Friday, November 30, 2012

Menjawab Tantangan Abad Kedua

Ahmad Fuad Fanani ; Direktur Riset MAARIF Institute for Culture and Humanity, Jakarta, dan Master dari Universitas Flinders, Adelaide, Australia
JAWA POS, 29 November 2012
 

HARI ini 29 November hingga 2 Desember 2012 Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menyelenggarakan The International Research Conference on Muhammadiyah (IRCM) dengan tema Discourse on the Search for a Renewed Identity of Muhammadiyah for its Post-Centennial Era. Berbagai tema, mulai soal sejarah, filantropi, pendidikan, pembaruan, politik, gender, radikalisme, hingga Muhammadiyah studies dibahas di konferensi ini. Yang menarik, konferensi ini bakal dihadiri sekitar 59 pakar ternama dari dalam dan luar negeri.

Menurut situs panitia, para pakar yang sudah mengirim naskah dan siap mempresentasikan papernya, antara lain, James Peacock (University of North Carolina, AS), Steven Drakeley (University of Western Sydney), Gwenaël Feillard (Centre Asie du Sud-Est, Prancis), M.C. Ricklefs (Australian National University), Jonathan Benthall (University College London), Hattori Mina (Nagoya University, Jepang), Claire-Marie Hefner (Emory University, AS), Alpha Amirrachman (KITLV Leiden, Belanda), Robert W. Hefner (Boston University), Mark R. Woodward (Arizona State University, AS), Hyung-Jun Kim (Kangwon National University, Korsel), Herman L. Beck (Tilburg University), Eunsook Jung (Fairfield University), dan Ken Miichi (Iwate Prefectural University). Beberapa nama peneliti Indonesia, terutama anak muda Muhammadiyah, juga tercantum dalam jadwal acara. Acara akan dibuka Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsuddin. Syafi'i Ma'arif dan Ketua Steering Committee Nakamura Mitsuo akan menyampaikan keynote speech.

Konferensi ini merupakan konferensi pertama di Indonesia yang secara komprehensif membahas hampir semua bidang Muhammadiyah. Jika selama ini pandangan tentang Muhammadiyah lebih banyak didiskusikan berdasar atas pengalaman praksis, kali ini pembahasannya menggunakan dasar riset yang komprehensif dan empiris. Dengan begitu, keduanya bisa saling melengkapi demi untuk memajukan Muhammadiyah yang kini memasuki abad kedua.

Evaluasi Gerakan

Sejak sebelum Indonesia merdeka hingga hari ini, Muhammadiyah telah banyak berkontribusi kepada bangsa, mulai melalui bidang pendidikan, kesehatan, filantropi, hingga persemaian gagasan moderasi keagamaan. Muhammadiyah bersama NU juga menjadi tulang punggung demokratisasi di Indonesia. Menurut Robert W. Hefner (2002), Muhammadiyah dan NU mendukung penuh proses demokrasi dan para pemimpin serta anggotanya terlibat aktif mengusung dan mewujudkan agenda-agenda demokrasi.

Sebagai organisasi keislaman yang memiliki amal usaha terbesar di dunia, Muhammadiyah sejak awal mendorong para anggotanya berperan aktif dalam lapangan persyarikatan, keumatan, dan kebangsaan (Ahmad Syafi'i Ma'arif, 2012). Dengan fokus pada bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan sosial -menurut Azyumardi Azra- menjadikan gerakan Muhammadiyah bisa terus bertahan dan berdiri di garda depan gerakan-gerakan Islam lainnya. Bila dibandingkan dengan Ikhwanul Muslimin (IM) misalnya, Muhammadiyah tampak lebih maju. Meskipun lahan garap IM hampir sama dengan Muhammadiyah, karena organisasi ini lebih berfokus kepada politik praktis, ia menjadi jauh tertinggal oleh Muhammadiyah.

Maka, Muhammadiyah way yang mendasarkan diri para pembaruan keagamaan yang ditransformasikan dalam bidang pendidikan dan sosial hendaknya terus dipegang teguh pada abad kedua khidmatnya. Melalui prinsip politik amar ma'ruf nahi munkar untuk kebaikan umat dan bangsa, Muhammadiyah diharapkan bisa memosisikan diri secara elegan di depan negara. Negara pun hendaknya juga melihat Muhammadiyah secara objektif tanpa dibarengi prasangka politik yang berlebihan.

Kurang Peduli Duafa

Selama ini Muhammadiyah tampak kurang perhatian terhadap orang miskin dan kaum mustadz'afin (orang-orang tertindas dan terpinggirkan). Padahal, ketika KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi ini, kedua kelompok masyarakat itulah yang menjadi perhatian penuh dan dijadikan perhatian utama dakwahnya. Dengan menyitir surat al-Maun, beliau memandang bahwa kita termasuk orang yang mendustakan agama bila tidak peduli kepada anak yatim, orang miskin, dan orang-orang yang terpinggirkan. Hal itu juga yang menginspirasi Dahlan untuk mendirikan sekolah, PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), panti asuhan, dan lembaga sosial lainnya.

Seiring dengan perjalanan panjangnya, Muhammadiyah rupanya lupa dan kurang peduli lagi terhadap nasib orang-orang papa itu. Menurut almarhum Kang Moeslim Abdurrahman, Muhammadiyah sering terjebak menjadi organisasi yang terseret kepada arus rutinitas dan melakukan kegiatan-kegiatan karikatif yang bersifat caring society saja. Itulah yang menjadikan Muhammadiyah terlihat sangat sibuk mengejar aspek kuantitas (aktsaru 'amalan) dan kadang melupakan aspek kualitas (ahsanu 'amalan).

Berkaitan dengan itu, ke depan Muhammadiyah mestinya belajar dari prinsip-prinsip dan ide gerakan-gerakan sosial baru (the new social movements) yang saat ini banyak berjejaring dan giat melakukan advokasi kemanusiaan. Secara umum, gerakan sosial baru itu mendasarkan kepada prinsip yang melampaui ras, suku, golongan, agama, warna kulit, dan negara. Tujuannya ialah melakukan perubahan di dunia dan menciptakan dunia baru yang berdasar atas prinsip keadilan sosial dan kemanusiaan. Sebagai sebuah organisasi keagamaan yang sudah berpengalaman seabad, Muhammadiyah seyogianya mengadopsi the new social movements yang inovatif dan segar. Dengan begitu, Muhammadiyah akan bisa berkompetisi dan memberikan warna pada percaturan lokal dan global yang semakin keras dan mengabaikan orang-orang miskin dan mustadz'afin tersebut.

Pada titik itulah, teologi al-Maun perlu segera direvitalisasi untuk kemudian dicarikan modus gerakan dan operasionalnya di tingkat praktis. Dengan model teologi yang tidak hanya berkutat kepada pembaruan teks keagamaan, tapi juga mendorong perubahan sosial lewat analisis sosial dan struktural yang dilanjutkan dengan praksis sosial itu, Muhammadiyah diharapkan bisa lebih meningkatkan komitmennya untuk perbaikan nasib umat dan rakyat.

Ke depan, kiprah dan pemikiran Muhammadiyah untuk kaum mustadz'afin , termasuk untuk menghadang kemungkaran sosial yang berwujud pada kapitalisme dan neoliberalisme kita nanti bersama. Semoga wajah kaum papa juga terbayang saat konferensi para cendekia di Malang ini.


Retrieved from: http://budisansblog.blogspot.com/2012/11/menjawab-tantangan-abad-kedua.html?m=1

Wednesday, November 28, 2012

Dinamika Muhammadiyah

Hyung-Jun Kim ; Profesor Antropologi Kebudayaan,
Kangwon National University, Korea Selatan 
REPUBLIKA, 28 November 2012
  
Ketika berbicara tentang Muhammadiyah dengan orang Korea, hal yang paling susah menerangkan adalah soal amal usahanya. Orang Korea susah memahami bahwa Muhammadiyah mempunyai ratusan perguruan tinggi dan ribuan sekolah yang didirikan dengan sumbangan dari orang-orang biasa. Mereka mengira Muham ma diyah disponsori orang kaya dan besar, seperti raja, pejabat tinggi, atau konglomerat. 
Mungkin, juga ada orang-orang Indonesia yang belum tahu adanya puluhan ribu amal usaha Muhammadiyah. Apalagi cara mendirikannya. Apakah hal itu benar bahwa amal usaha Muhammadiyah bukan buatan pusat persyarikatan, tetapi buatan simpatisan dan anggota Muhammadiyah? 
Jawabannya, "hampir" ya. Untuk memahami gambaran amal usaha di atas, dua hal harus dipahami. Pertama adalah tekanan pada amal di Muhammadiyah. Amal adalah faktor yang paling krusial untuk mengikat dan mempersatukan anggota Muhammadiyah. Pentingnya amal dapat dicontohkan dengan sang pendiri, Ahmad Dahlan. Dia tidak mencoba menulis buku yang menampung ajaran Muhammadiyah, tetapi mewariskan hasil nyata dan contoh teladan dari perjuangannya. 
Kedua adalah struktur Muhammadiyah yang tidak bersifat sentralistis.
Sejak berdirinya Muhammadiyah, pusat tidak pernah membuat cabang-cabangnya di bawah. Arahnya terbalik. Orang atau kelompok yang berminat pada kegiatan Muhammadiyah meminta bergabung dengannya. Akibatnya, otonomi kegiatan maupun keuangan cabang sangat tinggi dan voluntaritas (semangat volunterisme) sehingga cabang menjadi kunci. 
Dalam sejarahnya, pola kekuasaan di dalam kerajaan tradisional dapat diterapkan pada masa awal Muhammadiyah. Orang dan kelompok yang dipengaruhi oleh reformisme tertarik pada kegiatan Muhammadiyah dan meminta bergabung dengannya. Jika menunjukkan semangat mengikuti cita-cita Muhammdiyah, mereka diperbolehkan menjadi cabang atau grup. 
Setelah bergabung, cabang mengusahakan mengikuti dan menjalankan program amal yang dicontohkan oleh pusat tanpa dukungan dari pusat. Dalam sistem ini, kesukarelaan cabang dan daya tarik pusat merupakan kunci mempersatukan dan menghidupkan organisasi.
Setelah merdeka, Muhammadiyah menerapkan struktur administrasi pemerintah serta berdirilah pimpinan pusat dan struktur di bawahnya hingga pimpinan cabang. Walaupun struktur formal menjadi hierarkis, dinamika antara pusat dan cabang tetap berlaku. Agar sistem ini berjalan terus, pusat harus memenuhi peran sebagai sumber teladan yang memberi inspirasi pada cabang. Tanpa adanya daya tarik semacam ini, program pusat tidak dapat diterima. Sekali lagi, di sini kita harus mempertimbangan pentingnya amal. 
Contoh teladan yang dapat diikuti oleh cabang adalah amal yang nyata. Dengan pola seperti itulah Muhammadiyah mempunyai banyak amal usaha. Dengan pengertian ini, kita baru dapat mengevaluasi stagnasi atau krisis Muhammadiyah yang dibicarakan sejak tahun 1990-an. Salah satu faktor yang membawa stagnasi Muhammadiyah adalah pengabaian pusat untuk menjalankan peran utamanya, yaitu bahwa pusat tidak begitu aktif dan produktif untuk memberikan teladan baru yang dapat menarik cabang. Pengabaian itu berhubungan dengan pentingnya peran pusat sebagai koordinator urusan organisasi.
Semakin besar organisasi, semakin banyak urusan intern yang harus dikelola serta semakin kurang semangat dan energi untuk mencari pola amal yang inovatif dan progresif. Majelis-majelis dan badan-badan di tingkat pusat pun menghadapi situasi yang sama. Untuk melakukan kegiatan rutin memerlukan energi banyak sehingga contoh amal baru susah dikeluarkan. 
Awal 2000-an, muncul arus baru di tingkat pusat Muhammadiyah. Untuk memecahkan stagnasi, generasi muda melontarkan pandangan baru dalam menafsirkan ajaran-ajaran Islam. Walaupun membawa angin segar, percobaan itu tidak memproduksi hasil yang substansial, malah mengakibatkan konflik intern. Salah satu penyebabnya adalah percobaan itu dilontarkan dan didiskusikan di tingkat ide-ide daripada di tingkat amal. Karena percobaan itu tidak didampingi dengan hasil nyata dan tidak berhubungan langsung dengan amal, ide-ide itu susah diterima, malah dianggap sebagai upaya untuk memecahkan organisasi.
Muhammadiyah sedang menghadapi abad kedua. Eksistensi dan perkembangan Muhammadiyah selama seratus tahun lampau menunjukkan bahwa organisasi ini mempunyai kekuatan yang luar biasa. Akan tetapi, posisi Muhammadiyah sebagai organisasi terkemuka, popular, dan progresif susah bertahan tanpa adanya upaya revitalisasi pergerakan.

Jika mengingat berbagai uraian atas, upaya itu harus segera dimulai dengan mengembalikan peranan utama kepada pusat. Jika pusat berkonsentrasi dengan memberi contoh amal yang inovatif dan progresif, itu dapat menarik hati anggota-anggota biasa dan memperkuat semangat untuk mengamalkannya.
 

Amal baru apa yang dapat di anjurkan? Sebagai peninjau Muhammadiyah, peran saya terbatas pada analisis. Peran untuk mencari model baru dan cara melakukannya berada pada tangan warga Muhammadiyah.

Retrieved from: http://budisansblog.blogspot.com/2012/11/dinamika-muhammadiyah.html

Makna Konferensi Riset tentang Muhammadiyah (1)

Republika, Selasa, 27 November 2012, 07:55 WIB

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Dipelopori oleh Profesor Mitsuo Nakamura (1933--), antropolog Jepang kelahiran Manchuria, pada 29 November hingga 2 Desember 2012 akan berlangsung Konferensi Riset Internasional tentang Muhammadiyah, bertempat di kampus Universitas Muhammadiyah Malang. Nakamura telah menggait beberapa Indonesianis dari berbagai belahan dunia untuk turut membedah Muhammadiyah yang kini sedang memasuki abad kedua dari keberadaannya di Indonesia.

Karya berdasarkan riset lapangan dalam format disertasi Nakamura pada Universitas Kornel, Amerika Serikat, tahun 1976, di bawah judul “The Crescent Arises over the Banyan Tree, A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town”, mencakup periode 1900-1970 di sebuah kota kecil Kotagede, Yogjakarta.

Pada 1983 cetakan pertama karya ini setebal 186 halaman, diterbitkan oleh Gadjah University Press. Tahun 1993 menyusul cetakan kedua oleh penerbit yang sama. Rupanya perhatian Nakamura terhadap Muhammadiyah belum lagi surut. Dalam usianya menjelang 80 tahun, Nakamura telah merevisi karya di atas di bawah judul yang sama, hanya periodenya diubah menjadi 1910-2010, diterbitkan oleh ISEAS, Singapura, September 2012.

Sebagai karya revisi, tebalnya menjadi 380 halaman, lebih dua kali lipat dari cetakan awal. Karena saya diminta untuk menulis endorsemen untuk karya ini yang kemudian ditampilkan pada sampul belakang, maka kalimat pendek ini adalah komentar saya: “Professor Nakamura’s Crescent Arises over the Banyan Tree has now become classical due its academic high quality. This new edition is an disputable testimony for that.”

Endorsemen lainnya diberikan oleh Profesor Azyumardi Azra, direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Profesor James L Peacock dari Universitas Karolina Utara di Chapel Hill. Peacock yang juga akan hadir di Malang, telah pula menulis disertasi tentang Muhammadiyah yang kemudian pada 1978 diterbitkan oleh Benjamin/Cummings, Kalifornia, dengan judul Purifying the Faith: The Muhammadiyah Movement in Indonesian Islam.

