Thursday, September 29, 2011

Muhammadiyah Lamongan: Catatan Sejarah

Muhammadiyah Bergeser ke Lamongan

Belum banyak pustaka yang membahas terkait keberadaan Muhamadiyah di Jawa Timur, khususnya Surabaya. Meskipun Surabaya jelas-jelas menyumbang salah satu tokohnya dalam dinamika perkembangan Muhammadiyah, akan tetapi tidak lantas menjadikan Muhammadiyah membidik Surabaya sebagai basis gerakannya. Minangkabau disinyalir lebih kondusif untuk perkembangan Muhammadiyah ke depan, selain Yogyakarta. Meskipun demikian, Surabaya pernah dijamah Muhammadiyah pada awal tahun 1920-an.

Sejak disahkannya surat perizinan no. 40 yang diberikan pada 16 Agustus 1920 oleh pemerintah Kolonial Belanda, Muhammadiyah semakin menemukan angin segar untuk mengembangkan sayap dengan meluaskan cabangnya di luar Yogyakarta. Salah satunya adalah Muhammadiyah cabang Surabaya yang resmi berdiri pada tahun 1921. Tokoh-tokoh yang berperan aktif dalam perkembangan Muhammadiyah Jawa Timur adalah Mas Mansur dengan dibantu oleh beberapa tokoh lokal kenamaan seperti Kiai Usman[19], H. Asyhari Rawi, dan H. Ismail.[20]

Selain sebagai tokoh yang berperan dalam perkembangan Muhammadiyah di Jawa Timur, Mas Mansur juga ditunjuk sebagai ketua pertama Muhammadiyah cabang Surabaya yang dibantu oleh orang-orang yang telah disebut para paragraf sebelumnya. Bagi Ahmad Dahlan, berdirinya Muhammadiyah di Surabaya merupakan keberhasilan yang luar biasa, apalagi orang yang memegang adalah Mas Mansur, orang yang begitu besar andilnya terhadap Muhammadiyah. Selanjutnya terjadi efek domino dalam perkembangan Muhammadiyah di Jawa Timur. Tidak lama berselang berdiri Muhammadiyah di Banyuwangi dan Situbondo pada tahun 1922, kemudian Gresik pada 1926 dan tempat-tempat lain di Jawa Timur.[21]

Efek domino ini juga yang membawa Muhammadiyah sampai ke pesisir utara Lamongan, yang waktu itu poros penyebarannya berada di tiga titik; Blimbing, Pangkatrejo dan kota Lamongan sendiri. Khususnya di Blimbing, yang bisa dikatakan sebagai ibukotanya pesisir utara Lamongan, Muhammadiyah mendapat sambutan begitu antusias dari masyarakat.[22] Sejalan dengan itu, masyarakat Blimbing yang dulunya adalah masa Masyumi yang fanatik banyak berpindah ke Muhammadiyah setelah Masyumi resmi dibubarkan oleh pemerintah beberap saat setelah tudingan tindakan sparatis kepada PRRI/Permesta.[23]

Bibit penyebaran Muhammadiyah di Lamongan muncul pertama kali di Kabupaten Lamongan bermula di Blimbing, kecamatan Paciran yang dikembangkan oleh H. Sa’dullah pada 1936. Dalam penyebarannya Sa’dullah dibantu oleh seorang perempuan. Zainab namanya, yang sering disebut dengan Siti Lembah. Sampai saat ini belum banyak pustaka dan keterangan tentang kegiatan perintisan keduanya, kecuali Sa’dullah adalah orang yang sangat komunikatif dalam dakwahnya sehingga mudah mempengaruhi orang di sekitarnya.

Tokoh lain yang mempunyai andil dalam penyebaran Muhamadiyah adalah KH. Mohammad Amin Mustofa. Dalam usia yang relatif masih muda, Amin sudah mengasuh ponpes di Tunggul, sebelah timur Paciran. Sebelum resmi mengajar di ponpes, Amin lebih dulu malang melintang menimba ilmu di pelbagai pesantren yang tersebar di Jawa Timur, seperti Tebuireng, Termas, Ngeloh Kediri dan Maskumambang di Gresik.

Setelah merasa mendapatkan massa yang signifikan, Muhammadiyah berupaya meluaskan dakwahnya ke tempat lain di Lamongan. Muhammadiyah kemudian beralih agak ke tengah melalui beberapa ulama yang aktif di SI (Sarikat Islam). Melalui SI inilah, gerakan pembaharuan Muhammadiyah lebih cepat dikenal, dimengerti, dan diamalkan oleh sebagian masyarakat. Beberapa nama yang bisa dicatat adalah Sofyan Abdullah di desa Pangkatrejo,[24] Kecamatan Maduran, dan H. Khozin Jalik di kota Lamongan yang saat itu mengajar di sekolah Nahdhotul Ulama (NU) di Lamongan. Ayah Khozin sendiri adalah tokoh NU yang berpengaruh di Lamongan.

