Saturday, April 4, 2020

Hari Libur Agama di Tahun Wabah: Pelajaran dari Persyarikatan Muhammadiyah



01 April 2020 07:50

Oleh: Mark Woodward (Associate Professor of Religious Studies and is also affiliated with the Center for the Study of Religion and Conflict at Arizona State University)

Selalu ada tanggapan keagamaan dalam menghadapi wabah pandemi. Hal tersebut dapat ditemukan di dalam Al-Qur’an, Alkitab dan banyak kitab suci agama lainnya. Ketika dihadapkan dengan bahaya besar, orang-orang mau tidak mau berpaling pada agama dan para pemimpin agama untuk meminta petunjuk.

Anggapan ini sama benarnya ketika sekarang dunia sedang dihadapkan dengan pandemi virus Corona sebagaimana berabad yang lampau ketika pandemi yang lebih mematikan seperti Black Death menyebar di seluruh Asia dan Eropa.

Umat manusia telah memiliki perangkat berbasis sains yang jauh lebih efektif dibandingkan seabad yang lampau. Namun, tanggapan keagamaan tetap dapat dijadikan senjata dalam perang suci melawan musuh berbentuk mikroba. Beberapa tanggapan keagamaan ini terbukti bermanfaat—sementara yang lainnya bahkan lebih buruk dari sekadar kontra produktif.

Beberapa dari kelompok Kristen dan muslim, termasuk beberapa gereja agung Evangelis Amerika dan kelompok revivalis muslim Jamaah Tablig tetap menggelar kegiatan berjamaah dan mengklaim bahwa Tuhan akan menyelamatkan orang beriman.

Hal ini tentu tidak masuk akal. Banyak orang yang sakit dan beberapa di antaranya meninggal oleh mereka. Pihak berwenang tidak memiliki banyak pilihan selain mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya peristiwa infeksi massal seperti ini.

Di Florida, seorang pastor gereja agung telah ditahan karena menggelar pelayanan doa bersama yang menyimpang dari perintah karantina. Di Indonesia, pemerintah membatalkan sebuah acara perkumpulan Jama’ah Tablig internasional setelah lebih dari 500 orang terinfeksi pada sebuah acara yang sama di Malaysia.

Akan tetapi ada tanggapan keagamaan lainnya yang sangat masuk akal. Ini termasuk memberikan bimbingan kepada masyarakat mengenai cara-cara menuntaskan kewajiban agama mereka sembari melindungi diri mereka dan masyarakat dari penularan di saat yang sama.

Bimbingan keagamaan ini sangatlah penting saat-saat ini karena (perayaan agama) bagi kedua agama ini semakin dekat, yakni Pekan Suci bagi umat Kristen untuk memperingati penyaliban dan kebangkitan Kristus dan bulan Ramadan bagi umat Islam untuk berpuasa di siang hari, berkumpul untuk salat (tarawih) dan merayakan (salat) Hari Raya. Gereja-gereja dan masjid-masjid biasanya terisi penuh pada saat-saat seperti ini.

Jika bukan tidak mungkin, bagi dua umat tersebut perayaan keagamaan pada momen seperti itu akan membuat jarak sosial yang saat ini menjadi senjata paling efektif yang dapat kita andalkan untuk melawan virus menjadi sulit dilakukan.

Banyak orang khawatir bahwa mereka akan berdosa dan mendapatkan hukuman dari Tuhan jika tidak memenuhi kewajiban agamanya. Selain itu ada banyak juga acara selain keagamaan seperti pawai, pesta, perkumpulan keluarga dan lainnya yang orang-orang enggan membatalkannya.

Pada momen seperti ini petuah agama dapat diandalkan untuk menyuarakan kebijakan kesehatan masyarakat dan pengamalannya. Pada waktu yang sama, umat agama lain pun dapat belajar dari hikmah dan pengamalan umat selainnya.

Saya memposting artikel ini untuk menjelaskan bagaimana sebuah organisasi di Indonesia bernama Muhammadiyah dalam menanggapi tantangan (pandemi) bagi Anda yang dapat membaca sikap dan sifat orang Indonesia. Bagi yang tidak bisa, saya telah merangkum poin-poin utamanya.

