Thursday, January 20, 2011

Catatan Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-45: Kemana Dien Syamsuddin Hendak Membawa Muhammadiyah?


Oleh Ahmad Najib Burhani*

Salah satu butir dari komitmen atau “kontrak amanah” Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode 2005-2010 adalah bersedia untuk tidak menjadikan Muhammadiyah sebagai kendaraan politik. Dengan komitmen itu, maka 13 anggota PP, plus anggota tambahannya, secara otomatis tidak akan mencalonkan diri sebagai presiden maupun wakil presiden dalam pemilu 2009 mendatang. Konsekuensi lain dari komitmen itu adalah bahwa seluruh anggota PP harus melepaskan diri dari keterikatan atau keterlibatan dengan partai politik manapun.

Ketika mendengar “kontrak amanah” ini disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah terpilih, Dien Syamsuddin, pada pidato serah terima jabatan di Dome UMM, Kamis 7/7, saya merasa haru, tak percaya, dan curiga. Dien selama ini terkenal dengan syahwat politiknya yang sangat kuat. Analisis yang berkembang selama ini menyebutkan bahwa Dien akan menggunakan Muhammadiyah sebagai salah satu sayap --sayap lainnya adalah MUI (Majelis Ulama Indonesia)-- untuk terbang menuju kursi tertinggi di negeri ini, presiden. Jika bukan untuk mengejar RI-1, pertanyaannya adalah kemana sebetulnya arah ambisi politik mantan petinggi Golkar itu? Hasrat apa yang diburu Dien dengan jabatan sebagai ketua umum dari salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia ini?

Secara retoris, alumnus UCLA ini menyatakan bahwa jabatan di Muhammadiyah adalah amanah yang diterima bukan dengan alhamdulillah (syukur kepada Tuhan), tapi dengan innalillah (ketakutan kepada Allah dan harapan pertolongan dari-Nya). Dulu, saya sempat menduga “kontrak amanah” itu tak akan disetujui oleh Dien, atau paling tidak diperhalus dan dibiaskan bahasanya. Saya juga sempat takut ketika kontrak itu baru disodorkan pasca pemilihan, bukan pra pemilihan. Saya menduga ini semua adalah trik tim sukses Dien agar kontrak itu kehilangan makna. Ternyata semua dugaan itu meleset.

Berulang-ulang saya berpikir tentang pidato serah-terima jabatan itu. Berkali-kali saya berdiskusi dengan para aktivis organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan tahun 1912 ini. Hingga, pada perdebatan hangat dengan beberapa AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah) di daerah puncak (Payung) Batu, Malang, Kamis (7/7), jam 01.00 dini hari, saya mendapatkan satu titik terang tentang masa depan Muhammadiyah, ke arah mana gerakan Islam modernis ini hendak dibawa atau dipakai oleh Dien Syamsuddin. Tentu saja ini semua hanyalah analisa, dugaan dan tebakan. Apa yang terjadi esok harilah yang akan membuktikannya.

Adalah Piet Hizbullah, mantan ketua umum IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) dan caleg terkuat PAN di Jawa Timur pada Pemilu 2004, yang membuka sedikit tabir tentang “takdir” Muhammadiyah dibawah kepemimpinan Dien. Profesor dari UIN Jakarta ini sepertinya ingin menjadi “Paus” Islam. Ia menginginkan dirinya, Muhammadiyah, dan Islam di Indonesia menjadi representasi dari seluruh umat Islam di dunia.

Meski Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, namun selama ini Islam di negeri ini sering ditempatkan pada posisi pinggiran (periphery). Pusat Islam adalah Timur Tengah, terutama Saudi Arabia, tempat lahirnya Islam dan tempat ka’bah, yang merupakan kiblat umat Islam dalam bersembahyang, berada. Dien ingin membawa Islam “varian” Indonesia ke pentas Internasional.

Saya mencoba menghubungkan analisa ini dengan isi kampanye Dien. International network adalah topik yang selalu didendangkan tim suksesnya. Awalnya, saya melihat ini semata sebagai cara tim Dien untuk menunjukkan kelebihan mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah ini dibanding kandidat lain. Ketika itu saya tidak melihat ini sebagai visi Dien –mungkin tim suksesnya pun tidak menganggap demikian. Namun setelah pertemuan di puncak Batu itu, saya mulai mencari bukti-bukti bahwa ini merupakan visi ke depan Dien.

Dien adalah ketua ICOMRP (Indonesian Committee for Religion and Peace) dan ACRP (Asian Conference on Religion and Peace). Dia acapkali tampil ke pentas dunia dengan mengatasnamakan Islam atau membawa persoalan Islam, bertemu dengan duta besar berbagai negara untuk mendiskusikan Islam. Hubungan Islam di Indonesia dengan dunia Islam dan dunia lain pulalah yang diulang-ulang Dien pada panutupan Muktamar dan khutbah Jum’ah pasca Muktamar. Dari data ini, bisa diduga bahwa tema kepemimpian Dien adalah membawa Muhammadiyah ke pentas global, seperti yang pernah dilakukan Jamalauddin al-Afghani. Mirip dengan al-Afghani, Dien tidak banyak memiliki karya pemikiran. Ia adalah orang gerakan.

Tentu saja cita-cita menjadi “Paus” Islam ini, secara politis, tak kalah tingginya dibanding dengan menduduki jabatan RI-1. Dengan ini, Dien tidak hanya bisa menjadi pemimpin umat Islam Indonesia, tapi bisa menjadi imam atau khalifah Islam sedunia yang kekuasaanya terbentang dari ujung timur hingga ujung barat dunia, bahkan mencapai akhirat. Mirip dengan cita-cita Hizbut Tahrir, Dien bisa mewujudkan “khilafah Islamiyah.”

Hal yang masih menjadi tanda tanya adalah apakah wajah Islam yang ingin ditampilkan Dien adalah seperti yang ia tampilkan selama ini? Kita perlu menunggu.
-oo0oo-
 
*Ahmad Najib Burhani adalah Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan aktivis Pemuda Muhammadiyah

Wednesday, January 19, 2011

Dien Syamsuddin, JIMM dan Radikal Islam


Oleh Ahmad Najib Burhani*

Pada masa-masa akhir pemerintahan Orde Baru, Dien Syamsuddin, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode 2005-2010, terkenal sebagai politisi dan intelektual yang sangat yakin dengan politik alokatif, struggle from within (berjuang dari dalam), dan menghindari sikap konfrontatif. Strategi ini rupanya tak dipercayainya lagi untuk kasus 11 Setember 2001. Dien telah menanggalkan “iman” tersebut ketika berhadapan dengan Amerika Serikat. Ia memilih untuk bersikap konfrontatif terhadap kebijakan-kebijakan Amerika terhadap Islam dan negara-negara Islam. Karena itulah, sejak peristiwa pemboman menara kembar WTC (World Trade Center) itu, ia lebih akrab dikelompokkan sebagai bagian dari Islam garis keras.

Salah satu alasan mengapa Dien terpilih menjadi pimpinan tertinggi dalam organisasi terbesar kedua di Indonesia itu adalah juga karena kedekatannya kepada warga Muhammadiyah garis keras. Pandangan-pandangan keagamaan Sekretaris Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) ini dianggap sesuai dengan keinginan mayoritas warga Muhammadiyah yang cenderung puritan dan fundamentalis. Inilah yang membedakan Dien dari pimpinan Muhammadiyah yang ia gantikan, Ahmad Syafii Maarif. Seiring dengan pemikirannya yang moderat dan inklusif, popularitas Syafii Maarif –juga Munir Mulkhan dan Amin Abdullah-- di Muhammadiyah terus merosot. Bahkan, Mulkhan dan Amin terpental dari 13 formatur terpilih pada Muktamar ke-45 di Malang, 3-8 Juli 2005.

Pada Muktamar yang baru usai itu, Buya Syafii berkali-kali melakukan pembelaan terhadap beberapa angkatan muda Muhammadiyah yang memiliki pemikiran liberal dan aneh, seperti yang ditampilkan dalam tulisan-tulisan Sukidi, Fuad Fanani dan Pramono. Dalam pidato serah terima jabatan di UMM (Universitas Muhammadiyah Malang) Dome (7/7), Syafii bahkan berpesan agar orang Muhammadiyah tidak cepat marah dan menuduh ketika membaca pemikiran anak-anak muda. Selama mereka menjalankan prinsip-prinsip ajaran agama, seperti shalat, maka mereka tak perlu dimusuhi.

Masa Depan Liberalisme

Berbeda dari Syafii, dalam berbagai pidatonya Dien tidak menyatakan pembelaan, dukungan atau apresiasi terhadap pemikiran generasi muda Muhammadiyah. Sikap ini bisa dipahami jika itu terjadi sebelum pemilihan pimpinan. Dien perlu mengamankan peluangnya menjadi ketua umum dengan cara menjaga emosi para pendukungnya. Saya kira, Dien sadar bahwa jika ia memberikan apresiasi terhadap JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) yang cenderung liberal, maka suaranya bisa turun mengingat jumlah warga Muhammadiyah yang tidak menyukai JIMM cukup banyak. Namun anehnya, pernyataan apresiasi juga tidak keluar setelah ia ditetapkan sebagai ketua umum.

Ada beberapa asumsi tentang sikap tersebut. Bisa jadi Dien tidak ingin langsung membuat langkah kontroversial begitu ia terpilih. Hal ini penting untuk menghormati para pendukungnya. Tentu mereka akan kecewa bila Dien menyampaikan apresiasi terhadap pemikiran liberal segera setelah ia memimpin organisasi yang berdiri tahun 1912 ini. Asumsi lain adalah bahwa Dien memang tidak berniat untuk membela anak-anak Muhammadiyah yang liberal. Atau bahkan, sebetulnya ia tidak menyukai model pemikiran itu.

Asumsi bahwa Dien tidak menyukai gerakan yang dilakukan oleh anak-anak muda Muhammadiyah itu tentu agak susah diterima bila melihat bahwa Dien lah yang mendirikan PSAP-M (Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah), salah satu gerbong pemikiran “liar” di organisasi modernis ini. Alasan inilah yang dikemukakan Dien ketika mendengar isu bahwa ketidaksukaan beberapa orang kepada Dien adalah karena ia seorang fundamentalis. Mendengar isu tersebut, Dien buru-buru menjawab bahwa orang lupa bahwa dirinyalah pendiri PSAP.

Meski di kalangan terbatas Dien menolak disebut fundamentalis, ia tetap saja menolak untuk memberikan pernyataan perlindungan kepada 2 (dua) kelompok yang bersebarangan di Muhammadiyah ketika ada seorang tokoh Muhammadiyah meminta hal tersebut. Tokoh ini mengatakan bahwa ia telah meminta kepada Dien untuk menyampaikan satu statemen bahwa ia akan memayungi dua kelompok yang beroposisi itu dalam pidato serah terima jabatan, namun Dien tak bersedia memenuhi.

Dalam jumpa pers setelah ia ditetapkan sebagai ketua umum, saya sempat hendak menanyakan kepada Dien tentang sikapnya terhadap liberalisme. Namun posisi saya sebagai insider –sekaligus juga bukan wartawan-- membuat saya mengurungkan niat tersebut. Saya sangat ingin mendengar pernyataan Dien tentang masalah radikalisme dan liberalisme di depan publik. Dan press conference, sebagai forum bagi wartawan, merupakan tempat yang sangat pas untuk hal itu.

Benar apa yang disampaikan oleh tokoh Muhammadiyah tersebut di atas, tidak ada pernyataan apresiasi terhadap kelompok liberal dalam pidato Dien pada acara serah terima jabatan. Dien bahkan menyebutkan bahwa kepemimpinan di organisasi ini bersifat kolegial. Dalam urusan-urusan besar, dia hanya akan menyampaikan apa yang menjadi keputusan para pimpinan. Pidato Dien itu sebetulnya disampaikan setelah ia mendengarkan pidato Pak Syafii yang, diantaranya, berisi pembelaan habis-habisan terhadap pemikiran yang dikembangkan oleh anak-anak muda. Tapi rupanya Dien tidak tergerak sama sekali untuk menanggapi masalah ini. Dia menanggapi segala hal yang disampaikan Syafii Maarif, kecuali tentang pemikiran anak-anak muda.

Memang, sikap Dien di atas tidak bisa dijadikan indokator bahwa ia akan memberangus JIMM atau melarang pemikiran liar di organisasi modernis ini. Namun sikap ini bisa dijadikan salah satu indikasi bahwa tidak ada jaminan dari pimpinan Muhammadiyah terhadap masa depan JIMM dan pemikiran yang diusungnya.

Tidak Mengarah ke Terorisme

Dalam pergaulan sehari-hari dan juga dalam sikap, memang Dien cukup dekat dengan anak-anak yang memiliki pemikiran liberal, seperti Sukidi, Pramono dan Fuad Fanani. Bahkan, Dien lah yang berperan cukup banyak dalam membesarkan anak-anak itu. Namun di depan publik, dalam dan seusai Muktamar, pernyataan yang bisa menyejukkan kelompok liberal belum keluar dari mulutnya.

Meski harapan saya untuk mendengarkan pernyataan Dien terhadap liberalisme dan radikalisme tidak terwujud, ada satu hal yang sangat saya yakini dari profesor di UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta ini: Dia tak akan mengajak umat Islam untuk melakukan jihad fisik melawan Amerika Serikat. Dia pasti tidak menyetujui terorisme dan talibanisme. Sebagai seorang doktor lulusan universitas di Amerika (UCLA), Dien saya yakin sadar bahwa cara-cara jihad seperti yang dilakukan Amrozi, justru akan menghancurkan umat Islam sendiri.

Dalam khutbah Jum’at di Masjid AR Fachruddin UMM (7/7), seusai dilantik menjadi ketua umum PP Muhammadiyah periode 2005-2010, Dien Syamsuddin menyatakan bahwa jihad yang dituntut dari umat Islam saat ini bukanlah jihad fisik (lil mu’aradhah), tapi jihad lil muwajahah, persaingan sehat. Dalam arti, umat Islam perlu ber-fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebajikan), tidak hanya dengan sesama umat Islam, tetapi juga dengan umat-umat yang lain.
-oo0oo-
 
*Ahmad Najib Burhani adalah Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan aktivis Pemuda Muhammadiyah

Tuesday, January 18, 2011

Competing in Goodness: Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama

in: Doorn-Harder, Pieternella van. 2006. Women shaping Islam: Indonesian women reading the Qur'an. Urbana: University of Illinois Press. Pp. 50-83
Indonesia is a vast country, and “Indonesian Islam” comprises a variety of interpretations concerning the role of Islamic law, methods of interpreting the holy sources, and opinions about religious pluralism and local cultures. This chapter looks at some of the main representations of Islam in Indonesia. It tries to locate the organizations of Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama within this spectrum in order to understand how their religious propensities have contributed to their teachings on gender issues.
…The santri do not form a clear-cut group but represent several groups of committed Muslims. Their commitment to Islam may lead them to follow mystical, normative, or Islamist interpretations and practices.
Another way to discern santri is to look at their modes of interpreting Islamic scriptures and their degree of accepting local culture. Following these lines, we may identify four groups: 1) traditionalists; 2) reformists or modernists; 3) renewalists, who combine traditionalist and reformist teachings; and 4) Islamists, also referred to in Indonesia as radicals, fundamentalists, literalists, and extremists. (pp.50-1)
The “Shari`ah mindset,” however, is not the prerogative only of radical groups. Within Muhammadiyah and NU, some leaders have opinions that could be labeled as “extreme.” In its desire to Islamize society and in its methods, Muhammadiyah is akin to the Muslim Brotherhood… (p. 56)
In trying to understand the position of Muhammadiyah and NU in the Indonesian Islamic landscape, it becomes clear that the terms “reformism” and “traditionalism” do not connote black-and-white versions of Islam. The reality is far more complex. Liberal and extremist members flourish in their midst. Muhammadiyah has adopted many aspects of the Indonesian culture and has developed a new identity in comparison with the original, puritanical reformist movement that came from the Middle East. NU’s continual modernizing has produced some of the most innovative leaders of Indonesian Islam in the twenty-first century. At the same time, distinct differences remain between the two modes of interpreting Islam, differences that can never be completely abolished (p. 83).

Sunday, January 16, 2011

Ahmad Syafii Maarif: Pengarusutamaan Moderasi Islam Indonesia

Hilman Latief

Latief, Hilman. 2009. “Ahmad Syafii Maarif: Pengarusutamaan Moderasi Islam Indonesia.” In Ahmad Suaedy and Raja Juli Antoni. Para Pembaharu: Pemikiran dan Gerakan Islam Asia Tenggara. Jakarta: Seamus. Pp. 251-291