Secara organisasi, Muhammadiyah Lamongan resmi berdiri sendiri setelah turunnya SK PP Muhammadiyah No. C-076/D-13, tanggal 11 September 1967. Perlu diketahui, sebelumnya cabang-cabang Muhammadiyah yang ada di Paciran berada di bawah pengawasan PMD Bojonegoro. Ketika resmi menjadi Pimpinan Daerah, Muhammadiyah waktu itu membawahi 5 cabang, yaitu Cabang Lamongan (PP Muhammadiyah No. 1024, 11 Mei 1953), cabang Jatisari/Glagah (PP Muhammadiyah No. 1481, 2 Mei 1961), cabang Babat (PP Muhammadiyah No. 1952, 4 Februari 1962), cabang Pangkatrejo (PP Muhammadiyah No. 1707, 27 Juli 1963), dan cabang Blimbing/Paciran (PP Muhammadiyah No. 1796, 1 Februari 1964).[25]

Setelah mendapat pengesahan dari PP Muhammadiyah, Muhamamdiyah Lamongan semakin mengepakkan sayapnya untuk mengembangkan Muhammadiyah secara organisatoris berdasar pada muktamar dan Musyawarah Wilayah. Muhammadiyah Lamongan pun berkembang dengan pesat. Dengan berkembangnya Muhammadiyah di Lamongan selanjutnya berdampak pada perkembangan Muhammadiyah di Sukodadi, Babat, dan sekitarnya.

Selain daerah yang berdekatan langsung dengan kota Lamongan, Muhammadiyah di kabupaten Lamongan juga berkembang besar di wilayah pesisir Lamongan. Salah satunya adalah Blimbing, Paciran dan Brondong. Untuk Blimbing, dulunya adalah basis Masyumi. Segera setelah masyumi bubar pada 1960, masyarakat Blimbing banyak yang berbondong-bondong masuk dan aktif sebagai anggota Muhamamdiyah.

Muhammadiyah cabang Blimbing mengalami perkembangan yang signifikan. Selain sambutan antusias masyarakat setempat, Muhammadiyah Blimbing juga mendapat dukungan dari kalangan ulama setempat. Hal ini dapat dilihat dari struktur kepengurusan yang dipilih pada konferensi cabang Blimbing pada Agustus 1962. Secara aklamasi dipilihlah Kiai Adnan Noer sebagai ketua dan Kiai Ridlwan sebagai wakilnya. Hal ini menunjukkan bahwa kalangan ulama masih mempunyai posisi dan kedudukan yang istimewa di masyarakat Muhammadiyah Blimbing.[26] Selain unsur kiai dan ulama, Muhammadiyah Blimbing juga mendapat dukungan kuat dari pada pedagang. Terbukti dengan dipilihnya H. Umar Fauzi dan H. Sholihin, yang notabenen adalah pedagang, sebagai bendahara Cabang. Selain itu adalah ulama kharismatik K.H. Abdurrahman Syamsuri, yang umum dipanggil Yi Man.[27]

Cabang Blimbing membawahi beberapa ranting, salah satunya adalah ranting Paciran dan ranting Brondong. Dalam perkembangam selanjutnya, berdasarkan intruksi PP Muhammadiyah agar tiap cabang berada di Kota Kecamatan, maka cabang Blimbing dipecah menjadi Cabang Paciran dan Cabang Brondong, dikarenakan waktu itu Paciran dan Brondong adalah ibu kota kecamatan.[28]

Muhammadiya cabang Paciran pertama kali terbentuk sekitar tahun 1967, dan yang menjadi ketua cabang untuk pertama kalinya adalah KH. Abdurrahman Syamsuri dengan sekretarisnya adalah Maryono, yang waktu itu menjadi PNS di tempat yang sama. Surat keputusan pengesahan pendirian cabang ini baru keluar pada 19 Oktober 1977 berdasar SK PP Muhammadiyah nomor M/033/1977. Cabang Paciran membawahi beberapa ranting diantaranya: Kranji, Sendangagung, Sendangdhuwur, Paloh, Dengok, Sumuran, Warulor, Blimbing, Tunggul, Sidodadi, Banjarwati, Tlogosadang, Tepanas, Weru, Paciran, Sidokelar, Drajat, Kandangsemangkon, Kemantren, Sumurgayam dan Sidokumpul.[29] Seperti halnya Muhammadiyah di beberapa tempat, Muhammadiyah Paciran juga mempunyai beberapa amal usaha yang saling berkesinambungan satu dengan yang lainnya, yang akan dijelaskan secara rinci pada bab selanjutnya.