Saya tidak tahu sudah berapa jumlah karya akademik yang ditulis para sarjana tentang Muhammadiyah, asing maupun domestik. Untuk domestik, karya almarhum Alfian yang juga berasal dari disertasi pada Departemen Ilmu Politik, Universitas Wiskonsin, Amerika Serikat, 1969 di bawah judul “Islamic Modernism in Indonesian Politics, the Muhammadiyah Movement during the Dutch Colonial Period (1912-1942)” cukup penting untuk dikaji lagi.

Ada lagi karya penting lainnya berupa disertasi Profesor Dr Achmad Jainuri, seorang tokoh Muhammadiyah dari Jawa Timur, pada Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, Kanada, dengan judul “The Formation of the Muhammadiyah’s Ideology, 1912-1942”, kemudian diindonesiakan oleh Ahmad Nur Fuad di bawah judul “Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal” (Surabaya: LPAM, 2002).

Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan modern Islam yang didirikan oleh para kiai yang umumnya tidak mendapatkan pendidikan Barat dengan Ahmad Dahlan (1868-1923) sebagai pelopornya ternyata telah melahirkan beberapa Ph.D. di kampus-kampus di belahan dunia Barat. Semestinya karya-karya akademik ini dibaca oleh seluruh pimpinan Muhammadiyah dari pusat sampai ke daerah agar semakin dipahami di mana letak kekuatan dan kelemahan gerakan yang kini usianya sudah melampaui satu abad.

Dari sisi jumlah jaringan sosial keagamaannya belum tampak tanda-tanda bahwa stamina spiritual Muhammadiyah telah surut, bahkan terus saja membengkak. Pembengkakan inilah yang segera harus diimbangi dengan memunculkan pemikiran-pemikiran kreatif dan besar tentang Islam.

Retrieved from: http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/12/11/27/me4fwy-makna-konferensi-riset-tentang-muhammadiyah-1

Saturday, November 24, 2012

The Muhammadiyah and the roots of Indonesian nationalism, democracy, and civil society



By Ahmad Syafii Maarif

(A key-note address delivered at  International Research Conference on  Muhammadiyah /IRCM, on the campus of Malang Muhammadiyah University, Nov.29-Des. 2, 2012)


 
Introduction
                What does the Muhammadiyah stand for? Founded on November 18, 1912 by Ahmad Dahlan in Jogjakarta, the Muhammadiyah is basically a non-mazhab though not anti-mazhab Islamic modernist movement, both in jurisprudence and in theology. This movement has tried to judge critically the theologico-legal discources and opinions developed for centuries by all schools of thought in Islamic history with the Qur’ân and the sunna of the Prophet  as the main sources. With this characteristic, the Muhammadiyah hopes to have more freedom and space to understand and interpret the teachings of Islam in line with the dynamic changing situation. Therefore, because of its flexibility in interpreting Islam, this movement from the very beginning has had no difficulties to say welcome to the ideas of Indonesian nationalism, democracy, civil society, and other relevant contemporary issues, as I want to elucidate further.
The Muhammadiyah and its contribution to the Indonesian nation-state
The Muhammadiyah’s counterpart, Persatuan Islam (Islamic Union) with its prominent God Father, Ahmad Hassan , for instance, had totally rejected all forms of nationalism. For Hassan, nationalism as a political ideology was no other than the concept jahiliyah (pre-Islamic practices and norms). Framed theoretically by G.W.F. Hegel (1770-1831) and J.J. Rousseau (1712-1778), nationalism has, in the past 250 years, overtaken every corner of the globe as the most powerful political ideology. Philosophically, the deification of the nation-state is the foundation of nationalism. For Hegel, and in some ways, for Rousseau as well, the state is a God-like creature. As such, it is the most object of man’s devotion.
For the Muhammadiyah, this philosophical background of nationalism was also naturally denied and rejected, but its practical aspect was harnessed as an effective tool to fight against Dutch colonial rule. As a liberating force, Islam in the eyes of the Muhammadiyah shared the nationalist ideal of freedom from any alien domination, both politically and militarily. In the history of modern Indonesia, the Muhammadiyah movement was one of the most important and influential socio-religious movements involved in this process of liberation. Its socio-educational strategy of enlightening the minds and hearts of the common people has contributed significantly not only to independence, but also to imbuing spiritual meaning into the future of a free Indonesia. The Muhammadiyah also inherited the spirit of the ‘ulamâ’s religious resistance to colonialism. Thus, the Muhammadiyah’s philosophy is that the life under foreign or domestic exploitation is not a life of honor and dignity. And for this reason, the freedom of a nation or an individual is absolutely sacred, and a Muslim should fight to achieve it at any cost.
The Muhammadiyah not only helped support the independence movement, but also laid the foundations for Indonesian democracy and civil society. 33 years before Indonesia declared its independence, the Muhammadiyah put forth in its first constitution (Anggaran Dasar) the right of majority to elect its top leadership, whlle embarking on an educational program to educate Indonesians who could lead Indonesian society. Until now, the Muhammadiyah has established and fostered around 20.175 schools/madrasahs, from the level of earlier education for kids to universities, 457 hospitals and clinics, hundred of orphanages, houses for the elders, and other humanitarian institutions and services. Indeed, there have been hundreds upon hundreds of Indonesian scholars, generals, politicians, social workers, and civil servants who attended, if not graduated, from Muhammadiyah’s school system. This is the way through which the Muhammadiyah has given a substantial meaning to nationalism.
Organizationally, this Islamic movement adopted a strategy of keeping out of practical politics, thus enabling its members to actively and creatively concentrate their works towards educating the masses, helping the weak, and offering spiritual values to safeguard and shape the course of modern Indonesian culture. This has enthroned the Muhammadiyah as one of the leading Islamic movements in the world. I would say that in terms of its gigantic socio-religio-educational networks, that there is no other social and educational Islamic movement in the world comparable to the Muhammadiyah.
The Muhammadiyah and its current challenges
                However, I must admit that qualitatively, in terms of the moral restoration of the Indonesian nation, Muhammadiyah’s goal is far from realized. This country has a Muslim majority, but corruption  has become rampant in all sectors of life, from  city centers to remote villages. The lines have blended to such a degree that it would be difficult for us to clearly distinguish between corruptors and recognized leaders and elites, between traitors and heroes. From this perspective, Muhammadiyah’s prophetic mission will be harder and harder in the future. There is a long way to go before restoring the moral life of Indonesian people, especially the elite. We are facing serious moral problems.
                 The real problem of Indonesia since its declaration of independence in 1945, in my view, has been the problem of clean, strong, and effective leadership. Unfortunately, for the most part, the Muhammadiyah has not yet been able to provide the nation with these types of leaders yet. Perhaps the Muhammadiyah has, in fact, from the very beginning, not been equipped with the means to give to such leaders. But we must note that Indonesia is not alone here. Almost all Muslim nations are facing the same acute moral problems. Translating Islamic moral ideals into the concrete realities of social life remain problematic for the entire Muslim world. The work of Muhammadiyah is this direction will be meaningless unless all sectors of society are ready to share this prophetic mission deliberately and seriously. A nationalism or democarcy that is not imbued with clear moral vision will no doubt bring a nation into bankrupcy, total or partial.
According to its Constitution, the Muhammadiyah is an Islamic movement to carry out the mission for enjoining the good and forbidding the evil under the guidance of the Qur’ân and the sunnah of the Prophet .[1] And the long-term goal it wants to achieve is “to uphold and uplift the religion of Islam so as to create the true Islamic society.”[2] From the perspective of moral restoration of Indonesia, the Muhammadiyah has so far not much done yet. Here lies the great and real challenge of Muhammadiyah and other Indonesian religio-moral movements. To hope the political parties to meet this challenge in the present  moment is equivalent with the hope of a  horned horse, because a horse has no horns. This is one of the ironies facing Indonesia as the largest Muslim nation in the world.
In my view, the Muhammadiyah in entering the second  centenary of its existence should also focus on the issues of human brotherhood, pluralism, democracy, tolerance, and equality. In the context of our discussion, by pluralism I mean the acceptance of many groups in society or many schools of thought in an intellectual or cultural discipline. If this definition is extended, one must accept the reality of the existence of many different religions, philosophies, ideologies, nations, tribes, ethnicities, and cultural bacgrounds as hard facts of history. These differences, according to the Qur’ân, are not to divide but to enrich our human vision and understanding of reality. “O mankind Behold, We have created you from a male and a female, and made you into nations and tribes, so that you might come to know one another. Verily, the noblest of you in the sight of God is the one who is mostly deeply conscious of Him. Behold, God is all-knowing, all-aware.”[3] The requirement of knowing one another is both the religious and sultural foundation behind building up a universal human brotherhood and pluralism. This cultural building can only be solid and effective if we are ready to accept the reality of differences with tolerance.
Then comes the concept of equality among men. Without accepting the principle of the equal status of mankind there will be no justice and sincere brotherhood on this planet. In my understanding of the Qur’ân, the spirit of brotherhood should not be confined just between believers of different faiths, but it is also possible to creat it between believers and non-believers, even atheists, provided no one has a hidden agenda to eliminate and destroy the other. The Qur’ân is firm in the defense of religious freedom: “For, if God had not enabled people to defend themselves against one another, all monastries, churches, synagogues, and mosques--in [all of] which God’s name is abountly extolled--would surely have been destroyed.”[4] In this verse, the Qur’ân has made it clear that the mention of God’s name is not only found in mosques, but also in monastries, churches, and synagogues. But, of course, we must also admit the fact that in and under certain circumstances, the Qur’ân is more tolerant than those Muslims who claim to be the only representatives of religion and truth. This is whrere the culture of intolerance comes from.
To sum up
                The Muhammadiyah is quite optimistic to see the future of Islam in the world. Though Islamic civilization in the present era lags behind Western technological and materialistic progress, that core--its inner dynamic or èlan vital--never dies out. Almost all Muslims believe that they indeed have the future, of course, on the condition that they are ready to correct their past mistakes and inner weaknesses. This strong faith in God’s mercy and justice has prevented them from committing intellectual and spiritual suicide by giving into nihilism, a phenomenon found now in the age of post-modernity.


[1] See P.P. Muhammadiyah,  Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga  Muhammadiyah Part 2, Article 1. Jogjakarta: Suara Muhammadiyah, 2005, p. 9.
[2] Ibid., Part 3, Article 6.
[3] See the Qur’ân chapter al-Hujurât verse 13.
[4] Ibid., Chapter al-Hajj verse 40.

Friday, November 23, 2012

Mencari Identitas dan Arah Baru Muhammadiyah di Abad Kedua

Identitas  Muhammadiyah
Kompas, 23 November 2012
 
Mitsuo Nakamura*

Selama 100 tahun keberadaannya, Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi Indonesia, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, filantropi, dan kesejahteraan sosial. Kontribusi ini tak terbatas pada masyarakat Muslim, tetapi juga masyarakat non-Muslim, seperti terlihat pada adanya sekolah dan rumah sakit Muhammadiyah di Papua dan Nusa Tenggara Timur. Bersama Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah menjadi organisasi Islam terpenting di negeri ini dan menjadi representasi suara Islam moderat. Di tingkat global, barangkali tak ada organisasi Islam modern yang bisa menandingi amal usaha Muhammadiyah.

Memudar dan Kurang Dinamis
Namun, peran Muhammadiyah pada beberapa dekade belakangan ini seperti agak memudar. Secara eksternal, berbagai kelompok transnasional, seperti Hizbut Tahrir Indonesia, yang muncul pasca-tumbangnya Orde Baru, mampu berkompetisi dan menandingi Muhammadiyah. Secara internal, berbagai infiltrasi, seperti dari Partai Keadilan Sejahtera, memengaruhi gerak langkah Muhammadiyah. Di tubuh organisasi ini juga terjadi konflik di antara tiga kubu: kelompok Salafi yang cenderung skriptualis dan konservatif, kelompok moderat yang memadukan puritanisme dan modernisme, serta kelompok liberal yang menganggap Muhammadiyah terlalu kaku dan menghargai keimanan individu.

Persoalan yang menimpa Muhammadiyah saat ini tak hanya pada tingkat ideologi. Amal usahanya pun menghadapi banyak masalah. Dulu, Muhammadiyah adalah pionir dalam bidang pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Namun, kini sebagian dari lembaga pendidikan milik Muhammadiyah terlihat ketinggalan zaman, kalah bersaing dengan sekolah internasional, Sekolah Islam Terpadu, dan sekolah milik kelompok Salafi yang didukung dana dari Timur Tengah.

Dalam bidang filantropi, Muhammadiyah juga agak kalah lincah dan gesit dibandingkan organisasi baru, seperti Dompet Dhuafa dan Pos Keadilan Peduli Ummat. Rumah sakit Muhammadiyah juga tak berbeda dari rumah sakit pada umumnya yang dikelola dengan motif komersial dengan tarif tinggi. Bahkan, beberapa rumah sakit Muhammadiyah kalah kualitasnya dari puskesmas. 

Secara organisasi, beberapa pengamat menilai bahwa Muhammadiyah kini kalah dinamis dibandingkan dengan NU dalam ideologi. Organisasi yang dulu diasosiasikan dengan kaum sarungan dan kolot itu kini tampak lebih progresif dan reformis, terutama sejak dipimpin Gus Dur tahun 1980-an.

Beberapa hal itulah yang menjadi tantangan berat bagi Muhammadiyah ketika organisasi ini mencapai umur satu abad yang diperingati pada 18 November tahun ini. Karena itu, ulang tahun kali ini dirasakan tidak cukup dengan dirayakan di Gelora Bung Karno, Jakarta, dan di beberapa tempat lain di Indonesia. 

Perayaan itu sendiri penting dilakukan sebagai bentuk syukur dan karena ini adalah peristiwa yang hanya terjadi sekali dalam seumur hidup buat para anggota dan simpatisannya. Kalau nanti Muhammadiyah mampu bertahan hingga 200 tahun, pasti bukan generasi sekarang yang akan menjumpainya.

Namun, yang lebih penting dari perayaan seremonial adalah menemukan kembali (rediscovery) dan reformulasi terhadap identitas Muhammadiyah untuk abad kedua. Inilah di antaranya mengapa sejumlah aktivis-sarjana Muhammadiyah dan pengamatnya dalam negeri bekerja sama dengan beberapa sarjana asing, seperti saya sendiri, MC Ricklefs, James Peacock, Robert Hefner, Hyun-Jun Kim, Jonathan Benthall, Robin Bush, Martin van Bruinessen, Nelly von Doorn Harder, dan sebagainya, menyelenggarakan konferensi-riset internasional tentang Muhammadiyah (International Research Conference on Muhammadiyah/IRCM) di Malang, 29 November-2 Desember 2012. Saya juga berterima kasih kepada Ahmad Najib Burhani dari LIPI yang telah membantu saya dalam penyusunan tulisan ini.

Tantangan ke Depan
Dengan kecepatan globalisasi dan teknologi yang luar biasa, masih mampukah Muhammadiyah menjadi organisasi Islam yang progresif (berkemajuan) dan dinamis? Di tengah gelombang Salafisme dan Islamisme, mampukah Muhammadiyah tegak mempertahankan dan merevitalisasikan identitasnya? Di tengah kebangkitan kembali hal-hal tradisional dan lokal sebagian karena desentralisasi, khususnya revival kejawen, bagaimanakah organisasi ini mesti bersikap? Inilah beberapa tantangan Muhammadiyah ke depan yang akan dicoba dibahas di konferensi sarjana di Universitas Muhammadiyah Malang.

Tentunya tantangan besar yang dihadapi Muhammadiyah ke depan tak bisa diselesaikan dengan konferensi atau dalam sebuah konferensi. Meski berupaya membedah berbagai aspek kemuhammadiyahan sejak organisasi ini didirikan 18 November 1912, apa yang dilakukan para sarjana domestik dan asing hanyalah diagnosa dan sebagian dari mereka yang berhaluan ”intelektual organik”, mungkin dapat memberikan resep obat.

Namun, untuk bisa bangkit kembali, perlu langkah sistematis dari pengurus Muhammadiyah sendiri, kesadaran warga Muhammadiyah, dan barangkali dukungan berbagai pihak, termasuk pemerintah ataupun kelompok masyarakat madani yang lain. Pada tingkat teoretis, langkah itu mungkin bisa dimulai, misalnya, dengan mereformulasi teologi al-Ma’un yang selama ini menjadi prinsip gerak dan darah amal usaha Muhammadiyah dalam usaha membantu para orang-orang yang miskin, lemah, dan tertinggal.

Semangat ”kembali ke Al Quran dan Sunah” dan semboyan amar makruf nahi mungkar yang menjadi ruh reformasi keagamaan di Muhammadiyah juga perlu mendapat reformulasi pada dimensi epistemologi ataupun proyek kegiatan yang konkret. Cita-citanya yang dituntut ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” dan ”peradaban unggul” juga perlu dioperasionalisasikan dengan ukuran empiris. Dan, khususnya dalam lingkungan plural, konsep fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebajikan) juga mungkin perlu mendapat suntikan lagi dengan darah baru dan diperluas tak sekadar kompetisi sesama warga Muhammadiyah, tetapi juga kompetisi dan kerja sama dengan masyarakat beragama lain sebagai sesama manusia yang hidup berdampingan dalam global village pada dunia kekinian.
-oo0oo-

*Professor Emeritus, Chiba University, Japan; Wakil Ketua SC IRCM  (International Research Conference on Muhammadiyah); penulis The crescent arises over the banyan tree: A study of the Muhammadiyah movement in a central Javanese town, c. 1910s-2010. 2nd Enlarged Edition, (ISEAS, 2012).

Available at: http://cetak.kompas.com/read/2012/11/23/02553927/.identitas.muhammadiyah

Wednesday, November 21, 2012

Muhammadiyah dan Pemerintah

Kompas, 21 November 2012

MC Ricklefs

Sebagai institusi agama dan bakti sosial yang amat besar, Muhammadiyah terpaksa menjalin hubungan dengan pemerintah yang ada. Pada zaman kolonial isu ini agak rumit.

Di satu sisi Muhammadiyah kurang senang dengan ”netralitas” pemerintah kolonial dalam bidang agama, yang memungkinkan misi-misi Kristen mencari pengikut baru dalam masyarakat Indonesia. Di sisi lain Muhammadiyah merangkul pendekatan pendidikan modern pemerintah: bekerja sama dengan pemerintah dalam pendidikan, bahkan meniru kegiatan misi Kristen dalam amal usahanya.

Selama periode Revolusi dan Orde Lama Soekarno, Muhammadiyah berusaha memperkuat masyarakat madani dan menolong kaum fakir dan miskin. Pada masa itu, organisasi yang semakin besar ini harus menghadapi pertentangan dari pihak komunis dan kompetitor—terutama pada tingkat akar rumput di pedalaman– dari kaum tradisionalis, yang terutama di- wakili oleh Nahdlatul Ulama (NU). Pemerintah waktu itu cukup lemah dan kacau sehingga Muhammadiyah bisa jalan terus dengan kegiatannya tanpa harus memperhatikan sikap pemerintah.

Soeharto pro-Soeharto
Selama periode Orde Baru, pengalaman Muhammadiyah sekali lagi cukup rumit. Rezim Soeharto merupakan pemerintah yang pertama di Indonesia yang betul-betul beraspirasi totaliter—yaitu bertujuan mengontrol baik pikiran masyarakat maupun aktivitasnya secara total—dan berkemungkinan memenuhi aspirasi ini.

Namun, negara RI begitu besar, birokrasi dan militer begitu tak efisien, dan pemerintah begitu korup sehingga totaliterianisme itu tak bisa dijalankan sepenuhnya. Meski demikian, rezim Orde Baru merupakan pemerintah yang jauh lebih kuat daripada era sebelumnya dan Muhammadiyah–sama dengan semua institusi lain–harus bersikap terhadap pemerintah itu.

Soeharto kadang-kadang ditafsirkan sebagai tokoh yang anti-Islam pada mulanya, tetapi kemudian mengubah sikapnya menjadi pro-Islam pada akhirnya. Menurut saya, analisis itu salah karena pertanyaannya salah. Pertanyaannya bukan apakah Soeharto anti atau pro-Islam? Soeharto selalu pro-Soeharto; begitu saja. Karena itu, kadang-kadang rezimnya mendukung salah satu organisasi atau unsur sosial, kadang- kadang tidak. Yang penting ialah apakah institusi atau unsur sosial itu mendukung rezim dan tujuannya. Dari permulaannya, Orde Baru ingin melemahkan atau menghapus semua organisasi yang merupakan kompetitor atas rezim itu.

Rezim itu mendukung proses islamisasi dalam masyarakat karena proses tersebut mendukung tujuannya (1) mengontrol masyarakat dari atas sampai ke bawah dan (2) menghapus semua sisa-sisa komunisme. Namun, penting bahwa rezimlah yang memimpin itu. Jadi, pemerintah mendirikan atau melanjutkan institusi-institusi islamisasi sendiri: Pendidikan Tinggi Da’wah Islam, Gabungan Usaha Pembinaan Pendidikan Islam, Proyek Pembinaan Mental Agama, Majelis Ulama Indonesia, Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, serta banyak masjid dan langgar yang didirikannya.

Beberapa tokoh Muhammadiyah sangat marah kepada rezim itu karena pembangunan, modernisasi, keterbukaan terhadap investor dan negara asing; juga karena pemerintah sendiri ingin mendominasi bidang agama. Rezim itu memungkinkan perkembangan baru yang dianggap kurang sehat, terutama (yang mencerminkan kebijakan kolonial) sikap pemerintah terhadap agama yang membuka masyarakat RI kepada gelombang kristenisasi yang mengejutkan pada 1960-an dan 1970-an.

Perkembangan ini paling nyata di kota-kota Jawa yang juga merupakan pusat kekuatan Muhammadiyah. Pada 1971, misalnya, jumlah penduduk Yogyakarta, ibu kota Muhammadiyah, sudah 11,6 persen Kristen. Pada 2006 menjadi 20,8 persen.

Pada 1969, tokoh sangat terkemuka, Hamka, berpidato di konferensi Muhammadiyah di Ponorogo. Dia memuji-muji pikiran tokoh Ikhwanul Muslimin Sayyid Qutub dan pemikir Islamis Pakistan, Maududi. Dia sangat marah terhadap pemerintah yang, menurut Hamka, memperbolehkan dan malah mendukung kerja sama antara agama-agama, keluarga berencana, porno, miniskirt, Beattles, judi, ganja, dan mode hippy yang akan merusak umat Islam. Dia mencela serangan pikiran dari luar (Barat), misalnya filsuf Perancis, Jean-Paul Sartre, yang dia garis bawahi seorang Yahudi karena eksistensialismenya (yang dinamakan Wujudiyya oleh Hamka) lebih berbahaya daripada komunisme.

AR Fakhruddin membuka konferensi Angkatan Muda Muhammadiyah pada 1976. Menurut dia, ada upaya gerakan menghapus Islam secara total dari Pulau Jawa dalam 15-30 tahun dan dari RI seluruhnya dalam 50 tahun. Bahkan, ada kelompok yang bertujuan membersihkan Islam secara total dalam tiga tahun sesudah Pemilu 1977. Jadi, Angkatan Muda Muhammadiyah harus meningkatkan dakwahnya: harus memperkuat kegiatannya dalam amar makruf nahi mungkar.

Merasa terancam
Cukup banyak tokoh lain dari Muhammadiyah atau dari kaum modernis lebih umum yang merasa terancam oleh pemerintahan Soeharto. Sesudah jelas bahwa partai politik modernis Masyumi tidak boleh dihidupkan kembali, frustrasi politik kaum modernis cukup besar. Frustrasi itu tambah besar karena gelombang kristenisasi pada awal Orde Baru, perubahan sosial, dan korupsi rezim.

Pada saat yang sama pemerintah menjalankan modernisasi pendidikan yang sangat berdampak. Ratusan ribu sekolah didirikan. Orang yang melek huruf berkembang dengan pesat bersama dengan mereka yang bisa berbahasa bahasa nasional. Maka, bagian Muhammadiyah dalam persekolahan berkurang. Pada 1988, 44.430 guru di 4.262 sekolah Muhammadiyah mengajar hanya 1,6 persen dari semua anak sekolah di RI, yang jumlahnya saat itu 37,5 juta orang.

Di sekolah-sekolah negeri, pelajaran agama diwajibkan. Versi Islam yang diajarkan pada umumnya sesuai dengan tafsiran modernis. Apalagi, guru-guru agama di sekolah-sekolah negeri itu termasuk banyak lulusan dan aktivis Muhammadiyah. Alhasil, di tempat-tempat dengan sekolah-sekolah baru sering didirikan juga cabang Muhammadiyah baru. Madrasah Muhammadiyah dirangkul dalam sistem pendidikan nasional pada 1975 dengan kurikulum yang 70 persen ”sekuler” dan hanya 30 persen agama. Sementara selama 20 tahun pertama era Soeharto, pihak NU dicurigai oleh rezim dan pesantren-pesantrennya yang hanya mengajar agama kehilangan subsidi dari pemerintah.

Perluasan pendidikan umum yang dikaitkan dengan perluasan pendidikan agama dalam setiap sekolah memperluas pengaruh Muhammadiyah dan pendekatan modernis pada umumnya. Ini juga mendukung proses umum memperluas dan memperdalam pengaruh nilai Islam dalam masyarakat. Proses islamisasi jelas kuat dalam masyarakat Jawa yang sebelumnya mayoritas abangan. Sebagai indikator, pada 1969-1970 jumlah haji dari Jawa Tengah hanya 805 orang, sedangkan lima tahun sesudah itu sudah 4.024 orang. Sekarang sudah puluhan ribu dan hanya dibatasi oleh kuota Arab Saudi.

Jadi, pada era Orde Baru, Muhammadiyah merupakan pengkritik pemerintah ataupun teman bekerjasamanya dan meraih keuntungan dari rezim itu. Integrasi yang cukup kuat antara pemerintah dan agama merupakan salah satu warisan era Soeharto yang masih nyata dalam era Reformasi. Misalnya, fatwa MUI sering dianggap pemerintah dan polisi sebagai hukum negara: ”tobat” pengikut ”aliran sesat” dilaksanakan di kantor polisi dan disaksikan oleh polisi, militer, dan intel. Parpol-parpol mendirikan cabang dakwah. Politik mahasiswa hampir 100 persen diorganisasikan menurut fraksi agama.

Dalam suasana demikian, Muhammadiyah masih harus merumuskan sikap dan hubungan dengan pemerintah: mana yang paling cocok dengan kepentingan organisasinya, ribuan amal usahanya, dan puluhan juta pengikutnya.

MC Ricklefs Profesor Emeritus Australian National University

Tuesday, November 20, 2012

100 Tahun Muhammadiyah (II)

REPUBLIKA.CO.ID, Selasa, 20 November 2012, 07:00 WIB

oleh: Ahmad Syafii Maarif

Saya tidak punya cacatan sudah berapa ratus ribu anak bangsa yang pernah diasuh, dididik, dan dirawat oleh Muhammadiyah sejak awal berdirinya. Dari sisi ini warga Muhammadiyah secara keseluruhan pantas punya kebanggaan tersendiri dengan sebuah senyum syukur.

Dalam sebuah makalah pada Konferensi Internasional ke-3 tentang Islam dan Pendidikan Tinggi di Kuantan, Pahang (Malaysia), 1-2 Oktober 2012, di bawah tajuk “Muhammadiyah and Its Socio-Religio-Educational Network”, saya telah mencoba menyajikan di depan forum bergensi itu tentang apa dan siapa Muhammadiyah itu. Cobalah tuan dan puan tengok jumlah rumah sakit, klinik, dan poliklinik milik Muhammadiyah sudah berada pada angka 457, sementara perguruan tinggi ada 172. Dari angka 172 ini terdapat 40 universitas dengan jumlah mahasiswa lebih kurang 450.000, sekitar 10 persen dari keseluruhan mahasiswa Indonesia.

Ada lagi Universitas Muhammadiyah yang unik di Kupang, karena sekitar 75 persen mahasiswanya beragama selain Islam. Sebagai salah seorang yang terlibat dalam kegiatan lintas iman pada skala nasional dan global, bagi saya fenomena Kupang ini sangat menggembirakan, bukan untuk menambah jumlah pemeluk Islam, tetapi membantu negara dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dari 40 universitas, terdapat 10 besar dengan jumlah mahasiswa bergerak antara 11.000 sampai 36.000, berlokasi satu di Makassar, satu di Malang, satu di Solo, dua di Jogjakarta, satu di Medan, satu di, Palembang, satu di Jakarta, satu di Bengkulu, dan satu di Ternate.

Dalam perspektif lokasi ini saja, karakter nasional Muhammadiyah sangat kentara. Dalam ungkapan lain, gerak nafas Muhammadiyah sudah menyatu dan melebur dengan nafas keindonesiaan. Pada saat orang agak gelisah dengan masalah integrasi nasional, Muhammadiyah telah bekerja dengan rapi untuk tujuan itu melalui amal kongkret, tanpa banyak berwacana.

Di ranah kesehatan, contoh kecil di bawah ini patut dicermati. Beberapa tahun yang lalu seorang bupati di Jawa Tengah menyerahkan sebidang tanah kepada sebuah organisasi sosial keagamaan untuk rumah sakit. Dua tahun berlalu sejak penyerahan itu, tanah tetaplah tanah tanpa bangunan. Lalu bupati bertanya kepada Muhammadiyah, apakah bersedia membangun rumah sakit di atas tanah itu. Dijawab: “Insya Allah, kami akan usahakan.” Dalam tempo relatif singkat, berdirilah rumah sakit itu. Dan sekarang termasuk rumah sakit yang bermartabat di kabupaten itu. Mungkin sudah ribuan contoh semacam ini, teramasuk di bidang pendidikan dan sosial lainnya.

Berkat filsafat amal Muhammadiyah telah membantu negara untuk menyantuni dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai dengan perintah ayat-ayat konstitusi. Umumnya amal itu dilakukan tanpa pambrih. Demikian gigihnya organisasi ini membantu negara selama puluhan tahun, maka tidaklah elok dan berada di luar pematang keadaban, jika masih saja ada pihak-pihak yang bernafsu menggusur pakar-pakar Muhammadiyah dari posisi-posisi strategis di lingkungan kementerian agama, P dan K, sosial, dan kesehatan.

Untuk menduduki posisi-posisi ini, orang Muhammadiyah mampu berkompetisi dengan siapa saja, asal parameter yang digunakan adalah profesionalitas, bukan politik kekuasaan. Akhirnya, memasuki abad ke-2 dalam mengemban misinya, energi dan stamina Muhammadiyah haruslah disiapkan untuk turut mengurus negara ini secara keseluruhan.

Apa yang telah dirintis oleh Prof M Amien Rais untuk memimpin negara, sekalipun belum berhasil maksimal, adalah fenomena baru yang penting untuk diikuti, yang oleh Ahmad Dahlan di bawah sistem penjajahan tempo doeloe tentu tak terbayangkan. Syaratnya adalah agar tokoh-tokoh Muhammadiyah itu haruslah sekaligus menjadi pengayom rakyat Indonesia, tanpa kecuali. Semboyan bahwa Muhammadiyah adalah tenda besar bangsa baru akan punya makna manakala para tokoh itu punya wawasan keindonesiaan yang luas dan otentik. Ke jurusan inilah sebagian elit Muhammadiyah mesti mengayunkan langkah amalnya untuk masa depan, di samping meneruskan kerja besar yang telah ditandangi selama ini.

Retrieved from: http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/12/11/19/mdqggq-100-tahun-muhammadiyah-ii

Muhammadiyah and radicalism: Relationships and intersections




Paper Edition | Page: 7

In commemorating its centennial anniversary November this year, Muhammadiyah, the second largest Islamic organization in Indonesia, is organizing an International Research Conference on Muhammadiyah, or IRCM, at Muhammadiyah University of Malang, East Java, from Nov. 29-Dec. 3. More than a dozen internationally reputable experts in Muhammadiyah studies will discuss, scrutinize, asses and analyze many aspects of Muhammadiyah’s movements, ranging from its religious stance, social achievements, education, to political dynamics. Among so many topics that are highly debated will be Muhammadiyah and radicalism.

It cannot be denied that the ascendance of Islamic radicalism in the post-New Order Indonesia has created a number of schools of thought. Among them is the association of Islamic radicalism with modernist and puritan Islamic groups, including Muhammadiyah. One main reason for this attribution is the fact that some main players of radicalism in Indonesia are connected to Muhammadiyah, including, 2002 Bali bombers Amrozi, Mukhlas and Ali Imron, being the most popularly cited examples.

In responding to this fact, two opposing views emerged. On the one hand, some observers and scholars, such as Nahdlatul Ulama (NU) chairman Said Agil Siradj, have exaggerated the fact and jumped into the conclusion that Muhammadiyah is a “producer” of radicals. Muhammadiyah’s inner circles, on the other hand, are defensive by stating that the association is non-sense and is politically motivated. However, both views are not based on a rigorous assessment and mostly motivated by prejudices and a shallow understanding of the complex dynamic of Muhammadiyah, on the part of observers; and by exclusive-mindedness and fanaticism, on the part of Muhammadiyah activists.

Based on my research, which took the case of emerging radicalism in predominantly Muhammadiyah region of Lamongan, East Java, it can be concluded that basically Muhammadiyah has made an indirect contribution to the emergence of radicalism among the youth. The contribution can be described in the following points.

In terms of religious doctrine, Muhammadiyah shares certain fundamental traits with radical Islamic groups. Those intersections are their attitude toward the Scripture, local cultures and traditions. Theoretically, Muslims’ attitude toward the interpretation of the Koran can be broadly identified in terms of literalist, semi-literalist and
progressive.

While the founder of Muhammadiyah took a progressive approach in interpreting the Koran, most Muhammadiyah members in the current context adopt the second approach, while it is academically accepted that the second approach is also followed by most radicals, most notably their ideologues such as Sayyid Qutb and Abul A’la al-Mawdudi.

For the lack of a better term, I refer to this intersection as the “elementary relationship” of Muhammadiyah and radicalism. At this stage of the interplay, Muhammadiyah’s doctrine of puritanism has a minor but determining role in spreading the seeds of radicalism among certain activists. However, those seeds developed and advanced not in Muhammadiyah milieu, but outside Muhammadiyah. The case of Ali Imron and Amrozi evidence of this.

In his memoir, Imron (2007) acknowledged that the seeds of radicalism were firstly planted in him when he was educated at a Muhammadiyah boarding school in his hometown Lamongan. However, the seeds did not grow into fertile plants until he was involved in jihad training in Afghanistan, a path paved by his brother, Mukhlas, who was running an Islamic boarding school in Johor, Malaysia.

Interestingly, those who have transformed into radical activists although previously connected to Muhammadiyah, have now separated from it on the basis that it is less radical and not in line with radicals’ agenda of the Islamization of society. The dispute between Mukhlas and his brother Khozin, who is currently a Muhammadiyah member, is a clear example. When Mukhlas transformed into a radical, he often warned Khozin not to maintain his association with Muhammadiyah, since in Mukhlas’ view being involved in Muhammadiyah would bring no benefits.

The next type of relationship between radicalism and Muhammadiyah is what I term as the “return-for-salvation” stage. At this stage, the established radicals now return to Muhammadiyah not to rejoin the organization but come with a claim to save it from elements, doctrines, beliefs and practices that they perceive as un-Islamic, on the one hand; and to persuade Muhammadiyah youths to join radical fronts, on the other.

In many cases, those who previously studied in Muhammadiyah educational institutions now dare to openly challenge and question Muhammadiyah local leaders’ positions on certain Islamic topics. Although those radicals are aggressively approaching Muhammadiyah youths, it is interesting to note that Muhammadiyah youths are different in responding to radical calls: those who accept the calls and those who critically reject them.

The former group is generally those who are experiencing the crisis of identity that, as in the Lamongan case, is caused by the exclusive attitude of most Muhammadiyah local leaders. This attitude has furthermore led them to be deterministic in identifying what thoughts and practices are in line with Muhammadiyah and which are not. Consequently, this attitude has also contributed to the emergence of new radicals among the youth.

For its 100th anniversary, therefore, it is important for Muhammadiyah to reassess its religious doctrines, reformulate it reform attitudes, as well as revisit its leaders’ attitude toward differences, especially in dealing with the youth who are experiencing crisis of identity and “religious openings” and “cognitive seeking.”

If Muhammadiyah local leaders do not change their deterministic attitude, in the long run, Muhammadiyah will be no more interesting for the youth and they will switch their preference to radical Islamic groups. When this happens, it is hard to deny that Muhammadiyah is actually playing its role in strengthening Islamic radicalism.

The writer is an activist of Muhammadiyah Young Intellectual Network (JIMM) and is pursuing a PhD at National University of Singapore.

Available at: http://www.thejakartapost.com/news/2012/11/20/muhammadiyah-and-radicalism-relationships-and-intersections.html

Monday, November 19, 2012

Satu Abad Pengabdian Muhammadiyah

Metro View | Senin, 19 November

Oleh Suryopratomo 


TIDAK banyak organisasi yang mampu bertahan hingga satu abad. Apalagi dengan pengabdian yang tiada henti bagi kemajuan masyarakat. Itulah sumbangsih yang luar biasa yang dilakukan Muhammadiyah kepada bangsa ini.

Muhammadiyah lahir bukan hanya sekadar menjadi organisasi kemasyarakatan yang berbasis agama. Ia mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat untuk menjadi individu yang taat kepada perintah-Nya dan secara bersamaan sadar akan keberadaannya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang plural.

Itulah yang dilakukan KH Achmad Dahlan ketika mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912. Pergulatan pemikirannya dengan rekan-rekannya, seperti Dr Soetomo, tidak hanya berhenti dengan mendirikan Boedi Oetomo pada tahun 1908, tetapi melakukan pemberdayaan kepada umat dengan memperkuat bidang pendidikan.

Pendidikan pesantren yang digagas KH Achmad Dahlan bukan hanya bersifat dogmatis, tetapi juga mengembangkan wawasan. Itulah yang membuat Muhammadiyah menjadikan anggota-anggotanya menjadi individu yang berpikiran modern.

Bahkan para pendiri Muhammadiyah kemudian mengajarkan kepada anggotanya untuk menjadi invididu yang mandiri. Mereka mengajarkan pentingnya para anggota untuk memahami sistem perdagangan.

Serikat Dagang Islam yang digagas H Samanhudi memang menjadi pilar lain dari Muhammadiyah. Bahkan kemudian bidang pengabdian Muhammadiyah dikembangkan lebih luas ke pelayanan kesehatan.

Muhammadiyah memang menjadi model ideal dari organisasi masyarakat Islam. Sosok yang dibawakan tidak harus menakutkan, tetapi justru membawa kesejukan. Prinsip-prinsip yang ditegakkan tidak perlu harus menimbulkan ketakutan pada orang lain.

Inilah yang seharusnya menjadi pelajaran bagi ormas-ormas yang muncul belakangan. Mereka harus ikut turut membangun masyarakat ke arah yang benar. Islam sebagai agama yang mengusung semangat rahmatan lil alamin, rahmat bagi sekalian alam,  dipraktikkan secara benar.

Indonesia masih akan maju lebih cepat apabila dibangun dengan prinsip seperti itu. Negeri ini didirikan dengan keinginan memberikan kesejahteraan bagi seluruh warga, bukan hanya sekelompok warga saja.

Sejak Soekarno dan Mohammad Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, kita tahu bahwa negeri ini didirikan atas keberagaman. Namun kita sepakat untuk menjauhkan perbedaan dan mendahulukan kesatuan, demi tercapai tujuan bersama yakni membangun masyarakat adil dan makmur.

Kita harus selalu ingat kepada prinsip bernegara yang kita bangun bersama itu. Kita bukanlah bangsa yang berdiri atas dasar kelompok-kelompok. Kita sudah menetapkan diri bahwa meski kita berbeda-beda dalam suku, agama, dan golongan, tetapi kita adalah satu keluarga besar bangsa Indonesia.

Muhammadiyah harus terus ikut serta untuk menyuarakan kebersamaan itu. Bahkan Muhammadiyah harus berani mengingatkan ketika terjadi penyimpangan kepada cita-cita perjuangan bangsa. Muhammadiyah telah membuktikan itu ketika Indonesia dihadapkan kepada ancaman paham komunisme, dan Muhammadiyah berada paling depan untuk ikut membawa bangsa ini kembali kepada cita-cita perjuangan bangsa.

Dengan kiprah yang telah dimainkannya sekarang ini, tentunya tidak perlu ada keraguan terhadap keberadaan Muhammadiyah. Meski sekarang  terasa sangat kritis kepada pemerintah, kita harus meyakini bahwa kekritisan Muhammadiyah bukan karena kebencian kepada pemerintah, tetapi karena kecintaannya kepada bangsa dan negara.

Kita harus meyakini bahwa apa yang dilakukan Muhammadiyah adalah menjalankan prinsip "amar makruf nahi mungkar". Apa yang disuarakan oleh Muhammadiyah adalah dalam konteks untuk mengingatkan jangan sampai terjadi kerusakan yang lebih besar dari bangsa ini.

Kita tentu tidak perlu meragukan kesungguhan Muhammadiyah untuk berjuang bagi kepentingan bangsa dan negara ini. Apa yang mereka lakukan bukanlah dalam rangka politik praktis, tetapi Muhammadiyah selalu menjalankan politik moral.

Bangsa ini sangat membutuhkan kehadiran Muhammadiyah yang bisa mencerahkan. Kita berharap sumbangsih Muhammadiyah untuk satu abad ke depan. Tantangan ini harus bisa dijawab seluruh anggota Muhammadiyah.

Selamat Milad yang kesatu abad Muhammadiyah. Semoga Allah SWT selalu meridhoi dan memberkati perjuangan Muhammdiyah bagi kemajuan bangsa dan negara ini.

Retrieved from: http://www.metrotvnews.com/read/tajuk/2012/11/19/1329/Satu-Abad-Pengabdian-Muhammadiyah/tajuk

Sunday, November 18, 2012

Muhammadiyah’s new challenges

The Jakarta Post,
Amika Wardana, Colchester, UK | Opinion | Sun, November 18 2012, 10:35 AM 
 
Paper Edition | Page: 4
Surviving for 100 years as a non-profit mass organization, as Muhammadiyah has done, is no ordinary achievement. Throughout its history, Muhammadiyah has faced, solved, compromised, avoided or neglected a lot of diverse socio-political, cultural and religious challenges.

As of its centennial, the endurance of this Islamic reformist-puritan movement has been tested by five different regimes: Dutch colonial rule, Japanese occupation, Sukarno’s Old Order, Soeharto’s New Order and the post-1998 democratic transition. Each of those regimes has had different religious policies, either accommodative or repressive, regarding Islamic religious movements and social organizations.

As one of the leading Muslim organizations in the country, Muhammadiyah began to play a crucial role in society in the beginning of the 20th century, when it was imbued with an emerging quest for Islamic religious reform to adapt to modernity and against the backdrop of an anti-colonial movement linked to the Middle-East based Pan-Islam movements.

With its non-political and cooperative, rather than confrontational, strategy and focus on the delivery of public education, healthcare and other social services, Muhammadiyah has survived two colonial governments.

Although the first two Indonesian presidents favored secular and nationalist ideas and tended to limit political Islam, both Sukarno and Soeharto publicly and proudly claimed to be part of Muhammadiyah.

Due to its informal ties, Muhammadiyah was relatively free from intervention, repression and politicization by the two regimes, which otherwise targeted anti-nationalist or radical Muslim groups. Due to its moderate standpoint, Muhammadiyah was a safe haven for Muslim activists from the witch hunts of both regimes.

The popularity of a “modernist” discourse in the 1960s and 1970s, as evinced by Soeharto’s political ideology of development, has a strong link to Muhammadiyah’s idea of the Islamic reform. With political and even financial support from the government, Muhammadiyah has successfully expanded its core social and religious business in education and healthcare. As we can see today, the organization is well known for its thousands of schools and universities and hundreds of hospitals and medical clinics that it manages across the country.

Apart from those achievements, however, the success or failure of Muhammadiyah in sailing through its second century will be determined by completely different socio-political and economic situations, as well as different political religious ideas.

The growing influence of the conservative Islamic political religious ideology (e.g., the Salafis and the Hizb-ut Tahrir) from the Middle East in the last few decades can be perceived as a major ideological challenge. Of course, conservative Islam is actually not new, but its current intensity and penetration across national borders with the advent of social media have had a tremendous impact on its followers.

These conservative ideas are often manifested in two ways: by a popular desire for political Islam (e.g., the implementation of Sharia and the establishment of a transnational Islamic caliphate) and by the growing dominance of orthodox Islamic cultural traditions, e.g., the rejection of religious pluralism.

In the realm of politics, for Muslims at large and especially for Muhammadiyah’s leaders and members, political Islam has raised a classic dilemma determined by old thinking that does not separate religion from politics. Strictly speaking, rejecting political Islam means violating the primary tenets of Islam, but accepting it designates a betrayal of moderate political ideology and hence the religiously plural nature of Indonesia.

Increasingly dominant orthodox Islamic cultural traditions are by no means in line with the puritan ideology of Muhammadiyah. This is related to growing intolerance and attacks of minority religious groups perceived as heretical, such as the Shia and Ahmadis.

It has been beyond the official policy of Muhammadiyah to determine if religious groups are heretical or to condone acts of violence against their followers or other religious groups outside Islam. Muhammadiyah, however, does deem certain ideas and activities as heresies that must be avoided by its members. Unsurprisingly, the policy has been unpopular among Indonesian Muslims, who perceive it as a display of Muhammadiyah’s cowardice, weaknesses and a defiance of its long-held puritan Islamic ideology. As the result, Muhammadiyah is facing a loss of public confidence.

The transitional democracy of Indonesian politics, moreover, has somewhat discredited the political position of Muhammadiyah, which for years has enjoyed political privileges. This has been illustrated by the under-achievement of the National Mandate Party (PAN) and the failed political experiment of the National Sun Party (PMB) in the 2009 legislative election.

In this context, there exists a classic dilemma for political Islam in the wake of democracy. By accepting democracy, political Islamists tend to exert democracy to gain power and thus push for the Islamization of government policies. For politically moderate Muslims, the acceptance of democracy affirms Muhammadiyah’s recognition of liberal democratic principles, including gender equality, freedom of speech, religious pluralism and, to a certain degree, structural secularization. The latter choice has the potential detrimental effect of Muhammadiyah being isolated by other Muslim political activists.

These challenges do not mean that Muhammadiyah will be dismantled or lose its social and political credibility within Indonesian Muslim society. But, of course, Muhammadiyah requires more confidence in its political and religious policies and persuasive dissemination to the public, although it may lead Muhammadiyah into a head-on collision with conservative Islamic groups.

Muhammadiyah also needs to focus more on its core social projects in education and health care to prove its contribution to the state and the people.

The writer is member of the Muhammadiyah Young Intellectuals Network (JIMM).

Retrieved from:http://www.thejakartapost.com/news/2012/11/18/muhammadiyah-s-new-challenges.html