Republika, Minggu, 04 Juli 2010 pukul 13:40:00
Oleh Syahruddin El-Fikri
Semangat pembaruan Islam yang dikampanyekan oleh para tokoh pelopor gerakan kebangkitan Islam-seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Abdul Wahhab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla-merambah hingga ke Indonesia.
Ketika wilayah nusantara masih berada dalam kungkungan penjajahan Belanda, kehidupan masyarakat dan umat Islam yang terjajah, bodoh, tertindas, memaksa sejumlah intelektual dan cendekiawan Indonesia untuk melakukan sebuah gerakan pembebasan dan pembaruan.
Di awal abad ke-20 gagasan dan pemikiran para tokoh tersebut secara tidak langsung diserap oleh para kaum intelektual Muslim yang bermukim di Pulau Jawa. Salah seorang di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan, yang mendirikan Muhammadiyah pada 1912 M.
Melalui lembaga Muhammadiyah yang didirikannya, Kiai Ahmad Dahlan mencoba melakukan pembaruan terhadap pemahaman keislaman di Tanah Air. Apa yang telah dirintis oleh Ahmad Dahlan di kemudian hari dilanjutkan oleh para penerusnya, seperti KH Mas Mansur, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Buya Hamka, dan KH AR Fakhruddin.
Bahkan, di abad ke-21 ini, memasuki Satu Abad Muhammadiyah, para intelektualnya melakukan sebuah terobosan yang cemerlang dalam upaya mencerdaskan rakyat, menciptakan kemandirian bangsa, dan terbebas dan berbagai macam penindasan dan kebodohan. Itulah konsep Fikih Al-Maun.
Mengapa konsep ini yang kemudian dikembangkan? Karena adanya pandangan bahwa umat Islam yang sampai sekarang masih mengalami ketertinggalan peradaban dan banyak rakyatnya yang menjadi penyandang masalah sosial, miskin, dan bodoh. Karena itu, penyelesaian masalah pokok tersebut, harus diawali dari perumusan sistem ajaran yang memadai sebagai basis teologi.
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar, bertanggung jawab ambil peran dalam penyelesaian masalah tersebut. Gerakan Muhammadiyah pada masa awal pendiriannya, juga dilandasi oleh kondisi ketertinggalan umat di segala bidang. Karena itu, sangat beralasan jika basis teologi dengan dasar Alquran surah Al-Maun [107], menjadi landasan dalam menyelesaikan semua problematika umat.
Menurut Muhadjir Effendy, rektor Unmuh Malang, di dalam sistematika Fikih Al-Maun yang disepakati Munas Tarjih, ada Kerangka Amal Al-Maun, yakni berupa penguatan dan pemberdayaan kekayaan fisik, moral, spiritual, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sementara itu pilar Amal Al-Maun terdiri atas rangkaian berkhidmat kepada yang yatim, miskin, mewujudkan nilai-nilai ibadah (shalat), memurnikan niat, menjauhi riya, dan membangun kemitraan yang berdayaguna.
Prof Dr Hamim Ilyas, guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pernah mengungkapkan, Fikih Al-Maun merupakan pembaruan (tajdid) bagi Muhammadiyah dalam pemikiran keagamaan. "Fikih Al-Maun bertujuan mengubah sistem budaya dan sosial umat."
Sebab, kata dia, dalam Alquran, kata iman senantiasa bergandengan dengan kata amal saleh. Dengan Fikih Al-Maun ini, diharapkan umat Islam akan bisa semakin peduli dan penuh tanggung jawab terhadap persoalan-persoalan sosial.
Kendati Fikih Al-Maun ini sudah menjadi bagian dari tradisi di Muhammadiyah, namun semangatnya belum terbingkai dalam ranah teologi dan pemahaman yang luas. Anak yatim, fakir miskin, anak telantar, orang-orang jompo, dan lainnya, tak mampu berdaya, karena kurang maksimalnya pemberdayaan atas diri mereka.
Muhadjir Effendy, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, mengatakan, yatim dalam Alquran, seharusnya sudah tidak dimaknai lagi dengan orang yang kehilangan ayah atau kedua orang tuanya (yatim piatu). Tetapi, maknanya adalah orang yang tidak mampu lagi dalam memaksimalkan potensi dirinya untuk berdaya. Mereka bisa saja masih memiliki kedua orang tua, namun tak bisa mengembangkan kreativitas untuk maju.
Konsep Fikih Al-Maun yang pernah dikembangkan KH Ahmad Dahlan sejak awal mendirikan Muhammadiyah ini, dalam banyak pengamatan peneliti seperti Deliar Noer (1973) dan A Jainuri (1999), berhasil membawa warga Muhammadiyah semakin gigih dan bersemangat membebaskan para mustad'afin (orang-orang yang lemah) dari ketertindasannya. Wujud konkret dari gerakan mereka adalah pendirian beberapa panti asuhan, rumah sakit, sekolah, dan lembaga sosial.
Dalam pandangan Ahmad Najib Burhani, dosen Universitas Paramadina Jakarta, dalam artikelnya yang berjudul 'Dari Teologi Mustadl'afin Menuju Fiqh Mustadl'afin, gerakan pembaruan dan pengembangan konsep Amal Al-Maun yang dikembangkan Amien Rais, Syafii Maarif, bahkan Din Syamsuddin, belum mampu menyosialisasikan gagasan tauhid sosial ini secara maksimal.
Apa yang dilakukan Syafii Ma'arif, tulis Burhani, dalam memelopori gerakan antikorupsi dengan semangat keagamaan, kendati sempat diikuti, namun akhirnya berhenti pada tataran diskursus. Gerakan antikorupsi tak mampu mengurangi tindak korupsi di Indonesia. Mengapa ini semua terjadi? Salah satu jawabanya adalah karena semua gagasan itu hanya berhenti pada tataran teologi, tidak diejawantahkan dalam bentuk fikih.
Bagaimana konsep Fikih Al-Maun ke depan, mampukah ia menjawab berbagai persoalan umat, dan gerakan pembaruan Muhammadiyah di abad kedua ini? Tentu layak untuk ditunggu.n
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment