Monday, August 31, 2015

Kisah Persahabatan Haji Rasul dengan Kyai Ahmad Dahlan

Dari perjumpaan dua kawan lama hingga kisah lahirnya sekolah Muhammadiyah. Saling menginspirasi satu sama lain.

Oleh: Wenri Wanhar

Kweekschool Moehammadijah Yogyakarta. Foto: dok. Madrasah Mu′allimin Muhammadiyah Yogyakarta.

KERETA api dari Surabaya tiba di Yogyakarta. Dari sekian banyak penumpang yang turun, muncul sesosok laki-laki yang penampilannya cukup menarik perhatian. Di dadanya tersemat empat huruf Arab: ha, ain, kaaf, dan hamzah.

Kyai Haji Ahmad Dahlan yang sedari tadi menanti di stasiun Tugu langsung menyongsong laki-laki tersebut. Pimpinan Muhammadiyah itu mengetahui, bahwa HAKA –potongan-potongan huruf itu– merupakan inisial tulisan Haji Abdul Karim Amrullah di majalah Al-Munir.

“Tidaklah huruf-huruf itu yang jadi perhatian K.H.A Dahlan ketika dia turun tangga kereta api. Melainkan terbusnya, celana pantalon dan baju setengah tiang (baltu) hitam, kaca mata dan tongkat. Berbeda dengan pakaian kebanyakan kyai di Jawa di masa itu,” kata Kyai Raden Haji Hajid, sebagaimana dikutip Hamka dalam Muhammadiyah di Minangkabau.

Abdul Karim alias Inyiak Rasul atau Haji Rasul adalah ayah Buya Hamka. Dia kawan seperguruan Ahmad Dahlan. Meski tidak seangkatan, mereka pernah sama-sama berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam besar Masjidil Haram di Mekah.

“Menurut keterangan yang penulis dapat terima dari Kyai Raden Haji Hajid, kedatangan Syaikh Abdul Karim menjadi tetamu K.H.A Dahlan di Yogya tahun 1917 itu diterima dengan gembira oleh kyai dan murid-muridnya,” tulis Hamka.

Tiga hari tiga malam Haji Rasul jadi tamu di Kauman. Dia saksikan langsung bagaimana kawannya memimpin pengajian Muhammadiyah yang kala itu baru berumur lima tahun. Bahagia betul dia melihat semangat Dahlan. Peti-peti bekas dijadikan bangku untuk belajar. Sempat pula dia melihat Ahmad Dahlan mengajar agama Islam di sekolah modern Kweekschool Gouvernement, yang belakangan jadi inspirasi buatnya membuat sistem pendidikan yang sama.

Masa itu Dahlan minta izin menyalin tulisan-tulisan Haji Rasul di majalah Al-Munir ke dalam bahasa Jawa untuk disebar-ajarkan kepada murid-muridnya. “Kyai Ahmad Dahlan di Yogyakarta adalah salah seorang langganan dan pembaca setia majalah Al-Munir yang terbit di Padang. Begitu cerita Raden Haji Hajid,” ungkap Hamka.


Sementara itu Dahlan sudah pula banyak mendengar kisah baik tentang Sumatera Thawalib di Padang Panjang, sekolah Islam modern pertama di Hindia Belanda. Dalam perjumpaan itu, Dahlan mendengar langsung pengalaman Haji Rasul memimpin pengajian surau Jembatan Besi sejak 1901 hingga menjadi Sumatera Thawalib pada 1912.

Pada 8 Desember 1921, empat tahun kemudian, Dahlan mengubah pengajian Muhammadiyah di Kauman menjadi sekolah Pondok Muhammadiyah.

“Inilah untuk pertama kalinya Muhammadiyah membuka sekolah,” tulis Saleh Putuhena, mantan Rektor UIN Alauddin Makassar dalam Historiografi Haji Indonesia. “Untuk menjamin mutu pendidikan, pengajar pengetahuan umum dipercayakan kepada orang-orang yang ahli di bidangnya, ilmu pengetahuan agama diajar oleh Ahmad Dahlan dan Raden Haji Hajid.”

Tak hanya Dahlan yang terinspirasi. Pada 1918, setahun pasca lawatannya ke Jawa, Sumatera Thawalib membangun gedung baru. Ruang-ruang kelas dilengkapi bangku dan meja, serupa dengan sekolah “modern” yang dikelola Belanda. Agaknya Haji Rasul terinspirasi ketika melihat Ahmad Dahlan mengajar agama Islam di Kweekschool Gouvernement di Yogyakarta.

Semenjak itu, menurut sejarawan Taufik Abdullah dalam School and Politics, The Kaum Muda Movement in West Sumatera 1927-1933, meski sebelumnya sudah ada kurikulum berjenjang kelas, kegiatan belajar mengajar di Sumatera Thawalib tidak lagi halaqah (duduk bersila; murid melingkar guru).

Kisah selengkapnya baca laporan utama majalah Historia Nomor 21 Tahun II 2015.

http://historia.id/modern/kisah-persahabatan-haji-rasul-dengan-kyai-ahmad-dahlan

Tuesday, August 25, 2015

Profil Haedar Nashir, Ketua Umum Muhammadiyah yang Baru

Tempo, Jum'at, 07 Agustus 2015 | 13:21 WIB

TEMPO.CO, Makassar - Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, Jumat pagi, 7 Agustus 2015, baru saja menggelar serah terima jabatan dari Ketua Umum yang lama, Din Syamsuddin, kepada Ketua Umum periode 2015-2020, Haedar Nashir. Pergantian pejabat merupakan puncak muktamar, yang rencananya ditutup siang ini oleh Wakil Presiden M. Jusuf Kalla.

Sebelumnya, Haedar ditunjuk menjadi ketua umum oleh 13 formatur baru PP Muhammadiyah. Proses pemilihannya hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit lewat dalam sidang tertutup di luar pleno muktamar. Pemilihan itu sudah banyak diprediksi, karena sebelumnya Haedar menempati urutan teratas dalam pemungutan suara 2.000 peserta muktamar terhadap 39 daftar calon tetap.

Di lingkungan Muhammadiyah, Haedar Nashir bukan orang baru. Bisa dibilang dia besar dan tumbuh bersama organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan. Haedar merangkak dari bawah. Tahun 1983 dia mulai menjabat Ketua I Pengurus Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah.

Sejak tahun 1985 hingga 1990, Haedar dipercaya mengisi Deputi Kader PP Pemuda Muhammadiyah. Selanjutnya menjadi Ketua Badan Pendidikan Kader (BPK) dan Pembinaan Angkatan Muda Muhammadiyah PP (1985-2000). Terakhir, dia menjabat Sekretaris PP Muhammadiyah pada 2000-2005, sebelum menjadi Ketua PP dua periode hingga 2015.

Lahir di Bandung, 25 Februari 1958, Haedar malah banyak aktif berkegiatan di Yogyakarta. Ia tercatat sebagai anggota Muhammadiyah di daerah tersebut. Juga rutin mengajar di Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Istrinya, Siti Noordjannah Djohantini, juga menjabat Ketua Umum PP Aisyiyah dan berpeluang besar terpilih kembali untuk periode kedua.


Di mata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin, Haedar Nashir dianggap layak untuk memimpin Muhammadiyah lima tahun ke depan. Haedar dianggap sebagai seorang kader sejati Muhammadiyah. “Beliau dikader dari bawah sejak di IPM, Pemuda hingga terlibat di kepengurusan PP Muhammadiyah,” katanya kepada wartawan, Kamis, 6 Agustus 2015. “Dan di PP Muhammadiyah sekarang, kami memberikan wewenang kepada beliau untuk bertanggung jawab di bidang keorganisasian,” tuturnya.

Din juga menilai sosok Haedar sebagai tokoh intelektual. Haedar merupakan penulis yang prolifik dan rutin menulis di berbagai media massa. Bahkan karena keilmuannya, Haedar sering diberi tanggung jawab untuk menggarap konsep besar Muhammadiyah. “Pak Haedar sering kami tunjuk untuk menjadi ketua tim. Seperti, konsep Indonesia Berkemajuan itu, tim perumusnya diketuai oleh beliau,” kata Din.

Pada muktamar kali ini, Haedar bersaing dengan sejumlah rekan sejawatnya di Pengurus Pusat Muhammadiyah. Mereka antara lain Yunahar Ilyas, Dahlan Rais, Abdul Mu’ti, dan Syafiq A. Mughni. Juga dengan tokoh populer semacam seperti Busyro Muqaddas, yang pernah menjabat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Yudisial. Din menganggap mereka semua yang terpilih sebagai kader yang berkualitas. “Siapa pun yang terpilih, akan saya dukung,” ujarnya.
Ada yang menarik dari muktamar kali ini. Sebab di saat bersamaan, istri Haedar, Siti Noordjannah Djohantini, juga menambah masa jabatan di PP Aisyiyah sebagai ketua umum. Keduanya pun mengikuti jejak pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dan istrinya, Siti Walidah, sekitar satu abad lalu di masa pendirian Muhammadiyah.

Muhammadiyah sebagai organisasi Islam didirikan oleh KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta, pada 1912. Dua tahun berselang, istri Dahlan, Hajjah Siti Walidah, mendirikan Sopo Tresno, kelompok yang berfokus pada pembahasan isu-isu perempuan. Walidah yang akrab disapa Nyai Dahlan kemudian mengubah nama kelompok itu menjadi Aisyiyah, yang terinspirasi dari nama istri Nabi Muhammad, Aisyah. Belakangan Aisyiyah menjadi bagian Muhammadiyah dengan menjadi organisasi otonom untuk perempuan.

Dahlan diketahui memimpin Muhammadiyah hingga akhir hayatnya di tahun 1923. Adapun Nyai, selain memimpin Aisyiyah, juga aktif di Muhammadiyah selepas peninggalan suaminya. Ia sebagai perempuan pertama yang memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, 1926.

Setelah generasi Dahlan dan Nyai, bergantian tokoh memimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah. Selama puluhan tahun berselang, belum pernah ada pasangan suami-istri yang mengikuti jejak mereka, memimpin kedua organisasi dalam waktu bersamaan. Peluang itu terbuka pada Muktamar ke-47 di Makassar, yang juga bertepatan dengan peringatan satu abad Muhammadiyah dan Aisyiyah.

