Koran Tempo, 7 Juli 2010
Satya Nugraha L, tenaga ahli dpr ri, warga muhammadiyah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato sesaat sebelum membuka Muktamar Muhammadiyah melalui fasilitas telekonferensi dari Madinah, Arab Saudi, di Stadion Mandala Krida,Yogyakarta, secara tegas mengatakan bahwa negara dan Muhammadiyah saling membutuhkan.
Sebagai organisasi keagamaan yang memiliki ribuan amal usaha dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial, hubungan antara negara dan Muhammadiyah adalah saling memerlukan. Muhammadiyah dan negara memiliki visi yang sama, yaitu untuk mewujudkan masyarakat makmur, sejahtera, berdaulat, dan bermartabat.
Selama satu abad, Muhammadiyah serta Aisyiah mencurahkan perjuangan dan perhatian kepada masyarakat, bangsa, dan negara. Karena itu, kata Presiden Yudhoyono, pengambilan tema "Gerak Melintasi Zaman, Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama" sudah tepat. Kurun satu abad, Muhammadiyah tumbuh menjadi organisasi kemasyarakatan besar yang terus bergerak ke depan membangun pendidikan, kesehatan, dan sosial. Muhammadiyah juga berperan aktif dalam pergaulan global, membangun dialog antarperadaban.
Namun, terlepas dari segala prestasi dan pujian itu, alangkah arifnya bagi Muhammadiyah bila tidak terlalu berpuas diri dan terbuai sanjungan. Justru yang harus disoroti dan dicermati adalah pekerjaan rumah apa yang belum dan masih kurang berhasil dilakukan Muhammadiyah dan warganya. Beberapa catatan penting yang mungkin perlu direka ulang dan dikoreksi secara jernih dan serius dalam kancah Muktamar Muhammadiyah ke-4 6 ini adalah soal kepemimpinan ke depan di tengah hiruk-pikuk politik dan suksesi 2014, yang dirasakan mengalami pergeseran orientasi.
Gaya kepemimpinan
Yang menarik dari gaya dan karakter kepemimpinan Muhammadiyah sejak KH Ahmad Dahlan, Buya Hamka, sampai KH A.R. Fakhruddin adalah tokoh-tokoh yang dikenal sederhana-bersahaja, karismatdk, jujur, memiliki komitmen, iklas, egaliter, tulus, dan mampu mengembalikan Muhammadiyah ke jalur pembaharuannya, serta tidak tergiur godaan politik praktis yang berorientasi kekuasaan.
Namun, kini sesuai dengan perkembangan dan tantangan zaman, kepemimpinan elite dan tokoh Muhammadiyah mulai banyak bergeser dan tergiur.berbagai godaan. Salah satu rayuan maut yang sangat menggoda adalah tarikan arus politik yang makin kuat dewasa ini. Memang Muhammadiyah sendiri tidak mengharamkan politik. Tapi apakah kaum elite Muhammadiyah kini lebih mengutamakan politik moral (high politics) atau politik prsflctis (low politics)?
Kebanyakan orang berharap Muhammadiyah dan para elitenya lebih mengutamakan politik moral sebagai ciri kekuatan kepemimpinannya. Mereka seharusnya bisa menjaga jarak untuk tidak dijadikan sekadar alat negosiasi untuk kekuasaan oleh para elitenya. Sayangnya, sejak di era kepemimpinan Amien Rais (1995-2000), gaya dan orientasi kepemimpinan itu mulai bergeser. Walaupun awalnya Amien dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah yang lurus dan kukuh mengedepankan high politics, yang lebih dikenal dengan jargonnya "tauhid sosial" atau politik adiluhung, politik yang lebih mengedepankan moral politik ketimbang pertarungan merebut kekuasaan.