Pertama, beberapa latar belakang. Muhammadiyah adalah salah satu dari dua organisasi Islam terbesar di Indonesia—sebuah negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Muhammadiyah memiliki sekira 30 juta pengikut di sebuah negara dengan total populasi sekira 260 juta jiwa. Untuk menempatkan angka-angka ini dalam sudut pandang tersebut, ada sekira 50 juta pengikut Gereja Baptis di Amerika, sebuah negara yang total populasinya sekira 330 juta jiwa. Virus Corona menyebar secara cepat di kedua negara yang membutuhkan tindakan segera untuk mengendalikannya.

Tipe Muhammadiyah adalah jenis aliran yang bagi sebagian orang Amerika disebut sebagai jenis fundamentalis Islam ‘lunak’. Muhammadiyah mengajarkan bahwa sumber otoritatif agama Islam hanyalah AlQuran dan Hadis Nabi. Ajaran ini sangat mirip dengan doktrin Gereja Lutheran tentang Sola Scriptura (hanya kitab suci) yang merupakan salah satu prinsip dasar bagi Protestan Amerika.

Tidak seperti beberapa organisasi fundamentalis Islam dan Protestan lainnya, fundamentalisme Muhammadiyah ‘lunak’ karena sangat mendukung sains dan berbagai pendekatan rasional sebagai langkah menuju pemecahan masalah.

Dalam hal ini, teologi Muhammadiyah mirip dengan teolog Protestan Jerman abad ke-19 Friedrich Schleiermacher yang menulis gagasan "perjanjian abadi" antara sains dan agama. Terlalu banyak kaum Protestan Amerika yang abai, atau nampaknya tidak pernah mendengar pesan Schleiermacher pada dunia modern.

Ajaran muslim modernis serupa yang dirumuskan oleh Muhammad Abduh pada awal abad ke-20 seringkali menjadi tema dalam berbagai khutbah Muhammadiyah. Muhammadiyah juga menjalankan jaringan yang luas melalui sekolah, universitas, klinik dan rumah sakit. Dalam hal ini program sosial Muhammadiyah mirip dengan yang ada di Gereja Katolik Roma di Amerika Serikat.

Kepemimpinan Muhammadiyah sangat menyadari bahwa tindakan yang kuat diperlukan untuk membatasi penyebaran virus dan bahwa isolasi sosial adalah salah satu dari beberapa tindakan efektif yang kita miliki.

Pada 24 Maret, Muhammadiyah telah mengeluarkan sebuah fatwa untuk menunda Salat Jumat yang biasanya wajib. Muhammadiyah menganjurkan umat muslim untuk beribadah di rumah masing-masing. Pada 26 Maret, Muhammadiyah mengeluarkan siaran pers tentang petunjuk dalam melaksanakan ibadah (darurat) di bulan Ramadan (2020) yang terdiri dari empat poin dasar:

• Salat malam khusus (tarawih) yang biasanya dilakukan di masjid dapat dilakukan di rumah. Acara keagamaan termasuk khotbah dan ceramah tidak perlu.

• Puasa adalah wajib bagi umat Islam kecuali bagi mereka yang sakit. Orang sakit harus mengikuti peraturan Syariah biasa untuk mengganti puasanya di kemudian hari.

• Petugas kesehatan tidak diwajibkan berpuasa saat bertugas. Mereka harus mengikuti peraturan Syariah biasa untuk menggantinya dengan puasa di kemudian hari.

• Tidak perlu melakukan salat bersama pada Idul Fitri. Orang-orang tidak boleh terlibat dalam perayaan adat, termasuk ‘mudik’ yakni kembali ke kota dan desa asal mereka untuk mengunjungi kerabat di akhir bulan, pawai dan berbagai perkumpulan.

Putusan ini tidak didasarkan pada pertimbangan kesehatan masyarakat saja. Muhammadiyah juga menyertakan apa yang nampak sebagai pembenaran agama berdasarkan kutipan dari Alquran dan Hadis. Ini disebut sebagai dalil, yang oleh orang Protestan disebut sebagai ‘teks bukti’. Jenis logika keagamaan yang sama ini tersedia bagi mereka dalam upaya menahan pandemi.