AAN PRANATA

http://nasional.tempo.co/read/news/2015/08/07/173689941/profil-haedar-nashir-ketua-umum-muhammadiyah-yang-baru
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/08/07/173689941/profil-haedar-nashir-ketua-umum-muhammadiyah-yang-baru/2
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/08/07/173689941/profil-haedar-nashir-ketua-umum-muhammadiyah-yang-baru/3

Friday, August 21, 2015

Sunni-Shia dialogue: What’s feasible

Muhamad Ali, California | Opinion | Fri, August 21 2015, 6:50 AM

One of the strategic issues raised at the recent 47th congress (muktamar)of the nation’s largest modernist Islamic organization, Muhammadiyah, was the enhancement of Sunni-Shia dialogue.

The Sunni-Shia crisis is almost as old as Islam itself, occurring right after the death of Prophet Muhammad. The conflict continues to resurface in parts of the Middle East and even in Sampang, Madura in East Java from 2011 onward, albeit on a much smaller and local scale. These tensions, both abroad and at home, have led Muhammadiyah leaders, scholars and activists to address the issue by advocating “internal” dialogues.

According to scholars on Islam such as Robin Bush and Budhy-Munawar Rachman, the official positions of Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama(NU) toward the Sunni-Shia tension are generally “conservative”. But the same findings also reveal diverse opinions within the leadership and membership of these two largest Islamic organizations toward religious minorities like Christians, Ahmadis and Shiites.

The congress in Makassar, South Sulawesi, revealed at least three positions among Muhammadiyah leaders and members concerning Sunni-Shia relations. The first position holds that Muhammadiyah is a Sunni movement, which many define as the People of the Sunnah, the Tradition of the Prophet, and the Community of Early Muslims.

The Shiites are meanwhile labeled the People of Heresy (ahl al-bid’ah). Hence Muhammadiyah is regarded also as a counter-ideology to the Shiites who do not recognize the three caliphs and accept the leadership of only Ali ibn Abi Thalib, the prophet’s son-in-law and cousin.

In Makassar, several leaders and members opposed any attempt at bridging the Sunni-Shiite theologies. Some firmly believe that Shi’ism is a dangerous belief that deserves no dialogue although the call to create an Islamic brotherhood (ukhuwwah) remains crucial. Others asked the congress to take an official position on whether Muhammadiyah regards the Shiites as “Islamic” or not, in order to end confusion among the grass roots. Yet there are hardly any positions that portray the Shiites as kafir (non-believers) although there are charges of heresy (bid’ah).

The second position maintains that Muhammadiyah is a Sunni movement, but recognizes that the Shia and the Sunni are both Muslim communities sharing commonalities and differences. Although they are aware of different sects within the Shia movement, they also identify extremist Shiites as well as extremist Sunnis that they consider should be “moderated”.

Many, including the elected secretary general Abdul Mu’ti, contended that the dialogue should not be about deciding who is religiously right or wrong, but about creating mutual recognition and understanding between the competing and conflicting sects.

The third position believes that Shiites and Sunnis are Muslims, but asserts that Muhammadiyah is neither, because the organization is a new, modern organization that emerged in the East Indies in 1912 very long after the Sunni-Shia split in seventh century Arabia.

Former chairman Ahmad Syafii Maarif maintained that the Muhammadiyah should firmly remain above the divisions of the sects of early Islam. For him, returning to the Koran as the main form of guidance would decrease one’s tendency to be sectarian and intolerant of religious and social differences.

The most recent former chairman M. Din Syamsuddin reiterated that both the Sunni and the Shia recognize the same God and the same prophet. He contends that a Sunni could learn about, and take lessons from, Shi’ism without being a Shiite in order to bridge the cognitive gap and increase cooperation.

The scholar Azyumardi Azra, who attended the congress, asserted that the Sunni-Shiite conflict was an old and regional Middle Eastern conflict that should not become a Muslim conflict in Indonesia. Muslims in Indonesia should lead the Muslim world in demonstrating moderation and modernization, he said.

There is broad awareness that tension and conflicts in the Middle East and in Indonesia are not basically theological or religious.

Addressing the tension, however, requires religious and non-religious measures. Muhammadiyah should improve its socio-religious and intellectual roles in cultivating tolerance, moderation and collaboration across faiths and nations.

The diverse positions regarding Sunni-Shiite relations can be taken into consideration as to what specific aspects demand special attention. These could include theological, ritual, social, political and cultural aspects, as well as international relations.

Muslims generally differentiate between belief and social interaction, claiming that they have to be firm or exclusive in the former and flexible and inclusive in the latter. But life is more complex.

There are often intersections between faith and social interaction, such as in the building of houses of worship, international financial support for propagation, mixed marriages of Sunni-Shiite couples, educational interaction and cooperation, and political tension and differences — such as among the Wahhabi Saudis, the Sunni Egyptians, the Yemenis, Shiite Iranians and Lebanese.

Therefore, Muhammadiyah, including the newly elected leaders, could commission the translation of books and publications that promote mutual understanding among Muslims, and between Muslims and non-Muslims.

Muhammadiyah should invite the national and local governments, national and local leaders, scholars and activists to take part in this dialogue. The Muhammadiyah preachers should conduct propagation or dakwah with knowledge and wisdom, providing good examples, and effective debates and dialogue, as explicitly stated in the Koran.

Dialogue, instead of the language of conflict, should be popularized internationally, nationally and locally. The classical tradition of face-to-face discussion including silatulfikr (reconnecting the minds) should be continued and promoted at other levels.

All activities and programs should be inclusive and benefit members and non-members from all walks of life regardless of faith and sectarian divisions. The 2015 congress is a historic moment in dealing with this old sectarian conflict by advancing dialogue in the broadest sense of the word.

If Muhammadiyah, the NU and other Islamic organizations in Indonesia emphasize the middle-path positions as inspired by the Koran, then ideally there should be no more obstacles to dialogue and cooperation among those who identify themselves as Muslims in Indonesia as well as among all the people and civilizations around the world.
_________________________

The writer is associate professor of Islamic studies at the University of California, Riverside, and heads the special branch of Muhammadiyah in the US.
Paper Edition | Page: 7

- See more at: http://www.thejakartapost.com/news/2015/08/21/sunni-shia-dialogue-what-s-feasible.html#sthash.4ECINFBT.dpuf

Thursday, August 20, 2015

Muktamar Muhammadiyah 1932: Jejak Buya Hamka di Makassar

Tribun-Timur, Jumat, 7 Agustus 2015 20:24

Muktamar Ke-47 Muhammadiyah berlangsung di Kota Makassar, 3-8 Agustus 2015. Pertemuan organisasi Muhammadiyah secara nasional yang dihadiri kurang lebih 300.000 kader dan penggembira ini yang ketiga kalinya digelar di Makassar. Dua Muktamar sebelumnya dilaksanakan pada 1971 (Muktamar Ke-38 Muhammadiyah) dan 1932 (Kongres Ke-21 Muhammadiyah).

Kongres tahun 1932 (waktu itu belum disebut “muktamar”) menjadi momentum yang penting bagi perkembangan organisasi pembaharuan (tajdid) ini di Sulawesi Selatan. Apalagi melihat kenyataan bahwa ketika itu Indonesia belum merdeka dan masih di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu, masa ini adalah masa yang penting dimana berbagai organisasi pergerakan tumbuh dengan pesat di seluruh wilayah Hindia Belanda. Di tahun 1932 inilah, Pimpinan Muhammadiyah Cabang Makassar kedatangan seorang ulama muda dari Sumatera Barat bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang kelak lebih dikenal sebagai Hamka.

Kongres 1932
Hamka dikirim ke Makassar pada 1932 atas permintaan Pimpinan Muhammadiyah Cabang Makassar. Hamka punya tugas khusus, membangkitkan semangat rakyat dalam rangka menghadapi Kongres Muhammadiyah ke-21 yang akan digelar di Makassar.

Menurut Dr Mustari Bosra (2008), setiap hari tidak kurang dari 5000 orang yang menonton dari luar arena kongres, menandakan antusias masyarakat untuk mengenal lebih dekat organisasi ini. Total sebanyak 4 cabang dan 39 grup terbentuk setahun setelah kongres ini, dimana sebelumnya hanya ada 2 cabang dan 15 grup. Jumlah sekolah dan masjid pun mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Pimpinan Muhammadiyah Cabang Makassar pun memanfaatkan kehadiran ulama muda cemerlang ini. Setelah Kongres terlaksana, kemudian didirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Muallimin di Makassar, dan dua tahun kemudian (1934) didirikan MTs di Majene. Untuk sekolah MTs di Makassar, Hamka sendiri bertindak sebagai kepala sekolahnya yang pertama. Menurut laporan Konsul Muhammadiyah Sulawesi pada Konferensi ke-16 tahun 1941 di Sengkang, Muhammadiyah Sulawesi Selatan memiliki 6 cabang dan 76 grup berisi 7000 orang, kurang lebih 30.000 orang simpatisan, masjid dan mushalla 41 buah, Sekolah Diniyah (setingkat sekolah dasar/SD) sebanyak 52 buah, Sekolah HIS sebanyak 4 buah, guru sebanyak 79 orang dan murid kurang lebih 5000 orang.

Legasi Kongres
Kongres Muhammadiyah ke-21 ini menjadi penting karena beberapa hal. Pertama, Pemuda Muhammadiyah sebagai organisasi otonom kalangan pemuda didirikan. Gerakan ini sebenarnya berasal dari gerakan pemuda terpelajar Siswo Proyo Priyo (SPP) yang berkembang pesat dan kemudian diputuskan oleh Kongres Muhammadiyah ke-21 menjadi organisasi Pemuda Muhammadiyah. Kedua, pada tahun ini Muhammadiyah memutuskan menerbitkan dagblaad atau surat kabar, dimana pengelolaannya dimandatkan kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di kemudian hari dinamakan Adil . Ketiga, kongres ini adalah kongres terakhir dimana KH Ibrahim menjadi Ketua Umum. Sebelumnya KH Ibrahim memimpin Muhammadiyah dan terpilih sebagai Ketua Umum sepuluh kali berturut-turut (1923-1932) dalam Kongres yang waktu itu berlangsung setiap tahun.

Novel-Majalah
Ketika kita membaca bab pertama dari novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (TKVDW) karya Hamka dan menyimak bagaimana tragedi cinta Zainuddin dan Hayati, maka kita akan mafhum bahwa semua pengetahuan Hamka tentang tempat, nama dan tradisi Makassar didapatkannya selama masa beliau di Makassar, meskipun nantinya novel ini diterbitkan pada 1938.

