Monday, April 23, 2012

Merevitalisasi Wawasan Nusantara Muhammadiyah

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Jika kita membaca AD (Anggaran Dasar)I Muhammadiyah tahun 1912, khususnya Artikel 2a, seakan-akan yang menjadi ranah dakwahnya hanyalah sebatas “residensi Jogjakarta,” bukan wilayah Hindia Belanda, yang kemudian menjadi Indonesia. Puluhan tahun saya sendiri berpegang kepada bunyi AD itu. Mungkin yang lain juga tidak berbeda, karena itulah fakta tertulis autentik yang jadi pegangan. Tetapi pendapat ini menjadi buyar samasekali setelah saya     membaca Khutbah Iftitah Kiyai H. Ibrahim, seminggu sepeninggal K.H. Ahmad Dahlan yang wafat pada 23/24 Feb. 1923.
 

Inilah kutipan terjemahan Khutbah Iftitah Kiyai Ibrahim itu yang disampaikan dalam bahasa Jawa: “Sesungguhnya tujuan Muhammadiyah itu akan mengajak setanah Hindia…, tetapi pada saat itu pemerintah tidak mengizinkan, yang diizinkan hanya Ngayogyakarta. Jadi sampai tahun 1919 Muhammadiyah dapat dikatakan hanya menjalankan kewajiban (dakwah) di daerah Ngayogyakarta saja.” (Lih. Imron Nasri dan Faozan Amar (penyunting), Kata yang Mencerahkan. Jakarta: Al-Wasat, 2010, hlm. 7). Keterangan Kiyai Ibrahim yang juga adik ipar Kiyai Dahlan ini sudah dengan sendirinya menyatakan bahwa Muhammadiyah sejak awal sudah membidik wilayah Nusantara sebagai sasaran dakwahnya yang pada waktu itu berada di bawah penjajahan Belanda.  Dalam ungkapan lain, gerakan Islam ini sudah memiliki embrio wawasan kebangsaan sejak masa dini. Tentu pada masa itu istilah nasionalisme belum muncul ke permukaan.

Ungkapan Kiyai Ibrahim “akan mengajak se tanah Hindia” adalah bukti bahwa teropong Muhammadiyah jauh melampaui wawasan BU (Budi Utomo) yang semula hanya untuk priyayi Jawa dan kemudian Madura. Sekiranya pemerintah kolonial memberi izin, maka dalam AD 1912 itu yang akan muncul adalah perkataan  Hindia Belanda, bukan “residensi Jogjakarta.” Saya tidak tahu mengapa pada awal dasa warsa kedua abad ke-20 para kiyai pendiri Muhammadiyah itu telah punya jangkauan wasasan yang jauh ke depan. Ini penting untuk diingat karena pada 1912 itu Perang Aceh yang telah menguras energi kolonial baru saja usai, berkat terutama lantaran jasa Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam Belanda. Bolehjadi wawasan luas para kiyai ini juga disebabkan oleh pergaulannya dengan tokoh-tokoh BU, sekalipun golongan yang terakhir ini tidak menyebut Hindia Belanda sebagai sasaran gerakan pencerahan kulturalnya.
 

Sasaran dakwah Muhammadiyah yang semula dibatasi pada radius “residensi Jogjakarta” hanya bertahan dua tahun. Dalam AD 1914 telah berubah menjadi “Hindia Nederland” sebagaimana yang tertulis pada Artikel 2a. Tentunya sudah mendapat izin dari pemerintah kolonial. Dengan AD 1914 ini Muhammadiyah telah punya dasar konstitusional melebarkan sayap dakwahnya ke seluruh Nusantara. Memang Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang taat hukum, sekalipun itu hukum kolonial. Adapun secara diam-diam melawan, itu adalah bagian dari siasat perjuangan  di bawah sistem penjajahan, sebagaimana diakui oleh orientalis Perancis G.H. Bousquet di era 1930-an. 
 

Sekarang kita berada pada awal dasa warsa kedua abad ke-21. Penduduk Indonesia kini telah melonjak menjadi 237 juta. Seiring dengan bergulirnya zaman secara dinamis, Muhammadiyah terus saja berekspansi tanpa perasaan lelah. Hindia Nederland secara kultural telah berubah menjadi Indonesia sejak tahun 1920-an dan secara politik telah tampil sebagai negara merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945. Banyak sudah kemajuan yang diraih, di samping yang kedodoran juga tidak kurang. Dalam Pidato 1 Juni 1945, Bung Karno berkata: “…di dalam Indonesia merdeka tak ‘kan ada lagi kemiskinan.” Sudah hampir 66 tahun merdeka, kemiskinan masih menghimpit sebagian besar rakyat kita. Untuk melawan kemiskinan ini Muhammadiyah belum banyak bisa berbuat. Jangankan Muhammadiyah, negara pun setengah gagal melakukannya. Tidak saja kita bergumul dengan kemiskinan, wabah korupsi pun seperti tidak mampu dibendung.
 

