Monday, July 7, 2014

Polarisasi Muhammadiyah di Pilpres 2014


Ahmad Najib Burhani*

Pada survey yang diadakan oleh LSI (Lingkaran Survey Indonesia) pada 1-9 Mei 2014 diperoleh informasi bahwa warga Muhammadiyah yang sudah memutuskan untuk memilih pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto- Hatta Rajasa (PS-HR) lebih besar (31,57%) daripada pemilih pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (JKW-JK) (27,44%). Namun demikian, angka yang lebih besar (40,99%) dari warga organisasi modernis terbesar di Indonesia ini masih merupakan swing voters alias belum menentukan pilihan hingga saat survey dilakukan.

Polarisasi suara Muhammadiyah itu semakin kentara bila dilihat dari aksi dukung-mendukung yang dilakukan oleh aktivis organisasi ini. Sebagian aktivis, seperti M. Amien Rais (mantan ketua umum) dan Saleh Daulay (ketua umum Pemuda Muhammadiyah), menegaskan kepada publik bahwa mereka mendukung pasangan nomor satu. Sebagian warga Muhammadiyah yang mendukung koalisi Indonesia Raya atau koalisi Merah-Putih itu bahkan mendeklarasikan dukungan dalam wadah yang bernama Surya Madani Indonesia (SMI).

Pendirian SMI itu sebetulnya merupakan reaksi terhadap kelompok serupa yang didirikan oleh warga Muhammadiyah untuk mendukung JKW-JK, yaitu Relawan Matahari Indonesia (RMI). Wadah RMI ini didirikan diantaranya oleh Izzul Muslimin (mantan ketua umum Pemuda Muhammadiyah) dan Abd Rohim Ghazali (mantan sekjen Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Selain mereka yang tergabung dalam RMI, dukungan terhadap koalisi JKWI-JK juga datang dari tokoh-tokoh senior Muhammadiyah seperti Ahmad Syafii Maarif (mantan ketua umum), Abdul Munir Mulkhan, dan Rizal Sukma (Direktur Eksekutif CSIS dan pengurus PP Muhammadiyah).

Pertanyaannya, mengapa suara Muhammadiyah terbelah begitu tajam? Sebetulnya Muhammadiyah sebagai organisasi sudah memiliki posisi yang jelas, yaitu memilih untuk bersikap netral. Keputusan ini bahkan secara resmi telah tertuang dalam Maklumat Kebangsaan Menghadapi Pemilihan Presiden 2014 yang dikeluarkan Muhammadiyah pada Tanwir di Samarinda 23-25 Mei lalu. Dalam Maklumat itu Muhammadiyah memberi kebebasan kepada anggotanya untuk memilih pasangan capres/cawapres yang memenuhi tujuh kriteria, yaitu: relijius, negarawan, decisive, mampu mengelola negara dengan baik, mampu menjaga kewibawaan dan kedaulatan negara, strategic, dan committed. Netralitas itu merupakan sikap politik yang dipegang secara konsisten oleh Muhammadiyah sejak lama. Bahkan ketika salah satu kader dan mantan ketua umumnya, yaitu M. Amien Rais, maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2004, Muhammadiyah secara resmi tetap memilih menjaga sikap netral ini.

Sebagai sebuah prinsip, sikap netral Muhammadiyah itu sebetulnya memiliki terjemahan dan penerapan yang beragam. Pada masa Orde Baru dan ketika Muhammadiyah dipimpin Amien Rais (1995-1998), netralitas itu ditekankan pada slogan “high politics” atau politik adiluhung. Artinya, keterlibatan Muhammadiyah dalam politik lebih ditekankan pada keberpihakan terhadap nilai-nilai moral dan sosial serta menghindarkan diri dari upaya memobilisasi masa untuk mendukung partai tertentu atau figur tertentu atau untuk mengejar jabatan dan posisi tertentu di pemerintahan.

Ketika Muhammadiyah dipimpin oleh Syafii Maarif (1999-2005), pilihan terhadap “high politics” ini tetap menjadi suara resmi organisasi. Namun bahasa slogan yang lebih sering dipakai adalah “menjaga jarak yang sama” ke semua partai dan aktor politik. Pada masa kepemimpinan M. Din Syamsuddin (2005-2015), prinsip netralitas itu juga menjadi pilihan resmi meski ia menggunakan strategi dan slogan yang berbeda dari Syafii Maarif, yaitu “menjaga kedekatan yang sama” dengan semua partai politik. Ketika Joko Widodo datang ke kantor Pusat Muhammadiyah di Menteng, dia diberi kesempatan oleh Din Syamsuddin untuk mengimami shalat Dzuhur berjamaah yang secara simbolis kadang dimaknai sebagai dukungan terhadap pencalonan Joko Widodo. Hal yang sama diberikan kepada Prabowo ketika datang ke Muhammadiyah. Din Syamsuddin, misalnya, mencerikan bagaimana dulu dia dan teman-temannya biasa memanggil Prabowo sebagai Umar. Sebutan yang mengacu kepada Umar bin Khattab (khalifah kedua dalam Islam) dan Umar bin Abdul Aziz (khalifah terkenal dari Dinasti Umayyah) ini dipakai untuk menunjukkan keberanian Prabowo membela Islam.

Jika suara resmi Muhammadiyah adalah netral, mengapa survey di atas menunjukkan bahwa warga ormas ini yang cenderung memilih pasangan PS-HR lebih besar dari mereka yang cenderung bergabung ke barisan JKW-JK? Ada beberapa penjelasan terhadap pertanyaan ini, diantaranya adalah faktor PAN (Partai Amanat Nasional).