Selain novel TKVDW, selama di Makassar beliau juga menerbitkan novel terjemahan berjudul Laila dan Majnun, kisah cinta klasik karya sastrawan besar Persia: Nizami Ganjavi. Novel ini diterbitkan oleh penerbit Balai Poestaka milik pemerintah. Tidak hanya novel, Hamka juga mendirikan dua majalah selama di Makassar, yaitu Majalah Tentera, 4 edisi, dan Majalah Al Mahdi, 9 edisi. Di tahun ini juga Hamka juga menerbitkan sebuah buku berjudul Arkanul Islam.
Konflik

Jejak Hamka di Makassar tidak sampai di situ. Selama berada di Makassar (1932-1934), Hamka juga terlibat konflik dan pertentangan melalui media. Ceritanya dimulai pada 1927, ketika Partai Sarekat Islam (PSI) mengeluarkan semua anggota Muhammadiyah dari partai itu. Tahun itu menandai konflik berkepanjangan antara PSI dan Muhammadiyah. Di Sulawesi Selatan, konflik ini diwakili oleh koran Al-Wafd milik Sarekat Islam dan koran Tentara Islam milik Muhammadiyah yang dipimpin Mansur Al Yamani, orang yang disebut-sebut sebagai penganjur Muhammadiyah pertama di Sulawesi Selatan.

Melalui Al-Wafd, H.A. Mawangkang mengkritik Muhammadiyah yang mengambil jalan kooperatif dengan Belanda, dan menerima subsidi dari Pemerintah kolonial yang ‘kafir’. Hamka kemudian membalasnya melalui koran Tentara Islam dengan mengkritik Yusuf Sammah dan anggota PSI lainnya yang “hanya bisa berkoar” dan “tidak menunjukkan karya nyata”. Hamka juga mengkritik adanya lembaga pengacaa dalam PSII yang -kata Hamka- hanya mementingkan uang dan “hanya mau bekerja jika dibayar oleh yang berperkara”.

Konflik ini berlangsung sampai mengenai hal-hal yang rinci. Tentara Islam mengkritik Al-Wafd yang setelah dipimpin oleh Yusuf Sammah memuat iklan yang dinilai “sangat menjijikkan” dan bersifat pornografi. Kritikan Tentara Islam lainnya adalah persoalan shalat wajib lima waktu yang mulai dianggap sepele oleh pemimpin dan anggota PSI.

Epilog
Muktamar Muhammadiyah ke-47 yang berlangsung di Makassar sebentar lagi akan berakhir dan alhamdulillah berjalan dengan aman dan tertib. Perkembangan Muhammadiyah yang sedemikian pesatnya seperti yang terlihat di Sulawesi Selatan hari ini merupakan kerja keras satu abad dari para pendiri, pendakwah, kader dan juga simpatisan Muhammadiyah. Termasuk di dalamnya Buya Hamka yang ketika melaksanakan tugas dakwah di Makassar masih berusia sangat muda, 24 tahun. Semoga dari Muktamar Muhammadiyah ke-47 akan lahir pula generasi baru yang akan secemerlang Buya Hamka: seorang ulama, sastrawan, ahli filsafat dan penulis yang dikenang dalam sejarah republik ini.(*)

Oleh:
Muh Ihsan Harahap
Mahasiswa Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

http://makassar.tribunnews.com/2015/08/07/muktamar-muhammadiyah-1932-jejak-buya-hamka-di-makassar

Warisan Din Syamsuddin untuk Muhammadiyah



Koran Sindo, 21 Agustus 2015

Oleh Ahmad Najib Burhani*

Din Syamsuddin telah usai menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah setelah memimpin organisasi Islam modernis terbesar itu selama dua periode 2005-2010 dan 2010-2015. Meski sesuai dengan AD/ART (Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga) ia masih bisa dipilih lagi menjadi salah satu pimpinan kolektif-kolegial Muhammadiyah yang terdiri dari 13 orang, namun ia memutuskan untuk tidak mengembalikan formulir kesediaan untuk dipilih lagi sebagai upaya kaderisasi sehingga muncul pimpinan baru. Seperti yang beberapa kali disampaikannya, ia memilih untuk menjadi ketua Muhammadiyah ranting Ragunan, daerah tempat ia tinggal saat ini.

Karena Din Syamsuddin tidak lagi menjadi pimpinan Muhammadiyah, maka barangkali ini saat yang tepat untuk membicarakan legacy atau karya unggulan yang ia wariskan kepada organisasi modernis terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, yang berdiri tahun 1912 ini. Tentu saja ada catatan yang sering disebut sebagai kekurangannya selama sepuluh tahun (2005-2015) memimpin Muhammadiyah, misalnya kurang berhasilnya organisasi ini dalam menempatkan kader-kader terbaiknya dalam birokrasi pemerintahan. Namun tulisan ini khusus melihat apa saja warisan dan prestasi dari Din Syamsuddin yang patut dilanjutkan oleh para penerusnya di Muhammadiyah.

Karir Zig Zag
Din Syamsuddin merupakan sosok yang multidisiplin secara akademik, memiliki karir profesional yang tidak tunggal, dan pergaulan yang tak terkungkung pada kelompok tertentu. Pendidikan sarjananya sebetulnya dalam ilmu perbandingan agama, namun ia lantas menulis disertasi doktoral tentang politik Islam dan setelah itu terjun dalam politik sebagai Ketua Litbang (Penelitian dan Pengembangan) DPP Golkar. Setelah Reformasi, ia menjadi Direktur Jenderal  Binapenta (Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja) Departemen Tenaga Kerja. Yang menjadi element of surprise (mengejutkan), ia lantas menjadi Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dari segi pergaulan, Din juga tidak membatasi dirinya untuk bergaul hanya dengan kalangan akademisi atau politisi atau agamawan, tapi ia juga memiliki jamaah pengajian yang peserta adalah kalangan artis.

Disiplin akademik, karir profesional, dan pergaulan yang luas itulah yang membuat Din Syamsuddin sering disalahpahami dan persalahkan. Dikalangan aktivis NGO dan pengamat asing, Din Syamsuddin sering dipandang dengan sinis dan bahkan menjadi bahan ledekan karena sikapnya yang seringkali dianggap tidak konsisten, terutama dalam kaitannya dengan isu kelompok minoritas. Ia memiliki posisi strategis di MUI, sebagai wakil ketua dan kemudian menjadi ketua, namun tak mampu menahan lembaga tersebut mengeluarkan fatwa-fatwa kontroversial berkaitan dengan kelompok minoritas, pluralisme, dan liberalisme. Ia sering mengadakan pertemuan tingkat tinggi tokoh-tokoh agama, namun suaranya jarang terdengar dalam kasus-kasus kecil intoleransi keagamaan.

Pertanyaannya sekarang, sebagaimana tertulis dalam pengantar buku Kiprah Pencerahan: Karya Unggulan Muhammadiyah 2005-2015, seperti apakah sebetulnya sosok Din Syamsuddin itu? Apa prestasi dan warisan kepemimpinan Muhammadiyah masa Din Syamsuddin dalam dua periode itu (2005-2010 dan 2010-2015)?

Konservatisme dan Kosmopolitanisme
Beberapa kalangan sering menuduh Din Syamsuddin sebagai representasi dari kelompok konservatif dari Muhammadiyah. Ia memimpin organisasi itu setelah periode Buya Syafii Maarif yang dikenal sangat progresif. Namun di Muhammadiyah sendiri, ia sering menjadi jembatan antara kubu Islam kanan dan kiri. Bahkan ia sering dituduh sebagai orang liberal dalam internal Muhammadiyah karena pembelaannya terhadap Syiah dan beberapa pernyataannya bahwa Syiah adalah bagian dari Islam. Peran “bridging” (menjembatani) Din Syamsuddin itu, misalnya, terlihat hasilnya ketika isu liberal vs. konservatif  itu tak muncul lagi di Muktamar Muhammadiyah ke-46 di Yogyakarta. Justru yang tampil adalah warna kultural Muhammadiyah sebagai organisasi berbudaya Jawa. Din Syamsuddin sendiri tampil sebagai pemain dalam pertunjukan ketoprak dengan judul “Mletheking Surya Andadari” (Terbitnya Matahari yang Bersinar Terang).

Dalam periode kedua kepemimpinannya, beberapa kegiatan Muhammadiyah banyak yang merefleksikan bagaimana organisasi ini merespon tantangan global, termasuk pengaruh budaya dari Arab dan Barat. Ini terwujud dalam beberapa hal, diantaranya adalah jihad konstitusi, internasionalisasi Muhammadiyah, pelayanan sosial baru dalam wadah MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center) dan MPM (Majelis Pengembangan Masyarakat), serta pengembangan hubungan antar agama. Dalam Muktamar ke-47 di Makassar, Muhammadiyah bahkan memilih tema yang berkaitan dengan posisi Muhammadiyah yang mengusung Islam Berkemajuan atau Islam yang Kosmpolitan, yakni Islam yang berwawasan dunia, keluar dari kungkungan negara-bangsa.

Dalam dunia yang global ini Muhammadiyah berupaya untuk ikut berdialog dan berbagi dengan berbagai peradaban dunia, tidak hanya sebagai penerima pengaruh asing tapi juga mempengeruhi masyarakat dunia. Inilah makna dari kosmopolitanisme yang dalam aktivitas nyata diwujudkan program internasionalisasi Muhammadiyah. Program ini lantas menginspirasi pendirian beberapa PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jepang, Mesir, dan Iran. Disamping PCIM, beberapa negara bahkan telah memiliki cabang Muhammadiyah yang didirikan oleh warga asli negara tersebut, seperti di Mauritania, Vietnam, dan Malaysia.

Jihad konstitusi Muhammadiyah erat kaitannya dengan kapitalisme global. Dengan berdatangannya orang dan modal asing di Indonesia, banyak sekali kekayaan alam di negeri ini, seperti air, minyak, dan gas bumi, yang kemudian justru lebih banyak memberi manfaat kepada orang asing. Ini dimngkinkan karena beberapa perundang-undangan kita dibuat atau dikontrol oleh para kapitalis demi memuluskan kepentingan mereka. Jihad konstitusi adalah upaya untuk menjaga agar konstitusi kita mampu melindungi kekayaan kita dari dominasi kapitalis yang tidak mempedulikan kesejahteraan masyarakat.

Pelayanan sosial baru itu misalnya terwujud dalam pelayanan sosial yang non-sektarian dan mempersiapkan masyarakat agar tidak gagap terhadap bencana. Muhammadiyah, melalui MDMC dan MPM, misalnya, melakukan bantuan kepada kelompok yang sering dituduh sesat, semisal Syiah, dan mempersiapkan masyarakat Indonesia yang hidup dalam ring of fire (rangkaian gunung berapi) untuk tidak gagap terhadap bencana.