Muhammadiyah relatif berhasil mengisi dan mencerahkan hati dan otak rakyat Indonesia, tetapi belum banyak berbuat untuk mengisi perut manusia. Memang dalam AD fokus kiprah Muhammadiyah lebih tertuju kepada proses pencerahan dan pencerdasan. Dengan bekal dua nilai ini diharapkan kemiskinan bangsa ini akan jauh berkurang, tetapi pengalaman empirik mengatakan sebaliknya. Inilah salah satu tantangan terbesar bangsa ini dan sekaligus tantangan terberat bagi Muhammadiyah. Dengan wawasan Nusantara kita yang telah berusia satu abad, apakah belum sangat mendesak bagi Persyarikatan untuk berfikir keras menolong bangsa ini agar ke luar dari anomali moral dan pasungan kemiskinan yang dapat membuat orang menjadi mata gelap dan putusasa?

Retrieved from: http://www.maarifinstitute.org/content/view/873/76/lang,indonesian/

Sunday, April 22, 2012

Buya Hamka: Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme

Dawatuna.com, 22/4/2012 | 00 Jumada al-Thanni 1433 H | Hits: 686
Oleh: Nur Afilin
dakwatuna.com – Sabtu (21/4/2012) Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) kembali menggelar diskusi Dwi-Sabtuan spesial. Dikatakan spesial karena diisi dengan agenda bedah buku Akmal Sjafril, ST. MPdI. berjudul “Buya Hamka: Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme”. Penulis yang akrab dipanggil Bang Akmal ini memang baru saja meluncurkan buku terbarunya tersebut pada tanggal 20 Maret 2012 lalu. Nama beliau sebelumnya dikenal sebagai penulis buku “Islam Liberal 101”, sebuah buku yang cukup dicari masyarakat pencinta ilmu. Hingga saat ini kabarnya buku tersebut sudah dicetak empat kali. Sehingga, ini menjadi hal yang menarik sekali jika kemudian beliau memutuskan membuat buku baru. Lalu, mengapa buku seputar Buya Hamka ini beliau tulis? Apa saja yang dibahas di dalamnya? Mari kita simak bersama uraian berikut.

Tentu H. Abdul Malik Karim Amrullah (1908-1981 M) atau yang akrab disapa Hamka atau Buya Hamka (karena beliau seorang Minang) merupakan figur yang luar biasa. Ulama, penulis, pendidik, jurnalis, sastrawan, politikus, dan sederet peran penting lainnya pernah beliau emban. Kredibilitas dari tiap karya ketua MUI pertama ini kesohor hingga negeri tetangga. Tak heran jika kemudian ada pihak-pihak yang berusaha menggunakan nama sosok yang baru disahkan sebagai pahlawan nasional Indonesia di tahun 2011 itu sebagai tameng untuk menyebarkan paham-paham menyimpang.

Adalah tulisan A. Syafi’i Ma’arif berjudul “Hamka tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah” yang menjadi awal permasalahan itu. Yaitu, permasalahan seputar pencatutan nama besar Buya Hamka untuk melegalkan pluralisme. Sebuah paham yang akhirnya makin santer terdengar gaungnya dewasa ini. Dalam artikel yang dimuat di rubrik Resonansi Harian Umum Republika edisi 21 November 2006 itu setidaknya mengandung tiga ‘kelalaian’ (jika tidak ingin disebut kesalahan) yang sangat fatal. Pertama, ketidakcocokan konteks yang digunakan antara tafsiran Buya Hamka dan tulisan Syafi’i Ma’arif. Kedua, tidak dijumpai penjelasan mengenai definisi Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in yang sebenarnya dibahas tuntas oleh Hamka dalam tafsir Al-Azhar karya beliau. Dan ketiga ialah Syafi’i Ma’arif tidak menyertakan bagian paragraf penting dalam tafsir Al-Azhar. Padahal, ketika kita membaca bagian paragraf tersebut secara total, akan jauh sekali dengan apa yang digambarkan Syafi’i Ma’arif dengan arah tafsir Al-Azhar.

