Friday, November 27, 2015

Dr Said Tuhuleley, Mengapa Begitu Cepat Pergi?



Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Sabtu sore, 6 Juni 2015, saya sempat menjenguk sahabat kita yang sedang terbaring di R.S. PKU Muhammadiyah Gamping Jogjakarta setelah malam sebelumnya Bung DR. Haedar Nashir, Ketua PP Muhammadiyah, memberi tahu tentang sakitnya tokoh fenomenal kelahiran Saparua (Ambon) pada 22 Mei 1953 ini. Di kamar pembaringan yang ditunggui secara bergantian oleh staf MPM (Majelis Pengambangan Masyarakat PP Muhammadiyah, ada pula beberapa tamu yang sengaja datang dari Banjarnegara untuk menjenguk DR Said Tuhuleley. Para tamu ini tidak lain dari aktivis binaan MPM di bidang pertaniaan, peternakan, dan perikanan yang memang sudah tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Nama Said melekat sangat kuat dengan MPM yang diketuainya sejak 10 tahun yang lalu.

Kepergian Said pada 9 Juni 2015 untuk selama-lamanya terasa menggoncangkan Muhammadiyah, sebuah gerakan Islam yang dicintainya dengan sepenuh hati. Harapan kita semua tentu agar dari rahim Muhammadiyah akan lahir 1000 Said yang lain dari berbagai bumi Nusantara. Said juga dikenal sebagai penulis reflektif yang handal, di samping sebagai dosen tetap Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Pada 19 Desember 2014, beberapa bulan sebelum wafat, Universitas Muhammadiyah Malang telah memberi Said gelar Doktor Kehormatan (DR HC), sesuatu yang memang sangat pantas disandangnya.

Doktor Kehormatan yang pertama ini diberikan oleh Program Studi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, khususnya di bidang pemberdayaan masyarakat, sebuah bidang yang langsung bersentuhan dengan nasib rakyat miskin. Said adalah simbol pembela sejati rakyat miskin dan terlantar itu. Maka sebenarnya yang berduka bukan hanya kalangan Muhammadiyah, tetapi seluruh rakyat kecil Indonesia yang belum sempat merasakan apa makna kemerdekaan bangsa. Said menghayati betul apa dampak kemiskinan bagi manusia. Itulah sebabnya seluruh energi yang dia miliki dikerahkan untuk mengembalikan martabat para fakir miskin itu agar sejajar dengan manusia lain yang telah merasakan kondisi hidup yang lebih baik.

Masih di pembaringan PKU Gamping, Said malah sempat bercerita tentang kunjungan barunya ke Sorong, Papua. Katanya, di sana ada suku penganut Islam, tetapi masih buas. Komunitas inilah yang dikunjungi Said untuk diberdayakan di bidang pertanian dan peternakan. MPM memberikan empat ekor sapi untuk dikembangbiakkan. Lalu apa yang terjadi? Sambil terkekeh kecil Said mengatakan: “Dua ekor sapi mati, karena tidak diberi minum. Dikiranya sapi itu tidak perlu minum.” Demikianlah Said menggambarkan suka duka dalam pemberdayaan masyarakat. Ada banyak banyak anekdot yang berlaku, di samping kisah sukses yang berjibun. Saat mendengar anekdot itu, tamu yang hadir pada 6 Juni itu juga turut terkekeh. Said dalam kondisi lemah itu ternyata tidak kehilangan daya humornya. Dan humor itu tidak akan kita dengar lagi untuk selama-lamanya.

Said pergi untuk tidak kembali. Semua pelayat berhati duka, dan duka itu dalam sekali. Dimakamkan di pekuburan Karang Kajen pada 10 Juni siang, hanya berjarak sekitar tiga meter dari makam Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah yang wafat pada tahun 1923. Mungkin saja memang secara kebetulan berkubur berdekatan dengan makam Dahlan, tetapi kita yang melihat merasa senang sekali, karena Said dengan energi yang dimilikinya telah bergerak pada sebuah ranah yang selama ini belum menjadi arusutama Muhammadiyah. Nama Said pasti sudah dicatat dengan tinta emas dalam sejarah MPM yang digelutinya sekian lama sampai maut datang menjemput ruhnya. Semoga Bung Said mendapatkan ḥusnu al-khâtimah, amin, ya Allah! Entah berapa kali umat pelayat melakukan salat secara bergantian untuk jenazah Said yang disemayamkan di masjid kantor PP Muhammadiyah Jogjakarta, terakhir disalatkan lagi di masjid dekat makam Karang Kajen. Said yang tidak sempat berumah tangga telah mengabdikan sebagian besar usia dewasanya untuk beramal saleh sebagai ujud dari iman yang dimilkinya sejak kecil.

Rupanya Said ini telah punya para aktivis yang fanatik terhadap dirinya, karena kinerja kepemimpinannya yang efektif dan sungguh-sungguh atas amanah yang diberikan kepadanya oleh PP Muhammadiyah. Para aktivis memanggilnya Bang Said, sebuah panggilan hormat dan akrab. Bila ditengok dari gaya kepemimpinannya, Said tergolong dalam kategori seorang petarung sejati. Keberhasilannya membina dan mengembangkan MPM adalah bukti nyata dari kepemimpinan yang dengan elok telah mengawinkan antara idealisme untuk membela rakyat kecil dengan kerja nyata yang langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Batin Said sudah lama merintih membaca dan mengamati ketimpangan sosial ekonomi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Data tahun 2013 menunjukkan bahwa masih ada sekitar 46% rakyat miskin Indonesia jika ukuran yang dipakai adalah perbelanjaan dua dolar (sekitar Rp. 26.000) per kepala per hari. Dengan demikian, dari 253 juta rakyat Indonesia, sekitar 120 juta masih berada dalam kondisi miskin. Lautan kemiskinan ini telah menantang MPM untuk melawannya dengan energi yang belum seberapa. Tetapi energi itu pasti akan berlipat-lipat yang diasuh dan dikembangkan oleh para kader militan bentukan Said.

Sekiranya MPM rintisan Said ini dikembangkan lebih jauh secara dinamis dan ekspansif dengan dukungan penuh PP Muhammadiyah, maka ujungnya sudah kelihatan: MPM akan muncul sebagai pilar ketiga gerakan Muhammadiyah berdampingan dengan ranah pendidikan dan kesehatan yang sudah ditandanginya sejak dasa warsa kedua abad ke-20. Pendidikan mencerahkan otak dan hati manusia, kesehatan untuk menjaga fisik manusia, maka MPM langsung berurusan dengan perut manusia, suatu ranah yang baru mulai digarap Muhammadiyah dengan lebih sungguh-sungguh di bawah komando Said. Jika kita mau meberi gelar tambahan selain Doktor HC, Said adalah Bapak MPM, sebab di bawah kepemimpinannya lembaga ini telah dikenal secara luas di seluruh Nusantara.

Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari keteladanan hidup Said ini bagi Muhammadiyah? Tidak muluk-muluk, sederhana saja, tetapi bisa punya dampak sangat dahsyat. Suatu amal perbuatan yang semula tampaknya kecil jika dikerjakan dengan sungguh-sungguh hampir sudah dapat dipastikan akan berbunga rimbun dan kemudian berubah menjadi buah lebat. Filsafat amal ini terpampang dalam seluruh karier Said dalam Muhammadiyah. Sebagai perbandingan, pembenahan yang dilakukan oleh Deni Asyari dan kawan-kawan sejak 18 bulan yang lalu pada majalah SM (Suara Muhammadiyah) juga telah melahirkan fenomena serupa. Dari dana segar SM yang semula tidak lebih dari Rp. 1.000.000.000, kini telah berlipat menjadi Rp. 8.000.0000.0000 dalam tempo yang relatif singkat. Kuncinya: kerja keras, sungguh-sungguh, jujur, kompak, dan pembenaan total pada organisasi dan manajemen. Dari fakta ini saya berkesimpulan bahwa semua bidang amal-usaha Muhammadiyah di mana pun di Nusantara pasti dapat menjadi besar dengan berpedoman kepada kiat kunci itu. Nama-nama seperti Said, Deni, dan nama-nama hebat lain yang bergerak dalam Muhammadiyah adalah testimoni nyata tentang semuanya ini.

Akhirnya, selamat jalan Bung Said, kami yang masih hidup semoga bisa belajar dari semua kinerja tulus dan terarah dari Bung Said yang gaungannya tidak mungkin lapuk karena hujan dan tidak lekang karena panas. Apa yang telah dilakukan Said adalah perwujudan kebenaran yang bermanfaat kepada manusia banyak. Sepotong ungkapan al-Qu’ran dalam surat al-Ra’du ayat 17 sesuai kiranya dikutip di sini yang maknanya adalah: “Dan apa pun yang bermanfaat kepada manusia [sebagai lambang kebenaran] akan abadi di bumi. Demikianlah cara Allah menjelaskan beberapa perumpamaan.” Said akan dikenang sebagai anak manusia yang telah mewariskan sesuatu bermanfaat untuk semua.

(Khusus ditulis untuk buku Mengenang Jejak Langkah Said Tuhuleley, Juni 2015)
Jogjakarta, 1 Ramadhan 1436/18 Juni 2015


Wednesday, November 25, 2015

Muhammadiyah dan Tantangan Global

Selasa, 24 November 2015, 16:04 WIB

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Memasuki abad ke II dari khidmah yang dilakukan oleh Muhammadiyah,  telah membawa konsekuensi pengembangan bahkan pembaruan peran dan keberadaannya. Kehadirannya sebagai "global civil society" dalam aras "global (good) governance", mensyaratkan Muhammadiyah untuk mengembangkan wilayah tajdid dan ijtihad yang menjadi watak "distinctive"nya, sebagai gerakan Islam, dakwah dan amar ma'ruf nahi munkar. Oleh karena masyarakat di mana Muhammadiyah kini berada, adalah masyarakat yang tengah bergerak dari masyarakat informasi (information society) Menuju kepada Masyarakat Ilmu (Knowledge Society).

Di abad kedua dari keberadaannya, Muhammadiyah dipanggil untuk menggeluti wilayah peradaban yang lebih luas dan mendalam. Karena di dalam pergumulan pembinaan peradaban utama ini, diperlukan pengkajian yang lebih mendalam dalam wilayah nilai, filsafat ilmu dan reformasi pendidikan. Serta kerja peradaban yang hollistik.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kurshid Ahmad:  "The most distinct and defining aspect of Muslim civilization is that is based on faith and is inspired by a vision of Man, Society, and Destiny based on Devine Guidance. It is characterized by the integration of the spiritual with the material, and the moral with the mundane. Life is one organic whole".

Integrasi antara agama dan ilmu pengetahuan merupakan landasan yang harus dibangun bersama bagi pembinaan peradaban utama. Suatu tugas keummatan yang harus terus memanggil kita bersama untuk lebih bersungguh-sungguh menggeluti persoalan strategis dan berjangka panjang ini untuk membina perdaban utama yang universal, yang melintasi ruang dan zaman : "Religion and science or scientific activities are regarded as the two phenomena that may elevate a culture to the level of universality".

Pada saat ini masyarakat dunia, dalam beraneka peringkatnya, sedang dalam proses peralihan menuju Masyarakat Pengetahuan (Knowledge Society). Yaitu masyarakat yang menghargai tinggi pengetahuan, sebagai hasil kegiatan di mana setiap orang berhak untuk mengaksesnya. Dan bukan hanya menjadi monopoli manusia yang berkecimpung di lembaga pendidikan, pengkajian dan penelitian saja (nonexcludable public good).

Pengetahuan adalah hak setiap orang, di mana pendidikan merupakan hak setiap orang, yang akan membentuk masyarakat pengetahuan (Knowledge Society). Aktivitas ekonomi berbasis pengetahuan (Knowledge Economy) dapat terbentuk sebagai sebuah pencapaian kolektif peradaban (Civilizational Collective Achievement) jika terbina masyarakat pengetahuan. Dalam situasi seperti itu maka akses terhadap pengetahuan dan pembentukan gaya hidup berbasis pengetahuan itu, adalah dengan akses terhadap pendidikan. Perkembangan "Industri Kreatif" (salah satu kegiatan ekonomi berbasis pengetahuaan) yang semakin menonjol akhir-akhir ini adalah merupakan kemampuan untuk menciptakan sesuatu dari yang belum ada dan penemuan karya kretif (Create/innovate), disseminasi dan pemanfaatannya dalam masyarakat. Aktivitas ini sangat ditunjang oleh Pengetahuan dan Imajinasi   pelakunya.

Banyak Cendikiawan Muslim dan pengamat sosial-keagamaan yang menyatakan bahwa abad XX merupakan abad kebangkitan Islam, khususnya dari dunia Timur. Sebagaimana prediksi yang telah dikemukakan oleh Fazlur Rahman bahwa kebangkitan Islam akan muncul dari negara-negara Timur, dan lebih-lebih pada negara yang mengembangkan sistem demokratisasi. Indonesia, kata Rahman adalah "bangsa yang berwatak demokratis; karena itu, hanya penafsiran Islam yang betul-betul demokratislah yang akan berhasil di sana." Hanya dengan Iklim demokrasilah suhu kebangkitan Islam akan tumbuh dan berkembang dengan cepat. Sampai saat ini, belum ada satu negara pun yang menyamai kemajemukan Indonesia, termasuk organisasi keagamaannya.

Mulai abad XX, kebangkitan Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat spektakuler dengan ditandai munculnya organisasi Islam (Ormas Islam). Organisasi keagamaan ini lahir dari akumulasi produk pemikiran yang berbeda-beda. Gerakan keagamaan tersebut diantaranya; seperti Sarikat Islam, Al-Irsyad, Persatuan Islam, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama'. Semuanya adalah gerakan keagamaan yang memiliki trade mark dan orientasi yang agak berbeda satu sama lain. Dari sekian banyak gerakan tersebut di atas, Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi yang paling diperhitungkan dalam pentas nasional. Hal ini terbukti dengan banyaknya tokoh Muhammadiyah yang terlibat dalam panggung politik dan akademis. Tidak diragukan lagi, para tokoh pemikir kenamaan yang sekarang muncul banyak dari kalangan Muhammadiyah. Golongan terdidik ala Muhammadiyah telah memberikan andil besar terhadap kelangsungan pembangunan bangsa dan negara.

Lahirnya gerakan keagamaan ala Muhammadiyah di atas panggung sejarah keagamaan Islam di Indonesia merupakan peristiwa sosial-budaya biasa. Yakni peristiwa sosial-budaya bernafaskan keagamaan Islam, yang merupakan "eksperimen sejarah" yang cukup spektakuler, khususnya untuk ukuran saat itu.

Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah kala itu adalah sinkritisasi dan tekanan ideologi luar yang sengaja dipaksakan masuk ke dalam negeri Indonesia. Tantangan yang tumbuh dari dalam (intern), bagi Muhammadiyah merupakan representasi dari komitmennnya dalam menderukan gerakan amar ma'ruf nahi mungkar, sedangkan tantangan dari luar (ekstern) pada diri Muhammadiyah merupakan sebuah pengesahan terhadap tajdid.

Faktor-faktor yang turut melahirkan gerakan Muhammadiyah kala itu memang sangat komplek. Sedikitnya ada dua faktor yang ikut berpengaruh dalam menjelaskan lahirnya Muhammadiyah. Pertama, faktor internal bahwa kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah respons terhadap tantangan ideologis yang telah berlangsung lama dalam masyarakat jawa. Dalam masyarakat jawa, kondisi kehidupan keagamaan umat Islam secara historis dipengaruhi oleh budaya keagamaan sebelumnya. Agama Hindu dan Budha adalah warisan budaya yang sangat kuat di masyarakat jawa. Prilaku keagamaan jawa, khususnya di daerah pedalaman masih kental dengan budaya sinkritisme, yakni pencampur adukan  dari berbagai unsur nilai agama. Lebih-lebih, ada sebagian masyarakat jawa masih memistikkan sesuatu (tahayyul dan khurafat) yang dianggap memiliki kekuatan supranatual. Di samping itu, sebagain umat Islam juga sering menambah-nambahi dalam masalah ibadah atau yang disebut bid'ah, yakni praktek keagamaan yang tidak ada dasarnya yang jelas baik dari alquran maupun as-sunnah. Keyakinan inilah yang membuat Muhammadiyah benar-benar tertantang untuk melakukan pemahaman keagamaan yang lurus dan benar sesuai doktrin Islam yang sesungguhnya.

Kedua, faktor eksternal bahwa kelahiran Muhammadiyah didorong  oleh tersebarnya pembaharuan Timur Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama abad 20.[iii] Seperti kita ketahui, bahwa Islam pasca jatuhnya Bagdad pada abad 13 Umat Islam mengalami kemunduran dalam berbagai persoalan. Sehingga baru pada abad 19 umat Islam mulai ada gagasan baru yang agak menggembirakan. Meskipun abad 13, ada seorang tokoh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Jauziyah sebagai tokoh peletak dasar ide pembaharuan, tetapi hasilnya pun juga belum signifikan. Baru mulai abad 19 tokoh-tokoh pembaharu mulai melakukan pembenahan dibidang keagamaan dan pemikiran. Seperti Muhamad ibn Abd al-wahab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh yang kemudian dilanjutkan oleh murid-murid mereka. Semua gagasan dan ide yang dicetuskan para tokoh pembaharu tersebut lambat laum ikut mempengaruhi perkembangaan keagamaan dipenjuru dunia, termasuk wilayah Indonesia.

Sementara itu ada faktor lain yang juga lebih penting yang ikut memainkan peran dalam mendukung kelahiran Muhammadiyah, faktor ini tidak sering disebut oleh para sarjana, yaitu penetrasi dalam misi Kristen di negara ini serta pengaruh besar yang telah ditimbulkannya. Meskipun oleh para sarjana dianggap tidak penting, harus tetap diakui bahwa faktor ini merupakan yang terpenting dari semua faktor yang telah mendorong KH. A. Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah pada tahun 1912 M.

Menurut Alwi Shihab ada dua alasan pokok yang menyebabkan para sarjana Indonesia agak menyepelekan "faktor misi Kristen" ini. Alasan pertama adalah keengganan mereka untuk membahas masalah yang dapat menimbulkan pertentangan tersembunyi antara kaum Muslim dan kristen di Indonesia. Alasan kedua, kehati-hatian mereka yang berusaha untuk tidak mengganggu kepekaan pemerintah yang berlebihan yang menyangkut berbagai isu yang berada dalam katagori sara (suku, agama ras dan antargolongan). Hal ini menjadi penting khusunya ketika isu tersebut dihubungkan dengan Kristenisasi sebab hal ini dapat digunakan untuk memanas-manasi opini publik atas dasar bahwa Islam telah dan sedang diancam oleh Kristen. Oleh pemerintah, yang memang sangat berkepentingan mencegah munculnya persoalan dan menghindarkan perselisihan di antara masyarakat beragama, kemungkinan munculnya berbagai isu sara, yang bisa memicu ketegangan di kalangan masyarakat benar-benar dihindari.

Dalam hal ini agaknya pemerintah juga memainkan peranan dalam menyembunyikan gejala bahwa Kristenisasi juga berpeluang untuk menyerang Islam. Hubungan Muslim-Kristen yang diciptakan oleh pemerintah, nampaknya hanya sebagai upaya menjaga keamanan, sehingga kalangan Kristen memperoleh keuntungan yang sangat signifikan dalam perkembangannya di Indonesia. Indikator ini bisa kita tilik bahwa perkembangan umat Kristen kian tahun kian bertambah besar, sementara umat Islam tidak terlalu signifikan dalam mengimbangi proses pertumbuhan itu. Misalnya, pada tahun 1931, umat Kristen di Indonesia hanya berkisar 2,8 persen, pada tahun 1971, meningkat menjadi 7,4 persen dan 9,6 persen pada tahun 1990. Peningkatan jumlah pemeluk Kristen ini, yang tidak bisa dijelaskan sebagai sebuah pertumbuhan yang alamiah, telah menimbulkan kritik keras terhadap pemerintah diberbagai kantong Islam, khususnya pada dekade 1970-an. Pemerintah dipandang terlalu lunak terhadap misi Kristen.

Salah satu ciri yang cukup menonjol dalam gerakan Muhammadiyah adalah gerakan Purifikasi (pemurnian) dan Modernisasi (pembaruan) atau dalam bahasa Arab disebut'tajdid', dua hal ini diibaratkan sebuah mata uang dengan dua permukaan yang sama nilainya. Namun kedua ciri tersebut secara harfiah dan formulasinya memiliki perbedaan yang cukup mendasar.

Pada mulanya, Muhammadiyah dikenal dengan gerakan purifikasi, yaitu kembali kepada semangat dan ajaran Islam yang murni dan membebaskan umat Islam dari Tahayul, Bid'ah dan Khurafat. Cita-cita dan gerakan pembaruan yang dipelopori Muhammadiyah sendiri sebenarnya menghadapi konteks kehidupan keagamaan yang bercorak ganda; sinkretik dan tradisional. Di Kauman, K.H. Ahmad Dahlan berdiri ditengah-tengah dua lingkungan itu. Di satu pihak, ia menghadapi Islam-sinkretik yang diwakili oleh kebudayaan Jawa, dengan Kraton dan golongan priyayi sebagai pendukungnya; dan di pihak lain menghadapi Islam-tradisional yang tersebar dipesantren-pesantrennya.

Dalam Muhammadiyah, purifikasi adalah gerakan pembaruan untuk memurnikan agama dari syirk yang pada dasarnya merupakan rasionalisasi yang berhubungan dengan ide mengenai transformasi sosial dari masyarakat agraris ke masyarakat industrial, atau masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Dilihat dari segi ini sangat jelas bahwa Muhammadiyah telah memberikan suatu ideologi baru dengan suatu pembenaran teologi industrial, dan modern. Tampaknya Muhammadiyah memang mengidentifikasi diri untuk cita-cita semacam itu. Upaya Muhammadiyah untuk melakukan persiapan ke arah transformasi itu misalnya adalah dengan melepaskan beban-beban kultural yang sampai sejauh itu dianggap dapat menghambat kemajuan. Usaha pemurnian agama untuk membersihkan Islam dari praktek-praktek syirk, takhayul, bid'ah dan khurafat, merupakan bukti yang menjelaskan itu.

Muhammadiyah berusaha mendongkel budaya Islam sinkritik dan Islam Tradisional sekaligus, dengan menawarkan sikap keagamaan yang lebih puritan. Gerakan "pemurnian" (purifikasi) berarti rasionalisasi yang menghapus sumber-sumber budaya lama untuk digantikan budaya baru, atau menggantikan tradisi lama dengan etos yang baru. Muhammadiyah tampak sekali dengan sadar melakukan pelbagai upaya pembaruan demi mencapai cita-cita transformasi sosialnya itu.

Perlu digaris bawahi terlebih dahulu di sini bahwa program purifikasi (Tanfizdu al-aqidah al-Islamiyah) adalah ciri yang cukup menonjol dari Persyarikatan Muhammadiyah generasi awal, dan hingga sampai saat sekarang ini. Namun harus disadari pula bahwa program purifikasi memang lebih terfokus pada aspek aqidah (metafisik).[vii]Pemberantasan TBC (Takhayul, Bid'ah dan Churafat) merupakan respon konkrit Muhammadiyah terhadap Budaya setempat yang dianggap menyimpang dari aturan aqidah Islamiyah.

Proses Islamisasi yang dilakukan Muhammadiyah tidak henti-hentinya menderukan gerakan dakwah. Meminjam analisa Kuntowijoyo bahwa Muhammadiyah melakukan bentuk rasionalisasi Islam maupun Jawaisme. Pada waktu itu banyak sekali kepercayaan masyarakat yang mendekati syirk, bahkan syirk terang-terangan. Kebiasaan masyarakat Islam tradisional berupa meninta-minta restu pada makam-makam keramat, sihir memelihara jin, dan menggunakan berbagai bentuk jimat tidak sesuai dengan gagasan kemurnian Islam. Kepercayaan masyarakat Jawa waktu itu berupa mbaurekso tempat-tempat keramat berupa gunung, sungai, mata air, pohon, batu, dan gua. Begitu juga kepercayaan pada lelembut penjaga desa, kuburan, rumah, sawah, dan tempat-tempat lain. Orang jawa juga percaya pada bermacam primbon, laku misalnya, mutih (berpantang garam), dan mendhem (dikubur). Demikian pula bermacam-macam ajian,petung (hari baik-buruk), jampi-jampi, dan perdukunan. Semuanya itu adalah bentuk antroposentisme yang ateis dan irasional. Dengan semua yang gaib kepada termenologi al-quran, yaitu makhluk yang bernama jin, orang akan terbebas dari perilaku yang tahayyul. Pengakuan bahwa Tuhan adalah Maha pelindung membebaskan orang dari konsep mantra yang mekanistis. Dan kerena Tuhan Maha Pelindung hanya dapat diseru dengan shalat, do'a, dan zikir, akibatnya ialah adanya sistem pengetahuan teosentris. Sementara itu Islam menekankan ikhtiar yangrasional, maka yang terjadi adalah rasionalisasi.

Selanjutnya, Muhammadiyah juga melakukan demistifikasi. Bahwa sesuatu yang berbau mistik harus dijauhkan dari sikap umat Islam keseharian dengan cara mengubah sesuatu yang berasal dari sufisme menjadi akhlak. Sebab konsep akhlak menjadikan agama tidak kontemplatif. Sufisme rasional menyebabkan ketergantungan, sebab seorang guru (mursyid) adalah perantara (wasilah) bagi murid-muridnya. Begitu juga Muhammadiyah mengajarkan etos kerja, sebagai sebuah upaya konkrit yang dapat dirasakan hasilnya. Upaya inilah yang disebut oleh Klifford Geertz sebagai garakan tranformatif, yakni perubahan dari kondisi masyarakat yang agraris (deso) menuju masyarakat modern, plural atau kota. Dari pendapan ekonomi rendah menuju pendapatan ekonomi yang berkecukupan. Karena itu, Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan modernis, atau dalam kata lain, Muhammadiyah sebagai gejala perkotaaan.

Gerakan pemurnian agama oleh Muhammadiyah nampaknya diikuti dengan beban-beban kultural. Keutuhan masyarakat dan pemerataan pendapatan penduduk desa yang selama ini terselengara upacara tahlil, barzanji, atau kenduri dalam masyarakat Islam tradisional mulai terancam oleh gerakan puritanisasi itu. Begitu juga pemberantasan syirk yang berupa keyakinan-keyakinan masyarakat desa seperti konsep mengenai ''sing mbau rekso" juga mulai mengguncang tertib masyarakat desa karena keyakinan pada kekuatan-kekuatan supernatural semacam itu sangat berkaitan dengan konsep-konsep mengenai ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan desa.

Lebih lanjut, Kuntowijoyo menjelaskan bahwa upaya pemurnian yang dilakukan Muhammadiyah telah membawa resiko dan biaya sendiri. Misalnya, gejala individualisme. Hilangnya bentuk budaya yang mengikat masyarakat menjadi unit yang utuh seperti tampak dalam kesatuankesatuan masyarakat desa yang mempunyai sistem pemerataan ekonomi, pemukukak solidaritas, dan kerja sama, telah melonggarkan ikatan sosial masyarakat. Tentu pelonggoran ikatan desa bukan hanya akibat rasionalisasi dari gerakan Muhammadiyah saja, meskipun Muhammadiyah justru memberikan sanksi ideologis berupa pembenaran agama terhadap pelonggaran ikatan itu. Individualisme yang sepatutnya menjadi ciri masyarakat kota masuk pula ke desa-desa, kadang-kadang tanpa ganti rugi yang memadahi hingga menimbulkan keretakan desa; individualisme semacam itu juga tampak dalam pola tingkah laku alumni sekolah Muhammadiyah, yaitu tidak adanya ikatan antara guru-murid, sekolah alumni, dan alumni-alumni. Memasuki sekolah Muhammadiyah, seperti juga memasuki sekolah lain, lebih merupakan hubungan berdasarkan kontrak daripada hubungan berdasarkan nilai atau tradisi.

Pola pendidikan pesantren, hubungan antara murid-guru, murid-pesantren, dan murid-murid, sangat erat. Lebih-lebih lagi jika diingat bahwa dalam lingkungan budaya Islam tradisional, ikatan yang erat itu juga mempnyai akar budaya yang kuat. Dalam konteks ini, maka gerakan purifikasi Muhammadiyah ternyata mengakibatkan hilangnya tradisi budaya. Lalu pertanyaan sekarang adalah apakah Muhammadiyah masih melakukan gerakan purifikasi? Ataukah justru terpurifikasi oleh arus global yang mengelilinginya?

Gerakan purifikasi Muhammadiyah sampai saat ini masih melakukan penguatan dan penyadaran terhadap pola kehidupan manusia. Gerakan yang tidak kalah pentingnya adalah penajaman tauhid. Karena formulasi tauhid adalah terletak pada realitas sosial. Apapun bentuknya, tauhid menjadi titik sentral dalam melandasi dan mendasari aktivitas. Tauhid harus diterjemahkan ke dalam realitas historis-empiris. Ajaran agama harus diberi tafsir baru yang lebih konstektual dan elaboratif sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Tauhid harusnya dapat menjawab semua problematika kehidupan modernitas, dan merupakan senjata pamungkas yang mampu memberikan alternatif baru yang lebih anggun dan segar.

Tujuan tauhid adalah memanusiakan manusia. Karena itu, dehumanisasi merupakan tantangan tauhid yang harus dikembalikan kepada tujuan tauhid. Ilmu sosial profetik berusaha memberikan jalan untuk mengubah berdasarkan cita-cita profetik etik. Jadi, tujuannya adalah memberikan perubahan terhadap masyarakatnya. Perubahan itu didasarkan pada cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi historis sebagaimana tertera dalam surat Ali Imran ayat 110, Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah.

Kuntowijoyo memberikan tiga muatan dalam ayat tersebut di atas sebagai karakteristik ilmu sosial profetik, yakni kandungan nilai humanisasi, liberasi dan transendensi. Tujunnya supaya diarahkan untuk merekayasa masyarakat menuju cita-cita sosial-etiknya di masa depan. Masih menurut Kuntowijoyo, bahwa humanisasi adalah memanusiakan manusia. Menurutnya, era sekarang ini banyak mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial ini menjadikan kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Apalagi di tengah mesin-mesin politik dan mesin-mesin pasar. Sementara ilmu teknologi juga berkecenderungan reduksionistik  yang melihat manusia secara parsial. Tujuan liberatif adalah liberalisasi bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Kita menyatu rasa dengan mereka yang miskin, yang terperangkap dalam kesadaran teknokratis, dan mereka yang tergususr oleh kekuatan ekonomi raksasa. Kita ingin bersama-sama membebaskan diri dari belenggu yang kita bangun sendiri. Adapun tujuan transendensi adalah menambah dimensi transendental dalam kebudayaan. Kita sudah banyak menyerah arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden. Kita percaya sesuatu harus dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan.

Gerakan di atas jelas nyata-nyata menjadi bidang garap Muhammadiyah, lebih-lebih dalam mengahadapi tantangan era global. Arus budaya yang dihadapi Muhammadiyah tempo dulu dengan sekarang jauh lebih berbeda. Sehingga tantangan yang harus dihadapi sekarang adalah memperkuat basis keagamaan yang didukung oleh nilai-nilaisosial-religius.

Salah satu tantangan global adalah tingginya tingkat kompetitif (persaingan) disemua lini kehidupan. Untuk itu Muhammadiyah perlu memperkokoh basis Iptek dan Imtaknya. Sebagaimana sejak awal Muhammadiyah sangat getol dengan dunia pendidikan. Letak semangat purifikasinya adalah meluruskan Iptek yang sesuai dengan cita-cita dan misi Muhammadiyah khususnya, dan umat manusia pada umumnya. Kerja keras dan etos keilmuan warga persyarikatan yang menyatu dalam etos keagamaan umat sangat diperlukan. Pencapaian kemampuan Iptek yang mumpuni membutuhkan sikap mental dan pandangan hidup yang menggarisbawahi kenyataan bahwa aktivitas keilmuan bukannya berada di luar kesadaran keagamaan.

Model gerakan Muhammadiyah yang sangat menggigit dan concern dengan cita-cita awalnya adalah pembaruan (modernisasi atau reformasi). Modernisasi (tajdid) adalah gerakan pembaruan pemikiran Muhammadiyah untuk mencari pemecahan atas berbagai persoalan yang mereka hadapi. Yang merujuk pada Al- Qur'an dan As- Sunnah sebagai titik tolak atau landasan yang sekaligus juga memberi pengarahan, ke arah pemikiran itu harus dikembangkan. Secara etimologi, tajdid berarti pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi penciptaan sesuatu yang baru, dan lain-lain yang berkaitan dengan makna itu. Maka jika dihubungkan dengan pemikiran tajdid dalam Islam, tajdid adalah usaha dan upaya intelektual Islami untuk menyegarkan dan memperbaruhi pengertian dan penghayatan terhadap agamanya berhadapan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat. Kerja tajdid adalah ijtihad yang sangat strategis dalam membumikan konteks waktu dan ruang.

Gerakan tajdid dalam Muhammadiyah di dasarkan pada tiga faktor, yaitu pertama, pemahaman atau penafsiran terhadap suatu doktrin trasendental tidak pernah bernilai mutlak benar semutlak benarnya doktrin itu sendiri. Dalam Islam, masalah ini berkenaan kepercayaan kepada konsep Nabi terakhir pada diri Rasulullah. Menurut konsep ini, otomatis tentang wahyu telah berakhir pada diri Rasulullah. Dengan perkataan lain, tidak ada otoritas yang sama bobot dan statusnya dalam soal memahami setiap ajaran yang berasal dari wahyu dengan otoritas Muhammad sebagai Rasul terakhir. Konsekwensi dari pandangan ini ialah bahwa otoritas siapapun di bidang penafsiran terhadap Al-Qur'an dengan bantuan sunnah dan sejarah difahami secara putus terhadap masalah yang dipersoalkan.
Kedua, Islam bertujuan untuk menciptakan suatu tata sosio-politik di atas landasan etik dan moral yang kuat dalam rangka mengaktualisasikan prinsip rahmatan lil alamin dalam ruang dan waktu.
Ketiga, tajdid dalam pemikiran dan pelaksanaan Islam pernah ditunjukkan  oleh para sahabat, terutama Umar Ibn Khattab yang telah merubah kebijaksanaan Nabi tentang persoalan tanah di Iraq dan Mesir yang dikuasai setelah perang Prajurit Islam menang perang.

Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid diharapkan mampu menyesuaikan dengan keadaan zaman yang selalu berubah. Tajdid lebih banyak menitik beratkan pada pemikiran secara konstektual, baik itu bidang hukum, maupun bidang lainnya. Karena itu, Muhammadiyah tidak akan sampai kekeringan wacana yang senantiasa setiap waktu berubah. Tajdid dipersiapkan untuk menghadapi atau mengantisipasi terjadinya perubahan-perubahan yang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang selain berdampak positif juga berdampak negatif. Rekayasa genetika misalnya, telah menyedot perhatian serius dari kalangan tokoh Muhammadiyah untuk memberikan suatu batasan-batasan atau pemecahan yang dapat dipandang menguntungkan bagi kehidupan manusia dengan merujuk pada maqasid al syari'ah.

Dalam Muhammadiyah, ada lembaga khusus yang sengaja menangani masalah-masalah perkembangan hukum. Lembaga itu adalah Majlis Tarjih. Lembaga tarjih menangani persoalan konrtemporer yang selalu berkembang dan sangat menuntut adanya jawaban yang harus digariskan. Persoalan ini tidak hanya berbau fiqh tetapi juga masalah-masalah yang lebih berdimensi sosial kemasyarakatan.

Tuntutan masyarakat agraris jauh berbeda dengan tuntutan masyarakat industri, lebih-lebih lagi pada masyarakat industri tingkat lanjut (postindustrial society. Problem masyarakat industri sangat berbeda dari masyarakat agraris. Pola kehidupan seperti ini akhirnya menuntut Muhammadiyah untuk menambah Tarjih dengan Pengembangan Pemikiran Islam.

Semula yang hanya mengurusi masalah-masalah fiqh sekarang berubah menjadi lembaga yang menangani masalah sosial-keagamaan. Isu-isu sosial-budaya, dialog agama, gender, perburuhan, dan sebagainya adalah bidang garap Muhammadiyah sekarang. Pengembangan pemikiran Muhammadiyah semakin meluas jangkauannya. Sehingga yang dikembangkan oleh Muhammadiyah adalah memadukan antara dimensi "normativitas" wahyu dengan "historisitas" pemahaman wahyu. Jadi wilayah al-ruju' ila al-Qur'an wa al-Sunnah, dan Tajdid atau Ijtihad berjalan sealur dan seirama.

Muhammadiyah dengan tajdidnya akan senantiasa akan relevan terhadap perubahan yang akan bergulir. Tajdid bagi Muhammadiyah adalah perangkat yang dipersipkan untuk mengantisipasi kemajuan ilmu pengetahuian dan teknologi. Tajdid sebagai media atau sarana yang benar-benar diharapkan mampu menyelesaikan dan meremajakan problema meskipun hal itu sama sekali baru. Dalam hal ini, Muhammadiyah tidak akan kehilangan elan vitalnya dari permukaan, jika problem yang dihadapi dapat terjawab secara tepat. Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid berarti mengadaptasikan persoalan-persoalan keagamaan dan sosial pada wilayah historis-empiris.

Dinamisasi yang ada pada tubuh Muhammadiyah adalah mempertautkan antara teks"normatifitas" dengan teks "historisitas". Dua wilayah ini dalam garapan Muhammadiyah senantiasa berjalan bersama-sama. Misalnya, K.H. Ahmad Dahlan dalam mengajarkan Surat Al-Ma'un kepada santri-santrinya menunjukkan bukti nyata bahwa Muhammadiyah tidak hanya berputar-putar pada wilayah teologis, tetapi Muhammadiyah berusahaconcern terhadap problem sosial yang harus memperoleh perhatian serius. Sehingga teologi Muhammadiyah menjadi teologi sosial yang dapat dilihat kasat mata. Oleh karena itu, Muhammadiyah kemudian mendirikan PKU (Rumah Sakit), Lembaga Pendidikan, Panti Asuhan, dan bidang-bidang sosial lainnya.

Atas hal yang dimiliki oleh muhammadiyah maka perlu dirumuskan perihal tersebut berkenaan dengan modernitas melalui seminar pra muktamar yang mana dibutuhkan guna menselaraskan tujuan purifikasi dan modernitas.***

Dr. Syaiful Bakhri, SH. MH
Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta

http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/umj-pendidikan/15/11/24/nybajb219-muhammadiyah-dan-tantangan-global

Tuesday, November 17, 2015

Milad Muhammadiyah ke-103: Keberagamaan Kosmopolit di Muhammadiyah



Oleh Ahmad Najib Burhani*

Apakah Muhammadiyah masih cenderung menampilkan Islam konservatif? Tahun 2005 yang lalu, terutama pasca Muktamar ke-45 di Malang, Muhammadiyah dianggap mengalami pergeseran menjadi gerakan keagamaan bercorak konservatif. Seperti tertulis dalam buku yang diedit Martin van Bruinessen, Contemporary Development in Indonesian Islam: Explaining the “Conservative Turn” (ISEAS 2013), munculnya konservatisme itu ditandai dengan keterlibatan beberapa aktivis organisasi ini dalam kegiatan Islam simbolis, seperti Islamisasi negara melalui partai politik atau perundangan, penolakan inovasi pemikiran keagamaan, dan penentangan keberadaan kelompok yang dianggap sesat.

Dalam Religious Diversity in Muslim-majority States in Southeast Asia (ISEAS 2014), Robin Bush dan Budhy Munawar-Rachman meneguhkan anggapan itu dengan menyebutkan bahwa dibandingkan dengan NU, Muhammadiyah itu lebih konservatif dalam isu pluralisme dan kebebasan beragama. Namun mereka melanjutkan bahwa dalam kaitannya dengan demokrasi dan kesetaraan jender, Muhammadiyah menunjukkan dukungan lebih kuat daripada NU.

Semenjak tahun 2005, banyak perubahan yang terjadi di Muhammadiyah yang kadang luput dari pengamatan orang asing. Ada gerakan konsolidasi ideologi, diantaranya dengan upaya membendung politisasi Muhammadiyah dan menolak infiltrasi partai politik ke dalam gerakan Muhammadiyah. Upaya lainnya adalah menjembatani antara kubu “Islam murni” (konservatif) dan kubu “Islam progresif”.

Hasil dari upaya ini terlihat pada Muktamar Yogyakarta tahun 2010 ketika konflik liberal vs. konservatif sudah hilang, infiltrasi partai politik sudah dibersihkan, dan nuansa muktamar menjadi sangat kultural dengan nuansa lokal hadir di setiap sudut acara. Gending Jawa terdengar mengiringi kegiatan muktamar dan para penerima tamu pun menggunakan pakaian adat Yogya lengkap. Bahkan Din Syamsuddin, sebagai ketua umum, tampil dalam pertunjukan ketoprak berjudul “Pletheking Suryo Ndadari.”

Program kegiatan yang dijalankan tahun 2010-2015 pun tak lagi mencerminkan pertentangan ideologis dalam Muhammadiyah. Hal yang cukup menonjol justru berbagai upaya mendialogkan Islam dengan globalisasi seperti terwujud dalam program internasionalisasi Muhammadiyah sebagai perlawanan terhadap Islam bercorak Timur Tengah; jihad konstitusi untuk melawan kapitalisme global, oligarchy, dan neo-kapitalisme; serta berperan aktif dalam resolusi konflik dan penciptaan perdamaian dunia.

Perubahan itu terus berlangsung hingga Muktamar Makassar Agustus 2015 ini. Melihat komposisi pimpinan Muhammadiyah yang baru, sangat sulit untuk mempertahankan tesis yang menyatakan bahwa Muhammadiyah mengalami “conservative turn” atau bergeser menjadi gerakan konservatif.

Ketua Umum dan Sekretaris Umum yang baru, Haedar Nashir dan Abdul Mukti, sama sekali tidak bisa dikategorikan sebagai bagian dari kelompok konservatif. Namun yang pasti, mereka juga bukan orang liberal. Meminjam kalimat dari Haedar Nashir yang dikutip oleh Luthfi Assyaukanie, salah satu pendiri JIL (Jaringan Islam Liberal), “Di Muhammadiyah saya dianggap orang paling liberal, tapi di depan teman-teman JIL, saya merasa sangat konservatif” (2015). Abdul Mukti juga memiliki pembelaan yang tegas terhadap Ahmadiyah yang disesatkan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Berkali-kali ia menegaskan bahwa Ahmadiyah adalah bagian dari masyarakat Islam (Jakarta Post 2012).

Muhammadiyah sendiri sejak tahun 2009 lalu kembali menegaskan dirinya sebagai “Islam yang berkemajuan”. Berbeda dari Islam Nusantara, Yunahar Ilyas, tokoh Muhammadiyah yang sering disebut mewakili kelompok “Islam murni”, menegaskan bahwa Islam berkemajuan adalah konsep keislaman yang tidak terikat ruang dan waktu. Berkemajuan adalah etos untuk terus maju dan selangkah di depan dalam hal pemikiran dan terobosan.

Tentu ada beberapa definisi tentang konsep Islam berkemajuan ini, namun untuk memudahkan, makna dari istilah ini bisa dilihat dalam beberapa rekomendasi Muktamar Muhammadiyah ke-47 yang secara lengkap tertuang dalam buku Isu-isu Strategis Keumatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan (2015). Ada beberapa rekomendasi yang bertolak-belakang dengan tuduhan bahwa Muhammadiyah cenderung konservatif, diantaranya adalah: Keberagamaan yang Moderat, Membangun Dialog Sunni-Syiah, Keberagamaan yang Toleran, dan Perlindungan Kelompok Minoritas.

Dalam rekomendasi nomor satu yang berkaitan dengan “Keberagamaan yang Moderat”, Muhammadiyah menganjurkan warganya untuk ikut serta membendung perkembangan kelompok takfiri, yakni mereka yang dengan mudah menuduh orang lain sebagai kafir hanya karena perbedaan pandangan dan sikap. Dalam rekomendasi itu, sikap takfiri dipandang sebagai penolakan terhadap kemajemukan dan menunjukkan keangkuhan dalam beragama. Dalam kaitannya dengan konflik Sunni-Syiah, Muhammadiyah merekomendasikan agar warga gerakan ini dan umat Islam Indonesia tak terbawa dalam pertentangan politik di Timur Tengah yang memperhadapkan antara Sunni dan Syiah. Sebagai kelanjutan Muktamar, Muhammadiyah akan menyusun Fiqh Khilaf yang mendialogkan berbagai perbedaan dalam Islam, termasuk Sunni-Syiah.

Dalam kaitannya dengan isu berbagai kelompok minoritas di tengah pluralitas Indonesia, Muhammadiyah merekomendasikan agar semua orang menghentikan diskriminasi terhadap kelompok ini. “Muhammadiyah menganjurkan kepada seluruh institusi yang ada dibawahnya untuk selalu menjadi pelindung terhadap kelompok minoritas yang tertindas.” Minoritas yang dimaksudkan dalam rekomendasi itu tidak hanya minoritas agama, tapi mereka yang termarjinalkan dan mengalami sub-ordinasi secara sosial seperti buruh, gelandangan dan difabel.

Berbagai rekomendasi dan program baru Muhammadiyah itu menunjukkan bahwa gerakan ini melangkah menuju gerakan Islam yang kosmopolit, siap berdialog dan berkontribusi dengan berbagai peradaban, bukan gerakan konservatif. Tentu saja berbagai rekomendasi itu masih perlu implementasi hingga ke akar dan ranting Muhammadiyah. Namun, apa yang dilakukan oleh organisasi modernis terbesar di Indonesia sudah memberikan angin segar bagi kehidupan keberagamaan di Indonesia. Muhammadiyah, tentu saja bersama NU, masih tetap bisa diharapkan menjadi pilar dari kebinekaan Indonesia dan menangkis tuduhan bahwa mereka telah dikuasai oleh kelompok yang anti-kemajemukan.
-oo0oo-

*Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah

http://nasional.sindonews.com/read/1062427/18/keberagamaan-kosmopolit-di-muhammadiyah-1447787764
 

Sunday, November 15, 2015

Transformasi Kepemimpinan Muhammadiyah

Oleh: Pradana Boy ZTF*)

PADA tanggal 14-15 November 2015, Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur menyelenggarakan Musyawarah Wilayah (Musywil). Di antara isu penting,jika bukan malah yang terpenting, dalam agenda ini adalah pemilihan pemimpin Muhammadiyah Jawa Timur untuk masa lima tahun yang akan datang. Meskipun kelihatan sebagai rutinitas biasa, pemilihan pemimpin adalah sebuah persoalan yang tidak selamanya sederhana. Dalam konteks ini, salah satu isu yang menarik untuk didiskusikan adalah berkaitan dengan transformasi kepemimpinan Muhammadiyah.

Transformasi kepemimpinan yang dimaksudkan di sini adalah terjadinya rotasi kepemimpinan yang sehat dan disertai dengan rekayasa sadar akan terjadinya kesinambungan antargenerasi dalam mengelola Muhammadiyah. Sebagai sebuah organisasi yang sering menyebut diri sebagai organisasi kader, maka perhatian pada kesinambungan regenerasi kader dalam Muhammadiyah harus menjadi bagian dari prioritas organisasi. Ini harus dilakukan karena kemampuan dan ketrampilan kepemimpinan bukanlah sebuah proses yang sederhana dan satu arah. Tetapi memerlukan kerja panjang, terstruktur dan penuh kesadaran.

Dalam teori kepemimpinan, memang seringkali muncul perdebatan: apakah seorang pemimpin itu dilahirkan atau diciptakan? Sebagian meyakini teori nature, bahwa menjadi pemimpin lebih disebabkan oleh bakat bawaan alam ketimbang hasil dari rekayasa sosial. Sebaliknya, tak sedikit pula yang beranggapan bahwa kepemimpinan adalah sebuah proses yang berdimensi nurture. Artinya, kepemimpinan adalah sesuatu yang bisa dipelajari, dikembangkan, dilatihkan dan diajarkan. Karena itu, situasi dan lingkungan sosial juga sangat berpengaruh dalam melahirkan seorang pemimpin berkualitas.

Sebenarnya, tidak ada yang mutlak dalam kedua teori ini. Kepemimpinan adalah proses dialektika dari kedua konteks nature dan nurture ini. Maka sangat mungkin seseorang memiliki bakat dan potensi sebagai seorang pemimpin, tetapi karena kondisi dan situasi lingkungan sosial yang tidak memungkinkan bagi tumbuh-kembangnya potensi itu, maka tidak jarang potensi-potensi kepemimpinan itu tidak tumbuh maksimal dan bahkan mati begitu saja. Sebaliknya, seseorang yang mungkin saja tidak memiliki potensi menonjol sebagai seorang pemimpin, tetapi tumbuh dalam situasi dan lingkungan sosial yang mengarah kepada lahirnya sifat dan sikap kepemimpinan, maka sangat mungkin ia akan menjelma menjadi seorang pemimpin.

Rumusan teoretik-normatif ini sebenarnya bisa diterapkan dalam konteks Muhammadiyah. Bahwa di luar adanya bakat-bakat individual di kalangan generasi muda Muhammadiyah untuk menjadi pemimpin, setiap siklus kepemimpinan dalam Muhammadiyah harus memberikan porsi pada aspek nurture atau rekayasa kepemimpinan masa depan. Salah satunya adalah dengan melakukan transformasi kepemimpinan di Muhammadiyah pada aspek komposisi antarberbagai jenjang generasi. Atau dengan kata lain, melakukan regenerasi dan kaderisasi kepemimpinan melalui transformasi kepemimpinan.

Disadari atau tidak, dalam Muhammadiyah seringkali muncul sinyalemen akan adanya krisis kader. Sesungguhnya, jika yang dimaksudkan adalah kader dalam arti kuantitas, maka Muhammadiyah sama sekali tidak mengalami krisis kader. Indikasinya adalah, organisasi-organisasi kepemudaan Muhammadiyah tidak pernah sepi peminat, dan tetap menjadi pilihan pengaderan ideologis dalam konteks Muhammadiyah. Tetapi, seringkali jumlah yang banyak tidak dengan sendirinya mencerminkan kualitas yang baik. Maka, pada berbagai bidang strategis, haruslah diakui bahwa ada persoalan cukup serius dalam kesinambungan antargenerasi di Muhammadiyah. Misalnya, dalam konteks regenerasi intelektual. Publik sama sekali tidak ragu bahwa Muhammadiyah dihuni oleh generasi-generasi intelektual seperti Ahmad Syafii Maarif, Amien Rais, Malik Fadjar, almarhum Moeslim Abdurrahman, Munir Mulkhan atau yang sedikit di bawah generasi ini adalah Din Syamsuddin, M. Amin Abdullah, Syafiq Mughni, Haedar Nashir, Muhadjir Effendy, dan Hajriyanto Thohari. Sampai pada generasi ini, terdapat generational gap (kesenjangan generasi) yang cukup serius. Sehingga, publik mendengar geliat intelektualisme di Muhammadiyah baru pada sekitar sepuluh tahun lalu yang melahirkan generasi kelahiran 1970-an seperti Zuly Qodir, Zakiyuddin Baidhawi, Najib Burhani, Hilman Latief dan Ahmad Norma Permata.

Hal yang sama juga bisa terjadi pada konteks regenerasi kepemimpinan, jika rekayasa sadar ke arah regenerasi kepemimpinan Muhammadiyah ini tidak dilakukan. Maka, meskipun tidak mayoritas, dan memang tidak boleh mayoritas, transformasi kepemimpinan Muhammadiyah dalam dalam arti akomodasi kaum muda dalam Muhammadiyah dalam struktur kepemimpinan harus mendapat perhatian serius.

Sayangnya, aspek-aspek ideal seperti ini seringkali terkalahkan oleh aspek-aspek pragmatis. Aspek-aspek pragmatis yang dimaksudkan adalah pola fikir segmentatif yang membagi orang ke dalam konteks inner circle (orang kita) dan outer circle (bukan orang kita). Pola fikir seperti ini dengan sendirinya mengesampingkan soal kelayakan (fitness) yang mesti dimiliki oleh seseorang dalam mengemban tugas-tugas tertentu, dan lebih mengedepankan aspek-aspek hubungan interpersonal atau komunal ketimbang pemenuhan kebutuhan profesional.

Sepertinya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa semua pihak dalam Muhammadiyah Jawa Timur berharap agar Musywil Muhammadiyah 2015 mampu menjadi tonggak bagi lahirnya transformasi kepemimpinan di satu sisi, dan transformasi kader-kader muda ke dalam dunia kepemimpinan yang lebih nyata, dan bukan dunia kepemimpinan simulatif seperti yang selama ini mereka praktikkan di berbagai organisasi otonom Muhammadiyah.

*) Dosen FAI-UMM. Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Jawa Timur.

http://kedaide.com/transformasi-kepemimpinan-muhammadiyah/

Thursday, November 12, 2015

Muhammadiyah/NU & Kearifan Lokal: Peluang dan Tantangan Dakwah di Era Global

Seminar Nasional tentang Kearifan Lokal: Peluang dan Tantangan Dakwah di Indonesia Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Jakarta, 12 November 2015







Monday, November 2, 2015

Genealogi Jihad Konstitusi

Republika, Selasa, 27 Oktober 2015, 14:00 WIB

Muhammadiyah merupakan organisasi Islam besar di Indonesia yang punya sejarah panjang dalam kehidupan sosial dan politik nasional. Dalam sejarahnya yang sudah lebih dari satu abad di bumi Nusantara, Muhammadiyah sedikit banyak berinteraksi dengan institusi politik formal, baik itu partai politik, pemerintah, parlemen, dan institusi peradilan.

Dalam kaitan berinteraksi dengan institusi negara, Saud El Hujaj membagi dalam tiga model. Pertama, Muhammadiyah tidak ikut campur perpolitikan negara seperti pada masa Hindia Belanda. Muhammadiyah bukan agen negara dan bukan musuh negara.

Kedua, Muhammadiyah diposisikan sebagai subordinat kekuasaan yang memaksa sebagaimana pada masa pemerintahan Jepang. Namun, hal itu membawa kepada keselamatan organisasi dan tetap berlangsungnya amal usaha Muhammadiyah dalam amar makruf nahi mungkar. Ketiga, Muhammadiyah masuk ke dalam wacana negara dan partai politik yang bisa dilihat dari keterlibatan tokoh dan artikulasi kepentingannya melalui partai politik.

Keterlibatan Muhammadiyah dalam politik tampak nyata. Meskipun pada Muktamar ke-38 Muhammadiyah yang digelar di Makassar pada 1971 ditegaskan Muhammadiyah tak terlibat politik praktis, perilaku Muhammadiyah melalui tokohnya bersifat akomodatif dalam mengartikulasikan kepentingan melalui partai politik, misalkan pembentukan Partai Islam Indonesia (PII), Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), Partai Masjumi, Partai Muslimin Indonesia, dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Kendati sempat mengambil jarak, sejak masa kepemimpinan Amien Rais, Muhammadiyah kembali tampil dan memainkan peranan penting sebagai kekuatan sosial untuk mengoreksi pemerintah. Upaya ini dilanjutkan Ahmad Syafii Maarif dan Din Syamsuddin. Pada masa Din Syamsuddin, upaya korektif dilakukan melalui jalur formal dengan mengajukan judicial review terhadap undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi.

Langkah Muhammadiyah menguji UU yang dipandang bertentangan dengan Islam dan merugikan rakyat kecil menjadikan Muhammadiyah bukan saja organisasi gerakan sosial, tapi juga gerakan pembaruan hukum. Hal ini memperkuat posisi Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan yang mendorong perubahan kebijakan sekaligus kelanjutan kegiatan politik tak langsung (high politics) yang diwariskan Amien Rais.

Muhammadiyah tampil berbeda dalam diskursus mengenai konstitusi, khususnya hubungan antara Islam dan negara. Sejak didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, diskursus pemikiran ideologis demikian tak begitu mendapat perhatian besar. Sebab, Muhammadiyah sejak awal bersifat kultural dalam membela kaum lemah, seperti mengembangkan pendidikan, panti asuhan, dan pelayanan kesehatan. Gerakan kultural itu sedari awal oleh KH Ahmad Dahlan disebut sebagai gerakan Islam nonpolitik, tetapi tidak antipolitik (Syaifullah 2015).

Keterlibatan pertama Muhammadiyah dalam diskursus ketatanegaraan terjadi pada masa perumusan Piagam Jakarta. Salah satu anggota Panitia 9 yang merumuskan adalah kader Muhammadiyah, Prof KH Abdoel Kahar Moezakir. Namun, keterlibatan Prof Abdoel Kahar Moezakir di Panitia 9 tidak dapat disimpulkan sebagai sikap politik Muhammadiyah.

Sejak saat itu, pandangan Muhammadiyah terhadap hubungan Islam dan negara lebih bersifat substansial daripada formal. Menurut Masdar F Mas'udi, UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia memang tidak ditulis dengan bahasa agama, tetapi nilai-nilainya sejalan dengan ajaran Islam.

Agenda utama umat Islam Indonesia bukanlah memperjuangkan formalisasi negara Islam, tapi merealisasikan nilai dan aturan konstitusi yang Islami itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara sungguh-sungguh. Ajaran Islam yang dimaksud bukan bersifat detail (juz'iyat dan tfshiliyat), tapi fundamental (muhkamat) dan mendasar (ushuliyat) sebagai garis pemisah antara yang sejati (haqq) dari yang palsu (bathil), antara yang terpuji (mahmudah) dari yang tercela (madzmumah).

Pada titik inilah kita melihat bertemunya pandangan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama terkait hubungan antara Islam dan negara, yaitu dalam pandangan melihat similaritas antara ajaran Islam dan norma konstitusi.

Hal itu sejalan dengan pandangan Sukarno mengenai negara Islam. Menurutnya, Islam adalah api yang menyinari kehidupan, bukan abunya. Sukarno menghendaki ajaran Islam yang menjadi penerang dan yang membuat semangat berkobar-kobar dalam penyelenggaraan negara.

Sedangkan, Hatta mengambil perumpamaan lain. Bagi Hatta, "Negara Islam" menempatkan Islam sebagai garam kehidupan, tidak terlihat mata, tetapi terasa maknanya; bukan Islam gincu, yang mencolok mata, tapi tidak ada rasa apa-apa.

Muhammadiyah bukanlah partai politik, tapi organisasi yang terkadang dikualifikasikan sebagai organisasi masyarakat, organisasi agama, organisasi sosial, maupun organisasi pendidikan. Syaifullah mengategorikan Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan yang pada umumnya menggunakan empat saluran dalam memperjuangkan aspirasinya, yaitu demonstrasi dan kekerasan, hubungan pribadi, perwakilan langsung (formal-institusional), dan saluran formal instusi lain seperti media massa.

Dalam realitanya, Muhammadiyah menggunakan saluran hubungan pribadi melalui lobi, perwakilan langsung atau institusi formal seperti judicial review UU kepada MK, dan penggunaan media massa. Di antara itu, yang paling dominan penggunaan saluran hubungan pribadi melalui keterampilan lobi dengan pemilik kewenangan.

Beberapa tahun terakhir, strategi menggunakan institusi formal melalui judicial review UU yang bermasalah diajukan kepada MK. Din Syamsuddin selaku ketua umum PP Muhammadiyah saat itu menyebut langkah ini sebagai "Jihad Konstitusi".

Jihad berasal dari kata juhada-yujahidu yang secara harfiah berarti sungguh-sungguh atau "berusaha secara sungguh-sungguh mencapai sesuatu yang diyakini bernilai tinggi dalam keseluruhan hidup yang bersangkutan". (QS al-Ankabut ayat [29]: 69).

Lalu bagaimana istilah jihad yang selalu dikaitkan dengan tindakan berlandaskan hukum Islam disandingkan dengan upaya pembelaan konstitusi? Jihad konstitusi atas dasar pandangan bahwa nilai Islam telah tecermin di dalam konstitusi. Penegakan konstitusi secara tidak langsung adalah penegakan ajaran Islam.

Selain itu juga semangat pembelaan terhadap warga yang lemah, bahwa negara sebagai pelindung dan penegak keadilan harus menempatkan warga yang lemah sebagai prioritas agendanya sehingga keadilan (keseimbangan dan kesetaraan) bisa diwujudkan.

Mendorong perubahan melalui jalur peradilan konstitusi ini memiliki posisi strategis bagi Muhammadiyah, mengingat perwakilan Muhammadiyah di parlemen yang kurang signifikan. Penelitian Syaifullah menunjukan, rata-rata kader Muhammadiyah di pemerintahan maupun parlemen (DPR dan DPD) berkisar 5-6 persen dari jabatan di DPR, DPD, dan kementerian negara.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan realitas bahwa Muhammadiyah memang tidak representatif kalau harus berjuang di dunia politik. Muhammadiyah juga termasuk "puritan" berpolitik, cenderung lugu dan lugas, tidak mampu "luwes" dan "zigzag" sehingga berpengaruh pada kemampuannya mengalokasikan sumber daya kadernya.

Dalam situasi itu, langkah judicial review UU yang merugikan kepentingan rakyat kecil merupakan langkah strategis bagi gerakan Muhammadiyah.

Syaiful Bakhri
Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta

http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/10/27/nwva472-genealogi-jihad-konstitusi