---------------

[19] Karena kepiawaiannya sebagai ulama dan cendikia, Kiai Usman diangkat menjadi Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa Timur periode 1932-1936 yang berkedudukan di Surabaya. Ketika Mas Mansur dikukuhkan sebagai ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, dia menggantikan kedudukan Mas Mansur sebagai konsul Muhammadiyah Jawa Timur tahun 1936. Tim Penulis, Siapa dan Siapa 50 Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur (Surabaya: Hikmah Press, 2005), hlm. 92.

[20] Ahmad Najib Burhani, op cit, hlm. 137.

[21] Mustakim, Matahari Terbit di Kota Wali, Sejarah Pergerakan Muhammadiyah Gresik 1926-2010, (Gresik: MUHIpress, 2011), hlm. 48.

[22] Fathurrahim Syuhadi, Mengenang Perjuangan Sejarah Muhammadiyah Lamongan 1936-2005 (Surabaya: Java Pustaka Media Utama, 2006), hlm. 13.

[23] Wawancara dengan Bapak Maryono. Pada Rabu 11 Agustus 2010.

[24] Tahun 1940 di Pangkatrejo telah ada kelompok belajar keagamaan yang condong dengan Muhammadiyah yang diasuh oleh Sofyan Abdullah. Selain diasuh oleh guru-guru setempat, kelompok belajar ini juga mendatangkan beberapa guru dari Yogyakarta. Pada tahun 1948 kelompok belajar ini merubah namanya menjadi Madrasah Al Abdaliyah yang menggunakan model klasik. Fatrurrahim Syuhadi, op. cit, hlm. 17.

[25] Farhurrahman Syuhadi, ibid, hlm. 23.

[26] KH. Ahmad Adnan Noer dan KH. Ridlwan Syarqowi adalah teman seangkatan sewaktu belajar di pesantren Maskumambang yang diasuh oleh KH. Amar Faqih. Lihat profil mereka dalam Tim Penulis, Siapa dan Siapa 50 Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur (Surabaya: Hikmah Press, 2005).

[27] Baca KH. Ahmad Adnan Noer, Catatan Kehidupan Pribadi dan Keluarga (manuskrip) dan KH. Ahmad Adnan Noer, Catatan Aneka Warna (manuskrip dimulai dari tahun 1951), dalam Sjamsudduha, Konflik dan Rekonsiliasi NU Muhammadiyah (Surabaya: Bina Ilmu, 1999), hlm. 61-62. Kesemuanya tersimpang di Perpustakaan PW Muhammadiyah Jawa Timur.

[28] Wawancara Bapak Maryono, op cit.

[29] Farhurrahim Syuhadi, op. cit, hlm. 27

Retrieved from: http://ndangcerung.wordpress.com/2011/08/02/muhammadiyah-pesisir/#_ftn29

The original article is entitled: Muhammadiyah Pesisir. This article is taken from his (ndangcerung) BA Thesis.

Sunday, September 18, 2011

Sejarah Masuk dan Berkembangnya Muhammadiyah di Surakarta

Oleh : K.H. Muhammad AmirË

(Imam Masjid Balai Muhammadiyah Surakarta)

Hendaklah kamu jangan sekali-kali menduakan pandangan Muhammadiyah dengan perkumpulan lain. Jangan sentimen, jangan sakit hati, kalau menerima celaan dan kritikan. Jangan sombong, jangan berbesar hati, kalau menerima pujian. Jangan jubriya (ngujub-kibir-riya’). Dengan ikhlash murni hatinya, kalau sedang berkembang harta benda, pikiran dan tenaga. Harus bersungguh-sungguh hati dan tetap tegak pendiriannya (jangan was-was).

(K.H. Ahmad Dahlan) 1

Iftitah

Pengaruh pembaharuan Jamaluddin Afghani dan Muhammad ‘Abduh bertambah luas dan mengalir ke Indonesia di mana semangat nasionalisme mulai tumbuh dan berkembang, yang memang secara diam-diam telah dimiliki oleh pelajar Indonesia dan para santri sekalipun bentuk keduanya berlainan. Pada tanggal 20 Mei 1908 seorang dokter di Yogyakarta bernama Wahidin Soedirohusoda mendirikan perkumpulan bernama “Boedi Oetomo”dengan tujuan mengarahkan semangat nasional bangsa Indonesia ke arah perbaikan nasib baik di bidang sosial, pendidikan dan kebudayaan.

Pada tahun 1911 di Surakarta Mas Haji Samanhudi mendirikan perkumpulan “Syarikat Dagang Islam” yang bertujuan membela kepentingan pengusaha nasional di bidang pembatikan terhadap tekanan politik perekonomian pemerintah Hindia Belanda dan terhadap tindasan pedagang Tiong Hua yang mendapat hak monopoli atas perdagangan bahan baku pembatikan. Pada tahun 1912 kedudukan organisasi tersebut dipindahkan ke Surabaya dan berubah menjadi partai politik dengan nama “Syarikat Islam” di bawah pimpinan Haji Umar Said Cokroaminoto. Organisasi ini bertujuan : untuk menentang politik kolonial Belanda, dengan menggunakan dasar agama Islam. Pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H yang bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 K.H. Ahmad Dahlan dengan dibantu oleh pemuda-pemuda muridnya dan shahabat-shahabatnya mendirikan sebuah perkumpulan dengan nama “Muhammadiyah”. Organisasi ini bertujuan : untuk menghidupkan kembali ajaran Islam yang asli murni serta hidup sepanjang kemauan agama Islam, dengan kata lain : mengetrapkan ajaran Islam sebagai “way of life” dalam kehidupan individu dan masyarakat.2 Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimanakah sejarah masuknya Muhammadiyah di Surakarta? Seberapa jauh perkembangan Muhammadiyah dan amal usahanya hingga keberadaannya dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dalam berbagai bidang?

Masuknya Muhammadiyah di Surakarta

Pada awal abad ke-20 umat Islam di Solo bangkit untuk mengadakan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Antara lain dipelopori oleh H. Misbah di Kauman yang mendirikan pengajian di Keprabon, Kampung Sewu dan lain-lain. 3 Pada tahun 1913, di Kampung Sewu Kecamatan Jebres Surakarta didirikan Organisasi Sarekat Islam kring Kampung Sewu. Para pengurusnya yaitu : M. Ng. Darsosasmito (Ketua); M. Kromosigro yang ganti nama R.L Totosuhardjo (Penulis); M. Ng Parikrangkungan, R.T. Prawirodiningrat (Bendahara). Kegiatan organisasi ini di bidang perekonomian yang didasarkan pada ajaran Islam. Di samping itu, diadakan pula ceramah-ceramah/kursus agama Islam, agar para anggota terutama pengurus Sarekat Islam Kring Kampung Sewu memperoleh bekal agama dan pokok-pokok dasar ajaran Islam. Pada tahun 1914, di rumah M. Ng. Darsosasmito dilangsungkan kursus Agama Islam yang dibimbing oleh H. Misbah. Kursus ini diadakan setiap setengah bulan sekali. Selain H. Misbah, yang sering mengisi pengajian adalah R. H. Adnan. Pengajian dilaksanakan dalam bentuk dialog interaktif atau tanya jawab setelah ceramah. Materi ceramah menyangkut berbagai topik, antara lain : persoalan Kristen, Teosofi, ilmu klenik (kebatinan), dan sebagainya. Karena H. Misbah merasa tidak menguasai materi, ia berusaha mendatangkan Pimpinan Muhammadiyah Yogyakarta, yang diminta hadir adalah K.H. Ahmad Dahlan.

Pada tahun 1916 dibentuklah satu kepanitiaan untuk menerima K.H. Ahmad Dahlan. Kepanitiaan ini diketuai oleh : H. Misbah yang dibantu oleh teman-temannya. Yaitu : Darsosasmito (Wakil Ketua); M. Harsolumakso (Penulis I); M. Ng Parikrangkungan (Penulis II); R. Sontohartono (Bendahara); M. Sukarno dan M. Sudiono (Pembantu). Sedangkan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta yang hadir yaitu : K.H. Ahmad Dahlan, H. Fahcruddin, H. Hadjid dan Ki Bagus Hadikusuma. Ceramah atau kursus Agama Islam ini bersifat untuk khalayak umum yang dilaksanakan di rumah Harsolumakso di Keprabon Tengah Solo. Pada tahun 1917, Ceramah atau kursus Agama Islam banyak dikunjungi orang. Oleh K. Imam Bishri, K. Edris dan lain-lain bermaksud akan mendirikan Cabang Muhammadiyah Surakarta. Tapi sangat disayangkan bahwa menurut besluit Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu, perssyarikatan Muhammadiyah baru boleh bergerak di karisidenan Yogayakarta. Dan terpaksa untuk sementara dihentikan. Atas nasehat K.H. Ahmad Dahlan panitia tidak menghentikan kegiatan, namun membentuk suatu organisasi lokal yang dinamakan SATV (Shiddiq Amanah Tabligh Vathonah). Adapun dasar dan tujuannya adalah sama dengan persyarikatan Muhammadiyah yang ada di Yogyakarta. Anggota panitia tersebut di atas menjadi pengurusnya ditambah dengan M. Abu Thoyib, M. Martodiharjo, R.M, Mangkutaruno. 4