Untuk lebih memperjelas, demikian terjemahan kedua surat dalam Al-Qur’an yang dipaksa menjadi pembenaran pluralisme tersebut:
“Sesungguhnya orang-orang beriman, dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabi’in, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian dan beramal yang shalih, maka untuk mereka adalah ganjaran dari sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita.” (Al-Baqarah: 62)

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Maidah: 69)

Sangat riskan sekali jika makna kedua ayat tersebut didekonstruksi tafsirannya. Padahal, setelah dengan panjang lebar Hamka membahasnya, di bagian akhir beliau menyatakan:

Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian mereka namanya telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi kalau keterangan telah sampai, namun mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak.”

Artinya, beliau sudah mengunci mati bahwa orang Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in zaman sekarang tidak bisa masuk dalam kategori di dua ayat Al-Qur’an tersebut. Ayat tersebut berlaku untuk mereka yang hidup sebelum risalah kenabian Rasulullah Muhammad SAW turun. Bukankah saat ini syi’ar Islam sudah sangat mudah dijumpai di hampir seluruh belahan dunia? Belum lagi media massa yang turut andil menyuarakan dakwah Islam tak terhitung jumlahnya. Sehingga tidak logis jika masih ada anggapan mereka tidak menerima keterangan apapun tentang Islam. Kesimpulan ini yang kemudian diputarbalikkan oleh Syafi’i Ma’arif. Kesan bahwa Hamka itu pluralis pun akhirnya menyeruak ke ruang publik. Akibatnya, beberapa seminar dan simposium digelar dan dengan tanpa segan menyematkan embel-embel pluralis kepada Sang Buya. Dan tidak mustahil itu akan berlarut-larut jika tidak dihentikan. Itulah yang kemudian mendorong Bang Akmal membukukan wacana yang awalnya berupa Tesis Magister Pendidikan Agama Islam di Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor miliknya itu.

Selain karena munculnya artikel yang pernah membuat pro dan kontra di tubuh Republika tersebut, setidaknya ada tiga alasan mengapa alumnus S1 Fakultas Teknik ITB ini memutuskan menulis buku tersebut. Dari ketiga latar belakang itu, beliau menyatakan alasan sebagai pembuka wacana penggalian kembali warisan intelektual Buya Hamka ialah yang paling utama. Ya, ini tak berlebihan. Mengingat saat ini karya beliau yang sangat kaya dan ‘bergizi’ sudah sepi dibicarakan. Buku-buku Hamka pun sulit dicari di negeri tempat lahir ulama kharismatik ini. Padahal di negeri tetangga seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura kita dengan mudah kita bisa menjumpai buku-buku beliau di toko buku. Amat sayang rasanya kalau kita menyia-nyiakan warisan yang tak ternilai harganya itu. Terlebih lagi banyak karya beliau yang ternyata masih kompatibel dijadikan sebagai landasan dalam bertoleransi, memegang prinsip, dan seputar pemikiran serta aliran menyimpang yang sering menjadi wacana kekinian.

Masuk lebih dalam lagi, Bang Akmal menguliti satu demi satu aliran pluralisme yang ada. Menurutnya, ini penting dilakukan supaya di kemudian hari tak ada klaim tak ilmiah yang menyatakan Hamka itu pluralis. Di antara paham pluralisme yang dibahas ialah humanisme sekuler, teologi global, sinkretisme, hikmah abadi, dan teosofi-freemasonry. Di antara aliran-aliran tersebut, tak ada satu pun aliran yang cocok pemikirannya dengan Hamka. Justru dalam banyak tulisannya tergambar gamblang bahwa semua paham tersebut sangat berseberangan dengan apa yang Hamka yakini. Dan masih ada beberapa pembahasan seputar pluralisme dan bagaimana sebenarnya pemikiran Hamka dalam buku ini.

Usai memaparkan dasar pemikiran dan garis besar apa yang dibahas dalam bukunya, sesi tanya-jawab dan diskusi pun dibuka. Seperti biasa banyak terlihat peserta yang mengangkat jari tangannya. Satu demi satu wacana dari peserta masuk menambah seru suasana diskusi. Semua wacana tersebut semakin mengukuhkan bahwa dampak pluralisme sudah menyentuh tataran grassroot. Sehingga, ini menjadi hal yang mendesak walaupun belum tentu masyarakat paham wacana yang masih dianggap elitis ini. Akhirnya, semoga dengan kehadiran buku ini turut bisa menyadarkan masyarakat umum bahwa perkara pluralisme bukan hal remeh.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/04/19974/bedah-buku-buya-hamka-antara-kelurusan-aqidah-dan-pluralisme/#ixzz1uxHAuu4R

Susunan Bab dalam buku ini adalah sebagai berikut:

BAB 1: Islam dan Toleransi Beragama
(a) Eksluksif, Inklusif dan Pluralis

BAB 2: Buya Hamka
(a) Pendidikan dan Keluarga, (b) Ulama Multitalenta, (c) Pahlawan Nasional, (d) Klaim Pluralisme Terhadap Buya Hamka dan Konsekuensinya

BAB 3: Pluralisme Agama
(a) Sejarah Pluralisme, (b) Tren-tren Pluralisme

BAB 4: Islam dan Pluralisme
(a) 'Ayat-ayat Pluralis', (b) Kritik Para Cendekiawan Muslim Terhadap Pluralisme, (c) Klaim Pluralisme Terhadap Buya Hamka

BAB 5: Konsep Hubungan Antar Umat Beragama Menurut Hamka
(a) Konsep Agama, (b) Islam dan Agama-agama Selainnya, (c) Aliran-aliran Sesat, (d) Aliran-aliran Kepercayaan, Kultus Individu dan Sinkretisme, (e) Komunisme, Sekularisme dan Pancasila, (f) Toleransi Beragama

BAB 6: Menguji Klaim Pluralisme
(a) Hamka dan Humanisme Sekuler, (b) Hamka dan Teologi Global, (c) Hamka dan Sinkretisme, (d) Hamka dan Hikmah Abadi, (e) Hamka dan Teosofi-Freemasonry, (f) Penafsiran Hamka Terhadap 'Ayat-ayat Pluralis'

BAB 7: Timbangan Akhir
(a) Kasus Ahmad Syafii Maarif, (b) Kasus Ayang Utriza NWAY, (c) Kasus Hamka Haq, (d) Kesimpulan dan Rekomendasi

--------
Kata Pengantar I:
Rusydi Hamka (putra Buya Hamka)

Kata Pengantar II:
Buya Masoed Abidin (ulama senior Minangkabau, mantan Ketua MUI Sumatera Barat, mantan Ketua DDII Sumatera Barat, mantan Sekretaris Pribadi Moh. Natsir)

Kata Pengantar III:
Dr. Suhairy Ilyas (Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, dosen di pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta)
 

Saturday, April 21, 2012

Memperjelas Posisi Hamka soal Pluralisme Agama

Hidayatullah.com, Jum'at, 20 April 2012

Oleh: Dr. Adian Husaini

BELUM lama, pada 20 Maret 2012, salah satu peneliti INSISTS, Akmal Syafril, ST., M.Pd.I., menerbitkan bukunya yang berjudul Buya Hamka: Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme.  Buku ini sebenarnya merupakan Tesis Master Pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor. Penerbitan buku ini sangat penting untuk menjernihkan dan mempertegas pemikiran Buya Hamka tentang Pluralisme Agama.

Menurut penulisnya, pada awalnya penulisan buku ini bersumber dari sebuah makalah yang dibuatnya saat sedang mengikuti studi di Program Pascasarjana Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun (UIKA), Bogor. Isinya mengulas sebuah artikel karya Ahmad Syafii Maarif yang dimuat di Rubrik Resonansi, surat kabar Republika, edisi 21 November 2006, yang diberi judul “Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah”. 


Sebagian besar isinya adalah kutipan-kutipan dari Tafsir Al Azhar karya Buya Hamka. Di bagian awalnya, Syafii Maarif menjelaskan alasan di balik penelitiannya terhadap kedua ayat ini: “Pada suatu hari bulan November 2006 datanglah sebuah pesan singkat dari seorang jenderal polisi yang sedang bertugas di Poso menanyakan tentang maksud ayat 62 surat al-Baqarah.  Kata jenderal ini pengertian ayat ini penting baginya untuk menghadapi beberapa tersangka kerusuhan yang ditangkap di sana.”
Di antara berbagai kutipan Tafsir Al Azhar dari artikel tersebut, inilah salah satunya yang nampaknya paling penting: “Inilah janjian yang adil dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup, atau merk apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu.”

