Ada lima pilar yang menjadi gerak langkah pembaruan di Muhammadiyah.
Muhammadiyah adalah organisasi modern yang senantiasa melakukan pembaruan (tajdid). Bagaimana konsep tajdid Muhammadiyah itu?
Muhammadiyah memiliki sejumlah lembaga (majelis) dalam menjalankan tugasnya untuk senantiasa beramar makruf nahi mungkar (menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran). Salah satu lembaganya bernama Majelis Tarjih dan Tajdid.
Tarjih adalah pengamalan hukum-hukum agama sebagaimana tertulis dalam Alquran dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Tarjih bergerak dalam bidang pemurnian atau purifikasi. Sedangkan, tajdid adalah reform atau pembaruan. Keduanya (tarjih dan tajdid), ibarat dua sisi mata uang yang saling membutuhkan dan tak mungkin dipisahkan.
Jika dilihat secara umum, tarjih lebih bersifat masa lampau, sedangkan tajdid untuk masa depan.
Tajdid selalu berbicara prospektif. Jadi, pemurnian dan pembaruan, menjadi ciri khas gerakan Muhammadiyah. Organisasi ini akan diukur berdasarkan pada kedua benchmarks tersebut. Itulah konsep Kiai Ahmad Dahlan dalam meletakkan landasan dan fondasi Muhammadiyah, yang harus dilaksanakan penerusnya saat ini.
Apa contoh konkret dari gerakan pembaruan yang dilakukan Muhammadiyah tersebut?
Ada tiga hal yang menjadi fondasi utama gerak langkah Muhammadiyah, yakni bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Ketiga hal ini dijalankan oleh Kiai Ahmad Dahlan yang sangat jauh "menyimpang" dari mainstream saat itu.
Mengapa demikian? Karena kondisi masyarakat Indonesia yang terjajah, tertindas, terbelakang, miskin, dan selalu dibodohi oleh para penjajah.
Maka, untuk memperbaiki semua itu, harus ada keberanian dalam melakukan perubahan secara menyeluruh.
Misalnya, dalam pendidikan. Pola yang dikembangkan Muhammadiyah berusaha untuk mengadopsi pendidikan Barat yang berbeda dengan paham masyarakat Indonesia saat itu. Kiai Ahmad Dahlan memperbolehkan para pelajar memakai celana bagi laki-laki untuk sekolah. Sementara itu, pendidikan semacam itu belum ada di Indonesia, kecuali Barat. Maka, dengan cara itu, diharapkan pendidikan masyarakat menjadi lebih maju. Lalu, beliau (KH Ahmad Dahlan--Red) mendirikan lembaga pendidikan untuk laki-laki dan juga perempuan. Ini kan jelas menabrak pakem masyarakat saat itu.
Kemudian dalam bidang kesehatan, beliau berusaha mendorong didirikannya balai pengobatan untuk rakyat miskin. Sebab, waktu itu banyak masyarakat Indonesia dengan kondisi ekonomi yang sangat tertinggal, sangat kesulitan mendapatkan layanan kesehatan, kecuali mereka yang berasal dari kalangan bangsawan.
Dalam bidang kesejahteraan sosial, beliau membentuk lembaga amil zakat, lembaga peduli umat, dan lain sebagainya. Tujuannya adalah untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan lain sebagainya.
Kenapa ini semua dilakukan oleh Muhammadiyah?
Ini semua tak lepas dari pengalaman yang didapatkan Kiai Ahmad Dahlan saat menempuh pendidikan di Tanah Suci. Di sana, beliau mendapatkan gagasan pemikiran dari para tokoh pembaru Islam, seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Abdul Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, serta Rasyid Ridla. Mereka semua dikenal sebagai pelopor gerakan pembaruan Islam.
Kenapa mereka melakukan itu?
Sebab, kondisi masyarakat saat itu yang mulai jauh dari nilai-nilai Islam. Cara ibadah mereka mulai bercampur dengan kemusyrikan, takhayul, bid'ah, dan lain sebagainya. Kemudian dalam hal pemikiran, umat Islam saat itu cenderung telah mengalami stagnasi pemikiran. Pola pikir yang dikedepankan cenderung taklid (mengikuti saja) tanpa mau mencari dasarnya. Bahkan, mulai muncul kekhawatiran di masyarakat karena adanya fatwa yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Bagi tokoh pembaru seperti Abduh, Al-Afghani, dan Ibnu Taimiyah, hal ini dapat menyebabkan taklid buta dan pemikiran umat Islam pun menjadi jumud (stagnan).
Gerakan pembaruan para tokoh Islam itu pernah menjadi polemik. Misalnya, yang dilakukan Muhammad Abdul Wahhab, yang memusnahkan semua bangunan bersejarah karena kekhawatiran akan terjadi pengultusan terhadap tokoh tertentu sehingga bisa menimbulkan kemusyrikan. Bagaimana Menurut Anda?
Tentu saja, hal itu berbeda dengan yang dikembangkan oleh Kiai Ahmad Dahlan. Perlu ditegaskan di sini bahwa Muhammadiyah tidak anti dengan tradisi. Muhammadiyah juga sangat menjunjung tradisi. Namun, tradisi itu tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam sebagaimana diajarkan oleh Alquran dan hadis Nabi SAW.
Berangkat dari sinilah, Kiai Ahmad Dahlan berusaha memadukan semua itu. Mengambil sesuatu yang baik dan meninggalkan yang buruk. Istilahnya, kalau ada yang baik bisa diambil, namun kalau ada yang buruk, ya harus ditinggal. (Al-Muhafazhatu `ala qadimi as-shalih wa al-akhdzu bi aljadid al-ashlah).