Di tengah tarik-menarik kepentingan ideologis antara dunia Timur dan Barat, sekularisme dan Radikalisme, spiritualisme dan materialism, konsep Islam moderat selalu dihadapkan pada dilemma prinsipil dan strategis. Sebagian orang boleh jadi berasumsi bahwa moderasi hanya sebuah “strategi” untuk survive, prinsip yang gamang, tidak tegas, dan cenderung kompromistis. Padahal, dalam ranah pemikiran, tidak semua hal bisa dikompromikan. Bahkan sebuah prinsip atau “cara berpikir” fundamental filosofis sejatinya tidak kompromistik., tidak seperti “logika berpolitik” yang nature-nya memang kompromistik. Di satu sisi, kelompok moderat sering dianggap terlalu lunak oleh kalangan garis keras fundamentalis, dan tidak tegas dalam bersikap menurut kelompok liberal di sisi lain. Posisi Syafii sebagai tokoh yang tak henti mengarusutamakan moderasi Islam, juga tidak lepas dari kritik. Ia kerap diasumsikan sebagai pendukung gerakan liberal karena gagasan-gagasannya tentang pluralisme dan demokrasi yang cenderung kurang ramah terhadap penggagas gerakan Islamisasi. Tidak sedikit yang sinis dan menyebutnya terlalu terbuka dan lebih dekat dengan Barat ketimbang kubu lainnya, serta cenderung sekuler. Atau, bahasa lain yang juga sering muncul di lapangan adalah, Syafii lebih mendukung eksistensi nonmuslim, lebih dekat dengan tokoh-tokoh Kristen ketimbang membela “kepentingan” umat. Gaya Syafii dalam menulis maupun berpidato yang lugas, polos dan tanpa tedeng aling-aling dengan menggunakan berbagai diksi yang bombastis dan menohok memang menjadi factor lain yang, dalam beberapa hal, menyebabkan gagasannya berujung pada sebuah resistensi. Meski demikian, kontribusi Syafii dalam mengarusutamakan moderasi Islam di Indonesia tidak dapat diabaikan, setidaknya berdasarkan beberapa poin berikut ini.

Pertama, Syafii tampil sebagai intelektual Muslim yang cukup gigih melakukan “pengarusutamaan” Islam moderat di Indonesia.

Kedua, Syafii masih meyakini bahwa Islam adalah warana dominan masyarakat Indonesia yang harus dapat menemukan kompatibilitas dengan modernitas.

Ketiga, kontribusi lainnya dapat dicermati dalam Persyarikatan Muhammadiyah, tempat Syafii mengabdi dan berdakwah.

Keempat, kehadiran Syafii membawa iklim dialog agama di kalangan pemimpin-pemimpin agama di Indonesia ke dalam situasi yang lebih intim dan harmonis.

Friday, January 14, 2011

Muhammadiyah Menembus Pluralitas


Kompas, Senin, 10 Januari 2011 | 21:08 WIB

Judul Buku : Muhammadiyah & Pluralitas Agama Di Indonesia

Penulis : Syarif Hidayatullah, M.Ag., MA.

Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Cetakan : Pertama, 2010

Tebal : xxiv + 237 halaman

Peresensi : Supriyadi*)

Muhammadiyah adalah sebuah oraganisasi masyarakat (ormas) Islam besar di Indonesia. Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 18 November 1912. Dalam perjalanannya, Muhammadiyah telah melintasi berbagai periode dan masa di Indonesia. Sepak terjang Muhammadiyah juga telah terlihat di dalam berbagai bidang sosial masyarakat, seperti pembangunan rumah sakit, sekolah, panti asuhan, dan lain sebagainya.

Syarif Hidayatullah, M.Ag., MA dalam bukunya yang berjudul “Muhammadiyah & Pluralitas Agama Di Indonesia” memaparkan identitas Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat Islam yang berpengaruh di Indonesia. Ormas Islam besar di Indonesia ini telah memainkan peranannya sebagai penuntun umat Islam semenjak kelahirannya pada 1912. Dalam perjalanannya, Muhammadiyah telah tumbuh dan berkembang menjadi ormas Islam yang mampu mempertahankan eksistensinya di Indonesia.

Alwi Shihab dalam penelitian disertasinya menyimpulkan bahwa pada intinya Muhammadiyah memainkan empat peran penting yang saling tekait: pertama, sebagai gerakan pembaruan; kedua, sebagai agen perubahan sosial; ketiga, sebagai kekuatan politik; dan yang paling menonjol, keempat, sebagai pembendung paling aktif misi-misi Kristenisasi di Indonesia (hlm. 2).

Sementara itu, citra Muhammadiyah yang menonjol adalah bahwa Muhammadiyah itu adalah sebuah gerakan pembaruan yang modernis. Selain memodernisasi ajaran Islam, Muhammadiyah juga terkenal sebagai gerakan pemurnian (purifikasi). Yang dimaksud dalam pemurnian dalam hal ini adalah bahwa Muhammadiyah itu merupakan sebuah gerakan modernis yang berusaha untuk memurnikan ajaran Islam yang murni, sesuai dengan tuntunan Qur’an dan hadits.

Dalam konteks Indonesia yang memilki kemajemukan (heterogenitas) yang kaya, Muhammadiyah berdiri sebagai gerakan pemurnian yang memfilter ajaran agama Islam ketika Islam berinteraksi dengan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia. Dalam sejarahnya, sebelum Islam masuk ke nusantara, agama Hindu dan Buddha telah menjadi keyakinan masyarakat. Ketika Islam masuk, terjadilah akulturasi dan asimilasi antara ajaran Islam dengan budaya lokal yang masih sarat dengan dinamisme dan animisme.

Fenomena seperti ini melahirkan pluralitas dalam keberagamaan masyarakat. Akibatnya ajaran Islam sering kali tercampuri oleh budaya lokal yang menjadikan ajaran Islam sendiri tidak murni. Dari realitas itulah KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah sebagai wadah gerakan pemurniannya. Beliau berusaha memurnikan Islam dari apa yang biasa disebut TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Churofat) utuk menjadi Islam yang murni seperti Islam pada zaman Nabi Muhammad saw. Pada saat itu, meskipun Islam sudah lama menjadi agama yang mayor di nusantara, Islam masih bercampur dengan tradisi dari Hindu, Buddha, keyakinan animisme, dan dinamisme. KH. Ahmad Dahlan sebagai tokoh yang beragama, tergugah hatinya guna menyelamatkan ajaran Islam di Indonesia. Beliau ingin membersihkan Islam dan umat Islam baik secara fisik maupun mental spiritual dengan memberantas tradisi-tradisi tersebut.

Sontak masyarakat Yogyakarta yang sangat kental dengan tradisi keraton, pada saat itu, banyak yang tidak menerima dakwah KH. Ahmad Dahlan. Namun demikian, beliau tetap teguh dan akhirnya, Muhammadiyah didirikan yang salah satu misinya adalah sebagai gerakan pemurnian Islam. Membaca sejarah berdirinya Muhammadiyah tersebut seakan memperingatkan kepada kita bahwa ternyata fakta pluralitas budaya di nusantara pada masa lalu ingin dipisahkan dengan ajaran Islam oleh KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dengan gerakan pemurniannya. Oleh karenanya, Muhammadiyah cenderung eksklusif terhadap budaya dan pluralitas agama di Indonesia.

Kini, pengaruh Muhammadiyah pun telah tersebar ke berbagai kawasan di Indonesia. Muhammadiyah yang sekarang pun berbeda dengan Muhammadiyah yang dulu di mana dulu Muhammadiyah masih dalam prosesnya untuk terus berkembang. Kini, Muhammadiyah telah menjadi ormas besar di Indonesia. Oleh karenanya, Muhammadiyah juga harus mampu untuk melakukan dakwah secara kultural dan peka terhadap isu-isu aktual kontemporer.

Sebuah isu aktual yang juga harus diselesaikan oleh Muhammadiyah pada era sekarang adalah pluralitas. Semenjak kelahirannya, Muhammadiyah memang sangat eksklusif terhadap keberagaman budaya karena memosisikan diri sebagai gerakan pemurnian Islam sehingga Muhammadiyah cenderung kaku terhadap pluralitas. Isu pluralitas yang kini menjadi isu aktual pun harus mendapat tempat khusus di Muhammadiyah.

Saatnya kini Muhammadiyah menembus pluralitas agama. Muhammadiyah telah belajar banyak mengingat usianya sudah hampir satu abad. Tentunya, di usia Muhammadiyah yang sudah lama tersebut, Muhammadiyah sudah banyak “makan garam”. Oleh karenanya, Muhammadiyah harus melakukan refleksi terhadap zaman sekarang dengan berbagai problematika kekinian.

Tantangan Muhammadiyah kini tidak lagi sekadar memurnikan ajaran Islam, akan tetapi juga menembus permasalahan kekinian yang dihadapi oleh umat Islam baik di Indonesia maupun di dunia. Muhammadiyah harus mampu beradaptasi dengan berbagai peliknya problematika umat yang semakin hari semakin kompleks.

