Wednesday, January 9, 2013

Muhammadiyah Melangkah ke Dunia Internasional



Suara Muhammadiyah, 02 / 98 | 4 - 19 RABIULAWAL 1434 H or 16 - 31 JANUARI 2013, hal. 40-41.

Oleh Ahmad Najib Burhani
Pengurus PCIM Amerika Serikat, Peneliti LIPI

Bagi sarjana atau pengamat asing yang tidak biasa hadir di acara akademik di Indonesia, barangkali mereka terheran dengan penyelenggaraan IRCM (International Research Conference on Muhammadiyah) di Universtas Muhammadiyah Malang (UMM) yang berakhir awal Desember 2012 lalu. Meski acara itu merupakan kegiatan akademik, namun simbol-simbol keagamaan tampil secara jelas di mana-mana. Berbeda dari acara akademik di dunia barat, IRCM dimulai dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, lagu Indonesia Raya, dan hymne Muhammadiyah. Para pembicara pun, meski memaparkan kajian atau temuan ilmiah, tapi banyak yang memulai dan mengakhiri presentasinya dengan bismilah dan alhmadulillah.

Bagi orang Indonesia, apalagi orang Muhammadiyah, tentu tidak ada yang aneh dengan semua proses itu. Tapi tidak demikian halnya dengan mereka yang berpikir bahwa dunia akademis harus bersih dari nilai dan simbol keagamaan. Kelompok kedua ini akan menganggap adanya nilai dan simbol agama akan mengganggu sikap netral seorang akademisi ketika sedang mengkaji agama atau aktivitas keagamaan. Karena itu, apa yang terjadi di Malang itu menjadi semacam ambiguitas dalam memulai langkah observasi dan kajian ilmiah; yaitu antara ketundukan kepada agama atau mendedikasikan seluruh upaya keilmuan untuk membnarkan apa yang tertulis secara harfiyah dalam kitab suci dan upaya berpikir obyektif demi keilmuan murni. Tapi memang seperti itulah dunia akademis kita yang tidak sekuler, paling tidak apa yang tampak di permukaan.

Tentu saja pembacaan kalam suci Ilahi berbeda dari tarian topeng yang juga ditampilkan di pembukaan IRCM. Tarian yang ditampilkan oleh mahasiswa UMM itu cukup memukau dan menghibur para hadirin. Tidak hanya sebagai sebuah hiburan, tapi juga sebagai kontradiksi dalam organisasi Muhammadiyah yang terkenal sebagai organisasi puritan yang anti terhadap budaya lokal yang sinkretik. Tarian topeng itu juga menampilkan kontradiksi antara peran perempuan di ruang publik yang dalam pemahaman kelompok ekstrim puritan harus dipisahkan dari laki-laki. Beruntung, dalam tarian topeng ini tak tampak jelas apakah penarinya laki-laki atau perempuan. Dan terlebih lagi, tarian itu tak menampilkan unsur erotis apapun yang seringkali menjadi taboo di organisasi ini.

Masih berkaitan dengan tarian, persoalan dasar lain yang masih menjadi perdebatan di tubuh organisasi seperti Muhammadiyah adalah persoalan sinkretisme. Tapi sepertinya tarian itu tak menodai iman atau tauhid sama sekali karena tak mengandung unsure-unsur ketuhanan, sehingga tak perlu dikhawatirkan. Justru sebaliknya, tarian itu mampu menampilkan kombinasi yang menarik antara tradisi, agama, dan modernisasi. Tarian topeng itu diambil dari budaya Indonesia dan ditampilkan dengan kostum tradisional. Namun penari perempuan yang tampil tak melepaskan simbol agama dengan tetap memakai jilbab. Tarian ini juga ditampilkan dalam pembukaan acara yang bernuansa modern yang menampilkan kemegahan UMM dan kecanggihan teknologi di kampus itu.

IRCM di Malang dan peringatan 100 tahun Muhammadiyah bulan November yang lalu menampilkan banyak hal yang perlu dicermati, selain penyelenggaraan acara itu sendiri. Salah satunya adalah apa yang ditampilkan oleh Robin Bush (Asian Research Institute, Singapura) dan Ken Miichi (Iwate Prefectural University, Jepang). Mereka menampilkan data yang cukup mengejutkan tentang jumlah orang Indonesia yang mengaku berafiliasi dengan Muhammadiyah. Selama ini yang berkembang adalah ada perbedaan sekitar 10 juta antara jumlah warga NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah. Jika NU disebut memiliki 40 juta anggota, maka Muhammadiyah memiliki 30 juta anggota. Jika NU berjumlah 30 juta, maka Muhammadiyah berjumlah 20 juta.

Berdasarkan survey yang dilakukan The Asia Foundation (TAF) dan dipresentasikan oleh Robin Bush, warga Indonesia yang mengaku berafiliasi dengan NU berjumlah 49 persen, sementara yang berafiliasi dengan Muhammadiyah hanya 7,9 persen. Sementara menurut survey dari Ken Miichi, warga NU adalah 30 persen, sementara yang mengaku dirinya Muhammadiyah hanya 4,6 persen.

Tentu saja banyak penjelasan yang bisa diberikan terhadap data itu. Salah satunya adalah yang disampaikan oleh Rizal Sukma, direktur eksekutif CSIS (Centre for Strategic and International Studies) dan ketua lembaga hubungan luar negeri PP Muhammadiyah. Menurutnya, Muhammadiyah adalah organisasi, sementara NU adalah tradisi. Orang hanya menyebut dirinya sebagai anggota organisasi jika dia secara resmi terdaftar di organisasi itu. Sementara untuk NU, orang bisa mengklaim dirinya NU meski hanya sekali mengikuti tradisi ziarah kubur dan tahlilan. Apapun penjelasan yang diberikan terhadap data itu, orang Muhammadiyah perlu berefleksi tentang kuantitas keanggotaannya, di samping kualitasnya tentu saja. Mengapa? Politik di Indonesia itu sering didasarkan pada politik angka-angka. Jika jumlahnya kecil, maka tidak perlu ada wakil dari Muhammadiyah di kabinet karena Muhammadiyah hanya representasi dari minoritas warga Indonesia. Ini hanya satu contoh dampak dari angka di politik.

Di samping data yang membuat prihatin itu, tentu banyak hal positif yang berkembang di Muhammadiyah. Salah satunya adalah kemampuan Muhammadiyah menjaga diri dari carut-marut politik. Ini, misalnya, berbeda dari NU yang belakangan ini banyak warganya yang hanyut dalam kisaran politik kotor dan melupakan misi sosial dan keagamaan.

Secara umum, konferensi di Malang itu menampilkan kemampuan Muhammadiyah untuk melangkah ke tingkat global dan menunjukkan wajah Indonesia ke masyarakat dunia. Seperti yang disampaikan oleh Azyumardi Azra, acara di Malang itu sangat mengesankan karena seluruh acara bisa diselenggara dengan menggunakan bahasa Inggris dengan sangat lancar. Menurutnya, acara seperti ini tidak bisa terjadi bahkan di Malaysia, Filipina dan Thailand. Azyumardi bahkan menyebut ini merupakan konferensi terbesar di dunia yang membahas tentang organisasi Islam. Robert Hefner (Boston University) dan Merle Ricklefs (Australian National University) bahkan berkali-kali menyampaikan apresiasi positifnya terhadap seluruh rangkaian perayaan 100 tahun Muhammadiyah dan IRCM.

Yang paling tampak kontras antara sebelum dan setelah acara adalah Jonathan Benthall, profesor ahli masalah filantropi dari University College London (UCL). Benthall tiba di Malang dua hari sebelum acara berlangsung. Dalam dua hari itu, ketika bertemu dengan panitia ia selalu menampilkan wajah masam setiap kali bertemu dengan panitia. Namun ketika acara berlangsung, dia adalah salah satu peserta yang paling aktif, termasuk pada pertunjukan film di malam hari dan kunjungan ke AUM (Rumah Sakit Pendidikan UMM dan Obyek Wisata Alam Muhammadiyah di Batu). Memasuki hari kedua konferensi, Benthall mulai ramah ke panitia dan memuji penyelenggaraan. Pada hari terakhir, Benthall menjadi salah satu orang yang paling murah senyum dan akrab. Benthall juga yang mempersiapkan pembuatan laporan IRCM di jurnal internasional Anthropology Today yang rencananya akan ditulis oleh Claire-Marie Hefner.

Setelah memberikan kesadaran akan kemampuan Muhammadiyah berada di tingkat global, sebagai bentuk refleksi, barangkali Muhammadiyah perlu mengkonsolidasikan AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah) yang berasal dari Timur Tengah untuk menyelenggarakan acara serupa. Dengan cara ini, akan tampak potensi besar yang dimiliki oleh Muhammadiyah yang selama ini masih tertimbun. Organisasi ini memiliki banyak kader yang sangat kuat penguasaannya terhadap khazanah Islam klasik dan Timur Tengah. Akan menjadi prestasi yang luar biasa jika Muhammadiyah juga mampu menyelenggarakan konferensi internasional dengan bahasa Arab dengan menghadirkan pakar-pakar Islam dari Timur Tengah seperti Hassan Hanafi.
-oo0oo-

Tuesday, January 8, 2013

Faith, Moral Authority, and Politics: The Making of Progressive Islam in Indonesia

Arifianto, Alexander R. 2012. Faith, Moral Authority, and Politics: The Making of Progressive Islam in Indonesia. Thesis (PhD) - Arizona State University.

ABSTRACT
Several Islamic organizations have experience major changes in their theological frames and political identities away from fundamentalist and revivalist theological orientation to one that embraces a progressive Islamic theology that synthesizes these norms with classical Islamic teachings. What are the factors that explain these theological changes? What are the causal mechanisms that help to promote them? Using the moral authority leadership theory, I argue that Islamic groups would be able to change their theological frames and political identities if the changes are promoted by religious leaders with 'moral authority' status, who are using both ideational and instrumental strategies to reconstruct the theological frames of their organizations. In addition to moral authority leadership, intermediary variables that also affect the likelihood of a theological change within Islamic groups are the institutional culture of the organization – the degree of tolerance for non-Islamic theological teachings - and the relationship between the Islamic group and the state.

This study is a comparative historical analysis of two Indonesian Islamic groups: the Nahdlatul Ulama (NU) and the Muhammadiyah. It finds that the NU was able to successfully change its theological positions due to the presence of a charismatic moral authority leader, the tolerant institutional culture within the organization, and the ability of the organization to ally with the Suharto regime, allowing the reform to be institutionalized with little intervention from the regime. On the other hand, theological reform within the Muhammadiyah was not successful due to the lack of a leader with moral authority status who could have led the reforms within the organization, as well as to the dominance of a revivalist institutional culture that does not tolerate any challenges to their interpretation of Islamic theology. The analysis makes theoretical contributions on the role of religious leadership within Islamic movements and the likelihood of Islamic groups to adopt liberal political norms such as democracy, religion-state separation, and tolerance toward religious minorities. It identifies the mechanisms in which theological change within Islamic group become possible.

TABLE OF CONTENTS

LIST OF TABLES ...................................................................................... x
LIST OF FIGURES .................................................................................... xi
CHAPTER
1 INTRODUCTION ........................................................................ 1

2 LITERATURE REVIEW, THEORY, AND METHODOLOGY ........ 22
Review of Competing Explanations ................................ 23
Political Culture (Culturalist) Approach. .............. 23
Rational Choice (Rationalist) Approach. .............. 27
Social Constructivist Theory. ............................... 35
Weberian Charismatic Leadership Theory. .......... 42
Theoretical Framework and Hypotheses .......................... 47
Conceptualizing Political Islam. .......................... 51
Theorizing Moral Authority. ................................ 55
Intervening Variables. ......................................... 61
The Institutional Culture of the Organization. ................................ 63
Relations between the State and the Religious Organization. .... 66
Dependent Variable. ................................ 70
Causal Mechanisms for Successful and Unsuccessful Theological Change. ... 74
Research Methodology.................................................... 77
Case Selection and Justifications. ........................ 78
Data Sources. ...................................................... 81