Meski secara resmi PAN bukanlah partainya Muhammadiyah, namun organisasi inilah yang banyak berperan dalam membidani kelahiran PAN. Tak bisa dipungkiri bahwa logo dari PAN memiliki kedekatan dengan logo Muhammadiyah. Di samping itu, banyak aktivis dan warga Muhammadiyah yang menjadi anggota DPR (Dewan Perwakitan Rakyat) dari partai ini atau menjadi pengurus partai ini. Dibandingkan dengan jumlah warga Muhammadiyah di partai lain, maka tentu jumlah warga Muhammadiyah di PAN jauh lebih besar. Terlebih lagi ada upaya dari PAN untuk kembali mengambil hati warga Muhammadiyah terutama setelah PMB (Partai Matahari Bangsa) yang didirikan oleh aktivis muda Muhammadiyah tak mampu melewati electoral threshold pada pemilu 2009 yang lalu.

Ketika PAN memberikan dukungan resmi kepada Prabowo sebagai capres dan ditambah lagi cawapresnya adalah Hatta Rajasa yang merupakan Ketua Umum PAN, maka tak heran jika banyak warga Muhammadiyah yang menjatuhkan pilihannya pada pasangan PS-HR. Tentu saja ada faktor lain, seperti ideologi (kedekatan dengan partai-partai Islam lain), yang mempengaruhi pilihan warga Muhammadiyah. Namun faktor yang paling menentukan sepertinya adalah faktor PAN.
--oo0oo—

*Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan aktivis Muhammadiyah.

Friday, July 4, 2014

Izzul Muslimin: Berseberangan dengan Amien Rais

JPPN.com, Kamis, 03 Juli 2014 , 15:36:00
Koordinator Relawan Matahari Indonesia, Izzul Muslimin. Getty Images
 
NAMA Izzul Muslimin sempat jadi perbincangan karena memilih pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sebagai mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah, sikap politiknya itu jelas dianggap berseberangan dengan para pengurus maupun anggota dan warga di organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu.
Kini, Izzul bukan hanya sekadar menjadi pendukung duet capres yang dikenal dengan Jokowi-JK itu, tetapi juga menjadi relawan penggalang dukungan. Pada 31 Mei 2014 lalu, Izzul mendeklarasikan Relawan Matahari Indonesia (RMI) yang masuk barisan pendukung Jokowi-JK.
Dengan bendera RMI, Izzul seolah melawan arus besar di organisasi keagamaan yang pernah dipimpin Amien Rais itu. “Jokowi-JK itu tak jauh dari Muhammadiyah,” kata Izzul kepada M Kusdharmadi dari JPNN.
Bagi Izzul dan RMI, sosok Jokowi-JK sangat dekat dengan tujuh kriteria pemimpin masa depan yang digaungkan saat Tanwir Muhammadiyah di Samarinda beberapa waktu lalu.
Lantas apa yang melandasi semangat berdirinya RMI? Kenapa Izzul dan RMI  menjatuhkan pilihan kepada Jokowi-JK dan bukan kepada Prabowo-Hatta?
Berikut petikan wawancara wartawan dengan Izzul di Posko RMI di Jalan Pulo Raya IV, Petogogan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (18/6).

Bagaimana awalnya berdirinya RMI ini?
Relawan Matahari Indonesia ini kita deklarasikan pada tanggal 31 Mei 2014 setelah penatapan calon presiden dan calon wakil presiden. RMI ini sebenarnya adalah individu yang bergabung untuk mendukung Jokowi-JK sebagai capres-cawapres 2014. Hanya saja, kalau dari unsur atau background memang kebanyakan dari Muhammadiyah.  
Ada beberapa tokoh yang terlibat aktif, kebetulan saya ditunjuk teman-teman jadi Koordinator Relawan. Ada penasehat Sutrisno Bachir mantan Ketua Umum PAN (Partai Amanat Nasional) dan banyak lagi.

Apakah RMI ini bagian dari Muhammadiyah?
Muhammadiyah kan secara resmi menyatakan netral berdasarkan keputusan Tanwir di Samarinda. Maka secara organisatoris kita tidak membawa Muhammadiyah, tetapi lebih ke individu.  Jadi kalau ada yang mengaku membawa Muhammadiyah secara kelembagaan, tidak benar. Muhammadiyah secara organisasi netral. Namun, individu boleh saja menyalurkan aspirasinya.

Ada juga personal di Muhammadiyah yang mendirikan relawan mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Bagaimana tanggapan Anda?
Iya, ada juga banyak yang membuat relawan. Tapi saya kurang tahu, mana yang serius bergerak. Tapi saya lihat ada yang dibuat mirip RMI. Logonya kalau saya katakan makmum (mengikuti) kita. Alhamdulillah ada yang memakmumi kita itu.

Muhammadiyah saat tanwir menyatakan ada tujuh kriteria pemimpin masa depan. Warganya dipersilahkan memilih yang paling mendekati tujuh kriteria itu.  Lantas kenapa Anda dan RMI memilih Jokowi-JK, bukan Prabowo-Hatta?
Karena memang kalau melihat tujuh kriteria itu sangat tepat dengan figur Jokowi-JK. Misalnya, Jokowi-JK itu orang yang merakyat, egaliter. Kalau di Muhammadiyah kan tidak ada kelas-kelas, kita cenderung egaliter.
Menurut kita, figur Jokowi-JK seperti itu. Ada satu istilah di Muhammadiyah  yang cukup terkenal. Yaitu, sedikit bicara banyak kerja. Dan itu cocok dengan figur Jokowi-JK. Mereka adalah tipe man of action. Mereka tidak terlalu berwacana, tetapi pergerakannya jelas. Kebijakan dan langkahnya konkret.
Itu bisa dilihat dari track record mereka. Misalnya bagaimana Jokowi saat masih  di Solo (wali kota) dan DKI (ebagai gubernur). Pak JK juga sebelum jadi wapres menjadi menkokesra eranya Bu Mega, kelihatan bagaimana perannya dalam perdamaian Aceh, Maluku, Poso. Itu rekam jejak orang yang tidak  bisa menghapuskannya.  Saya kira real, itu salah satunya.
Kemudian, menurut saya ini yang paling sangat penting Jokowi-JK ini bukan orang yang meminta-minta jabatan. Hal ini kalau di Muhammadiyah sangat prinsip. Kalau orang jadi pimpinan Muhammadiyah, bukan modelnya mengajukan diri. Tapi, atas usulan dari daerah atau wilayah untuk menghusulkan nama. Baru kemudian yang bersangkutan dihubungi, bersedia atau tidak untuk menjadi pimpinan Muhammadiyah. Jadi tidak ada proses mengajukan diri.
Itu sistem di Muhammadiyah. Karena, kita memahami bahwa jabatan itu amanah. Tidak boleh meminta. Jadi, kalau diberi amanah harus kita terima, karena itu menjadi kepercayaan. Itu yang kemudian kita melihat dipilihnya Jokowi-JK, bukan sosok pimpinan tertinggi parpol, bukan ya kalau boleh saya bilang tanda kutip itu trah, Soekarno, Soeharto. Ini sama sekali tidak. Mereka mewakili rakyat pada umumnya.
Selain itu PDIP sebagai partai pemenang pemilu yang mengusung capres-cawapres dengan koalisi yang ada dan memberi mandat kepada Jokowi-JK.  Prosesnya seperti itu. Jadi ini sangat-sangat identik, pas dengan gaya kepemimpinan dalam Muhammadiyah. Ini yang kita sangat berharap banyak dengan Jokowi-JK. Ini aspirasinya cocok dengan gaya kepemimpinan Muhammadiyah.

Lantas segmen pemilih mana yang mau digaet RMI selain warga Muhammadiyah?
Pada dasarnya RMI ini terbuka. Kita tidak  membatasi hanya orang Muhammadiyah yang bergabung. Kemarin misalnya kita mendapatkan dukungan dari pemulung di salah satu tempat pembuangan sampah di Tangerang. Sekelompok pemulung itu ingin mendukung Jokowi-JK. Mereka ada link ke RMI, jadi ketika mereka ingin memberikan dukungan, kita tampung.
Di Bandung ada pernyataan dukungan dari persatuan pedagang bakso se-Bandung Raya yang akan disampaikan melalui RMI. Kita tidak membatasi orang Muhammadiyah saja. Siapapun pada dasarnya kalau sepakat silahkan bergabung dengan RMI.

Berapa target suara yang akan dipersembahkan untuk memenangkan Jokowi-JK?
Secara angka tidak. Tapi, ini ada klaim yang ingin kita luruskan.

Maksudnya klaim?
Ada klaim, yang mungkin sudah pernah didengar. Pak Amien (Rais) yang mengatakan 80 persen warga Muhammadiyah pilih Prabowo-Hatta, sisanya baru pilih Jokowi. Saya kira ini klaim yang tidak punya dasar.
Kalau kita boleh lihat dari survei yang ada, tingkat netralitas Muhammadiyah masih cukup tinggi. Di LSI sebelum Juni misalnya, kalau tidak salah masih tinggi, yakni ke Prabowo  34 persen dan Jokowi 27 persen. Tapi, masih ada 40 persen yang masih mengambang atau swing voters. Sebenarnya orang-orang ini (swing voters), bukan orang yang tidak punya pilihan, bukan tidak memlih. Mereka pasti akan milih. Cuma karena organisasi (Muhammadiyah) sudah mengatakan netral, mereka tidak akan secara tebruka menyampaikan dukungan itu.
Nanti ada satu dua (mendukung) secara terbuka, silahkan. Tapi secara organisatoris (Muhammadiyah) kan tidak seperti itu.

Klaim sepihak itu tidak benar?
Saya mengatakan belum ada dasarnya.
Yakin mereka pada saatnya menggunakan hak politik dan menjatuhkan pilihan ke Jokowi atau Prabowo?
Pasti, tapi belum secara terbuka. Tapi, indikasinya,  begitu saya deklarasi RMI 31 Mei, itu sambutan luar biasa. Sudah 21 provinsi yang mendirikan RMI dan sudah deklarasi. Sudah kita SK-kan. Hampir 87 kabupaten/kota yang juga sudah men-declare itu. Ini yang diekspresikan. Artinya masih banyak yang mungkin tidak secara pasti (terang-terangan). Seperti ada yang PNS (pegawai negeri sipil) misalnya tidak men-declare. Saya menduga mungkin bisa jadi lebih besar yang mendukung Jokowi-JK, hanya mungkin tidak tersampaikan (terang-terangan).

Sekarang ada warga Muhammadiyah yang mendirikan relawan mendukung Jokowi dan Prabowo. Tidak khawatir muncul gesekan di internal Muhammadiyah?
Sebenarnya sih kalau orang Muhhammadiyah sudah cukup dewasa. Dalam arti, ketika mereka kembali pada semangat dalam pemilu ini, Muhammadiyah memberikan kebebasan warga untuk memilih. Harusnya dalam posisi itu tidak ada klaim warga Muhammadiyah itu mau ke sana atau ke sini. Saya setuju itu.
Mestinya ketika ada perbedaan pilihan itu dan saya kira ini juga terjadi di organisasi lain,  di NU (Nadhlatul Ulama) misalnya ada ke sana sini. Menurut saya kita harus dewasa menyikapi itu. Saya terus terang banyak mendengar, teman-teman dianggap beda ketika menyatakan dukungan ke Jokowi. Saya paham mengapa begitu, karena selama ini orang selalu mengidentikkan PAN ke Muhammadiyah. Padahal tidak selalu begitu, walau Pak Hatta itu Ketua Umum PAN memang Muhammadiyah.
Pak Hatta itu menjadi anggota Muhammadiyah setelah menjadi menristek (menteri riset dan teknologi, red), bukan sejak muda, bukan kader awal. Itu harus dicatat, karena yang membuat kartunya saya.
Kebetulan waktu itu saya jadi Kepala Kantor PP Muhammadiyah di Yogyakarta yang mengurusi kartu. Jadi saya tahu proses bagaimana Hatta mendapatkan kartu. Seperti itulah kira-kira.

Jadi, meski Hatta Ketua Umum PAN tapi PAN tidak selalu identik dengan Muhammadiyah?
Memang PAN didirikan Pak Amien, yang juga pernah menjadi Ketua Umum Muhammadiyah. Tapi, secara organisatoris Muhammadiyah dan PAN ini tidak dalam satu hubungan yang mengikat. Jadi tetap bebas. Warga Muhammadiyah diberi kesempatan kalau ada yang mau terjun ke parpol, silahkan, tidak hanya PAN. Ada yang di PDIP, Golkar, bahkan saya sendiri di Hanura. Jadi artinya,  fakta bahwa orang Muhammadiyah ada di tempat (parpol) lain.
Tidak benar Muhammadiyah selalu identik dengan PAN. Tampaknya, ini mau dieksploitasi Muhammadiyah harus PAN, padahal tidak begitu. Karena realitasnya, saya lihat Buya Syafii Maarif yang juga bekas Ketua Umum PP Muhamadiyah itu ternyata lebih dekat ke Jokowi-JK, meski beliau lebih bijaksana tidak harus ke mana-mana (menunjukkan dukungannya). Tapi dari sikapnya, saya melihat ke sana (mendukung Jokowi-JK, red). Jadi, tidak bisa kita klaim Muhammadiyah itu harus ke Prabowo. Sangat penting adalah Jokowi-JK ini punya hubungan yang sangat mesra dengan Muhammadiyah. Ini banyak orang tidak tahu.

Maksud Jokowi dan JK punya hubungan dengan Muhammadiyah?
Saya baru tahu kalau ternyata ibunya Jokowi-JK itu ikut pengajian Aisyiyah. Ibunya Pak Jokowi di Solo, ibunya Pak JK di Makassar. Bahkan, mertua Pak JK, ayahnya Bu Mufidah, pernah menjadi Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah di Makassar. Beliau (mertua JK) aslinya Sumatera Barat yang ditugaskan Muhammadiyah untuk membesarkan Muhammadiyah di Makassar. Kalau dari sisi itu bukan orang asing mereka berdua (Jokowi-JK) dengan Muhammadiyah. Saya sempat tanya teman-teman di Solo, ternyata Jokowi ini tidak terlalu jauh dengan Muhammadiyah.

Kenapa milih Jokowi-JK, bukan mendukung Prabowo-Hatta?
Kalau RMI begini, intinya kenapa tidak mendukung Prabowo-Hatta karena kita melihat bahwa Prabowo-Hatta dari beberapa stetamennya menyatakan mereka ingin melanjutkan kepemimpinan sekarang. Dan kita melihat ada beberapa catatan yang cukup jelas bahwa khususnya lima tahun terakhir ini kepemimpinan SBY-Boediono dari sisi prestasi memang menurut kita agak mengecewakan.
Biasanya kan begini, parpol itu akan mengikuti dari siapa yang memegang kekuasaan. Misalnya di Amerika Serikat, itu ketika Obama dari Demokrat  sukses, maka pemilu berikutnya Demokrat itu ikut sukses. Sukses dalam arti kepemimpinan negara, bukan kepemimpinan partai. Korelasinya kuat, itu kelihatan sekali.
Ketika setelah pemilihan legislatif kemarin (di Indonesia) Demokrat itu dari 20 persen (Pemilu 2009) menjadi hanya 10 persen. Artinya, ada ketidakpercayaan dari masyarakat kepada Demokrat sebagai imbas dari ketidakpercayaan masyarakat kepada SBY. Artinya, masyarakat sendiri melihat kepemimpinan SBY ini banyak catatatannya. Kita merasa bahwa dalam situasi seperti ini perlu perubahan. Kalau Obama temanya itu (perubahan).
Sebenarnya Jokowi mirip itu juga. Ini antitesa dari kondisi kepemimpinan SBY yang menurut kami kurang berhasil untuk lima tahun ini, sehingga perlu perubahan. Perubahan itu ada di Jokowi-JK, bukan Prabowo-Hatta. Secara klaim Prabowo menyatakan dia akan meneruskan kebijakan. Tapi, saya kurang paham juga, yang meneruskan itu seperti apa dan yang mana. Tapi, dia selalu mengklaim itu.
Hatta juga jelas adalah bagian pemerintahan SBY dan memegang peranan penting, real wapres. Kalau ada real presiden itu dulu JK, ini real wapres Hatta. Dia (Hatta) punya peran cukup besar. Malah saya lihat kedekatannya lebih. Faktor itu juga tidak bisa kita lepaskan. Nah, kita dalam posisi ini melihat Indonesia butuh prubahan. Perubahan itu ada di Jokowi-JK. Karena itu kita tidak memilih Prabowo-Hatta.

Setelah mendirikan RMI dan terang-terangan mendukung Jokowi-JK, apa tanggapan dari sesepuh atau petinggi Muhammadiyah? Apakah ada yang mengecap Anda sebagai pembangkang atau pengkhianat? Bagaimana menghadapinya?
Kalau secara organisatoris tidak ada. Bahkan saya selalu katakan langkah kami ini individu, bukan organisasi. Kalau dipersoalkan secara organisasi justru di pihak sana (pendukung Prabowo-Hatta, red) yang terang-terangan. Pengganti saya di Pemuda Muhammadiyah saat tanwir bilang terang-terangan.
Kalau secara pribadi ikut di parpol, mendukung, itu urusan pribadi. Jangan membawa organisasi. Tapi ini justru ditampilkan di forum, tanwir. Menurut saya ini justru malah yang tidak sesuai dengan Muhammadiyah. Saya melihat langkah saya ini individu. Bagi yang pahami sikap Muhammadiyah, tidak masalah. Kalau ada yang mempersoalkan itu rata-rata posisinya di seberang. Jadi wajarlah itu. Mereka mungkin merasa ya ibaratnya "kok pasarnya diganggu". Muhammadiyah sikapnya kan tebruka, jadi tidak bisa meminta Muhammadiyah harus ke sana semua dan sebalikanya. Saya juga tidak ingin Muhammadiyah semuanya harus ke Jokowi-JK, pilihan itu kembali ke masing-masing individu.

Apapun pilihannya, tetap warga Muhammadiyah?
Iya. Yang penting kedewasaan melihat persoalan. Jangan sampai menghujat ketika saya ambil pilihan ini dianggap macam-macam. Karena menurut saya juga siapa yang menghianat? Tidak ada. Muhammadiyah sendiri tidak menyatakan dukungan secara resmi organisatoris. Muhammadiyah memberikan kebebasan. Tidak ada yang salah menurut saya.

Apa bentuk dukungan relawan di RMI, apakah akan turut menjadi saksi di TPS nanti?
Kita memang akan memberikan kalau boleh saya katakan memberikan pencerahan. (RMI) Ini kan Matahari Indonesia, jadi memberikan pencerahan kepada masyarakat terutama tentang Jokowi-JK. Baik secara personal maupun programnya. Terus terang banyak sekali informasi yang sifatnya mendiskreditkan Jokowi-JK dengan fitnah macam-macam. Ini akan diclearkan ke masyarakat bahwa Jokowi-JK adalah sosok seperti ini (tidak seperti yang diinformasikan atau difitnah itu). Banyak masyarakat di bawah belum tahu atau perlu mendapatkan informasi itu.
Kedua, kita posisi relawan, bukan tim pemenangan resmi. Untuk saksi itu harus dari tim pemenangan resmi. Tapi kita siapkan sumber daya manusia. Kalau seandainya kesulitan merekrut saksi resmi, kita akan siap untuk membantu itu. Kalaupun sudah ada saksi resmi, kita akan ikut partisipasi menjaga agar TPS ini tidak dicurangi.
Kita sudah merumuskan strategi bahwa setiap TPs itu relawan RMI ikuti hingga tuntas. Kalau perlu mengawal hasil pemilu jangan sampai dicurangi.
Lagipula, posisi kita bukan pemegang pemerintahan. Mohon maaf, kalau kemudian mau curang lewat mana? Karena kita bukan dalam posisi menguasai alat negara. Justru yang kita khawatirkan yang kuasai alat negara, yang nanti memanfaatkan itu.

Yang menguasai alat negara mengklaim netral?
Makanya kita harap klaim netral itu benar-benar netral. Tidak lips service doang. Ini kita khawatirkan, jangan sampai alat negara dimanafaatkan. Mudah-mudahan TNI, Polri, PNS bisa memposisikan diri netral. Kita tetap waspada akan bergerak mendukung saksi resmi yang ditugaskan amankan TPS.

Harapan untuk Jokowi-JK kalau mereka terpilih?
RMI, tidak hanya sekedar mengantar Jokowi-JK jadi presiden dan wapres. Tapi kita akan kawal kebijakan Jokowi-JK sesuai dengan harapan rakyat. Oleh karena itu, RMI tidak berhenti begitu pemilu selesai. Kita akan kawal. Kita juga paham, dalam politik ini pasti ada juga penumpang gelap. Misalnya melihat nanti Jokowi-JK ini menang, kemudian tiba-tiba ambil posisi yang kemudian bisa jadi menelikung di tengah jalan, merusak agenda revolusi mental Jokowi-JK.
Kita akan kawal Jokowi-JK, paling tidak sampai periode selesai sehingga apa yang menjadi semangat Jokowi-JK di awal ini akan benar-benar tuntas dan menemukan hasilnya sampai pada cita-cita yang diharapkan bersama.

Mungkin RMI mau jadi parpol nanti?
Saya tidak berpikir ke sana. Tetapi intinya, kita akan melakukan pengawalan bagaimana agenda yang sudah ditetapkan Jokowi-JK ini tetap bisa kita kawal sampai pada hasil yang dirasakan masyarakat. (boy/jpnn)

http://www.jpnn.com/read/2014/07/03/243920/Berseberangan-dengan-Amien-Rais-

Wednesday, July 2, 2014

Muhammadiyah dan Lokalisasi di Surabaya



Koran Sindo, 2 Juli 2014, hal. 7 
Oleh Ahmad Najib Burhani*

Pada 18 Juni yang lalu, pemerintah kota Surabaya secara resmi menutup dua lokalisasi terbesar di kota itu, yaitu Dolly dan Jarak. Penutupan ini sebetulnya merupakan rangkaian terakhir dari proses penutupan seluruh lokalisasi di Surabaya yang sudah dimulai sejak Desember 2012. Berbeda dari dari proses penutupan lokalisasi di Dupak Bangunsari (Desember 2012), Tambak Asri (April 2013), Klakah Rejo (Agustus 2013), dan Sememi (Desember 2013) yang tak mengundang banyak liputan media, penutupan Dolly dan Jarak mengundang reaksi pro dan kontra cukup sengit di masyarakat dan mendapatkan liputan media yang cukup banyak.

Penentangan terhadap keberadaan lokalisasi itu telah lama dan sudah sering disuarakan berbagai elemen masyarakat, terutama ormas keagamaan. Namun penutupan itu baru bisa terjadi setelah walikota Surabaya, Tri Rismaharini, yang kebetulan dari PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) bergerak langsung. Alasan penutupan yang sering dikemukakan adalah kesehatan (penyebaran HIV/AIDS), moralitas (merusak masa depan anak dan keluarga), dan ekonomi (pengembangan industri dan kota). Kritik terhadap penutupan ini berkisar pada terciptanya prostitusi liar di luar lokalisasi dan menjamurnya prostitusi elit di hotel-hotel. Alasan lainnya mengacu pada hak bekerja orang yang selama ini mendapatkan nafkah dari keberadan lokalisasi, terutama karena penutupan itu dianggap mematikan industri seks rakyat dan mendukung industri seks kaum kapitalis.

Tulisan ini tidak menyoroti tentang kontroversi penutupan lokalisasi dan peran pemerintah dalam penutupan. Kemampuan dan wewenang penutupan secara resmi memang hanya dimiliki dan hanya bisa dilakukan oleh pemerintah. Namun banyak proses lain selama penutupan dan pasca penutupan yang tak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah. Karena itu, tulisan ini ingin melihat beberapa proses kultural yang dilakukan pihak swasta, dalam hal ini Muhammadiyah, dalam kaitannya dengan penanganan para PSK (Pekerja Seks Komersial) dan mantan PSK. Ini adalah isu yang jarang mendapat liputan media dan ini adalah medan yang seringkali pemerintah merasa kuwalahan.

Salah satu identitas yang melekat pada Muhammadiyah selama ini adalah sebagai gerakan yang cukup giat memberantas TBC (Takhyyul, Bid’ah, dan Churafat). Diantara beberapa praktek keagamaan yang berkaitan dengan TBC adalah praktek-praktek keagamaan lokal yang tidak memiliki landasan kuat dalam Al-Qur’an dan Hadist seperti slametan, ziarah kubur, dan tawasul.
Pemahaman seperti itu memang masih dipraktekkan oleh beberapa pengikut Muhammadiyah di beberapa daerah. Namun berbeda daerah lain, Muhammadiyah di Surabaya memiliki terjemahan dan penerapan yang unik terhadap doktrin purifikasi TBC. Gerakan purifikasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah Surabaya, terutama cabang Krembangan, lebih ditujukan pada purifikasi moral dan sistem sosial yang berupa praktek-praktek prostitusi.

Upaya yang dilakukan Muhammadiyah dalam penanganan, pembinaan dan pendampingan PSK dan mantan PSK sudah berlangsung sejak 2004 dengan dipelopori oleh ketua Muhammadiyah Krembangan, Arif An. Diantara program yang sudah dijalankan adalah berupa pemberian modal usaha cuci baju, warung kopi, toko kelontong; pemberian ketrampilan pembuatan keset dan menjahit; pelatihan mengaji dan pendidikan bagi anak-anak PSK; dan perawatan kesehatan. Ada sekitar 25 orang PSK yang saat ini menjadi binaan Muhammadiyah.

Purifikasi dalam bentuk penanganan PSK adalah sesuatu yang kurang lazim bahkan di Muhammadiyah sendiri dan pada awalnya mendapat tantangan yang cukup berat dari dalam Muhammadiyah dan juga masyarakat luar, termasuk PSK dan para pendukungnya. Dalam proses pembinaan, Arif An, misalnya, bercerita bahwa dia sudah sangat bersyukur jika PSK binaannya itu bisa berhenti dua bulan saja dari dunia prostitusi. Jika ada yang bisa bertahan tak kembali ke dunia prostitusi selama satu tahun padahal dia masih muda, maka itu merupakan sesuatu yang luar biasa. Tingkat keberhasilan kuantitatif dalam upaya ini, menurutnya, hanya sekitar 20 persen saja. Tapi upaya ini barangkali tak bisa sekadar dilihat dari kuantitas, tapi pada proses yang konsisten itu sendiri.

Beberapa mantan PSK menceritakan bahwa untuk keluar dari dunia prostitusi itu sangat berat dan butuh tekat yang kuat. Salah seorang PSK bercerita bahwa suatu hari temannya menelpon dia dan memberi tahu kalau dia baru mendapat uang banyak karena pelanggan lagi ramai dan dia mengajaknya untuk melayani tamu-tamu itu. Bujukan seperti ini membuat mantan PSK mudah kembali ke aktivitas prostitusi jika dia tak punya niat kuat untuk keluar dari dunia itu.

Apa yang dilakukan di Krembangan ini pada awalnya bahkan mendapat penentangan dari Muhammadiyah, terutama dari Aisyiah, sayap perempuan Muhammadiyah. Penentangan itu diantaranya karena wilayah dakwah ini sangat slippery (licin) yang membuat pelakunya mudah terpeleset dan jatuh. Alih-alih membantu para PSK keluar dari dunia prostitusi, banyak orang yang justru masuk terperosok ke dalamnya. Namun sekarang program ini mendapat dukungan penuh dari Muhammadiyah. Bahkan PCM Krembangan terpilih menjadi PCM percontohan di organisasi modernis Muslim ini.

Apa sebetulnya makna purifikasi sosial dalam kaitannya dengan prostitusi? Istilah purifikasi moral dengan subyek dunia prostitusi ini sebetulnya bukan berasal dari Muhammadiyah. Istilah ini dipakai oleh Phil Hubbard dalam artikelnya yang berjudul “Cleansing the metropolis: Sex work and the politics of zero tolerance”. Artikel itu terbit di jurnal Urban Stucies, volume 41, nomor 9, halaman 1687-1702. Hubbard mengkaji beberapa pemerintahan kota, terutama London dan Paris, dalam menangani lokalisasi dengan menerapkan kebijakan zero tolerance atau tak ada kompromi bagi lokalisasi. Istilah lengkap yang dipakai oleh Hubbard adalah “moral cleansing and purification”.

Peran Muhammadiyah memang tak sama dengan pemerintah kota Surabaya yang memiliki wewenang mengatur tata kota dan pengembangan ekonomi dengan menutup lokalisasi. Namun sikap zero tolerance itu juga ada di Muhammadiyah dan karena itulah organisasi ini menjadi pendukung kuat upaya penutupan berbagai lokalisasi di Surabaya. Salah satu pengurus Muhammadiyah Surabaya misalnya, tak mau mengakui prostitusi sebagai profesi dan karena itu ia tak bersedia menyebut mereka dengan istilah PSK. Ia memilih memakai istilah lama yang cenderung menghakimi yaitu, WTS (Wanita Tuna Susila). Cara pandang Muhammadiyah itu sebetulnya sealur dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia) wilayah Surabaya dan juga pemerintah Kota Surabaya. Salah satu juru bicara pemerintah, misalnya, menyebutkan bahwa prostitusi bukanlah profesi karena tidak ada pajak dan zakat dalam kegiatan ini. Pada spanduk resmi acara penutupan lokalisasi Sememi pun istilah yang dipakai adalah WTS, bukan PSK.

Proses purifikasi moral yang dilakukan oleh Muhammadiyah itu intinya diwujudkan dalam beberapa program, diantaranya adalah: Pertama, pendidikan bagi anak-anak PSK di sekolah Muhammadiyah tanpa ada diskriminasi. Proses ini dimaksudkan agar anak-anak itu tak meniru orang tuanya atau bahkan mengingatkan orang tuanya agar berhenti dari dunia prostitusi. Kedua, upaya pembelian wisma (brothel) dan mengalihfungsikannya menjadi tempat pendidikan atau kegiatan lain. Ketiga, dukungan kepada pemerintah untuk secara resmi menutup berbagai lokalisasi di Surabaya. Keempat, pemberian modal usaha dan pelatihan ketrampilan terhadap para PSK dan mantan PSK sehingga mereka bisa mandiri tanpa harus kembali ke dunia prostitusi. Selain itu, akan dilakukan pembinaan ruhani sehingga mereka konsisten keluar dari prostitusi. Kelima, mencoba mempengaruhi pemerintah desa dan pejabat pemerintah di tingkat bawah untuk mendukung upaya penutupan. Keenam, mencarikan suami bagi PSK atau mantan PSK sebagai upaya praktis menghentikan praktek prostitusi.
--oo0oo--

*Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).

Tuesday, July 1, 2014

10 Tahun Maarif Institute: ‘For Culture and Humanity’ atau ‘For Morality and Humanity’?


Oleh Ahmad Najib Burhani

Banyak orang yang telah berjasa bagi keberadaan Maarif Institute selama satu dekade ini. Namun menurut saya dua nama harus diberikan kredit pertama kali. Mereka adalah Buya Ahmad Syafii Maarif dan Kang Moeslim Abdurrahman.

Untuk Buya, selain namanya dipakai sebagai nama dari institusi ini, yang lebih penting lagi adalah visi perjuangannya yang dipakai sebagai motto dari Maarif Institute, yaitu ‘For Culture and Humanity’. Namun demikian, menurut saya, motto ini agak terlalu lebar dan umum untuk menggambarkan visi hidup dan perjuangan Buya. Orang akan bertanya-tanya, “Kultur seperti apakah yang diusung oleh Maarif Institute?” Pertanyaan ini tak akan ditemukan jawabannya dengan melihat melihat motto itu.

Motto yang lebih pas bagi Maarif Institute barangkali bukan ‘For Culture and Humanity’, tapi ‘For Morality and Humanity’. ‘Morality’ dan ‘humanity’ adalah dua kata kunci jika orang hendak membaca atau mempelajari sosok yang bernama Ahmad Syafii Maarif. Persoalan moralitas yang menjadi perhatian Buya sepanjang hidupnya dapat dikategorikan dalam tiga kelompok: 1) moralitas bernegara, 2) moralitas dalam pergaulan antar-umat beragama atau antar umat yang memiliki keyakinan dan identitas berbeda, dan 3) moralitas dalam pergaulan dengan mereka yang memiliki agama dan keyakinan yang sama.

Untuk moralitas bernegara, Buya Syafii selalu kritis terhadap ketimpangan moralitas para penguasa seperti terlihat pada budaya korupsi dan perlombaan untuk hidup bermewah-mewah bagi sebagian pejabat. Buya mengistilahkan mentalitas pejabat kita sebagai mentalitas ikan lele, dimana semakin kotor dan keruh tempat mereka hidup, mereka justru semakin senang. Budaya korupsi ini telah membuat mereka ‘rabun ayam’ atau hanya memiliki visi yang pendek, sekadar bagaimana menjadi kaya dan terkenal secara cepat. Mereka tidak bisa melihat jauh ke depan dan membawa bangsa ini ke arah yang jelas.

Untuk moralitas antar-agama, Buya selalu menekankan bahwa visi agama adalah untuk rahmatan lil ‘alamin. Karena itu, prinsip moral dalam bergaul dengan orang yang berbeda agama adalah saling menyayangi dan berlomba dalam kebaikan. Buya menganggap non-Muslim yang berjuang demi keadilan dan kemanusiaan lebih sebagai saudaranya daripada sesama Muslim yang menindas umat manusia. Masih dalam kategori moralitas antar-agama, Buya melihat pemaksaan agama, baik secara langsung maupun melalui konstitusi, seperti pemaksaan Piagam Jakarta, sebagai pelanggaran moralitas dalam pergaulan antar agama.

Untuk moralitas sesama Muslim, Buya selalu melawan penggunaan agama untuk premanisme atau yang diistilahkannya sebagai ‘preman berjubah’. Buya selalu menekankan prinsip ukhuwah dan tawadu’ dalam bergaul antara sesama umat Islam; bahwa masing-masing kelompok tidak boleh dengan mudah menuduh umat Islam lain sebagai kafir, murtad, dan musyrik. Pendeknya, bagi Buya moralitas bukanlah semata persoalan cara berpakaian dan pornografi, tapi lebih pada moralitas yang lebih besar, yakni bagaimana hidup bernegara, beragama, dan bermasyarakat.

Sementara untuk prinsip ‘humanity’, Buya Syafii sering mengutip surat Al-Ma‘un. Buya tidak memakna humanity semata dalam konteks charity, tapi lebih sebagai perlawanan terhadap ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Buya menjelaskan bahwa perbedaan antara tauhid dan polytheisme terletak bukan sekadar pada persoalan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tapi lebih penting dari itu tauhid harus dibuktikan sebagai alat perlawanan terhadap eksploitasi, keserakahan, dan ketidakadilan. Semua tindakan buruk ini, bagi Buya, adalah wujud daripada kemusyrikan kepada Tuhan. Dalam berbagai ceramah, tulisan, dan aktivitasnya, Buya berkali-kali menegaskan perlawanannya terhadap penindasan TKW (Tenaga Kerja Wanita), kebohongan-kebohongan yang dilakukan pemerintah, dan juga gaya hidup bermewah-mewah sebagian orang sementara sebagian besar penduduk negeri ini hidup dalam kelaparan.

Kehadiran Kang Moeslim atau lebih tepatnya misi yang diembang Kang Moeslim ketika memimpin Maarif Institute lebih ditekankan pada upaya mengejawantahkan prinsip ‘humanity’ tersebut. Namun sebetulnya ada perbedaan pola antara Buya Syafii dan Kang Moeslim dalam mengimplementasikan prinsip ‘humanity’ atau ‘al-Ma‘un’ ini. Kang Moeslim cenderung ke arah Marxist dan menerapkan strategi ala NGO dalam melawan penindasan terhadap orang miskin, buruh, tani, dan nelayan. Kang Moeslim selalu berpikir tentang struktur kemiskinan, kelas dan dosa sosial, matrix penindasan, dan seterusnya. Karena itu, untuk melawannya, Kang Moeslim perlu membentuk jaringan, menciptakan discourse, dan mencoba mengubah atau menguasai struktur. Itulah saya kira salah satu alasan mengapa ia mendirikan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) pada tahun 2003. Kang Moeslim berharap dengan JIMM ini prinsip ‘humanity’ bisa terlaksana dengan terciptanya jaringan, discourse, dan struktur. Peran Buya dalam proyek ini, sebagaimana yang diharapkan Kang Moeslim, adalah sebagai teolog dan idolog Al-Ma’un. Dan memang itulah yang dilakukan Buya selama ini karena beliau lebih sebagai pemikir dan ulama, daripada sebagai orang lapangan.

Kalau dilihat dari konteks sejarah, apa yang dicanangkan oleh kombinasi Buya dan Kang Moeslim itu adalah suatu strategi baru dalam penerjemahan dan pengamalan Al-Ma’un. Setidaknya ada dua pola penerapan Al-Ma’un dalam sejarah Muhammadiyah. Yang pertama adalah gaya Ahmad Dahlan yang mendirikan sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan (schooling, healing, dan feeding). Yang kedua adalah pola yang diterapkan oleh Abdul Mukti Ali dengan masuk ke pemerintah dan bergabung dengan proyek developmentalisme atau pembangunan pada tahun 1970-an. Dalam pola kedua ini, pemberantasan kemiskinan diantaranya dilakukan dengan proyek KB (Keluarga Berencana) dan memaknai agama yang bisa mendukung perkembangan ekonomi. Berbeda dari kedua pola itu, apa yang dilakukan Kang Moeslim ditujukan kepada mereka yang selama ini terpinggirkan secara sosial atau people of subordination seperti para buruh, tani, dan juga pekerja seks. Caranya adalah melalui tiga metode tersebut di atas; jaringan, discourse, dan struktur.