Akhirnya, dengan membaca buku yang berjudul “Muhammadiyah & Pluralitas Agama Di Indonesia”, para pembaca diajak untuk melihat bagaimana sepak terjang Muhammadiyah pada masa lalu dan berefleksi dengan isu pluralitas di masa sekarang. Muhammadiyah kini harus semakin peka terhadap problematika kekinian yang semakin kompleks karena dinamika kehidupan pun semakin cepat. Kini saatnya Muhammadiyah harus berani menembus pluralitas agama di Indonesia demi kemaslahatan umat Islam yang semakin terserang oleh globalisasi.

*) Peresensi adalah Pengamat Sosial pada Yayasan Ali Maksum, Yogyakarta

http://oase.kompas.com/read/2011/01/10/21084276/Muhammadiyah.Menembus.Pluralitas-3

Saturday, January 8, 2011

Women of Muhammadiyah

Pieternella van Doorn-Harder

Doorn-Harder, Pieternella van. 2006. Women shaping Islam: Indonesian women reading the Qur'an. Urbana: University of Illinois Press.

Studying the women’s efforts, one readily concludes that they have had an enormous impact on Indonesian society. During the past two decades, Indonesian allegiances have shifted to a middle ground: Muslim believers are less interested in traditionalist Fiqh-based reasoning and have little patience for extended Javanese rituals, but the somewhat rigid Muhammadiyah patterns are not entirely acceptable either. In this middle ground, some students have become interested in the Islam Baru groups, and others study Sufism, but the majority is simply traying to be more conscientious in practicing their religion, fasting regularly, reading the Qur’an, and learning about Islam. During this process of renewed Islamization, `Aisyiyah preachers were ready, preaching, teaching, and providing Islamic alternatives for the indigenous rites of passage in the life cycles of women and children. At birth, `Aisyiyah midwives knew the correct religious formulas to whisper in the baby’s ears; at death its leaders prepared a woman’s body properly for burial. They performed the rituals in simple, economical ways that saved time and money, precious commodities in Indonesia, now and in the past. The upshot was that women gained understanding of the Islamic rituals and principles without having to delve into the time-consuming practices traditionalists followed….

`Aisyiyah women live their lives at the fault lines of interpretation about what it means to be a “good Muslim woman.” While trying to strengthen a woman’s position, they espouse the view that women complement men. With this primary tenet in mind, its programs make sense. Women working side-by-side with men can bring about the true Islamic nation. But the togetherness has its limits. Women can and do help build hospitals, elementary schools, and universities; but when directors of such programs are chosen, they have to stay in their own quarters with the clinics, preschools, and nursing colleges. They addressed the plight of women via the harmonious family model but had to perform hermeneutic acrobatics to create a spouse who complements her husband, yet is equal in some sense.

This lack of consistency does not go down well with younger feminists, male and female, so we see a storm of criticism over the family program. In their indignation, many of its critics forget the benefits the harmonious family has brought to thousands of women. Paradoxically, the criticism is a sign of `Aisyiyah’s success: it impresses on women the importance of knowing the Islamic sources that define their role and position. Students of the sources took them to a higher level; now they not only read the texts but reread them as well. And while rereading, they demand clear answers to their questions about gender, not unclear reformist talk that dodges the difficult points (pp. 127-9)

Chapter on "Women of Muhammadiyah" pp. 87-130

Wednesday, January 5, 2011

The Reformist Ideology of Muhammadiyah

Mitsuo Nakamura

Nakamura, Mitsuo. 1980. "The Reformist Ideology of Muhammadiyah." in Fox, James J. Indonesia, the making of a culture. Indonesia, Australian perspectives, v. 1. Canberra: Research School of Pacific Studies, Australian National University. pp. 273-86.

Muhammadiyah in Indonesia today is a highly visible, religious, educational and social movement based upon the teachings of Islam. In almost every urban community of the country buildings are found bearing the sign of Muhammadiyah: mosques and prayer houses, schools and kindegardens, clinics and hospitals, orphanages and poorhouses, offices and meeting halls. There are a number of well-known Muhammadiyah members working in politics, business, mass media, academia, and arts and culture. Muhammadiyah occupy an important part in the social, cultural and spiritual life of contemporary Indonesia.

This paper discusses the Muhammadiyah movement with an emphasis on its ideology. Efforts are made to delineate major features of Muhammadiyah's ideology; how it has been expressed in the fields of belief, ritual, education, social welfare activities, and politics of the movement; how it has interacted with historical reality; and what impact it has had on Indonesian society. A brief speculation on the future of Muhammadiyah concludes this paper.