Itulah beberapa warisan distinctive (sangat berbeda) yang menandai masa kepemimpinan Din Syamsuddin di Muhammadiyah dibandingkan ketua umum sebelumnya. Beberapa karya tersebut perlu untuk menjadi pelajaran dan dilanjutkan oleh pimpinan baru di Muhammadiyah. Hal yang masih menjadi tanda tanya sekarang adalah, karir dan aktivitas apa yang akan dipilih Din Syamsuddin seusai purna tugas di Muhammadiyah?
--oo0oo—

*Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) & Maarif Institute.

Wednesday, August 19, 2015

Politik Kebangsaan Muhammadiyah

Suara Merdeka, 19 Agustus 2015

Abdul Mu'ti

DALAM pidato iftitah Muktamar Ke-47 Muhammadiyah di Makassar, Prof Din Syamsuddin menawarkan tiga opsi politik bagi persyarikatan. Pertama, bersikap netral dengan membangun kedekatan yang sama dengan partai politik. Muhammadiyah tidak terpengaruh dan tidak terlibat dalam hiruk-pikuk kekuasaan. Kedua, mendirikan partai politik sebagai amal usaha di mana Muhammadiyah menentukan kepemimpinan dan kebijakan partai. Atau, Muhammadiyah berafiliasi dengan partai politik tertentu sebagai partai utama.

Partai tetap independen dalam hal kepemimpinan dan kebijakan. Hubungan Muhammadiyah dengan partai bersifat aspiratif, bukan simbolis. Ketiga, tetap menjaga kedekatan yang sama dengan partai politik, namun dalam situasi tertentu mendukung calon eksekutif dan legislatif. Orientasi politik Muhammadiyah bersifat adhoc dan rasional dengan melihat individu dan partai yang akan dipilih.

Ketiga pilihan tersebut dilaksanakan dengan tetap mempertahankan jati diri Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah pencerahan yang berorientasi kultural dan politik adiluhung untuk memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadaban, dan kemaslahatan. Muktamar ke-47 memilih alternatif pertama.

Merujuk Khittah Ujung Pandang (1971), Surabaya (1978), dan Denpasar (2002), Muhammadiyah menegaskan tetap dalam koridor dakwah dan menjaga netralitas politik. Netralitas politik merupakan pilihan dan strategi agar Muhammadiyah tetap independen, berwibawa, dan mampu memelihara persatuan warganya. Menjadi partai politik justru mengecilkan, mereduksi, dan merusak wibawa Muhammadiyah.

Citra Politik
Sekarang ini citra partai politik begitu buruk. Partai politik sangat identik dengan korupsi, kemunafikan, dan rakus kekuasaan. Dalam sejarah Indonesia, tak segelintir pun organisasi dakwah yang bermetamorfosis menjadi partai politik sukses mengemban misi politik keumatan dan akhlaqul karimah. Berafiliasi dengan partai politik tertentu akan mengekslusi warga Muhammadiyah karena berafiliasi kepada partai politik yang berbeda-beda. Pluralitas politik merupakan kekuatan yang memungkinkan Muhammadiyah memainkan peran politik kebangsaan. Aspirasi politik Muhammadiyah disalurkan melalui para kader yang tersebar dalam berbagai partai politik.

Netralitas Muhammadiyah dibangun di atas pluralitas politik anggotanya. Muhammadiyah adalah rumah besar yang di dalamnya semua politikus merasa at home. Apa pun partai politiknya, semua kader adalah ahlul bait, anak kandung, bukan anak angkat atau anak tiri. Pengalaman berafiliasi dengan Masyumi dan Parmusi menjadi pelajaran penting bagaimana Muhammadiyah seharusnya memainkan peran politiknya. Netralitas tidak berarti apolitik atau antipolitik. Muhammadiyah tidak boleh berpangku tangan melihat kekisruhan dan kerusakan negara karena kegagalan partai politik dalam melahirkan negarawan dan pemimpin bangsa.

Masa depan Indonesia ditentukan oleh para politikus dan elite partai. Muhammadiyah seharusnya mempersiapkan dan mendukung kader politiknya yang mengabdi kepada bangsa melalui partai politik. Pilihan politik Muhammadiyah adalah politik kebangsaan, bukan kepartaian. Politik dimaknai sebagai hal-hal yang berhubungan dengan tata kelola pemerintahan dan kenegaraan. Dalam konteks ini, Muhammadiyah dapat mengambil tiga peran.

Pertama, opinion maker. Muhammadiyah dapat memberikan sumbangan pemikiran dan gagasan kenegaraan. Dengan kekuatan SDM dan kekayaan intelektualnya, Muhammadiyah aktif memberikan masukan kepada pemerintah, lembaga- lembaga negara, dan penyelenggara negara melalui opini media massa, kajian kebijakan, atau forumforum resmi. Muhammadiyah menerbitkan buku Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa (2009) dan Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna (2014), yang berisi gagasan dan road map untuk mewujudkan Indonesia yang berkemajuan sesuai cita-cita proklamasi kemerdekaan.

Kedua, political lobbist. Dengan posisinya yang netral, Muhammadiyah dapat melakukan komunikasi politik lintas partai dan menyampaikan aspirasi secara leluasa kepada semua kekuatan politik. Pada umumnya partai politik dan pengambil kebijakan lebih apresiatif terhadap ide dan pemikiran yang disampaikan langsung secara tertutup. Kritik terbuka melalui media massa, selain menimbulkan polemik berkepanjangan dan kegaduhan politik, juga kontraproduktif. Dengan wibawa para pimpinannya, Muhammadiyah mampu berperan sebagai pelobi politik yang berpengaruh. Ketiga, pressure group.

Sejarah mencatat bagaimana Muhammadiyah melalui para tokoh dan kekuatan jaringannya tampil sebagai pressure group yang berpengaruh. Tekanan politik Muhammadiyah melalui Prof Amien Rais dengan gerakan reformasi memaksa Presiden Soeharto mengundurkan diri. Jihad konstitusi yang dimotori Prof Din ëímemaksaíí pemerintah menyusun undang-undang migas dan sumber daya air yang baru. Sebagai konsekuensi judicial review UU Migas oleh Muhammadiyah, BP Migas tinggal sejarah dan para mantan pimpinannya mendekam di penjara.

Tanpa harus menjadi partai politik atau berafiliasi kepada partai politik tertentu, Muhammadiyah tetap dapat menjadi kekuatan politik yang kuat. Muhammadiyah dapat memainkan peran politik kebangsaan sebagai punggawa dan penjaga moral bangsa. (10)

– Dr Abdul Mu’ti MEd, Sekretaris Umum PPMuhammadiyah, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/politik-kebangsaan-muhammadiyah/

Tuesday, August 18, 2015

Sejarah Singkat Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah


Tanggal 17 malam 18 Juni 1920, berlangsung rapat anggota Muhammadiyah Istimewa, dipimpin sendiri oleh Yang Mulia K.H.A Dahlan. Rapat malam itu adalah pengesahan dan pelantikan pimpinan Bahagian dalam Hoofd Bestuur (baca: hof bestir) Muhammadiyah.

Pertama, Hoofd Bestuur Muhammadiyah Bahagian Sekolahan, ketua: H.M. Hisyam. Kedua, Hoofd Bestuur Muhammadiyah Bahagian Tabligh, ketua: H.M. Fakhrudin.  Ketiga, Hoofd Bestuur Muhammadiyah Bahagian Penolong Kesengsaraan Oemoem, ketua; H.M. Sjoedja’. Dan keempat, Hoofd Bestuur Muhammadiyah Bahagian Taman Pustaka, ketua: H.M. Mokhtar.




Bestuur Taman Pustaka 1922


Sebelum pelantikan, para Ketua Bahagian yang akan dilantik oleh fihak pimpinan, diminta kesetiaannya, akan sampai kemana mereka akan memimpin usaha Bahagiannya.  Masing-masing ketua bahagian menyampaikan pernyataan cita-citanya.

Tiba gilirannya, H.M.  Mokhtar menyampaikan dengan tegas:

“Hoofd Bestuur Muhammadiyah Bahagian Taman Pustaka akan bersungguh-sungguh berusaha menyiarkan agama Islam yang secara Muhammadiyah kepada umum, yaitu dengan selebaran cuma-cuma, atau dengan Majalah bulanan berkala, atau tengah bulanan baik yang dengan cuma cuma maupun dengan berlengganan; dan dengan buku agama Islam  baik yang prodeo tanpa beli, maupun dijual yang sedapat mungkin dengan harga murah. Dan majalah-majalah dan buku-buku selebaran yang diterbitkan oleh Taman Pustaka, harus yang mengandung pelajaran dan pendidikan Islam, ditulis dengan tulisan dan bahasa yang dimengerti oleh yang dimaksud.  Bahagian Taman Pustaka hendak membangun dan membina gedung TAMAN PUSTAKA untuk umum, dimana-mana tempat dipandang perlu.

Taman Pembacaan itu tidak hanya menyediakan buku-buku yang mengandung pelajaran Islam saja, tetapi juga disediakan buku-buku yang berfaedah dengan membawa ilmu pengetahuan yang berguna bagi kemajuan masyarakat bangsa dan negara yang tidak bertentangan kepada agama terutama agama Islam.”

Bagian Taman Poestaka sejak tahun 1920 telah mendirikan majalah Suara Muhammadiyah, terbit 1.000 eksemplar tiap bulannya. Pada konggres/Muktamar 1929 telah dterbitkan 700.000 buah buku dan brosur.

(Sumber, Ensiklopedi Muhammadiyah, 2005;308-309).



Seiring berjalannya waktu, Bahagian Taman Poestaka mengalami pasang surut, perubahan nama dan struktur.  Muktamar 1 Abad Muhammadiyah yang baru saja berlalu meneguhkan kembali visi Muhammadiyah 2025 memperkuat Majelis Pustaka dan Informasi melalui strategi: membangun kemampuan dan keluasan jaringan kekuatan informasi serta pustaka Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern di tengah era kehidupan masyarakat informasi. Dengan upaya Garis Besar Program meliputi;

1)      Mengorganisasi dan memperluas kelengkapan perpustakaan dan fungsi-fungsi pustaka sebagai sumber pengembangan pengetahuan dan informasi bagi kemajuan persyarikatan.

2)      Meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi informasi dan media publikasi sebagai instrumen bagi pengembangan peran-peran Persyarikatan dalam menjalankan misi di tengah kehidupan.