3 THE SUCCESSFUL REFORM PATHWAY: THE CASE OF THE NAHDLATUL ULAMA .... 86
Historical Background of the Theological Reforms Within the NU ................ 90
Analysis of Theological Change within the NU ............. 110
Abdurrahman Wahid’s Moral Authority Leadership. ............................ 110
Tolerant Institutional Culture within the NU. ..... 126
NU’s Relations with the Indonesian State. ......... 130
Alternative Explanations on Theological Reforms within the NU................... 136
Culturalist Explanation of the NU Reform. ........ 138
Rationalist explanation of NU’s theological reform. ..................................... 141
Conclusion .................................................................... 147

4 THE UNSUCCESSFUL REFORM PATHWAY: THE CASE OF THE MUHAMMADIYAH .. 154
Historical Overview of Theological Reform within the Muhammadiyah ........ 158
Analysis of the Theological Reform within the Muhammadiyah .................... 176
Religious Leadership of Nurcolish Madjid and Syafii Ma’arif. ..................... 176
The Impacts of Puritanist/Revivalist Institutional Culture. ............................. 181
Relations between the Muhammadiyah and the Indonesian State ................. 196
Alternative Explanations on the Theological Reform within the Muhammadiyah ...... 202
Culturalist Explanation. ..................................... 194
Rationalist Explanation. ..................................... 198
Conclusion .................................................................... 203

5 CONCLUSION ........................................................................ 210
Review of Empirical Findings ....................................... 210
Theoretical Contributions .............................................. 228
Future Research ............................................................ 231
REFERENCES .......................................................................................... 233

Tuesday, January 1, 2013

Wawancara: Ahmad Najib Burhani: Muhammadiyah Perlu Ijtihad Baru

MATAN, Edisi 78, Januari 2013, hal. 18-19.

Melewati satu abad perjalanan, Muhammadiyah dihadapkan pada sejumlah tantangan serius. Bukan lagi persoalan Tahayyul, Bid’ah dan Khurafat (baca: TBC) se­bagai lawan utama dakwah ke depan, melainkan kejumudan pikiran dan stagnasi gerakan menjadi dua problem besar yang menyumbat gerak laju Per­syarikatan.

Upaya menggagas ijtihad gerakan adalah satu dari sekian wacana yang muncul dalam Kongres Penelitian In­ternasional mengenai Muhammadiyah (International Research Congress on Muhammadiyah/IRCM) di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), 29 November – 2 Desember 2012. Kongres yang dihadiri 40 peneliti baik dari nasional maupun internasional ini men­gupas tuntas kontestasi Persyarikatan selama satu abad berlalu.

Kongres juga memberikan gagasan-gagasan yang mencerdaskan sebagai modal melewati 100 tahun mendatang. Dari itu, berbagai otokiritik bermunculan di antaranya mengenai jumlah keang­gotaan yang tidak jelas, cara pandang konservatif yang dilestarikan, dan sejum­lah alasan kenapa para peneliti asing tidak lagi tertarik meneliti Muhammadiyah. Wartawan MATAN, Nafi’ Muthohirin berkesempatan mewawancarai Sekretaris Steering Comitee IRCM/Kandidat Dok­toral di University of California, Santa Barbara, AS, Ahmad Najib Burhani. Berikut beberapa petikannya:

Pada penyelenggaraan IRCM beberapa waktu lalu, apa saja masukan yang baru bagi Muhammadiyah?
Banyak hal baru yang ditemukan dalam acara kemarin, misalnya yang disampaikan M. Amin Abdullah dalam refleksi akhirnya. Dia menekankan su­paya Muhammadiyah melakukan ijtihad yang benar-benar baru, bukan sekedar recycling ijtihad seperti yang selama ini diulang-ulang. Konsep ijtihad ini berupaya menemukan satu bentuk iden­titas dan wawasan baru sebagai modal melangkah 100 tahun ke depan.