Pada tahun 1918, di dalam SATV juga dibentuk bagian-bagian, yaitu : Bagian Tabligh, bagian Sekolahan dan juga Bagian Taman Pustaka. Pada tahun 1920 terjadi pergantian pengurus yaitu : K.H. Misbah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai ketua 5 dan diganti oleh : Kyai Muhtar Bukhori. Pada tahun 1920, Pemerintah Penjajah Belanda menyetujui AD/ART Muhammadiyah yang isinya antara lain : bahwa Muhammadiyah berhak mengadakan ekspansi ke daerah lain di luar Karisidanan Yogyakarta. Sejak saat itu bermunculanlah cabang-cabang organisasi Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Pada tanggal 25 Januari 1922, K.H. Ahmad Dahlan disertai M. Husni dan RM. Prawirowiworo datang ke kantor SATV untuk mengadakan rapat. Dalam pidatonya, K.H. Ahmad Dahlan akhirnya mengesahkan adanya cabang Muhammadiyah di Surakarta. Dengan sendirinya nama SATV diganti dengan Cabang Muhammadiyah Surakarta. Kantornya terletak di Gedung Muhammadiyah Sontohartanan atau Balai Muhammadiyah di Jl. K.H. Ahmad Dahlan No. 25 Surakarta. Para pengurus Cabang Muhammadiyah Surakarta yang pertama kali adalah sama dengan pengurus SATV setelah reorganisasi pada tahun 1920, yaitu : Kyai Muhtar Bukhori (Ketua); R.Ng Parikrangkungan (Wakil Ketua); R. Harsolumakso (Penulis); R. Sontohartono (Keuangan); M. Abu Thoyib, R. Sastrosumarto, R. Ng. Wignyodisastro dan R. Ng. Samsu Hadiwiyoto (Pembantu).6

Sebagai perbandingan data, mengenai lahirnya cabang Muhammadiyah Surakarta dapat kita simak dalam Laporan Tahunan Muhammadiyah Daerah Kota Surakarta 2000. Dalam buku laporan tersebut dikemukakan bahwa pada tahun 1923 berdirilah Muhammadiyah Cabang Sala. Dan perlu dicatat nama-nama berikut ini sebagai perintis berdirinya Muhammadiyah Cabang Sala, yaitu : R. Sontohartono (Keparabon); K.H. M. Edris (Keprabon); R. Mulyadi Djojomartono (Jakarta); M. Abu Thoyib (Keprabon); R. Hadi Sunarto (Keprabon); R.Ng Parikrangkungan (R.T. Prawirodiningrat) Kampung Sewu; R. Ng. Martosuwignyo (R.T. Prawirodiningrat) Kampung Sewu; R. Ng. Sosrosugondo (Kampung Sewu); R. Sastrosumarto (Sala); Kyai Muhtar Bukhori (Kauman); M. Ng. Darsosasmito (Sala); R. Martosuhardjo (Sala); R. Kusen (Sala); R. Ng. Samsu Hadiwiyoto (Penumping); R. MN. Mangkutaruno (Panularan); M. Harsolumakso (Keprabon); K.H. Misbah (Keprabon), meninggal di Merauke; K.H. Bisri (Sala).7

Mengukir Sejarah, Mengenal Tokoh, Sekilas Jejak Tokoh-Tokoh Muhammadiyah Surakarta

Di antara tokoh-tokoh Muhammadiyah yang kami ketahui adalah :

NO

NAMA

JABATAN

PEKERJAAN

ALAMAT

1.

K.H. Muh. Edris

Ketua Muhammadiyah

Pengusaha batik

Keprabon

2.

Hadi Sunarto

Sekretaris Muhammadiyah

Full timer Muhammadiyah

Keprabon

3.

H. Abu Thoyib

Bendahara Muhammadiyah

Pengusaha batik

(memiliki wakaf : SD Muh. 1 Ketelan dan Musholla Keprabon)

Kusumoyudan Kampung Baru

4.

Joyo Sukarto/Siswo Wijoyo

Kepala Sekolah Volks School Muhammadiyah

Guru

Gendengan Timur

5.

