Friday, February 10, 2012

Muhammadiyah and the Origins of Intolerance in Indonesian Islam

Missionaries, Modernists and the Origins of Intolerance in Islamic Institutions




Jeremy M. Menchik


Stanford University; University of Wisconsin-Madison

2011

APSA 2011 Annual Meeting Paper

Abstract:     
Why are some Islamic institutions more tolerant than others? This basic question has far-reaching implications. Islamic movements have considerable sway in the policies of newly democratic Egypt, Tunisia and most other Muslim-majority states. Islamic movements are likewise important for the formation of social trust; recent scholarship suggests that democratization in Muslim counties is more likely to occur when Islamic institutions are able to build networks of cooperation across religious differences, while scapegoating and sectarian polemics between religious groups increases the likelihood of violence. I answer this basic question by focusing on Islamic institutions in Indonesia, the world’s largest Muslim-majority country and one of the most diverse. Using archival material and newly collected survey data, I argue against the notion that theology or ideology shape interethnic relations and show that local politics during the late colonial period explains the policies of contemporary Islamic institutions.

Before the national awakening period (pergerakan, 1880-1930), Javanese society was religiously homogenous with overlapping social identities and indistinct boundaries between them. Yet by 1930, there were deep social cleavages between groups. Archival material suggests that locally specific conditions in West, Central and East Java polarized society differently in each region: in West Java the primary divisions were between Christian/Muslim and Modernist/Traditionalist, in Central Java the divisions were similar but shallow and emerged late in the period, and in East Java only the Modernist/Traditionalist divide was salient. These different modes of polarization were then reflected in the policies of the emergent Islamic institutions Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama and Persatuan Islam. Contemporary survey data demonstrates that regional differences endure in the attitudes of elites. These findings suggests that rather than using ideological or theological explanations for patterns of tolerance and intolerance, scholars examine the lived experiences of Islamic leaders within their local and historically rooted contexts. 



Menchik, Jeremy M. 2011. "Missionaries, Modernists and the Origins of Intolerance in Islamic Institutions." APSA 2011 Annual Meeting Paper. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=1902088

Thursday, February 2, 2012

Militansi Muhammadiyah Jawa Timur

Militansi Muhammadiyah Jawa Timur (I)
Republika, 17 Jan 2012
Oleh Ahmad Syafii Maarif

