Koran Jakarta, Sabtu, 03 Juli 2010
Dinamika Muhammadiyah
Ahmad Najib Burhani*
Muktamar Pemuda Muhammadiyah yang berlangsung akhir bulan lalu berakhir deadlock, tidak berhasil memilih pemimpin baru untuk masa 2010-2014.
Isunya, kebuntuan itu disebabkan adanya infiltrasi politik dan kubu Jawa dan non-Jawa. Apakah Muktamar Satu Abad Muhammadiyah yang berlangsung di Yogyakarta pada 3-8 Juli ini akan mengalami masalah yang sama? Kekhawatiran ini bukanlah pembesar-besaran. Muktamar Nahdlatul Ulama dan Ansor belum lama ini juga tidak berakhir dengan mulus.
Konon, sebabnya adalah infiltrasi politik dari luar organisasi. Berkaca dari tiga kejadian itu, kewaspadaan tentu patut dimunculkan.
Tulisan ini tidak secara khusus membahas politik (uang) di organisasi keagamaan, tapi masalah yang berulang dipolitisasi dalam muktamar Muhammadiyah, yaitu isu Jawa dan non-Jawa. Meski isu ras ini kerap disandingkan politik, pembacaan secara ideologis rasanya lebih mencerahkan. Ini akan menjawab pertanyaan mengapa isu ras tetap bisa dipakai, bahkan dalam organisasi keagamaan yang antipati terhadap sabiyah (kesukuan).
Ahmad Dahlan Vs Haji Rosul
Sejak periode awal pembentukannya di awal abad ke-20, perdebatan antara Jawa dan luar Jawa telah berlangsung di Muhammadiyah. Isu ini mengemuka bukan semata-mata berkaitan dengan pemilihan pemimpin organisasi, tapi lebih berhubungan dengan ideologi gerakan atau corak keberagamaan.
Secara organisasi, Muhammadiyah memang lahir di Kauman, Yogyakarta, yang merupakan jantungnya tradisi dan budaya Jawa. Pendirinya, Raden Ngabehi Muhammad Darwisj atau KH Ahmad Dahlan, adalah abdi dalem pamethakan Keraton Ngayogyakarta. Namun dari sisi ideologi, barangkali Muhammadiyah banyak dibentuk oleh pemikiran Haji Rosul, ayah Buya Hamka, dari Sumatra Barat.
Dahlan dan Rosul itu merupakan dua sosok yang pemikiran keagamaannya sulit dipertemukan. Aura sinkretisme yang menyelimuti kehidupan di dalam tembok keraton tidak membuat Dahlan berhasrat untuk hijrah dan menciptakan komunitas muslim eksklusif (enclave). Sementara
Rosul adalah ulama yang banyak mewarisi pemikiran kelompok Padri yang kaku dalam beragama. Pada Muktamar ke-19 di Bukittinggi, misalnya, Haji Rosul mengharamkan sesi bersama antara laki-laki dan perempuan yang menampilkan pemimpin Aisyiah, Siti Haijinah, sebagai pembicara. Alfian (1989) menyebut Rosul sebagai puritan sejati. Pendekatan keagamaannya keras dan tanpa ampun. Ia melarang perempuan memakai kebaya dan mengharuskan mereka selalu memakai kerudung.
Dia melarang kenduri ketika ayahnya meninggal pada 1907. Sementara Dahlan memperbolehkan orang mengadakan tahlilan ketika ayahnya meninggal. Saking permisifnya, Dahlan bahkan membolehkan orang salat dengan bahasa Jawa jika tidak mengerti bahasa Arab.
Jawa, Sumatra, dan Indonesia Timur
Kisah-kisah di atas memang terjadi pada masa-masa ketika Muhammadiyah masih dalam periode pembentukan ideologi. Pada perkembangannya, corak keagamaan Rosul tetap tertanam kuat di Muhammadiyah. Dahlan lebih mewarnai watak organisasi gerakan ini. Inilah mengapa Muhammadiyah lantas disebut gerakan modern tapi puritan.
Kini, ketika usia Muhammadiyah telah mencapai satu abad, apakah perbedaan Jawa dan non-Jawa itu masih signifikan? Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua Muhammadiyah yang sering disebut tokoh pluralisme, bukanlah orang Jawa. Dia lahir di Sumpur Kudus, Sumatra Barat. Din Syamsuddin yang saat ini memimpin Muhammadiyah adalah orang Sumbawa dan beristri orang Padang.
Dalam beberapa kasus, individu bisa dipakai untuk melihat watak daerah asal. Namun, tolok ukur ini sering kali tidak tepat karena banyak faktor dependen, seperti pendidikan, yang membentuk kepribadian seseorang.
Dalam survei terhadap pandangan para perwakilan yang hadir pada Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta 2007, perbedaan Jawa dan luar Jawa ini ternyata masih cukup kuat dalam beberapa persoalan.
Pemimpin Muhammadiyah Jawa, misalnya, lebih banyak (48 persen) yang membolehkan penggunaan gedung dan fasilitas Muhammadiyah untuk perayaan Natal dibanding para pemimpin dari wilayah Sumatra (23 persen) dan Indonesia bagian timur (35 persen).
Dalam isu yang berkaitan dengan liberalisme dan pluralisme, pemimpin Muhammadiyah Jawa juga menunjukkan sikap yang lebih lunak dibandingkan mereka yang dari luar Jawa. Ketika ditanyakan apakah pandangan keagamaan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) menyimpang dari Islam, sebanyak 71 persen dari pemimpin dari Jawa menyatakan tidak setuju. Jumlah yang lebih rendah (56 persen) ditunjukkan oleh pemimpin Muhammadiyah Sumatra.
Kegagalan Agama atau Negara?
Bagi Pierre Bourdieu, habitus itu seperti sesuatu yang kodrati, dan lingkungan banyak berperan dalam pembentukannya. Tapi bagi Aristoteles, habitus itu bisa dibiasakan dan dibentuk, di antaranya melalui pendidikan. Nah, dalam kaitannya dengan isu Jawa dan non-Jawa, apakah kotak-kotak kesukuan yang sudah berlangsung seratus tahun itu karena ketidakberhasilan pendidikan atau ketidakberhasilan pemerataan pembangunan atau kegagalan agama meleburkan fanatik kesukuan atau itu memang sesuatu yang kodrati atau inheren pada jiwa seseorang dari daerah tertentu? Jawaban paling mudah untuk tulisan pendek ini adalah mengatakan bahwa itu akumulasi berbagai variabel seperti agama, pendidikan, dan lingkungan.
Agama memang tidak akan pernah berhasil menghilangkan klasifi kasi antropologis. Sementara negara, alih-alih memeratakan pendidikan dan pembangunan, program semodel rencana dana aspirasi DPR akan semakin membuat jurang antara Jawa dan non-Jawa karena penumpukan dana di Jawa.
Penulis adalah peneliti LIPI, mahasiswa Program PhD Univ. California-Santa Barbara
No comments:
Post a Comment