K.H. Muh. Amir Thohar

Ketua Bagian Diniyah Tarjih

Guru Agama HIS Mangkunegaran

1. Kepala Jawatan Agama Solo (1950)

2. Kepala Koordinator Jawatan Agama Surakarta

Gading dan Jayengan

6.

H. Asnawi Hadisiswoyo

-

1. Guru Agama HIK (Holland Inland Kweekschool = SGA di Kleco (Korem)

2. Penulis di Majalah Adil, Novel, Solo Peteng, Kyai X Sambang Dalan

3. Kepala Jawatan Agama Surakarta (1946)

4. Pegawai Tinggi Departemen Agama Jakarta (1950)

Joyodiningratan

7.

H. Marsam

-

Pegawai Kantor Pos Solo

Grogolan

8.

H. Syamsul Ma’arif

Ketua Bagian Tarjih (1929 - 1942)

-

Keprabon

9.

Surono Wiroharjono

-

Wartawan, Hoofd Redaktur Mingguan Adil dan Al Fatah

Kartopuran

10.

Mulyadi Joyomartono

Konsul (Kardinatan) Muhammadiyah Karisedenan Surakarta

1. Pegawai Kantor Pos Solo

2. Penyiar Solosche Radio Inrichting (SRI) keraton Kasunanan

3. Menteri Kemakmuran (1955)

4. Menteri Kesra (1960)

Kartotiyasan

11.

H.M. Darsin

Bendahara Muhammadiyah

Cabang Surakarta

-

Timur perempatan Pasar Pon Solo

(daerah asal : Tegal Gendu Kota Gede Ykykrta.

12.

H. Anwar Shodiq

Bendahara PKU bagian yatim

-

Sebelah timur foto Wie Cin Carikan/Slompretan Jl. Rajiman dan Kepunton

13.

M. Ng. Syamsul Hadi

-

-

Sebelah barat proliman

14.

H. Sirodj

-

-

Pasar legi

15.

H. Prawiro Wiyadi

Bendahara FKIP Muhammadiyah

-

Timuran

16.

Prawiro Suharto

-

-

Kemlayan

17.

Mulyo Subroto

-

-

Barat perempatan Pasar Pon

Keterangan : no. 11 s/d 17 adalah tokoh-tokoh Muhammadiyah yang berasal dari : Tegal Gendu Kota Gede Yogyakarta.

Perkembangan Program Muhammadiyah dan AUM

Muhammadiyah di Surakarta berkembang secara bertahap. Antara lain : di bagian Tabligh. Program di bagian ini adalah : 1. Mengadakan ikatan kebersamaan dalam bentuk PERKISEM (Persatuan Pelajar Kursus Islam) Muhammadiyah; 2. Mendirikan PERJURAIS (Persatuan Juru Rawat Islam); 3. Hari besar Islam; 4. Pembinaan tempat Ibadah; 5. Bagian kursus, yaitu : Kursus Muballigh dan Kuliah Ramadhan. Pada tahun 1945 diadakan tadarus Ramadhan yang bertempat di Sontohartanan yang bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 1945. Saat itu pula oleh Raja Bulan Hadi Purnomo diubah namanya menjadi Kuliah Ramadhan. Adapun pelaksanaan kuliah Ramadhan dirancang dengan : 24 x Pertemuan = 1 x ujian. Pembagin waktunya adalah : Untuk anak-anak SMP dan SMT pada pukul : 06.00-08.00 WIB, sedangkan bagi orang tua pada pukul : 20.00 – 22.30 WIB. Berikut ini adalah jadual materi kuliah dan para pemateri :

NO

JENIS MATA KULIAH

PEMATERI

JUMLAH TATAP MUKA

1.

Tauhid

K.H. Edris

4 x

2.

Fikih

K.H. Imam Ghozali

4 x

3.

Akhlaq

K.H. Muh. Amir Thoha

4 x

4.

Sosiologi

Sularso

2 x

5.

Nikah, Thalaq dan Ruju’ (NTR)

K.H. Djunaedi

4 x

6.

Tata Negara

Atmodiningrat

2 x

7.

Warisan

-

2 x

8.

Retorika

AS Hadisiswoyo

2 x

Selain bulan Ramadhan, diselenggarakan setiap Ahad sore di gedung Kursus, musholla untuk remaja,dan malam hari untuk orang tua. Di bagian pendidikan, Muhammadiyah di Surakarta juga telah merintis pendirian beberapa sekolah. Pada kurun waktu 5 tahun sebelum kemerdekaan yaitu : pada tahun 1940, dapat kita lihat data-data sekolah berikut ini :

NO

NAMA SEKOLAH

KEPALA SEKOLAH

ALAMAT

1.

Holland Inlanschool Muh. (HIS)

Sekolah Rakyat berbahasa Belanda (7 tahun) = SD Muh. 1

Djiwosukarto

Mangkunegaran Ketelan

2.

Standard School Muh., Sekolah Rakyat (5 tahun)

Darmocahyono

Punggawan

3.

Volkschool Muhammadiyah (5 tahun) = SR = SD

Siswowijoyo (i), Siswosudarmo (ii)

Kauman (i), Kampung Sewu, Sampangan (ii), Pasar Kliwon/Kedung Lumbu

4.

Schakel School Muhammadiyah

(SD = 5 tahun + 2 tahun) masuk MULO (SMP)

Jumairi (i), Sukiman (ii)

Ketelan (i), Ngadisuryan (ii)

5.

Busthanul Athfal

-

Keprabon

6.

CVO (Cursus Volks Onderweys), Sekolah Guru C (SD = 5 tahun + 1 tahun kursus jadi Guru) = SD NDM

Kauman Winongan

7.

HIK (Holand Inland Kweekschool)

Calon guru HIS

-

Kleco (sekarang Korem)

8.

Diniyah

Kampung Sewu, Telukan, Sampangan, Pasar Kliwon.

9.

Wustho Mu’allimin

H. Suyuthi

Sampangan

10.

Mu’allimin Muhammadiyah

Ali Abdul Wahab

Sangkrah pindah Kleco

11.

Mu’allimat

Ali Abdul Wahab

Pengulon Kauman

12.

NAS (Nasyiatul ‘Aisyiyah School)

Umi Jaroh

Utara Masjid Besar

13.

Kop School; Sekolah Kepanduan Putri

-

Depan laboratorium Prodia

Di bagian kesehatan, urusan PKU dipegang oleh H. Abdullah, kakak Abdul Majid, mertua M. Amien Rais. Di samping PKU di Tumenggungan, ada juga PKU di Sampangan, PKU di Jebres (rumah pak Abdul Majid di Kepatihan) dan PKU di Tipes. Pada tahun 1965 Majlis PKU dipimpin oleh : H. Abdul Wahab Ghazali. Beliau memiliki pabrik sablon yang terletak di sebelah utara PKU. Kemudian dijual ke PKU untuk adanya perluasan wilayahnya. Dibuka pula PKU Solo Utara sedangkan PKU Jebres dan Tipes tutup. Pada tahun 1938, Muhammadiyah mendapat tanah bekas kebun pertanian di kandang sapi. Tanah ini dimanfaatkan untuk dibangun rumah yatim. Model bangunan bersifat sederhana yang terdiri dari : separo tembok bertiang, separo dinding, satu lokal untuk putra, satu lokal untuk putri dan rumah pengasuh. Rumah yatim ini dipimpin oleh : Subiso (ketua); Sudharto (sekretaris); Anwar Shodiq (bendahara); Bapak dan Ibu Suyuthi (pengasuh). Mereka berdua adalah orang tua Ahsan Abdul jalil PKU.

Pada tahun 1947 dibangunlah masjid yang diberi nama Masjid Shofa. Pendirian masjid ini merupakan inisiatif Sunarto HK (asli dari Ampel yang berprofesi menjadi Guru Agama di Solo dan ia adalah menantu H. Syarif Zaka). PKU bagian santunan biasanya mengurusi tentang khitan, qurban, zakat, mengadakan pernikahan massal, berkumpul 60 jodoh yang dirayakan dengan 60 andong keliling Solo dan nikah di Kandang Sapi diberi nama : Taman Sonyoreko. Pada tahun 1968, Muhammadiyah Cabang Surakarta berubah menjadi PMD (Pimpinan Muhammadiyah Daerah) yang dibagi menjadi 7 cabang. Sedangkan penglolaan yatim dibagi menjadi beberapa cabang. Yaitu : Yatim Laweyan diserahkan ke Cabang Laweyan. Yatim di Joho diserahkan ke Cabang Kota Barat. PKU Sampangan diserahkan ke Cabang Kota Bengawan. Yatim di Kota Barat dipimpin oleh : Siti Amini (Aisyiyah), dan PKU Sampangan dipimpin oleh : Dawud.

Berkiprah di Medan Jihad Fii Sabiilillaah

Pada tahun 1945 para tokoh Muhammadiyah menumbuhkan sikap anti imperalis. Mereka terjun membela negara dan tanah air dari penjajahan Belanda. K.H. Edris membentuk barisan “Sabilillaah” dengan H.A. Bakri yang bermarkas di depan YPAC (kantor kesehatan), Solo Grand Mall. Mulyadi Joyomartono bersama dr. Moewardi (mati terbunuh oleh lawan politik) membentuk “Barisan Banteng” yang bermarkas di utara Stadion, yang sekarang MAN 2. Ikut serta dalam barisan ini adalah : Surono Wiroharjono dan Hadi Sunarto. Pemuda Muhammadiyah banyak bergabung dalam “Barisan Hizbulloh” yang bermarkas di Sie Dion Hoo, sekarang gedung lowo, selatan perempatan Brengosan, Purwosari. Tidak ada yang masuk Barisan Kyai yang dipimpin oleh : K.H. Abdul Karim Tasyrif, K.H. Ma’ruf, Kyai Martowikoro dan lain-lain. Pada saat yang sama, di Solo sudah banyak bermunculan lasykar. Antara lain : Hizbullah, Sabilillah, Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) yang sebelumnya bernama : AMI (Angkatan Muda Indonesia), BPRI (Barisan Pemberontak Indonesia), TPI (Tentara Pelajar Indonesia), Lasykar Kere, Barisam Banteng, Lasykar Minyak, Lasywil (Lasykar Wanita). 8

Menengok Masa Lalu, Menghadapi Masa Kini dan Memandang Jauh ke Depan

Sebuah harapan terhadap Muhammadiyah :

1. Agar pimpinan bersifat kombinatif. Dalam artian, berbagai bidang ilmu dan usaha. Hampir 80 % guru atau pegawai negeri.

2. Bidang keuangan penopang utama dari Majlis yang Produktif.

3. Bidang ekonomi masih sederhana.

4. Pemeliharaan dan pembinaan anggota terlupa, karena kesibukan kegiatan rutin.

5. Yang perlu thoriqoh/manhaj da’wah, terutama membina Pemuda Muh. dan NA yang modern dan up to date.

6. PKU belum terasa sampai Ranting.

7. Statistik perlu digiatkan lagi.

8. Perpustakaan.

9. Koordinasi TK Mentari dengan Busthanul Athfal dan Budi Mulya, AKPER dan AKBID.

Semoga Alloh SWT. meridloi langkah kita bersama!Amin.



Ë Materi disampaikan pada kegiatan “Sarasehan dan Dialog : Refleksi 99 Tahun Muhammadiyah” yang diselenggarakan Panitia Milad Muhammadiyah ke-99 PDM Kota Surakarta, pada hari Ahad, 4 Januari 2009

1 Hamdan Hambali, Ideologi dan Strategi Muhammadiyah, Cet. I, (Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2006), hal iii-iv

2 H. Djarnawi Hadikusuma, Aliran Pembaharuan Islam dari Jamaluddin Al-Afghani sampai K.H.A. Dahlan, Cet. III, (Yogyakarta : Persatuan, t.t.), hal. 63-64

3 K.H. Muhammad Amir, Riwayat Berdirinya Muhammadiyah di Surakarta, Cet. I, (Surakarta : Sekretariat PDM Kota Surakarta, t.t.) hal. 1

4 Laporan Tahunan Muhammadiyah Daerah Kota Surakarta 2000, Cet. I, (Surakarta : Sekratariat PDM Kota Surakarta,2000) hal. 177-178

5 Munculnya beberapa partai poitik di Kota Solo pada tahun 1918-1919 antara lain : Indische Partai, Inslulinde, Sarekat Rakyat, Budi Utomo, dan lain-lain. Akhirnya H. Misbah mengundurkan diri dari SATV karena masuk Partai Sarekat Islam setelah beliau gagal berusaha akan mempolitikkan SATV. Periksa dalam Laporan Tahunan Muhammadiyah Daerah Kota Surakarta 2000, Cet. I, (Surakarta : Sekretariat PDM Kota Surakarta,2000) hal. 178

6 Alwan Jihadi, Implementasi Fungsi Manajemen Dalam Organisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (Studi Deskriptif Komparatif terhadap Proses Perencanaan dalam Organisasi Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) dan Pengurus Cabang Nahdlotul Ulama (PCNU) di Surakarta, (Surakarta : FISIP UNS, 2001), hal. 35-36.

7 Laporan Tahunan Muhammadiyah Daerah Kota Surakarta 2000, Loc. Cit., hal. 178

8 K.H. Muhammad Amir, Op. Cit., hal. 2-16

Retrieved from: http://immsurakarta.or.id/index.php/pdm-kota-surakarta/54-sejarah-masuk-dan-berkembangnya-muhammadiyah-di-surakarta