3)      Pengembangan kerjasama dalam pengelolaan pustaka dan publikasi secara lebih terorganisasi.

http://mpi.muhammadiyah.or.id/content-2-sdet-sejarah.html

Thursday, August 13, 2015

Muktamar Menunjukkan Muhammadiyah Berkemajuan dan Bukan Wahabi

Najib Burhani: Muktamar Menunjukkan Muhammadiyah Berkemajuan dan Bukan Wahabi

Posted by: Madina in Dunia Islam, Khazanah 15 hours ago 155 Views

Dibanding muktamar Nahdlatul Ulama (NU) yang penuh hiruk pikuk, muktamar Muhammadiyah tampak berjalan lancar dan tenteram. Semua agenda muktamar diselesaikan dengan baik. Proses pemilihan ketua umum juga berlangsung tanpa gejolak.

Untuk lebih jauh mengetahui bagaimana berlangsungnya muktamar Muhammadiyah dan hasil-hasil dari muktamar tersebut, redaktur Madina Online Warsa Tarsono berkesempatan mewawancarai Najib Burhani, tokoh muda Muhammadiyah yang terlibat dalam persiapan maupun pelaksanaan muktamar tersebut.

Berikut adalah petikan wawancara dengan Najib:

Dibandingkan NU, muktamar Muhammadiyah berjalan lebih lancar, apa perbedaannya?

Saya kira di NU pemilihan pimpinan itu adalah hal yang utama. Tentu saja mereka juga melakukan pembahasan program dan lain sebagainya tapi itu nomor sekian setelah pemilihan ketua umum. Dan semua proses itu adanya di muktamar.

Nah, di Muhammadiyah itu berbeda. Di Muhammadiyah pemilihan pimpinan prosesnya panjang, sudah dimulai sejak Januari. Sejak Januari sudah dimulai pengajuan nama-nama siapa yang layak menjadi pimpinan Muhammadiyah. Ada beberapa persyaratan untuk diajukan sebagai pimpinan: orang itu harus sudah menjadi anggota selama lima tahun, pernah jadi pengurus, dan diusulkan minimal oleh tiga orang pengurus Tanwir.

Di proses usulan terkumpul 200-an nama. Kemudian 200-an orang itu dikirimi formulir untuk memastikan kesediaan mereka untuk dipilih. Dari 200-an nama kemudian terjaring 82 orang, karena ada yang tidak mengembalikan formulir, meninggal sebelum pelaksanaan atau alasan lainnya. Nah, 82 nama tersebut dibawa ke sidang Tanwir.

Di siding Tanwir, 82 nama itu diseleksi lagi, dipilih oleh anggota Tanwir, dan akhirnya terseleksi menjadi 39 nama. Ke-39 nama ini yang kemudian diajukan ke muktamar untuk dipilih oleh peserta muktamar yang berjumlah 2000-an orang. Proses ini memilih 13 orang yang akan jadi pimpinan Muhammadiyah. Selanjutnya, 13 orang ini yang memilih siapa ketua umumnya. Jadi proses pemilihan pimpinan berlangsung cukup lama sehingga tidak menimbulkan gejolak.

Kapan proses seleksi dari 82 nama menjadi 39 nama?

Itu dilakukan sebelum muktamar. Mereka dipilih oleh anggota Tanwir yang berjumlah 200 orang. Sidang Tanwir adalah pertemuan tertinggi kedua setelah muktamar. Diadakan dua sampai tiga kali dalam satu periode kepemimpinan. Salah satunya biasanya menjelang muktamar. Sidang Tanwir kemarin diadakan pada 1 dan 2 Agustus.

Sejak kapan sistem memilih 13 pimpinan dilakukan oleh Muhammadiyah?

Sistem ini sudah berlangsung dari tahun 1990. Sebelumnya, yang dipilih sembilan nama. Sistem sembilan itu berlangsung sejak KH. Ahmad Dahlan. Tepatnya pada 1912, tapi baru dilaksanakan 1925. Tahun 1912-1922 itu otomatis ketuanya KH. Ahmad Dahlan. Jadi, tidak ada pemilihan. Tahun 1922-1925 ketuanya H. Ibrahim. Saat Pak H. Ibrahim menjadi ketua itu dilakukan dengan ditunjuk langsung. Jadi, tidak ada pemilihan. Nah, tahun 1925 dan seterusnya baru pemilihan.

Sebelum tahun 1950 sistemnya pemilihan langsung. Semua warga Muhammadiyah langsung memilih. Setelah tahun 1950 pemilihan dilakukan secara perwakilan.

Di muktamar NU, keriuhan terjadi dari mulai pembahasan tata tertib. Sementara di Muhamadiyah berjalan lancar dan tidak ada gejolak. Bagaimana menyiasatinya?

Muhammadiyah tidak banyak melakukan pembahasan tata tertib, karena tidak banyak orang yang ingin melakukan perubahan terhadap hal-hal yang sudah selama ini berjalan.

Bisa diceritakan proses muktamar Muhammadiyah kemarin?

Muktamar Muhammadiyah berjalan selama lima hari. Hari pertama lebih kepada hal-hal yang sifatnya seremoni. Pembukaan oleh presiden dan berbagai pertunjukan.

Hari kedua dan ketiga laporan capaian dan prestasi dari pengurus wilayah dan pimpinan pusat. Apa yang sudah dikerjakan oleh masing-masing organisasi otonom. Pada hari ketiga sebenarnya sudah dilakukan pemilihan pimpinan, tapi belum diumumkan.

Hari keempat membahas isu-isu strategis. Ada empat komisi untuk membahas itu. Yaitu, komisi program, dakwah berjamaah berbasis komunitas, isu-isu strategis, dan darul ahdi wa syahadah atau Indonesia sebagai konsep pemahaman kenegaraan.

Dari empat komisi ini kemudian lahir beberapa rekomendasi. Rekomendasi yang dihasilkan itu,  antara lain, bagaimana sikap kita terhadap minoritas, bagaimana kita harus melindungi minoritas, bagaimana konflik Sunni-Syiah itu bisa dihentikan dengan membangun dialog antarkelompok masyarakat. Jangan sampai konflik Sunni-Syiah berlanjut sehingga akan memecah belah umat Islam.

Rekomendasi lain juga terkait dengan isu buruh migran, perlindungan buruh migran, melawan perbudakan, melawan perdagangan manusia, bagaimana kita bersikap terhadap difabel, juga tentang fikih air, bagaimana agar masjid-masjid Muhammadiyah tidak membuang-buang air.

Hari kelima setengah seremoni dan juga penetapan hasil-hasil sidang itu serta dilanjutkan dengan serah terima jabatan dan penutupan.

Menurut Anda, apa yang baru dari hasil muktamar Muhammadiyah kali ini?

Banyak hal yang baru. Terutama kalau kita lihat dari sikap Muhammadiyah terhadap negara. Misalnya, dalam wujud darul ahdi wa syahadah. Ini adalah negara kesepakatan, negara perjanjian. Ini adalah tempat mengimplementasikan, memberi kesaksian dalam rangka mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam.

Hal baru lainnya adalah membantah tuduhan bahwa Muhammadiyah itu dekat dengan Wahabi, tidak peduli dengan minoritas, tidak peduli dengan Syiah atau hanya mengurusi sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan. Muhammadiyah sekarang mencoba menjadi gerakan yang berkemajuan. Makna berkemajuan artinya adalah kosmopolitan.
Najib Burhani

Najib Burhani

Kata kosmopolitan itu berasal dari Yunani. Artinya adalah citizen of the world. Bahwa kita ini warga dunia. Kita ini hidup di Indonesia, tapi secara peradaban dan kultural kita tidak boleh menutup diri dari pengaruh kebudayaan dunia. Kita harus berdialog, harus berpikir keluar dari lingkup Indonesia untuk memperomosikan Islam Indonesia itu ke dunia luar. Bukan sekadar menerima pengaruh asing tetapi juga berdialog, sharing tentang Indonesia kepada dunia luar.

Sudah tidak saatnya lagi kita bersifat defensif terhadap pemahaman ISIS, Wahabi, dan sebagainya. Kita perlu attack, menyerang keluar, mempromosikan Islam Indonesia ke luar.

Selama ini kita mengalami inferiority complex. Kita mengalami rasa minder ketika berhadapan dengan bangsa lain. Kita mengalami majority with minority mentality. Mayoritas tetapi dengan mental minoritas.

Karena itulah sikap-sikap tidak percaya diri dan sebagainya itu harus diatasi dengan semangat yang kosmopolitan. Semangat berkemajuan. Dan, saya kira, itulah program-program atau misi-misi baru dari Muhammadiyah. Ini bisa kita lihat, misalnya, ketika kami berbicara tentang air, buruh migran, budaya ilmu pengetahuan, tentang difabel, tentang bonus demografi. Itu, saya kira, yang menjadi isu-isu krusial yang harus dibahas oleh masyarakat.

Apa pemicu yang membuat muktamar Muhammadiyah mengarah pada isu-isu itu?

Kita menyadari bahwa globalisasi itu sudah di depan mata kita, bahkan sudah hadir di tengah-tengah kita. Kehadiran ISIS, Wahabi, pengaruh asing ini menunjukkan bahwa kita ini tidak bisa menolak lagi globalisasi.

Apa sikap kita? Apakah kita harus menutup diri mencari perlindungan di dalam lingkup Indonesia? Atau kita harus berhadapan dengan dunia luar dan kemudian membuka diri terhadap pengaruh asing, tetapi tidak kehilangan identitas dan jatidiri kita?

Nah, Muhammadiyah memilih untuk berdialog, membuka keluar tapi tidak kehilangan identitas. Globalitas itu adalah tantangan. Dan kesadaran globalisasi inilah yang kemudian melahirkan sikap Muhammadiyah yang berkemajuan.

Kami kembali ke tahun 1912 sampai 1920-an ketika Ahmad Dahlan mencanangkan Islam berkemajuan. Ini bagian dari kesadaran adanya pengaruh, adanya budaya asing, adanya kekuatan asing yang mempengaruhi jatidiri kita.

Tadi Anda katakan Islam Indonesia harus attack keluar. Apa sebenarnya makna Islam Indonesia dalam konsepsi Muhammadiyah?

Kami merumuskannya dalam tiga bentuk. Pertama, berkaitan dengan kultur atau budaya. Yang kedua, berkaitan dengan politik. Ketiga, berkaitan dengan fikih. Dalam konteks Islam Indonesia secara politik, konsepsi kami adalah Indonesia itu darul ahdi wa syahadah. Kami  menerima Pancasila, menerima NKRI. Menerima Indonesia sebagai negara-bangsa adalah bagian dari yang harus diperjuangkan. Muhammadiyah berkontribusi besar terhadap kelahiran negara ini. Dan karena itu Indonesia harus dipelihara.