Di antara 33 wilayah Muhammadiyah se-Indonesia, mungkin . Muhammadiyah Jawa Timur (Jatim) yang paling militan. Dalam arti, roda organisasi berputar kencang dalam upaya meraih sasaran program yang telah ditetapkan. Jika ada masalah, cepat ditangani. Jika Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) tidak bisa menangani, Pimpinan Pusat Muhammadiyah dilibatkan.
Misalnya, menghadapi kasus konflik kepentingan di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan yang sedikit memalukan, tetapi tidak dibiarkan berlarut. Saya pernah mengatakan, pada kasus-kasus tertentu Muhammadiyah adalah bagian dah kondisi negara yang tidak sehat. Ranah-ranah amal usaha yang agak basah kadang-kadang menjadi rebutan warga persyarikatan.
Persis seperti apa yang berlaku di Republik Indonesia. Dalam Laporan Kegiatan PWM Jatim tertanggal 4 Desember 2011 yang saya hadiri, di samping banyak sisi putih yang dibentangkan, sisi-sisi hitam pun disebutkan secara terbuka sebagai pertanda Muhammadiyah Jatim tidak mau menutup borok yang hinggap di tubuhnya.
Ini demi membuktikan rasa tanggungjawab yang tinggi bagi perbaikan kinerja organisasi. Saya dulu telah mengunjungi hampir semua PWM di seluruh Indonesia. Saya merasa PWM Jatim yang terbanyak memberi kesan positif yang patut dicatat. Semangat juang warga dan pengurusnya dalam beramal sangat terlihat dan terasa bila kita berkunjung ke wilayah itu.
Saking mengesankan, saya sempat berseloroh sekiranya PP Muhammadiyah tak mampu lagi mengurus persyarikatan, serahkan saja ke PWM Jatim, pasti beres. PWM periode 2010-2015 dipimpin oleh Prof DR Thohir Luth MA, seorang anak bangsa yang berasal dari Indonesia bagian timur. Didampingi oleh 12 anggota pimpinan yang lain, semuanya bergelar sarjana, bahkan tiga berpangkat guru besar.
Pimpinan ini secara teratur turun ke Pimpinan Daerah Muhammadiyah (POM) yang jumlahnya sebanding dengan jumlah Dati II se-Jatim, sebanyak 38. Muhammadiyah tidak pernah percaya pada angka 13 yang dianggap membawa celaka oleh kultur Barat. Terbukti dengan pimpinan wilayah yang bahkan PP berjumlah 13 orang.
Kantor PWM Jatim yang berada di Jalan Kertomenanggal IV Nomor 1, Surabaya, tergolong sedikit mewah, dilengkapi jaringan teknologi informasi, dan lokasinya strategis tidak jauh dari Bandara Juanda. Dari kantor inilah kegiatan organisasi di seluruh Jatim diteropong dengan saksama. Salah seorang wakil ketua yang membawahkan bidang wakaf dan zakat, infak, sedekah (ZIS) Drs Nurcholis Huda MSi, adalah penulis prolifik yang digemari pembaca.
jawaban SMS-nya kepada saya tentang data amal usaha1 Muhammadiyah Jatim, terbaca angka-angka berikut Bidang kesehatan berjumlah 101 (BKIA dan rumah sakit), Panti Asuhan Yatim 74, Panti Wrida 1, semua jenis sekolah tingkat menengah sampai ke bawah 964, universitas 6, dan sekolah tinggi 18.
Sepanjang pengetahuan saya, panti asuhan yang terbaik ada di Bojonegoro dan diasuh oleh Bung Wachid, yang sudah tahunan menyatu dengan seluruh denyutan nadi panti itu. Sosok ini telah lama mengusir perasaan lelah dari dirinya demi panti yang sangat dicintainya. Entah berapa orang dari alumni panti ini yang telah menamatkan pendidikannya di perguruan tinggi.
Jika tuan dan puan berkunjung ke panti ini, akan bertemulah sosok kerempeng sangat sederhana, berambut pendek, dan berkulit hitam. Itulah Bung Wachid, yang tempat tinggalnya mungkin tak pernah direnovasi. Sewaktu saya dulu berkunjung ke sana, Bung Wachid juga tak mau pakai mobil, entah kalau sekarang.
Manusia tipe Wachid ini dengan kadarnya masing-masing banyak dimiliki oleh Muhammadiyah Jatim. Tampaknya, karena faktor semangat juang semacam inilah Muhammadiyah di provinsi dengan jumlah 37 juta jiwa (data 2005) itu terus saja berkembang, baik kuantitas maupun kualitas. Dengan segala rintangan yang dihadapi, Muhammadiyah tetap saja berekspansi dalam meluaskan jaringan amal usahanya tanpa terlihat tanda-tanda surut. Beberapa sekolah yang akan mati masih diupayakan agar tetap bisa bernapas.
------
Militansi Muhammadiyah Jawa Timur (II)

Oleh : Prof. Dr. H. A. Syafii Maarif
Republika, 24 Jan 2012

Dibandingkan dengan mitra NU-nya, secara kuantitatif posisi Muhammadiyah jelas minoritas, tetapi tidak secara kualitatif Apakah militansi Muhammadiyah Jatim ini salah satu pen-dorongnya adalah perasaan minoritas yang harus unggul dalam kerja-kerja pendidikan-sosial keagamaan? Saya tidak bisa menjelaskan.

