menyadari bahwa dunia Islam sangat tertinggal dibanding Barat yang karena ketertinggalan umat Islam dalam bidang sains dan teknologi. Kedua, beliau ingin memperbanyak sekolah Barat yang berkualitas yang pada waktu itu hanya bisa dinikmati keluarga Belanda dan bangsawan. Guru-guru beliau seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha banyak berinteraksi dengan Barat bahkan tinggal di berbagai negara Barat.
Inspirator beliau ini membuka cakrawala perlunya mengejar ketertinggalan dengan Barat yang bersumber dari penguasaan sains dan teknologi yang keduanya disadari KH Ahmad Dahlan tidak bertentangan dengan Islam.Karya-karya ulama klasik bahkan sudah sangat maju dibanding kemajuan Barat pada praperadabannya, sedangkan peradaban dan kemajuan dunia Islam melorot pada saat itu sampai sekarang. Memperbanyak sekolah mirip sekolah Pemerintah Belanda yang lebih berkualitas dengan tidak meninggalkan mata pelajaran Islam untuk memberi kesempatan kepada pribumi muslim merupakan salah satu alasan keberadaan awal pendidikan Muhammadiyah.
*** Pada saat merdeka tujuan pendidikan pemerintah tentu saja berbeda 180 derajat dibanding tujuan pendidikan pemerintah kolonial. Sesuai apa yang dicita-citakan dalam konstitusi dan serangkaian undang-undang,perhatian kepada pendidikan terus meningkat dari Orde Lama, Orde Baru, dan mencapai puncaknya pada saat Reformasi. Amandemen UUD 1945 telah menetapkan anggaran 20% untuk pendidikan, disusul lahirnya Undang-Undang (UU) No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Pada fase pertama, kesibukan revolusi politik dan pengakuan eksistensi NKRI di era Soekarno, keterbatasan anggaran, politik berdikari, serta ekonomi terpimpin sangat tidak disukai Barat,yang menghasilkan suatu masa prihatin. Perhatian kepada pendidikan pada era seperti itu tentu saja sangat terbatas.
Muhammadiyah mengambil peran dari keterbatasan pemerintah dengan membangun berbagai institusi pendidikan sampai di kecamatan-kecamatan untuk tingkat lanjutan pertama dan sampai desa-desa untuk madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar. Apabila Pemerintah Belanda membatasi akses anakanak pribumi (muslim) untuk memperoleh sekolah berkualitas karena ada politik diskriminatif, dan Muhammadiyah membuatkan sekolah itu,pada era Soekarno dan era awal Soeharto, Muhammadiyah berperan menyediakan pendidikan setara milik pemerintah karena keterbatasan negara. Perhatian Soeharto kepada pendidikan mulai meningkat seiring dengan perbaikan ekonomi yang dilaksanakan dengan membuka akses bagi modal dan manajemen asing.
Akan tetapi,cara berpikir dikotomik yang menempatkan pendidikan Muhammadiyah sebagai pesaing,di mana pada saat itu pendidikan Muhammadiyah masih dicurigai lantaran sistem pengajarannya yang kurang pas dengan pemerintah, pendirian sekolah baru banyak menggusur keberadaan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Pada saat Reformasi kesadaran pendidikan makin baik bahwa aset nasional akan pendidikan meliputi baik sekolah milik pemerintah atau sekolah swasta terutama yang bersifat nirlaba.
Undang-Undang Sisdiknas dan Undang-Undang Guru dan Dosen memungkinkan institusi swasta memperoleh pendanaan dan menjalankan program pemerintah di bidang pendidikan.Hanya saja, dikotomi negeri dan swasta tetap dirasakan sampai sekarang.Terdapat suatu konvensi bahwa program-program pendidikan pemerintah harus dilakukan oleh sekolah negeri lebih dahulu,apabila terdapat kelebihan kapasitas,institusi swasta baru bisa mendapatkannya.
*** Era Reformasi merupakan era yang secara ekonomi dan sosial mengalami keterbukaan yang luar biasa. Di bidang ekonomi produkproduk asing membanjiri pasar domestik dan menyerap daya beli yang sebenarnya masih sangat terbatas.Perusahaan-perusahaan asing mengeksploitasi sumbersumber vital yang penting di bidang pertambangan, industri keuangan, dan industri telekomunikasi yang kesemuanya relatif padat kapital dan teknologi. Sedangkan untuk industri rendah kapital dan rendah teknologi orang atau perusahaan asing masuk membawa manajemen dan informasi pasar lebih baik.
Hal ini terlihat misalnya pada industri kayu yang sangat penting sebagai lapangan kerja kelas menengah pribumi. Modal asing ditanamkan pada sekitar sepuluh persen perusahaanperusahaan industri pengolahan menengah dan besar yang menyebar hampir pada seluruh jenis industri. Dalam industri pengolahan persentase modal asing meningkat pada industri yang oligopolistik, menguntungkan, dan memiliki kebutuhan modal dan teknologi relatif tinggi. Dalam bidang sosial dan budaya tentu saja tidak kalah deras pengaruh penetrasi asing pada masyarakat Indonesia. Tayangan TV dan informasi dari internet sangat kuat pengaruhnya terhadap perubahan perilaku masyarakat.
Kedua media itu hampir bisa dikatakan dimasuki ide asing bisa sebesar 80%, lebih tinggi dari modal asing yang masuk di sektor industri pengolahan dan finansial.Pada era keterbukaan seperti itu, masyarakat menjadi cemas terhadap modernitas yang begitu cepat,masyarakat berusaha untuk mewariskan jati dirinya melalui institusi pendidikan yang lebih kuat akarnya terhadap tradisi baik dalam bidang agama dan budaya. Hal yang diuraikan di atas harus ditangkap oleh Muhammadiyah yang sebagian institusi pendidikannya masih memainkan peran sebagai jembatan keterbatasan pemerintah dalam menyediakan pendidikan berkualitas pada era kolonial dan kemerdekaan awal.
Bagaimanapun anggaran pemerintah untuk menjangkau pendidikan dasar sudah relatif cukup,daya jangkau pendidikan dasar hampir 100%. Apabila sekolah Muhammadiyah hanya merupakan fotokopi sekolah pemerintah,tidak salah jika masyarakat meninggalkan sekolah Muhammadiyah. Muhammadiyah harus menangkap kecemasan masyarakat akan keterbukaan dan modernisasi yang sangat cepat.
Muhammadiyah harus memformulasikan pendidikannya sebagai wahana keilmuan modern sekaligus wahana mewariskan jati diri religiusitas, budaya, dan tradisi yang kokoh melawan serbuan informasi dan modernisasi. Kalau demikian perannya,ke depan masyarakat tentu masih sangat membutuhkan.(*)
Friday, July 2, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
secara pribadi saya sangat setuju dengan pendapatpak prof tentang ilmu dan teknologi,tentu saja dengan didasarkan atas iman dan taqwa,
ReplyDeletetetapi saat ini sepertinya hal ini akan sangat sulit sekali kami coba terapkan di SMK Muhammadiyah Sungai Bahar - Muaro Jambi - jambi..
Justru Jurusan yag mengajarkan teknologi dan rekayasa ini di lokasi kami terancam di tutup oleh pihak sekolah.
Untuk informasi,konfirmasi dan klarifikasi kami persilakan untuk mengakses situs blog anak anak TKJ SMK MUHAMMADIYAH SUNGAI BAHAR
http://tkj-smk-muhammadiyah.blogspot.com/2011/06/paradigma-baru-dunia-pendidikan.html
terima kasih
semoga semangat ahmad dahlan mash berkobar di dalam dada kita semua