Dalam konteks budaya, konsepsi kami budaya kosmopolitan. Oke, kita memiliki kultur Indonesia, tapi kultur dalam masyarakat modern sebetulnya adalah kultur yang hybrid: campuran. Kita tidak bisa hanya mengacu kepada budaya Indonesia saja. Makanya di Muhammadiyah, kegiatan musik seperti drum band atau biola bukan sesuatu yang ditentang.

Dalam konteks fikih, Muhammadiyah mencanangkan fikih yang kosmopolitasn, bukan fikih yang ritual. Ini, misalnya, diwujudkan dalam fikih tentang air. Fikih kebencanaan, fikih kebhinekaan, fikih tentang difabel, fikih tentang khilafiyah. Ini adalah isu-isu kosmopolitan yang baru dibahas dalam fikih. Jadi dalam tiga hal inilah identitas Islam Nusantara itu dibentuk.

Siapa yang membawa isu-isu ini ke ke muktamar? Apakah kalangan mudanya?

Ini prosesnya lama. Ada steering comitte (SC) yang bertugas mengkonsepsikan. Tapi SC ini tidak bekerja sendiri. Mereka mengundang para akademisi dan para pakar untuk melakukan pertemuan berkali-kali dengan didampingi tim asistensi. Tim asistensi ini terdiri dari sekretaris, tim perumus yang kemudian membuat draf dari berbagai hasil pertemuan itu. Di sinilah banyak anak-anak muda yang terlibat. Ini sikap akomodatif dari pimpinan Muhammadiyah untuk memberi ruang kepada anak-anak muda untuk terlibat di dalam proses Muhammadiyah.

Bagaimana dengan regenerasi di Muhammadiyah?

Kalau kita melihat pimpinan Muhammadiyah yang sekarang itu kan banyak nama-nama baru. Paling tidak ada empat nama baru di pimpinan 13. Ada Pak Busyro Muqoddas, Pak Suyatno, Pak Anwar Abas, Muhajir Efendi yang menggantikan nama-nama yang lama. Dan dari nama yang 39 itu banyak nama-nama baru dan masih muda. Jadi, menurut saya, proses regenerasi berjalan. Tapi tentu saja tetap perlu dikawal.

Di muktamar kemarin juga ada beberapa orangtua yang mundur dari pencalonan seperti Pak Malik Fajar, Pak Din Syamsuddin, Buya Syafei Maarif, dan Pak Amin Abdullah. Mereka semua tidak bersedia dipilih lagi dan memberi kesempatan kepada generasi selanjutnya untuk maju.

Beberapa kalangan menganggap antara Haedar Nashir dan Yunahar Ilyas ada perbedaan cara pandang. Haedar sering disebut dari kalangan yang lebih liberal, semantara Yunahar dari kalangan konservatif. Tanggapan Anda?

Sebetulnya orang yang betul-betul liberal di Muhammadiyah sudah tidak ada lagi, karena mereka itu kan kemudian keluar karena merasa tidak sejalan dengan Muhammadiyah. Orang yang betul-betul konservatif juga tidak betah di Muhammadiyah. Mereka yang radikal tidak cocok lagi dengan Muhammadiyah. Jadi orang yang pikirannya ekstrem, baik ke kanan atau ke kiri, tidak ada di Muhammadiyah. Antara Pak Yunahar Ilyas dan Pak Haedar Nasir, menurut saya, lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya.

Ini yang harus kita jaga. Ini adalah reprensentasi dari Islam Indonesia: Islam yang moderat. Jangan  kemudian dibenturkan satu sama lain. Nanti yang menang adalah kelompok-kelompok Islam yang tidak suka dengan Islam Indonesia.

Saya dengar Haedar Nashir akan melakukan bersih-bersih dari orang-orang PKS yang menguasai amal usaha Muhammadiyah?

Itu sudah selesai pada 2007. Waktu itu memang ada beberapa orang yang berafiliasi dengan PKS yang mengambil alih sekolah Muhammadiyah. Tapi sudah ada keputusan dari Muhammadiyah bahwa orang politik dilarang aktif di Muhammadiyah.

Menurut Anda, bagaimana soal komposisi pengurus Muhammadiyah sekarang?

Saya kira, banyak harapan. Para pimpinannya  adalah orang-orang yang mempunyai ideologi yang kuat. Mereka adalah pimpinan yang ideal, menurut saya. Ada manajer, ada ekonom seperti Pak Anwar Abas, ada pakar politik, Pak Hajrianto, ada ideolog, Pak Haedar Nashir, dan ada orang yang bergerak dalam anti-korupsi Pak Busyro Muqoddas. Jadi, saya kira, kalau berjalan lancar ini adalah komposisi yang komplit. Sangat ideal bagi Muhammadiyah.[]

http://www.madinaonline.id/khazanah/najib-burhani-muktamar-menunjukkan-muhammadiyah-berkemajuan-dan-bukan-wahabi/?utm_campaign=shareaholic&utm_medium=twitter&utm_source=socialnetwork

Muhammadiyah must better use power of masses

Kim Hyung-jun, Makassar | Opinion | Thu, August 13 2015, 6:12 AM

There were hardly any surprises at Muhammadiyah’s 47th congress in Makassar. The congress went smoothly and some 2,500 delegates enjoyed a well-organized, insightful and delightful reunion of members without any sign of internal intrigues, conflicts and confrontations.

Election of the central board members demonstrated that Indonesia’s second-largest Islamic organization has maintained its century-long tradition of democracy. Branch representatives voted for 13 central board members from 39 candidates, who had been selected from 82. This way of electing a package of leaders prevents emergence of an authoritative figure and concentration of power in a few hands.

The congress also approved several programs for the next period of 2015-2000 including a novel one entitled “community-based enlightening mission model”.

The program asserts Muhammadiyah’s intention to embrace those who have been placed outside of its concern, such as gay people, prostitutes, the homeless, beggars and street children. The inclusion of those marginalized groups into the objects of its activities is a great leap, given that Muhammadiyah has been famous for its puritanical and exclusive positions and that its previous programs were focused on building schools and hospitals. The new program demonstrates the organization’s wind of change as Muhammadiyah tries hard to make itself more tolerant, altruistic and inclusive.

Wholeheartedly, I welcome the change, which helps to facilitate its tens of millions of followers being involved in making Indonesia more progressive and pluralistic. However, I am a bit skeptical about whether the community-based model can be implemented. The model is likely to be too revolutionary.

From my previous research on Muhammadiyah, I can instantly think about possible constraints on the program’s effectiveness.

First is the distance between leaders and ordinary members, which has become wider in the last few decades. Second is the typical way programs in Muhammadiyah are undertaken successfully, namely a bottom-up approach, not from top to bottom.

For more than a century Muhammadiyah has been the most active in education. It now controls hundreds of tertiary education institutions and tens of thousands of elementary and secondary schools.

Emphasis on educational activities has also facilitated its members to recognize the importance of educating themselves, so that its leaders tend to receive education far above the average citizen. Of the 13 newly elected central board members, 10 have PhD degrees. Of the 39 candidates, 26 had doctoral degrees.

The leaders’ educational background makes it easy to understand why the community-based model could be introduced to the congress. Yet it also prompts us to notice a gap between the center and the periphery, between leaders and ordinary members. The ideas and visions proposed by leaders may not be accepted easily by ordinary members who are responsible for executing the programs.

An example illustrating the danger of this gap is a program called dakwah kultural (mission based on culture), proposed ambitiously by the leaders in the early 2000s. The main idea was to take into account local customs and practices in missionary work at the grassroots level. The program, however, was frequently misunderstood, misinterpreted and even criticized, to the extent that these days it is seldom heard in the discourse of Muhammadiyah.

The second factor is the way programs of Muhammadiyah are actually carried out. A story from a village where I did my research suffices to give a picture of this.

A Muhammadiyah member wished to build a junior high school at my research site. The government school was far from the village, making it impossible for all villagers to send their children to it. The proposal was received enthusiastically by fellow members, but it took almost a year to find a willing donator for the land. Donations for construction materials could not be collected with ease. Nevertheless they started construction, a process remembered to be mysterious and miraculous.

Manpower then came voluntarily from the members as well as from outside Muhammadiyah. Those who had not previously shown interest in it spent their time, money and energy in building the school. Whenever materials were short, there appeared villagers with pieces of bricks, a handful of cement and some iron bars. Food and snacks were provided in turn by villagers who did not what Muhammadiyah was. No assistance came from branches of Muhammadiyah at the subdistrict, district and regional levels, thus the school was purely the result of self-reliance of the members and fellow villagers.

The story suggests that the power of Muhammadiyah lies not just in its members but also in the masses, of which they constitute just a part. Only when the sincerity, spontaneity and enthusiasm of the members were appreciated and received by a wider circle could the programs bear fruit. For the members to hold this praiseworthy attitude, they should be confident of the necessity and benefit that the programs proposed by their leaders will bring to society.

It is a wonder that Muhammadiyah endorsed the community-based enlightening mission model, which highlights the importance of protecting and empowering those on the margins of society. To be effective its leaders should be aware of the widening gap between themselves and ordinary members. Only when their visions can be translated properly to ordinary members, and be appreciated and evoke empathy from them, may we talk about the possibility of success.

When progress is made, Muhammadiyah may free itself from the long-established image, a religious movement to build schools and hospitals, and it can then create a new image of a movement working to improve the life of all Indonesians. This image is closer to the ideals of its founder, Ahmad Dahlan, who, based on his reinterpretation of the Koranic verse Al-Maun, envisioned an Islamic society caring for the poor and the deprived.
_____________________________

The writer, who attended the Muhammadiyah congress in Makassar, is a professor in cultural anthropology at Kangwon National University, South Korea.

Paper Edition | Page: 7

- See more at: http://www.thejakartapost.com/news/2015/08/13/muhammadiyah-must-better-use-power-masses.html#sthash.uhy6IEAv.dpuf

Din Syamsuddin’s legacy: A more pluralist Muhammadiyah

Alpha Amirrachman, Jakarta | Opinion | Tue, August 04 2015, 6:41 AM

When KH Ahmad Dahlan established Muhammadiyah in 1912, the Islamic organization had three main ambitions: to feed, school and heal its followers. It is because of this that Muhammadiyah now operates 7,227 kindergartens and elementary schools, 2,915 junior and senior secondary schools, 67 boarding schools, 172 higher education institutions, 457 hospitals, 454 orphanages and nursing homes.

This spirit of community service continues until now and has become one of Muhammadiyah’s main characteristics.

Every new leader of Muhammadiyah also has a special leadership style. AR Fachruddin is known for his introduction of Muhammadiyah ethics, tasawuf, or the development of an ascetic tradition. Amien Rais (1995-1998) is known to have introduced social tauhid (social awareness) and the engagement in national scale politics.

Ahmad Syafi’i Maarif (1998-2005) introduced cultural dakwah, or religious propagation embracing local culture in addition to Islamic thought development, the empowerment of Muhammadiyah’s youth wing and the provision of new social services for laborers, farmers and fishermen.

This week Muhammadiyah is holding its national congress and will replace its leader Din Syamsuddin (2005-2015). What is the legacy of Din’s leadership? Din has led Muhammadiyah, Indonesia’s oldest modernist Islamic organization, for 10 years.

He was firstly elected with the broad support of “purist” elements within the organization in 2005.

But gradually, and particularly during the second term, just like any mindful leader who positions himself as a leader of everyone, Din embraced all wings of the organization, from “purist” to “progressive” elements, and acted wisely between them. Just recently he even invited scholars from both camps to exchange thoughts.

Din also encouraged Muhammadiyah members who wanted to have political careers to join as many different political parties as possible. But he has strictly forbidden members to have double positions in the organization and in political parties.

His leadership skill in embracing all elements within the organization and also encouraging members to disperse to many different political parties is a philosophy known as “allocative politics”. This philosophy entails allocating values within society and distributing them into the political process. In the case of Muhammadiyah, it means allocating Islamic principles and distributing them into the political process, as Din once explained.

Din also initiated “constitutional jihad” by proposing judicial reviews to cancel laws considered in violation of the 1945 Constitution or for not siding with the people.

At least four laws have been annulled thanks to Muhammadiyah’s prominent role among plaintiffs seeking judicial reviews. These cancelled laws consist of laws on oil and gas, hospitals, social organizations and the law on water.

Gradually and convincingly, Din positioned himself much more strongly as a global Muslim leader who promoted peace and inter-faith dialogue. During Din’s period, the internationalization of Muhammadiyah met its moment, following his revival of its foreign relations division.

Also the President of the Asian Conference of Religions of Peace, Din once said, “This is the time for nations who love peace and justice to rise up and work together to realize genuine peace and to stop tyranny and colonialism in its various forms.”

To realize his vision of a just and peaceful world, Din also established the independent Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) in 2007. The Center aims to strengthen dialogue and cooperation among religious groups and world civilizations in order to build peace.

Since 2007, in cooperation with Muhammadiyah and with the support from the Cheng Ho Multi Culture Trust led by Tan Sri Lee Kim Yew, the Center has conducted the World Peace Forum every other year.

It is also because of Din’s efforts that since 2009, Muhammadiyah has joined the International Contact Group (ICG), whose members consist of government and non-government elements. The government elements are from the UK, Japan, Turkey and Saudi Arabia, while the non-government elements comprise of Coalition Resources, The Asia Foundation and the Centre for Humanitarian Dialogue.

As a member of the ICG, Muhammadiyah has been active in attempts to mediate between conflicting parties in the southern Philippines. A dialogue involving the multiple stakeholders of Bangsamoro was held at the Muhammadiyah University of Surakarta in 2013.

In contributing to peace-building in southern Thailand, Muhammadiyah has helped to facilitate scholarships to Thai students to study at various Muhammadiyah universities. Muhammadiyah also invited the leaders of Muslim communities from Thailand to regularly join in the World Peace Forum in Indonesia.

Din encouraged the establishment of Muhammadiyah leadership branches outside of Indonesia, such as those found in Europe, Central Africa, the US and Asia. These branches are mostly filled by Indonesians who live there.

Muhammadiyah is also interested in ensuring peace in Africa. During his visit to Rome, Din led the Muhammadiyah delegation to initiate cooperation with the Catholic-oriented Sant’Egidio organization in a bid for national reconciliation in the Central African Republic. Later, a delegation of Muslims and Christians from the Central African Republic came to Jakarta to join in the Fifth World Peace Forum.

Din, as a leader of the Indonesia-Palestine Friendship Initiative, also conducted fundraising to support the independence of Palestine under a two-state solution.

Perhaps more importantly Din has constructed a global outlook for the Islamic organization. The scholar Mitsuo Nakamura notes that “the plurality in religion, culture and ethnicity as a basic social reality of the Indonesian state seems to be well accepted among Muhammadiyah circles today. Moreover, there are some arguments to recognize this reality as sunnatullah [God’s law].”

In his 2012 work, Nakamura noted that Muhammadiyah was becoming less antagonistic toward non-Islamic groups in local communities. Though warnings against active missionary work by certain Christian denominations were still heard, Nakamura said that, “generally speaking, an amiable relationship with other religious groups is sought from the Muhammadiyah side as well.”

Nakamura’s observation is important, proving that Din’s effort to promote pluralism has also been well accepted not only by religious leaders at the global level, but also at the grassroots level within his own organization. However, just like in any other religious organization, there are still elements of conservatism.

The next leader of Muhammadiyah should be able to carry on Din’s legacy in uniting and strengthening the organization’s potential and distributing this potential into the political process. This work will hopefully happen alongside efforts in soft diplomacy to advocate for world peace. Ten years is not enough time to build a strong foundation for this legacy. Hence, the new leader could continue Din’s work and lead Muhammadiyah to advance into the next century with much more confidence and achievements.
___________________________

The writer is executive director of the Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC). His PhD dissertation from the Universiteit van Amsterdam was on peace education in Maluku.
Paper Edition | Page: 6
- See more at: http://www.thejakartapost.com/news/2015/08/04/din-syamsuddin-s-legacy-a-more-pluralist-muhammadiyah.html#sthash.e0EyBhAd.dpuf

Syiah: Islam atau Bukan?

Arsitektur Arabesque di Masjid Vakil, Shiraz, Iran.
 Ulil Abshar-Abdalla 51 mins ago 268 Views

Salah satu rekomendasi penting dari Muktamar Muhammadiyah Ke-47 di Makassar pada 1-7 Agustus kemaren adalah himbauan agar umat Islam menempuh corak keberagamaan yang moderat, menghindari  takfir (gemar mengkafirkan sesama Muslim) dan membangun dialog Sunni-Syiah.

Ini adalah undangan sangat penting yang perlu mendapatkan apresiasi. Bravo kepada Muhammadiyah yang berani memulai tradisi moderatisme selangkah lebih maju. Buat saya, istilah “Islam moderat” belum mengatakan apa-apa jika tidak diberikan isi yang progresif dan maju. Moderat saja bisa berarti suatu konservatisme. Moderatisme yang progresif, seperti ditunjukkan oleh Muhammadiyah ini, perlu kita dorong.

Himbauan ini merupakan “theo-political breakthrough” yang sangat berani. Andai saja ini dinyatakan lewat Facebook, tentu saja layak memperoleh berjuta-juta “like” beserta ikon jempol!

Yang menarik, undangan ini menyeruak di tengah-tengah kampanye besar-besaran yang tampaknya dibiayai oleh uang petro dollar dari negeri-negeri teluk. Tujuannya: menyebarkan sentimen sektarianisme dan mengekspor konflik Sunni-Syiah ke Indonesia.

Kampanye ini jelas bagian dari usaha negeri-negeri teluk, terutama Saudi Arabia yang berpaham Wahabi, untuk meluaskan “sphere of influence” ke dunia Islam vis-à-vis Iran yang juga melakukan hal yang sama. Di sini, kita melihat “war of proxies” versi dunia Islam. Indonesia, tampaknya, hendak diseret sebagai salah satu proxy dalam “perang” ini.

“Refrain” berikut kerap kita dengar akhir-akhir ini: Bahwa Syiah bukanlah Islam. Masalah ini sudah diperdebatkan sejak ratusan tahun lalu, dan tak akan membawa dunia Islam ke mana-mana selain jurang perpecahaan yang konyol. Umat Islam sebaiknya belajar dari umat Kristen yang berhasil mengakhiri konflik Katolik-Protestan yang pernah berlangsung ratusan tahun.

Dalam tulisan lalu, saya mengajukan suatu definisi minimalis mengenai Islam dan Muslim. Siapa saja yang mengucapkan syahadat, dia adalah Muslim, tak peduli apa sekte, mazhab dan afiliasi politiknya. Definisi minimalis ini sengaja saya ajukan untuk menghindarkan umat Islam dari perang “truth claims” yang tiada berkesudahan dan sia-sia belaka.

Dengan merujuk definisi minimalis itu, saya hendak meyakinkan Anda bahwa umat Syiah adalah bagian yang sah dari umat Islam. Syiah adalah salah satu firqah/sekte saja dari sejumlah sekte yang ada dalam sejarah Islam. Syiah adalah sekte, sebagaimana Sunni juga sekte. Sesama sekte janganlah saling menjatuhkan. Kesamaan antara orang Sunni dan Syiah jauh lebih banyak daripada perbedaannya. Keduanya adalah sama-sama ahl al-qiblah.

Sebagaimana umat Sunni, orang Syiah mengucapkan syahadat, melaksanakan salat, puasa, membayar zakat, dan melakukan ritual haji. Jangan percaya kepada sejumlah fitnah yang disebar-sebarkan untuk mengobarkan sentimen anti-Syiah. Misalnya: fitnah bahwa Syiah memiliki syahadat yang beda, Qur’an yang beda, dan gemar mencerca sahabat.

Soal mencerca sahabat (sabb al-shahabah) ini perlu saya bahas sedikit. Inilah tuduhan yang kerap dijadikan alasan kalangan Sunni/Wahabi untuk terus mengobarkan kebencian kepada kaum Syiah.

Menurut saya, tuduhan kaum Sunni ini tidak sepenuhnya salah. Tetapi sejumlah caatatan perlu saya berikan di sini. Apa yang disebut sebagai “mencerca” itu, jika kita telaah literatur Syiah secara menyeluruh, sebetulnya adalah sejenis kajian kritis atas sahabat. Kalangan Syiah memang memiliki pandangan yang kritis tentang sahabat. Ini berbeda dengan doktrin Sunni yang cenderung memandang semua sahabat adalah baik (‘adalat al-shahabah). Sebaiknya perbedaan mengenai posisi terhadap sahabat ini dipandang sebagai perbedaan sudut pandang saja. Tak harus membuat seseorang dianggap telah keluar dari Islam.

Meski demikian, saya setuju: Kebiasaan kalangan Syiah yang kadang menggunakan redaksi yang cenderung keras terhadap satu-dua figur sahabat sebaiknya dihentikan, karena hanya akan mengobarkan sentimen sektarianisme. Kultur baru yang lebih kondusif untuk menjalin dialog sebaiknya dikembangkan.