Di Jawa Barat (Jabar) dengan dominasi suku Sunda, Muhammadiyah juga minoritas, tetapi dari segi militansi, jauh berada di bawah Muhammadiyah Jawa Timur (Jatim). Mungkin pendekatan sosio-antropologis bisa menjelaskan mengapa dua sayap Muhammadiyah Jatim dan Jabar ini menunjukkan tingkat dinamika yang berbeda

Di PWM Jabar, sampai sekarang belum berdiri perguruan tinggi Muhammadiyah yang berarti. Sementara di Jatim, universitas dan sekolah tinggi Muhammadiyah ada yang sudah berpredikat unggulan. Sekalipun demikian, di Garut, Muhammadiyah sudah mempunyai sebuah pesantren ternama dan di Cirebon sudah ada pula beberapa sekolah favorit. Kedua kota ini adalah bagian dari wilayah PWM Jabar.

Agar jejak rekam Muhammadiyah Jatim lebih terlihat, perlu sekilas data sejarah berikut ditampilkan Muhammadiyah secara resmi berdiri pada 1 November sebagai sebuah cabang Surabaya dengan Surat Keputusan Hoofdbestuur (HB) No 4/1921. Ketua pertamanya adalah Mas Mansur yang sebelumnya terpikat oleh cara Ahmad Dahlan menafsirkan Alquran sewaktu berkunjung ke Surabaya sebagai pedagang dan mubaligpada 1915.

Perkenalan dan dialog dua ulama ini terus berlanjut dan Mas Mansur juga berkunjung ke Yogyakarta. Diawali oleh cabang Surabaya, kemudian dalam tempo relatif singkat antara tahun 1920-an/1930-an cepat merayap ke bagian-bagian lain di Jatim dengan tantangan yang bervariasi, karena Muhammadiyah saat itu masih dianggap sebagai pembawa agama baru dengan sejumlah stigma yang ditempelkan kepadanya.

Karena Muhammadiyah tidak hanya berdakwah dengan lisan, tetapi juga dengan usaha konkret dalam bentuk kehadiran madrasah, sekolah, panti, klinik, dan rumah sakit yang mengiringinya, lama-kelamaan mata masyarakat terbuka juga. Mungkin di sinilah terletak kekuatan utama Muhammadiyah dalam upaya mencerdaskan otak dan mencerahkan hati manusia, demi terciptanya masyarakat yang berkeadaban dan berkeadilan.

Dalam perjalanan selanjutnya, dari rahim Muhammadiyah Jatim telah tampil dua tokoh utamanya untuk menjadi ketua pimpinan pusat Muhammadiyah, yaitu KH Mas Mansur (1937-1943) dan KH Faqih Usman (1968), sekalipun yang kedua ini hanya menjabat beberapa hari karena wafat. Mas Mansur adalah ketua PP (saat itu disebut PB/pengu-rus besar) pertama yang bukan berasal dari Yogyakarta, yang dipilih melalui Muktamar ke-26 di kota kelahiran Muhammadiyah ini.

Di kalangan Muhammadiyah, Mas Mansur dikenal sebagai pencetus gagasan Langkah 12, yang, antara lain, berupa gerakan koreksi din, memperjuangkan keadilan, dan membina hubungan silaturahim dengan kalangan di luar Muhammadiyah. Dengan langkah-langkah ini. Muhammadiyah menjadi gerakan Islam yang terbuka untuk dikritik agar tidak mudah puas diri. Pada resonansi terdahulu, sudah kita sebutkan bahwa Muhammadiyah telah terbentuk di semua Dati II Jatim, sekalipun belum meliputi semua kecamatan dan desa.

Tetapi, di seluruh Jatim dapat ditemui 498 cabang dan 2.849 ranting Muhammadiyah dengan kualitasnya yang beragam, sangat bergantung pada kualitas dan komitmen pimpinannya masing-masing dalam membina gerakan Islam ini. Di sana-sini masih saja terdapat pihak-pihak yang menentang, tetapi itu semua adalah sisa-sisa masa lampau yang tidak terlalu berat.