Beberapa rekomendasi Muhammadiyah membutuhkan pengorbanan yang menyakitkan. Puluhan juta orang Indonesia biasanya kembali ke kota dan desa asal mereka untuk merayakan ‘Lebaran’—hari libur yang menandai akhir Ramadan. Kebiasaan ini sama dengan suatu adat ‘going home’ pada hari Thanksgiving atau Natal bagi orang Amerika.

Para pemimpin Muhammadiyah tidak akan menyarankan orang Indonesia untuk Tinggal di Rumah tanpa pertimbangan cermat atas risiko yang ditimbulkan oleh pandemi dan kepentingan sosial, budaya dan agama dari perayaan Lebaran.

Menunda berkumpul dengan keluarga adalah hal terpenting yang dapat dilakukan orang Indonesia untuk memperlambat penyebaran penularan Corona. Dengan kata lain, bahwa banyak orang yang seharusnya mati akan tetap hidup untuk bergabung dengan mereka (dalam kegiatan keagamaan dan adat) tahun depan. Kita semua berharap bahwa pada saat Natal tiba, pandemi akan berlalu dan umat Kristiani tidak akan dihadapkan dengan pilihan menyakitkan serupa antara tradisi keagamaan dan keselamatan bersama.

Jika demikian, ada banyak hal yang dapat dipelajari oleh orang-orang Protestan Amerika dari kebijaksanaan dan tekad yang ditunjukkan Muhammadiyah. Ada dua poin dasar. Pertama adalah bahwa pengorbanan diperlukan. Kedua adalah bahwa orang-orang lebih mudah menerima ketika para pemimpin agama mereka menggunakan penalaran kitab suci untuk menjelaskan mengapa mereka perlu (melakukan suatu hal).

Tulisan ini telah diubah ke dalam bahasa Indonesia, dengan sumber utamanya melalui tulisan dengan judul Religious Holidays in the Plague Year – Lessons from the Indonesian Muhammadiyah Movement (Mark Woodward)
---------

Religious Holidays in the Plague Year – Lessons from the Indonesian Muhammadiyah Movement

There are always religious responses to plague and pestilence. They can be found in the Qur’an, the Bible and many other religious scriptures. When faced with grave danger people inevitably turn to religion and religious leaders for guidance. This is as true now when the world is confronted with Coronavirus pandemic as it was centuries ago when more deadly pandemics like the Black Death swept across Asia and Europe. Humanity has vastly more effective science based tools for combating epidemics than it did even a century ago. Religious responses can, however, still be weapons in the Jihad/Crusade against the microbial enemy. Some of these responses will prove to be beneficial and others are worse than counter-productive.

Some Christian and Muslim groups, including a few American Evangelical Mega-Churches and the Muslim revivalist Tablighi Jamaat, claim that God will spare the faithful and continue to hold mass religious gatherings. This doesn’t make sense. Many people have gotten sick and some have died because of them. Authorities have little choice other than to take action to prevent these mass infection events. In Florida, a Mega-Church pastor has been arrested for holding mass prayer services in defiance of quarantine orders. In Indonesia, the government cancelled an international Tablighi Jamaat gathering after more than 500 people were infected at a similar event in neighbouring Malaysia.

There are other religious responses that make a great deal of sense. These include offering people guidance on how to fulfil their religious obligations while at the same time protecting themselves and the public from the contagion. Religious guidance is especially important now because Holy Week during which Christians commemorate the crucifixion and resurrection of Christ and Ramadan during which Muslim fast during daylight hours, gather for prayers and socializing at night and celebrate the end of the month with communal prayers are rapidly approaching. Churches and Mosques are normally filled at these times. For people of both faiths seasonal religious observances would normally make social distancing, which is now the most effect weapon we have against the virus, difficult, if not impossible.  Many people worry that they will fall into sin and face divine retribution if they do not fulfil their religious obligations. There are also many non-religious social events – parades, parties, family gatherings and others that people are reluctant to cancel.