Jadi, pemurnian harus dilakukan secara bertahap dan tidak dengan cara radikal atau frontal. Paham sekularisme, jika ada yang baik, ya diambil. Tapi, yang buruk, ditinggal. Modernisasi yang dikembangkan Barat, jika ada yang baik dipakai, dan jika tidak, ditinggalkan.
Jadi, gerakan pembaruan akan selalu terjadi sesuai dengan tuntutan zaman?
Betul. Gerakan pembaruan akan terus dilakukan dan tak akan pernah berhenti. Bisa saja, pembaruan yang dilakukan hari ini, tapi karena satu hal, sehingga besok sudah tidak bisa dilakukan lagi.
Maka, pembaruan akan terus berlangsung. Begitulah seterusnya.
Apa makna terpenting pembaruan yang dilakukan bagi warga Muhammadiyah?
Muhammadiyah selalu melakukan gerakan pembaruan. Muhammadiyah tanpa pembaruan, ibarat makan sayur tanpa garam, maka rasanya hambar. Muhammadiyah harus selalu menjadi pelopor. Sebagai pelopor, Muhammadiyah tidak boleh kehilangan kepeloporannya. Karena itu, pembaruan menjadi kebutuhan mutlak bagi warga pergerakan Muhammadiyah. Jadi, pembaruan akan selalu terjadi dan terus berkembang.
Dan, pembaruan itu akan terjadi dalam semua bidang, tidak hanya terbatas pada bidang sosial.
Semuanya yang dilakukan harus dijalankan dengan tindakan nyata. Itulah yang namanya amal syahadah.
Pada 2005 silam, Majelis Tarjih dan Tajdid telah merumuskan satu konsep baru dalam upaya membebaskan umat dari kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan.
Yaitu, dengan konsep Fikih Al-Maun. Bisa dijelaskan apa maksudnya?
Fikih Al-Maun adalah pokok-pokok pemikiran yang dikembangkan dari konsep tauhid sosial oleh pendiri Muhammadiyah. Dalam Fikih Al-Maun ini, terdapat lima pilar utama yang mesti dilakukan Muhammadiyah dalam upaya membebaskan umat dari kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan.
Kelima pilar ini bersumber dari surah Al-Maun [107]: 1-5, yaitu mereka yang disebut dengan orangorang yang mendustakan agama.
Pertama, yadlu'ul yatim (menghardik anak yatim).
Pemahaman Muhammadiyah, anak yatim itu bukan orang yang kehilangan ayah saja. Tapi, yatim yang menjadi penafsiran Muhammadiyah adalah siapa saja orang yang tidak beruntung. Mereka yang masih punya kedua orang tua, bisa saja disebut dengan yatim, bila mereka tidak mampu membebaskan dirinya dari ketidakberuntungan.
Mereka yang berada di kelompok ini adalah anak yatim, piatu, anak telantar, fakir miskin, orang-orang jompo, dan lainnya.
Mereka Inilah yang harus diperhatikan agar mereka terbebas dari sebutan yatim.
Kedua, wala yahudldlu `ala tha'ami almiskin, yaitu orang yang tidak mau memberi makan fakir miskin.
Mereka Inilah yang tidak beruntung, baik secara struktural maupun kultural, baik miskin spiritual maupun material.
Ketiga, fawailul li al-Mushallin alladzinahum `an shalatihim sahun, yaitu orang yang suka lalai dalam shalatnya. Shalat adalah harga mati bagi setiap Muslim. Muhammadiyah akan selalu menegakkan amar makruf nahi mungkar dengan mengajak orangorang yang enggan dan malas untuk segera melaksanakan shalat. Kami juga sedang merumuskan istilah fikih industri, yaitu bagaimana para karyawan yang sedang bekerja di pabrik atau perusahaan tertentu untuk dapat dengan mudah melaksanakan shalat tanpa harus meninggalkan pekerjaannya.
Keempat, alladzinahum yura`un, yaitu orangorang yang suka berbuat ria atau pamer. Setiap individu Muslim dilarang berlaku ria atau suka memamerkan amal perbuatannya.
Kelima, wa yamna'un al-ma'un, yakni umat Islam itu harus suka berbagi manfaat dengan orang lain.
Dengan kelima ciri ini, Muhammadiyah harus menjadi contoh untuk memberi teladan. Yadu al`ulya khairun min yadi as-sufla (tangan diatas lebih baik daripada tangan di bawah).
Muhammadiyah harus mampu melaksanakan program ini karena di situlah entry point Alquran bagi umat manusia yang disebut dengan pendusta agama. Karena itu, agar tidak mendapat julukan sebagai predikat pendusta agama, umat Islam harus mampu mengaplikasikan Fikih Al-Maun ini.
Apa tantangan tajdid atau pembaruan Muhammadiyah di abad kedua ini?
Ada dua hal pokok yang menjadi tantangan pembaruan yang dilakukan Muhammadiyah. Kedua tantangan itu adalah faktor internal dan eksternal.
Faktor internal, di antaranya adalah masalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM). Apakah ada kemampuan untuk mengaplikasi semua program pembaruan yang dikembangkan Muhammadiyah hingga sampai pada stakeholder (warga) Muhammadiyah.
Sedangkan, faktor eksternal atau dari luar adalah kondisi tatanan sosial yang berubah sangat cepat sehingga dibutuhkan kepeloporan Muhammadiyah untuk lebih kreatif dalam mengembangkannya. Jujur saja, sebagian program Muhammadiyah, kini telah menjadi program nasional atau diambil alih perannya oleh negara. Misalnya, tentang program pendidikan gratis. Dulu, Kiai Ahmad Dahlan berusaha memberikan pendidikan yang murah dan gratis bagi mereka yang tidak mampu. Kemudian, program itu saat ini telah diambil alih oleh negara.
No comments:
Post a Comment