Selain itu juga ditemukan fakta yang mengagetkan dari data survei yang disodorkan beberapa panelis sep­erti Robin Bush, Hattori Mina (Nagoya University, Jepang), dan Ken Miichi (Iwate Prefectural University, Jepang). Mereka menunjukkan bahwa jumlah keanggotaan Muhammadiyah dengan Nahdlatul Ulama (NU) ternyata tidak terpaut sekitar 10 juta seperti selama ini dipahami. Umumnya orang mengatakan, jika NU mengklaim punya 40 juta anggota, maka Muhammadiyah 30 juta. Kalau NU beranggotakan 30 juta, maka Muhammadiyah 20 juta. Ternyata warga Muhammadiyah tidak ada separuhnya warga NU. Jika NU misalnya sekitar 40 persen dari jumlah keseluruhan warga Indonesia, maka Muhammadiyah hanya sekitar 7,9 persen.

Apa yang mendasari perbedaan total jumlah keanggotaan itu?
Menurut data survei yang dipapar­kan Hattori Mina dan Ken Miici, malah jumlahnya lebih kecil, 4,5 persen saja warga Persyarikatan yang benar-benar mengaku kader Muhammadiyah. Tentu saja ini memunculkan pertanyaan men­dalam apakah data ini benar.

Rizal Sukma menjelaskan, per­bedaan jumlah keanggotaan NU dan Muhammadiyah disebabkan karena NU adalah organisasi Islam yang lebih melekat pada tradisi, sementara Muham­madiyah lebih ketat sebagai organisasi Islam modern. Orang mengaku NU hanya dengan menjalankan ziarah kubur atau misalnya datang ke haul. Tetapi kalau Muhammadiyah lebih terlihat pada kegiatan-kegiatan dan keanggotaan yang lebih ketat daripada tradisi.

Bahkan, ada orang yang mengatakan bahwa anggota Muhammadiyah dengan Aisiyah itu berbeda. Variabel ini yang kiranya perlu diperhatikan lagi ketika me­lihat angka-angka keanggotaan tersebut. Tetapi angka itu sendiri, yang 7,9 persen atau 4,5 persen itu lumayan mengejutkan bagi warga Muhammadiyah.

Apa dampak dari angka keanggotaan yang sedikit itu?
Jika kita berefleksi pada awal pendi­rian Muhammadiyah memang jumlah keanggotaan organisasi Islam ini tidak pernah besar. Tetapi dengan angka yang sedemikian itu tentu mempengaruhi perpolitikan nasional. Jika angkanya hanya 7,9 persen atau 4,5 persen, maka jatah menteri misalnya, tidak akan bisa diberikan. Ini dampak secara politik. Sementara dampak secara organisasi tidak terlalu berefek. Tetapi ketika politik dikontrol dengan angka-angka, dengan menyebut Muhammadiyah itu kecil, maka representasi Muham­madiyah dalam pemerintahan akan menjadi tidak diperhitungkan karena tidak merepresentasikan warga yang sangat banyak.

Persoalan apa lagi yang muncul dalam diskusi-diskusi di konferensi kemarin?
Dari presentasi paper para peneliti kemarin, kita juga menemukan fakta bahwa tidak sedikit kader-kader Per­syarikatan yang terlihat agak ekstrem dalam memahami ajaran Islam. Fakta itu bisa dibuktikan misalnya yang ter­dapat di Paciran atau Solo. Kekerasan berlandaskan agama bisa terjadi di or­ganisasi manapun, seperti penyerangan Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan atau persekusi terhadap warga Syi’ah di Sampang. Bagi Muhammadiyah, yang terpenting kita bisa menjadikannya sebagai refleksi, hanya apakah kita mau menunaikan tugas menemukan identitas pribadi.

Selain itu, ada sekelompok warga Muhammadiyah yang cenderung menganggap Persyarikatan ini sudah keting­galan zaman, seperti dalam tulisan Mit­suo Nakamura dan Martin Van Bruines­sen. Karena itu, keduanya menyarankan supaya gerakan Muhammadiyah harus lebih dikeraskan.