At times like these religious advice can make for sound public health policy and practice. They are also times when people of all faiths can learn from the wisdom and experience of others.
I’m posting this article about how the Indonesian Muhammadiyah movement has responded to the challenge for those of you who can read Indonesian. I’ve summarized its major points for those who cannot.

First, some background. Muhammadiyah is one of the two largest Muslim organizations in Indonesia, the country with the world’s largest Muslim population. It has approximately 30,000,000 followers in a country with a total population of approximately 260,000,000.  To put these numbers in perspective there are approximately 50,000,000 Baptists in the United States which has a total population of approximately 330,000,000. The Coronavirus is spreading rapidly in both countries requiring urgent action to contain it.

Muhammadiyah is what some Americans might call a “soft” fundamentalist version of Islam. It teaches that the Qur’an and Hadith (traditions concerning the Prophet Muhammad) are the only sources of religious authority. This teaching is very similar to Luther’s doctrine of sola scriptura (scripture only) that is one of the foundational principles of American Protestantism.

Muhammadiyah’s fundamentalism is “soft” because unlike some other Muslim and Protestant fundamentalist groups, it strongly supports science and  rational approaches to problem solving. In this respect Muhammadiyah theology resembles that of the 19th century German Protestan theologian Friedrich Schleiermacher who prosed an “eternal covenant” between science and religion. Too many American Protestants ignore, or more likely have never heard, Schleiermacher’s message to the modern world. Similar modernist Muslim teachings formulated by Muhammad Abduh in the early 20th century are frequent themes in Muhammadiyah sermons. Muhammadiyah also operates a vast network of schools, universities, clinics and hospitals. In this respect Muhammadiyah’s social programs are similar to those of the Roman Catholic Church in the United States.

Muhammadiyah’s leadership is well aware that strong action is necessary to limit the spread of the virus and that social isolation is one of the few effective measures at our disposal.  On March 24th they issued a fatwa (legal opinion) suspending the normally obligatory congregational Friday noon prayers. It advised Muslims to pray at home instead. On March 26th a press release offered guidance for Ramadan observances.  It made four basic points:

• The special evening prayers (tarawih) that are normally performed in mosques can be done at home. Religious events including sermons and speeches are not necessary.

• Fasting is obligatory for Muslims except those who are sick. The sick should follow the normal Shari’ah (Islamic Law) regulations for making up missed fasting days at a later time.

• Healthcare staff are not required to fast while on duty. They should follow the normal Shari’ah regulations for making up missed fasting days at a later time.

• It is not necessary to perform the communal prayer on Idul Fitri and the end of the month. People should not engage in customary celebrations, including mudik returning to their home towns and villages to visit relatives at the end of the month, parades and social gatherings.

These rulings were not based on public health considerations alone. Muhammadiyah provided what it holds to be sound religious justifications for them based on quotations from the Qur’an and Hadith. These are called dalil. They are what Protestants call proof texts. This same sort of religious logic is available to them in efforts to contain the pandemic.

Some of Muhammadiyah’s recommendations require painful sacrifices. Tens of millions of Indonesians usually return to their home towns and villages to celebrate Lebaran, the holiday marking the end of Ramadan. It is the same sort of custom that “going home” for Thanksgiving or Christmas are for Americans. 

Muhammadiyah leaders would not advised Indonesian to Stay Home without careful consideration of the risks posed by pandemic and the social, cultural and religious importance of Lebaran festivities. Postponing family reunions is the most important thing Indonesians can do to slow the spread of the Corona contagion. It will mean that many people who would otherwise have died will live to join in them next year.

We all hope that by the time Christmas comes the pandemic will have passed and that Christians will not be faced with similar painful choices between religious tradition and public safety.  If they are, there is much that American Protestants can learn from the wisdom and determination Muhammadiyah has shown. There are two basic points. The first is that sacrifices are necessary. The second is that people will find them easier to accept when religious leaders use scriptural reasoning to explain why they are necessary.

http://m.muhammadiyah.or.id/id/news-18721-detail-hari-libur-agama-di-tahun-wabah-pelajaran-dari-persyarikatan-muhammadiyah.html