Tapi akhirnya euforia politik masa reformasi membuat Amien terbujuk rayu politik praktis dengan mendirikan Partai Amanat Nasional. Padahal awalnya ia banyak mengkritik politik praktis sebagai low politic (politik rendahan) yang cenderung korup dan kotor. Namun dengan enteng Amien berdalih bahwa pilihannya adalah ijtihad politik yang bersendikan amar maruf nahi munkar.Buya Syafii Maarif-lah yang tidak terbuai bujuk-rayu politik. Syafii Maarif sering melontarkan pernyataan politik yang kritis tapi tidak menyeret Muhammadiyah yang dipimpinnya. Syafii Maarif lebih mirip tokoh Muhammadiyah pendahulunya yang cakap dan bersahaja. Ia bisa menjaga jarak dengan politik praktis. Di tangan Buya Syafii Maarif, Muhammadiyah lebih terkonsentrasi mengurus berbagai bentuk amal usaha, seperti pendidikan, sosial, dan dakwah amar maruf nahi munkar, sebagai ciri khas gerakan Muhammadiyah.
Tapi gonjang-ganjing Muhammadiyah dalam politik makin terasa aromanya manakala di bawah kendali Din Syamsuddin, walaupun secara kenyataan dan eksplisit Din tidak tampil dalam kancah politik praktis. Tapi berahi dan manuver politiknya sangat kentara baunya. Ia bahkan di-gosipkan sangat berminat menjadi wakil presiden. Din Syamsuddin, yang pernah menjadi politikus Golkar, sering melakukan selebrasi politik. Din Syamsuddin juga merestui dan mendorong kelahiran Partai Matahari Bangsa (PMB), yang didirikan kalangan muda Muhammadiyah. Tapi, tidak seperti PAN yang lolos ketentuan parliamentary threshold di Dewan Perwakilan Rakyat, PMB justru gagal dalam pertarungan demokrasi elektoral serta kurang banyak memperoleh simpati dan dukungan dari warga Muhammadiyah.
Pada Pemilihan Umum 2009, Din secara terang-terangan mendukung pasangan Ju-suf Kalla-Wiranto. Namun, sayang, kekalahan pasangan ini seolah membawa Muhammadiyah "beroposisi "dengan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemenang Pemilu 2009. Hubungan Din dan SBY terasa hambar. Walau mungkin SBY dan Muhammadiyah secara institusi tidak ada masalah yang berarti. Inilah mungkin kenapa SBY "kurang mengistimewakan" sehingga tak hadir saat membuka Muktamar Muhammadiyah ke-46 diYogya kemarin.
Tapi bukan Din Syamsuddin jika tak piawai beretorika politik. Menanggapi ketidak-hadirin SBY dalam muktamar itu, Din, ketua umum pimpinan pusat periode 2005-2010 yang kini mencalonkan kembali, bahkan termasuk kandidat yang cukup kuat dan mungkin bisa terpilih kembali, berkata, "Tidak mungkin ada pertentangan antara Muhammadiyah dan pemerintah. Sebagai gerakarunencerdaskan bangsa, Muhammadiyah butuh negara. Sebaliknya, negara juga memerlukan peran Muhammadiyah." Ia seakan berdalih di balik baju Muhammadiyah bahwa dirinya tak memiliki hambatan psikologis dan politik dengan SBY.Bila ada elite Muhammadiyah yang tetap tidak bisa menghindari politik karena berahi politiknya sangat besar, oknum elite ini harus keluar dari kepemimpinan Muhammadiyah. Muhammadiyah harus diselamatkan dari pertikaian dan kepentingan politik sesaat dari elite kekuasaan.
Dengan demikian, Muhammadiyah akan selalu terjaga dan memiliki kewibawaan yang besar sebagai persyarikatan Islam yang berpengaruh dan selalu dibutuhkan masyarakat dan bangsa. Dewasa ini memang banyak aktivis dan kader Islam yang tergiur politik kekuasaan, tak terkecuali dalam tubuh Muhammadiyah. Apalagi menjelang suksesi 2014. Di sinilah ujian terbesar bagi kepemimpinan Muhammadiyah ke depan untuk bisa memposisikan dirinya secara baik dan benar, tidak terjerat dalam permainan dan transaksi politik. Para pemimpin Muhammadiyah ke depan adalah orang-orang yang secara tulus mau mengikuti sunnah kepemimpinan para pendahulunya, seperti KH Ahmad Dahlan, Buya Hamka, dan KH AR. Fakhruddin, yang memiliki integrasi moral yang kuat dan tidak mudah tercabik oleh kepentingan politik sesaat
No comments:
Post a Comment