Belakangan ini kita melihat para pe­neliti asing, bahkan dari Indonesia sendiri nampak sudah jarang menjadikan Muham­madiyah sebagai obyek penelitian yang menarik. Apa kira-kira penyebabnya?
Muhammadiyah memiliki karakter yang berbeda dengan organisasi Islam lainnya, seperti giat bekerja, beramal tanpa pamrih, rame ing gawe, dan memberi sebanyak-banyaknya kepada anak yatim. Ini adalah karakter Muham­madiyah di tahun 1950-1970-an. Nilai-nilai puritanisme ini dimaknai sebagai tindakan yang positif karena dianggap mengarah pada semangat protestan etik, kapitalisme, atau semangat bekerja. Namun, kini nilai-nilai puritanisme tersebut dimaknai berbeda. Puritanisme diartikan dengan ekstremisme.

Jadi ada semacam pergesaran nilai puritanisme?
Bisa dikatakan begitu. Terjadi kon­testasi pemaknaan di sini. Saya ambil contoh, dulu tahun 1970-an, semua buku James L. Peacock seperti Muslim Puri­tan atau Dahlan dan Rasul, di dalamnya melihat Muhammadiyah memiliki spirit etos kapitalisme dan protestanisme sep­erti Calvinisme di AS, yang kemudian menjadikan AS sebagai negara maju. Tetapi pada 2002, Peacock menulis fundamentalisme, sementara variabel yang dilihat berdasrkan konsep puri­tanisme Muhammadiyah seperti yang ditulisnya pada 1970-an. Dia berkisah tentang nilai yang sama tetapi punya makna yeng berbeda.

Selain otokritik terhadap Muham­madiyah, apa kelebihan Muhammadiyah yang dipresentasikan para peneliti asing kemarin?
Pertama, yang paling tampak or­ganisasi ini sudah mendunia, meski masih pelan. Jika dulu para pemikir Indonesia masih berpikir tentang Islam dalam lingkup Indonesia, kini para generasi muda Muhammadiyah berpikir untuk menampilkan Muhammadiyah di tingkat global. Kepercayaan diri itu ditemukan, meski secara geografis Indo­nesia berada di pinggiran dunia Islam. Sebagai perwujudan dari keinginan menduniakan Muhammadiyah adalah rencana menyelenggarakan konferensi dengan menggandeng Ghulen Move­ment dari Turki atau Nursi movement dan membahas perbandingan antara organisasi-organisasi itu.

Kedua, minat studi kemuhammadi­yahan yang dilakukan para sarjana lebih beragam. Tidak hanya melihat aspek politik dan ekonomi Muhammadiyah, tapi juga pada aspek spiritualitas, fi­lantropi, dan isu perempuan. Dalam kaitannya dengan perspektif yang di­pakai, mereka juga telah beranjak dari keterkungkungan Weberian perspektif menuju Durkheimian perspektif dan perspektif lain yang melihat tidak se­mata sebagai organisasi ortodok, tapi juga organisasi yang berciri khas ke-Indonesiaan.

Apa refleksi dari kegiatan IRCM kemarin bagi Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), terutama untuk pengembangan keilmuan?
Dalam kaitannya dengan AMM, IRCM menunjukkan munculnya kader intelektual muda di Muhammadiyah dengan gelar doktor dari luar negeri. Di antara mereka ada Ahmad Muttaqin, Rahmawati Husein, Alimatul Qibtiyah, Hilman Latief, Din Wahid, Prdana Boy, Mohammad Rokib, dan lain-lain. Mereka tampak sudah siap tampil tidak hanya di pentas nasional, tapi juga di tingkat internasional.

Ini barangkali yang sedikit mem­bedakan dari generasi senior di Mu­hammadiyah. Meski duduk dalam satu forum atau satu panel dengan begawan-begawan ahli Islam seperti M.C. Ricklefs, Martin van Bruinessen, Mark R. Woodward, Jonathan Benthall, Mitsuo Nakamura, Hyung-Jun Kim, dan Robert R. Hefner, dan Herman L. Beck, mereka terlihat tak tampak minder atau merasa inferior.