Dalam konteks inilah himbauan Muhammadiyah untuk membangun dialog Sunni-Syiah amatlah muhim. Ini mengingatkan pada inisiatif Pendekatan Mazhab-Mazhab (Al-Taqrib Bain al-Madzahib) yang pernah digagas di Mesir pada 1947, dan melibatkan beberapa tokoh seperti Syekh Mahmud Syaltut dan Hasan al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin.

Ada fatwa Mahmud Syaltut yang menarik: Mazhab fiqh Imamiyyah-Ja’fariyyah yang banyak dianut di Iran adalah mazhab yang sah dalam Islam. Kita boleh menjalankan ibadah (al-ta’abbud) dengan mengikuti mazhab ini. Bersama dengan empat mazhab Sunni yang lain, mazhab Imamiyyah merupakan kekayaan intelektual Islam yang patut dihargai dan dipelajari.

Penduduk Iran saat ini berjumlah sekitar 79 juta. Mayoritas adalah pengikut mazhab Syiah. Jika anda menganggap Syiah bukan Islam, paling tidak anda telah mengeluarkan sekitar tujuh puluh juta orang dari Islam. Ini jelas pemurtadan massal dan terbesar dalam sejarah Islam. Pendeta Kristen manapun tak akan kuasa melakukan hal seperti ini.

Dan ini malah dilakukan oleh orang Islam sendiri. Lucu bukan?[]

http://islamlib.com/mazhab/syiah/syiah-islam-atau-bukan/?utm_campaign=shareaholic&utm_medium=facebook&utm_source=socialnetwork

Wednesday, August 12, 2015

Muhammadiyah dan Islam yang Menggembirakan

Novriantoni Kahar dan Yunahar Ilyas (Foto: IslamLib)
Oleh Novriantoni Kahar

Salah satu pepatah Arab yang selalu saya kenang sejak masa muda di pesantren adalah ungkapan ini: laitsa al-khabar ka al-mu’ayanah. Artinya, kabar tak selamanya cocok dengan kenyataan. Itulah yang saya alami tatkala berjumpa dengan Prof. Yunahar Ilyas, kemarin malam (12/8/2015).

Selama ini, saya sering mendengar kalau beliau adalah salah seorang tokoh yang paling konservatif di lingkungan Muhammadiyah. Seberapa konservatif, saya tak terlalu tahu. Tapi sebagai komandan Majelis Tarjih dan Tajdid di Muhammadiyah, Pak Yunahar sering dianggap sebagai sosok yang kerap menahan laju terobosan-terobosan pemikiran yang dikembangkan oleh kawan-kawan muda Muhammadiyah.

Karena itu, Pak Yunahar bukanlah sosok yang dielu-elukan sebagai pembela tajdid atau pembaruan, tapi justru disesalkan sebagai pembela tajdib alias kemunduran. Calon terkuat di Muktamar ke-47 Muhammadiyah kemarin ini ibaratkan rem yang menahan laju pemikiran Muhammadiyah, bukan gas yang memacu anrenalin kawula mudanya seperti yang sosok Buya Syafii Maarif atau Ketua Umum Muhammadiyah yang baru, Haedar Nashir.

Namun tatkala saya mewawancarai beliau tentang Islam Berkemajuan di KBR dan TV-Tempo kemarin itu, saya justru terkesan oleh Pak Yunahar. Bagi saya, beliau adalah tokoh yang agak langka di Muhammadiyah. Alumni Timur Tengah, seorang dai, pandai berdalil dengan mengutip Quran, hadis, dan kitab-kitab; sesuatu yang sangat diperlukan untuk menjaga gawang Muhammadiyah, terutama dalam menghadapi infiltrasi berbagai kelompok Islam yang lebih garang.

Kalau boleh berimajinasi, saya membayangkan posisi beliau seperti gelandang bertahan Arsenal, Francis Coquelin, atau pun gelandang elegan dari Barcelona, Sergio Busquets. Jadi agak sulit membayangkan beliau akan membuat terobosan dan menciptakan peluang-peluang seperti dilakukan Mesut Özil ataupun Andreas Iniesta. Tapi yakinlah, “gelandang bertahan” Muhammadiyah yang pernah lama berguru di Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud di Riyadh ini sungguh diperlukan.

Itu yang saya simpulkan setelah mendengar uraian beliau tentang konsep Islam Berkemajuan yang menjadi tagline Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar kemarin. Dalam rumusan Pak Yunahar, Islam Berkemajuan adalah konsep yang tidak terikat ruang dan tempat sebagaimana Islam Nusantara, tagline unggulan Nahdlatul Ulama (NU) di Muktamar mereka ke-33.

Berkemajuan adalah etos atau kehendak yang melekat di dalam Islam yang dipercayai Muhammadiyah. Ini mengandaikan Muhammadiyah sebagai pengusung jargon itu, untuk terus maju, selangkah di depan dalam terobosan-terobosan pendidikan maupun pelayanan sosial.

Namun demikian, Pak Yunahar meletakkan fondasi bagi konsep berkemajuan itu dengan apa yang dia sebut lima fondasi. Pertama adalah landasan pemurnian tauhid. Kedua, semangat kembali kepada Quran dan Sunnah. Ketiga, ketidakterikatan kepada suatu mazhab. Keempat, bersifat moderat. Dan kelima berupaya menjadi modernis atau berorientasi ke masa depan.

Dalam pandangan saya, 3 fondasi pertama yang beliau kemukakan tidaklah terlalu spesial karena membuat Muhammadiyah beririsan belaka dengan gerakan-gerakan puritanisme Islam di tempat lain seperti Wahhabisme, Ikhwanul Muslimin, ataupun Hizbut Tahrir. Namun uraian-uraian Pak Yunahar membuat wawasan saya lebih terbuka, terutama soal slogan kembali kepada Quran dan Sunnah.

Jika suatu perkara agama ditanyakan, kata beliau, maka Muhammadiyah tidak perlu merujuk ke kitab-kitab tertentu, tapi langsung mencari rujukan ke Quran dan Sunnah. Lalu mereka memeriksa asbabun nuzul dan maknanya, serta mencari pendapat-pendapat terbaik ulama seputar persoalan yang sedang dipertanyakan. Jadi tidak terpaku pada pendapat ulama tertentu.

Pada titik inilah saya menangkap spirit pembebasan Muhammadiyah: unsur ketidakterpakuan pada satu rujukan saja dalam perkara sosial agama. Itulah yang membedakan Muhammadiyah dari Ikhwanul Muslimin yang lama tersandera oleh doktrim Sayyid Quthb, atau Wahhabisme yang melulu merujuk ke Muhammad Ibnu Abdil Wahhab, atau Hizbut Tahrir yang lagi-lagi membaca an-Nabhani.

Tapi tunggu dulu. Bukankah doktrin pemurnian tauhid itu juga berpotensi menyeret Muslim untuk menjadi sosok-sosok yang anti-sosial-kebudayaan dan secara fatal bisa juga tergiring ke pelukan ideologi salafi-jihadi? Penjelasan Pak Yunahar soal pentingnya moderasi dan kemoderanan membuat saya lega.

Benteng Muhammadiyah, tandas beliau, terlalu kokoh untuk ditembus oleh ideologi-ideologi keagamaan yang ekstrem dan radikal. Namun beliau mengakui, beberapa unsur Muhammadiyah memang punya kecenderungan ke sana.

Dari Pak Yunahar, menangkap kesan: walau dalam paradigma keagamaanya Muhammadiyah bisa saja serupa dengan gerakan-gerakan Islam lainnya, tapi Muhammadiyah tetaplah Muhammadiyah. Walau terus berdiri di atas tiga fondasi pertama tadi (pemurnian tauhid, kembali ke Quran dan Sunnah, ketidakterikatan kepada satu mazhab), tokoh Muhammadiyah yang dianggap paling konservatif sekalipun akan tetap terikat oleh landasan moderasi dan dorongan untuk menjadi manusia modern.

Jadi, agak sulit membayangkan ormas terbesar kedua di Indonesia ini akan menjadi kaum radikal dan ekstrem laiknya Wahhabi-Saudi, Taliban Pakistan dan Afghanistan, atau kelompok ekstremis lainnya. Sejarah mungkin telah “mengutuk” Muhammadiyah untuk moderat dan terdorong untuk selangkah lebih maju di berbagai bidang.

Dan “kutukan” itu—menurut Fajar Riza Ul Haq, Direktur Maarif Institute—sudah termaktub di dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah tahun 1914 yang menggariskan maksud berdirinya persyarikatan ini untuk antara lain “memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama di Hindia Belanda”. Jadi, ya akhi, bukanlah hal yang muluk-muluk jika kita berharap akan merasakan nuansa Islam nan maju dan gembira dari Muhammadiyah.

Ya, Islam yang maju dan gembira!

Dan di malam itu, Pak Yunahar pun mengeluarkan dalil bagi terselenggaranya Islam yang maju dan gembira itu. Bassyiru wala tu’assiru, tandas Pak Yunahar mengutip pesan Nabi tentang pentingnya menyelenggarakan watak Islam yang menggembirakan itu. Hadis riwayat Bukhari itu lengkapnya berbunyi: yassiru wala tu’assiru, wa bassyiru wala tunaffiru! Artinya, buatlah mudah, jangan suka membuat susah. Buatlah orang-orang gembira, jangan membuat mereka berpaling muka!

Pesan Nabi ini terasa begitu kontras dengan kelakuan kelompok-kelompok takfiri yang ikut dikeluhkan di dalam poin-poin rekomendasi Muktamar Muhammadiyah pekan lalu. Menurut Pak Yunahar, kelompok-kelompok takfiri yang suka mengkafir-kafirkan ini bukanlah duta-duta terbaik Islam, tapi justru ja’u wa farraqu. Mereka ada untuk membelah, bukan untuk memajukan, jauh dari menggembirakan!

Amma ba’du. Malam itu saya sungguh gembira berjumpa Pak Yunahar dan sempat mendengar landasan yang kokoh untuk Islam yang gembira. Banyak hal yang sebetulnya masih ingin saya tanyakan, namun apa daya waktu tak banyak. Saya berharap, kelak kami dapat berjumpa lagi, saya menulis lagi, semoga hadirat pembaca mendapatkan kabar gembira, lalu kian yakin dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang menggembirakan. Takbir!

http://islamlib.com/lembaga/muhammadiyah/sebuah-kisah-tentang-islam-yang-gembira/