Setelah menjelaskan bahwa Hamka menolak pendapat yang menyatakan bahwa ayat ke-62 dalam Surah al-Baqarah telah di¬-nasakh oleh ayat ke-85 dalam Surah Ali ‘Imran, Syafii Maarif pun memungkas artikelnya dengan opini berikut: “Sikap Hamka yang menolak bahwa ayat 62 al-Baqarah dan ayat 69 al-Maidah telah dimansukhkan oleh ayat 85 surat Ali ‘Imran adalah sebuah keberanian seorang mufassir yang rindu melihat dunia ini aman untuk didiami oleh siapa saja, mengaku beragama atau tidak, asal saling menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing.  Sepengetahuan saya tidak ada Kitab Suci di muka bumi ini yang memiliki ayat toleransi seperti yang diajarkan Al-Quran.  Pemaksaan dalam agama adalah sikap yang anti Al-Quran (lih. al-Baqarah 256; Yunus 99).”

Memang, setelah keluarnya tulisan Syafii Maarif tersebut, terjadi perdebatan yang cukup seru di Rubrik Opini Harian Republika. Saya pun segera menulis artikel yang menjawab artikel Syafii Maarif tersebut.
Intinya, saya menegaskan, bahwa Buya Hamka sama sekali bukan seorang Pluralis Agama. Perlu dicatat, bahwa Pluralisme Agama, dalam CAP ini adalah paham yang  menyatakan bahwa semua agama merupakan jalan yang sah menuju inti realitas keagamaan. Dalam Pluralisme agama, tidak ada satu agama yang merasa superior dibanding yang lain. Tapi, setiap agama dipandang sebagai jalan yang sama-sama sah menuju kebenaran dan Tuhan (In pluralism, no one religion is superior to any other; each and every religion is equally valid way to truth and God). (Alister E. Mcgrath, Christian Theology: an Introduction, (Oxford: Blackwell Publisher, 1994).

Menurut Akmal, dalam makalahnya, ia mengaku menemukan beberapa kesalahan fatal yang telah dilakukan oleh Syafii Maarif dalam pengutipan Tafsir Al Azhar tersebut, terlepas dari ada-tidaknya unsur kesengajaan.

Kesalahan pertama,  adalah perihal penggunaan kedua ayat tersebut yang jauh dari konteks aslinya. Syafii Maarif – dan sang Jenderal Polisi yang berkonsultasi dengannya – menganggap bahwa kedua ayat ini dapat digunakan untuk menanggulangi konflik horizontal di Poso. Dari paragraf kesimpulan yang ditulis oleh Syafii Maarif sebelumnya, kita dapat memahami bahwa konflik horizontal yang dimaksud adalah konflik antar umat beragama. Karena digali dari al-Qur’an, maka dapat dipahami pula bahwa penelaahan ini digunakan untuk meredam keinginan sementara pihak di kalangan umat Muslim untuk melakukan kekerasan pada umat lain.

Padahal, tegas Akmal, jika Tafsir Al Azhar dibaca secara runut, akan ditemukan asbabun nuzul dari ayat ke-62 dalam Surah al-Baqarah itu, yakni untuk menjawab pertanyaan Salman al-Farisi r.a. seputar orang-orang sholeh yang dijumpainya di masa lampau, sedangkan orang-orang tersebut beragama Nasrani, Yahudi dan lain-lain. Kesalahan kontekstual ini akan terlihat jelas kemudian.

Kesalahan kedua disebabkan oleh kelengahan Syafii Maarif untuk melacak penjelasan nama-nama agama “Yahudi”, “Nasrani” dan “Shabi’in” dalam Tafsir Al Azhar. Padahal, Buya Hamka sudah menjelaskan masalah ini. Menurut Hamka, “Yahudi” (berasal dari nama Yehuda, salah satu anak Nabi Ya’qub as) pada hakikatnya adalah agama-keluarga, “Nasrani” (berasal dari nama Nashirah, yaitu daerah kelahiran Nabi ‘Isa as) pada hakikatnya adalah agama-bangsa, dan “Shabi’in” adalah nama yang diberikan bagi orang yang keluar dari agama nenek moyangnya, sehingga Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wassalam pun pernah disebut sebagai shabi’.

Dengan definisi tersebut, maka orang yang terlanjur dikenal sebagai Yahudi, Nasrani dan Shabi’in di masa lampau (yaitu sebelum masa kenabian Rasulullah saw) bisa beriman dan tak beriman. Contoh yang dapat diambil adalah Pendeta Bahira. Sejarah mengenalnya sebagai tokoh yang pertama kali membenarkan kenabian Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wassalam berdasarkan tanda-tanda yang diketahuinya dari Injil, dan oleh karena itu, ia dikategorikan sebagai orang yang beriman.