Jika Ahmad Dahlan pernah mau ditebas lehernya di daerah Banyuwangi pada masa awal itu, sekarang keturunan yang hendak menebas itu tidak sungkan-sungkan untuk memasukkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan Muhammadiyah yang tersebar hampir di seluruh Jatim. Dengan bergulirnya waktu, sikap masyarakat pun mengalami perubahan ke arah yang semakin positif.

Paham agama yang diajarkan Muhammadiyah ternyata bukanlah agama baru, melainkan sebuah Islam yang berkemajuan untuk kemaslahatan semua. Dalam musyawarah 4 Desember di atas, para tokoh PWM dan mantan PWM sekaligus meluncurkan lima karya tulis buah tangan mereka, sebuah teladan yang patut dicontoh oleh kalangan Muhammadiyah di wilayah lain.

Muhammadiyah Jatim tidak saja gesit dalam berorganisasi dan mengurus amal usaha, kerja-kerja otak pun menjadi perhatian mereka.

Wednesday, February 1, 2012

A century of helping shape a moderate Muslim democracy

NewsObserver.com, Tue, Jan 31, 2012



This year is the 100th year of one of the largest, most accomplished and least known Muslim organizations in the world - and one that has played and can play a critical role in peaceful leadership transitions.

Muhammadiyah reports 30 million members, mainly located in Indonesia, the nation with the largest Muslim population. Muhammadiyah was founded in 1912. In its 100 years it has accomplished an astounding range of work. It has established dozens of universities, 12,000 schools with over 50,000 teachers and over a million students, 47 hospitals, 217 clinics, 300 orphanages and other civic or community organizations. Its large and powerful women's organization, Aisyiyah, has created over 500 microcredit cooperatives engaged in community work. Aisyiyah empowers women.

Despite its size, accomplishments and importance, Muhammadiyah is little known, probably because, unlike radical and militant organizations featured in the media, it has not emphasized violence. Instead, it has worked importantly to prevent violence.

A notable example stands in stark comparison to the recent uprisings in Egypt and elsewhere in the Middle East. In Indonesia in 1998 General Suharto, who resembled Mubarak in a long and somewhat autocratic reign (since 1965), did what Mubarak, Gadhafi and others did not; he voluntarily resigned, thus avoiding the violent uprisings of Egypt, Libya and Syria.

A key reason Suharto resigned was the diplomacy of the then-chair of Muhammadiyah, Amien Rais. Here a strong Muslim leader deployed a Muslim organization, Muhammadiyah, as a catalyst to a peaceful transition toward a relatively democratic government.

What are prospects for Muhammadiyah's global role?
It has published an extensive vision and plan for its future. The plan assesses the global situation in relation to the place of Islam (China, it suggests, has replaced USA as the major power to consider). It discusses the environment, the economy, democratic government - of which Indonesia is one of the notable examples in a predominantly Muslim population. It addresses the role and status of women, especially in relation to Aisyiyah, which is pressing for stronger leadership role in the organization and in Islam.

Muhammadiyah envisions itself as a crucial bridge between Islam and non-Islamic populations or nations. In the global system, Muhammadiyah occupies a mediating position because it is Muslim yet not militant. In fact, it is moderate in most of its social and political values. Also it has accomplished much in educational, cultural and community work while adhering firmly to a Muslim identity. Some potential for a mediating role is reflected in conferences on peace held by Muhammadiyah and in the vision for 2010-2015.

This year we should learn about and perhaps engage with Muhammadiyah in an effort to work peaceably and productively with the hugely important Muslims who are at once moderate and vigorous in seeking peace and progress.
 
James Peacock is Kenan professor in the Department of Anthropology at UNC-Chapel Hill and is the author of "Grounded Globalism." Eunsook Jung is assistant professor of politics at Fairfield University in Connecticut. The writers have participated in and observed Muhammadiyah activities from 1970 to the present. 
 
Retrieved from: http://www.newsobserver.com/2012/01/31/1818167/a-century-of-helping-shape-a-moderate.html

Read more here: http://www.newsobserver.com/2012/01/31/1818167/a-century-of-helping-shape-a-moderate.html#storylink=cpy