Meski demikian, Bahira tetaplah dikenal sebagai penganut agama Nasrani, karena memang ia tidak sempat mengikuti ajaran Nabi Muhammad. Tentu saja, Bahira dapat dianggap sebagai Nasrani yang beriman hanya karena ia hidup pada masa pra-kenabian Rasulullah saw. Jika ia sempat bertemu dengan dakwah Rasulullah, tentu ia harus mengucap syahadatain, dan hanya dengan cara itulah ia bisa dianggap sebagai orang yang beriman. Hal ini akan semakin jelas pada poin berikutnya.

Kesalahan ketiga – mungkin yang paling fatal – adalah tidak dicantumkannya sebuah paragraf penting yang dapat ditemukan di akhir penjelasan ayat ke-62 dalam Surah al-Baqarah dalam Tafsir Al Azhar yang justru menyimpulkan pendapat Buya Hamka yang sebenarnya secara utuh. Penjelasannya adalah sebagai berikut: “Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian mereka namanya telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi kalau keterangan telah sampai, namun mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak.”
Umumnya, kesimpulan dari sebuah uraian ilmiah, termasuk penafsiran al-Qur’an, dapat dijumpai di bagian akhirnya. “Dengan menyimak betapa pentingnya penjelasan di atas, kita pun bertanya-tanya mengapa Syafii Maarif justru memilih untuk meninggalkan penjelasan ini, yang – jika dicantumkan – akan segera menghapus kesan pluralis dari sosok Buya Hamka dalam artikel tersebut?” tulis Akmal, yang sebelumnya sudah dikenal sebagai penulis buku “Islam Liberal 101”. .

Opini dan kesan bahwa ‘Buya Hamka seorang pluralis’, bagaimana pun, telah terlanjur bergulir. Hanya berselang enam hari dari dimuatnya artikel Syafii Maarif tentang Tafsir Al Azhar di surat kabar Republika, Ayang Utriza NWAY menyampaikan makalahnya dalam acara diskusi publik bertajuk Islam dan Kemajemukan di Indonesia. Diskusi publik tersebut diadakan sebagai rangkaian kegiatan dalam Nurcholish Madjid Memorial Lecture di sebuah Perguruan Tinggi di Banten. Makalah yang dibawakannya berjudul “Islam dan Pluralisme di Indonesia: Pandangan Sejarah”. Dalam makalahnya, Ayang bahkan telah melangkah lebih jauh lagi daripada Syafii Maarif. Setelah mengutip beberapa poin dalam Tafsir Al Azhar – lagi-lagi untuk QS. al-Baqarah [2]: 62 – Ayang menyimpulkan:
“Ini berarti bahwa walaupun seseorang mengaku beragama Islam, yang hanya bermodalkan dua kalimat syahadat, tetapi tidak pernah menjalankan rukun Islam, maka ia tidak akan pernah mendapat ganjaran dari Allah, yaitu surga.  Sebaliknya jika ada non-Muslim yang taat dan patuh menjalankan ajaran agamanya, walaupun tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, maka dia akan mendapatkan ganjaran dari Allah: surga.”

Menurut Akmal, tidaklah sulit menunjukkan kesalahan (untuk tidak menyebutnya ketidakjujuran) fatal yang dilakukan oleh Ayang Utriza NWAY.  Saya pribadi (Adian Husaini) juga menemukan tulisan Ayang Utriza yang menfitnah Buya Hamka dalam buku Bayang-bayang Fanatisisme: Esei-esei untuk Mengenang Nurcholish Madjid, (Jakarta: Universitas Paramadina, 2007). Kutipan makalah Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina itu dimuat di halaman 307.
Saya sudah menulis jawaban terhadap tulisan Ayang tersebut untuk buku 100 Tahun Buya Hamka.
Bahkan, saat bertemu keluarga Hamka, saya sampaikan keprihatinan saya tentang tulisan-tulisan yang menfitnah Buya Hamka.  Akan tetapi, meskipun artikel dan makalah sudah kita tulis di berbagai media massa, tetap saja pendapat yang mengutip tulisan Buya Hamka secara tidak proporsional juga terus berkeliaran. Bahkan, hingga kini, tak ada koreksi terhadap kekeliruan yang sudah dilakukan.

Dalam kaitan itulah, hadirnya buku Akmal ini menjadi penting. Fungsinya, untuk memperjelas posisi Hamka dalam soal Pluralisme Agama dan membentengi upaya orang-orang yang mengutip tulisan Hamka secara tidak proporsional atau bahkan memuarbalikkan makna tulisan Hamka yang sebenarnya. Menurut Akmal, itulah yang mendasarinya mengembangkan makalahnya menjadi sebuah Tesis dengan judul Studi Komparatif Antara Pluralisme Agama dengan Konsep Hubungan Antar Umat Beragama dalam Pemikiran Hamka. Sesuai dengan judulnya, tesis ini tidak hanya membahas kontroversi dari artikel Syafii Maarif dan makalah Ayang Utriza NWAY belaka, melainkan mengupas tuntas jawaban dari sebuah pertanyaan besar: apakah Buya Hamka memang seorang pluralis? Buku Buya Hamka: Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme merupakan hasil adaptasi dari tesis tersebut.

Persoalan paling fundamental yang pasti muncul ketika membahas pluralisme, sebagaimana dijelaskan oleh Anis Malik Thoha dalam bukunya Tren Pluralisme Agama, adalah mendefinisikan makna Pluralisme itu sendiri. Masing-masing pihak yang mengusung pluralisme memiliki konsepnya sendiri-sendiri, bahkan tidak jarang orang menulis sebuah makalah atau buku tentang pluralisme tanpa pernah memberikan definisi pluralisme itu. Oleh karena itu, buku ini pun menguraikan secara mendalam persoalan definisi pluralisme, sejarah pluralisme dan tren-tren pluralisme yang ada. Hal-hal ini dijabarkan di dalam bab ketiga.

Setelah menjelaskan tren-tren tersebut, bab keempat dalam buku ini menguraikan argumen-argumen yang digunakan oleh kaum pluralis dari kalangan Muslim, terutama dengan bersandar pada sejumlah ayat al-Qur’an. Pembahasan ini cukup penting, selain karena posisi sentral al-Qur’an dalam ajaran Islam, juga karena tokoh yang pemikirannya sedang dibahas – yaitu Buya Hamka – adalah seorang mufassir. Dengan memperbandingkan penafsiran Hamka dengan penjelasan ayat-ayat tersebut oleh kaum pluralis Muslim, kita bisa mendapatkan gambaran yang jelas mengenai persamaan dan/atau perbedaan cara berpikir keduanya.

Karena pada masa hidup Buya Hamka dahulu istilah “pluralisme” belum dikenal, maka penulis buku ini merasa perlu menguraikan konsep hubungan antar umat beragama menurut Hamka ke dalam beberapa poin penting. Poin-poin ini merupakan hal-hal yang sangat fundamental dalam gagasan pluralisme, misalnya konsep agama, posisi Islam di antara agama-agama lainnya, pandangan seputar aliran-aliran yang menyimpang, pengejawantahan toleransi beragama, dan sebagainya.

Sebagai contoh, seorang pluralis pasti menganggap Islam sejajar dan tidak lebih unggul daripada agama lainnya. Siapa pun yang berpikiran seperi itu, maka ia memang seorang pluralis. Tetapi Hamka tidak berpikiran seperti itu. Referensi yang telah ditinggalkan oleh Hamka begitu berlimpah, sehingga usaha pencarian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidaklah sulit untuk dilakukan.
Walhasil, di tengah carut-marutnya pemikiran di Indonesia dewasa ini, buku Buya Hamka: Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme karya Saudara Akmal ini cukup memberikan penjelasan tuntas seputar kesemrawutan konsep pluralisme. Karya ini diharapkan mampu merangsang kembali minat para pemuda Muslim untuk menggali kembali warisan intelektual dari Buya Hamka, dan juga dari para cendekiawan Muslim terdahulu lainnya.

“Adapun seputar ‘klaim pluralisme’ terhadap pribadi Hamka, insya Allah mereka yang sudah tuntas membaca buku ini tidak akan memiliki keraguan lagi,” tulis Akmal yang menyelesaikan sarjana S-1 nya di bidang civil engineering di Institut Teknologi Bandung.

Semoga bermanfaat, dan kita menunggu terus karya-karya ilmiah yang bermutu dari para pejuang Islam lainnya.*/Jakarta, 20 April 2012

Penulis Ketua Program Studi Pendidikan Islam—Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor). Catatan Akhir Pekan (CAP) bekerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com

Retrieved from: http://www.hidayatullah.com/read/22294/20/04/2012/%E2%80%9Cmemperjelas-posisi-hamka-soal-pluralisme-agama%E2%80%9D.html

Sunday, April 1, 2012

Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah

Rubrik Resonansi, Republika, edisi 21 November 2006
 
Ahmad Syafii Maarif

Pada suatu hari bulan November 2006 datanglah sebuah pesan singkat dari seorang jenderal polisi yang sedang bertugas di Poso menanyakan tentang maksud ayat 62 surat al-Baqarah. Kata jenderal ini pengertian ayat ini penting baginya untuk menghadapi beberapa tersangka kerusuhan yang ditangkap di sana. Karena permintaan itu serius, maka saya tidak boleh asal menjawab saja, apalagi ini menyangkut masalah besar yang di kalangan para mufassir sendiri belum ada kesepakatan tentang maksud ayat itu. Ayat yang substansinya serupa dapat pula ditemui dalam surat al-Maidah ayat 69 dengan sedikit perdedaan redaksi. Beberapa tafsir saya buka, di antaranya Tafsir al-Azhar karya Hamka yang monumental itu.

Sebenarnya saya cenderung untuk menerima penafsiran Buya Hamka dari sekian tafsir yang pernah saya baca, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Dalam perkara ini Hamka bagi saya adalah fenomenal dan revolusioner. Agar lebih runtut, saya kutip dulu makna kedua ayat itu menurut tafsir Hamka.

Al-Baqarah 62: “Sesungguhnya orang-orang beriman, dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabi’in, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian dan beramal yang shalih, maka untuk mereka adalah ganjaran dari sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita.”

Kemudian al-Maidah 69: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang Yahudi dan (begitu juga) orang Shabi’un, dan Nashara, barangsipa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, dan dia pun mengamalkan yang shalih. Maka tidaklah ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita.”

Ikuti penafsiran Hamka berikut: “Inilah janjian yang adil dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup, atau merk apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu. ‘Dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita (ujung ayat 62), hlm.211.

Yang menarik, Hamka dengan santun menolak bahwa ayat telah dihapuskan (mansukh) oleh ayat 85 surat surat Ali ‘Imran yang artinya: “Dan barangsiapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi.” (Hlm. 217). Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak menghapuskan ayat 62 itu sebagai berikut: “Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firmannya, segala Rasulnya dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang shalih.” (Hlm 217).

“Kalau dikatakan bahwa ayat ini dinasikhkan oleh ayat 85 surat Ali ‘Imran itu, yang akan tumbuh ialah fanatik; mengakui diri Islam, walaupun tidak pernah mengamalkannya. Dan surga itu hanya dijamin untuk kita saja. Tetapi kalau kita pahamkan bahwa di antara kedua ayat ini adalah lengkap melengkapi, maka pintu da’wah senantiasa terbuka, dan kedudukan Islam tetap menjadi agama fitrah, tetap (tertulis tetapi) dalam kemurniannya, sesuai dengan jiwa asli manusia.” (Hlm. 217).

Tentang neraka, Hamka bertutur: “Dan neraka bukanlah lobang-lobang api yang disediakan di dunia ini bagi siapa yang tidak mau masuk Islam, sebagaimana yang disediakan oleh Dzi Nuwas Raja Yahudi di Yaman Selatan, yang memaksa penduduk Najran memeluk agama Yahudi, padahal mereka telah memegang agama Tauhid. Neraka adalah ancaman di Hari Akhirat esok, karena menolak kebenaran.” (Hlm. 218).

Sikap Hamka yang menolak bahwa ayat 62 al-Baqarah dan ayat 69 al-Maidah telah dimansukhkan oleh ayat 85 surat Ali ‘Imran adalah sebuah keberanian seorang mufassir yang rindu melihat dunia ini aman untuk didiami oleh siapa saja, mengaku beragama atau tidak, asal saling menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing. Sepengetahuan saya tidak ada Kitab Suci di muka bumi ini yang memiliki ayat toleransi seperti yang diajarkan Alquran. Pemaksaan dalam agama adalah sikap yang anti Alquran (lih. al-Baqarah 256; Yunus 99).

Terima kasih Buya Hamka, tafsir lain banyak yang sependirian dengan Buya, tetapi keterangannya tidak seluas dan seberani yang Buya berikan. Saya berharap agar siapa pun akan menghormati otoritas Buya Hamka, sekalipun tidak sependirian. []