At the outset it seems necessary to qualify the term 'reformist' in its application to the Muhammadiyah movement. In Muslim perception, Islam rejects any reform in its tenets. The truth of the teachings of Allah, revealed to His messenger Muhammad in the words of the Koran and exemplified by his deeds and sayings, the Hadith, has eternal validity. The members of Muhammadiyah, like those many other pious Muslim movements, strive to live up to the teachings of Allah in contemporary social conditions and to adapt their lives accordingly. It never occurs to Muhammadiyah that Islam be reformed or modernized. But it is true that its efforts towards strict adherence to the teachings of Islam have often eventuated in a number of reforms and innovations in individual and collective human conduct as well as in social institutions. However, even in such cases, the intention of Muhammadiyah has not been social reform per se. Rather, social or institutional reform has been an expression of religious devotion in the social dimension, or a means to achieve a religious goal. Therefore, what is intended by the title of this paper is the religious ideology of Muhammadiyah and social reforms derived therefrom.

Monday, January 3, 2011

Timeline Muhammadiyah

Peristiwa Penting dalam Sejarah Muhammadiyah


Tahun 1868 – 1910
 
1868
·    Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman Yogyakarta dengan nama Muhammad Darwis. Berayahkan K.H. Abu Bakar, seorang Ketib Masjid Besar Kauman Yogyakarta. Ibunya Siti Aminah adalah anak K.H. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta.
·    Darwis kanak-kanak dikenal sebagai memiliki keahlian membuat barang kerajinan dan mainan. Sebagaimana anak laki-laki lain, ia juga memiliki kegemaran bermain layang-layang dan gasing
·    Saat remaja ia belajar agama Islam tingkat lanjut. Belajar fiqh dari K.H. Muhammad Saleh, belajar nahwu dari K.H. Muhsin, juga pelajaran lainnya didapatkan dari K.H. Abdul Hamid di Lempu­yangan dan K.H. Muhammad Nur.
·    Sebelum haji, jenis kitab yang dibaca Dahlan lebih banyak pada kitab-kitab Ahlussunnah wal jamaah dalam ilmu aqaid, dari madzhab Syafii dalam ilmu fiqh, dan dari Imam Ghazali dalam ilmu tasawuf.
 
1883-88
·    Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji yang pertama. Di tanah suci ia belajar kepada banyak ulama. Untuk ilmu hadits belajar kepada Kyai Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar qiraah kepada Syekh Amien dan Sayid Bakri Syatha, belajar ilmu falaq pada K.H. Dahlan Semarang, Ia juga belajar pada Syekh Hasan tentang mengatasi racun binatang. Selain dengan guru-guru di atas, selama delapan bulan di tanah suci, ia sempat bersosialisasi dengan Syekh Akhmad Khatib dan Syekh Jamil Jambek dari Minangkabau, Kyai Najrowi dari Banyumas, Kyai Nawawi dari Banten, para ulama dari Arab, serta pemikiran baru yang ia pelajari selama mukim di di Mekah.
 
1888
·    Sepulang dari ibadah haji yang pertama, ia membelanjakan sebagian dari modal dagang sebesar f 500 (lima ratus gulden) yang diberi ayahnya, untuk membeli buku.
 
1889
·    Ahmad Dahlan menikahi Siti Walidah yang kemudian dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, pendiri organisasi perempuan ‘Aisyiyah.
 
1896
·    Ayahnya yang menjabat Ketib Amin meninggal. Sesuai dengan kebiasan yang berlaku di Kraton Yogyakarta sebagai anak laki-laki yang paling besar Ahmad Dahlan diangkat sebagai Ketib Amin menggantikan ayahnya.
 
1898
·    Dahlan mengundang 17 ulama di sekitar kota Yogyakarta untuk melakukan musyawarah tentang arah kiblat di musholla milik keluarganya di Kauman. Masalah arah kiblat adalah masalah yang peka pada saat itu. Pembicaraan itu berlangsung hingga shubuh tanpa menghasilkan kesepakatan. Tetapi diam-diam dua orang yang mendengarkan pembicaraan itu beberapa hari kemudian membuat tiga garis putih setebal 5 cm di depan pengimaman masjid besar Kauman untuk mengubah arah kiblat sehingga mengejutkan jemaah salat dzuhur waktu itu. Kyai Penghulu H.M. Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus tanda tersebut dan mencari orang yang melakukan itu.
 
1900-1910
·    Panitia Zakat pertama.
·    Panitia kurban pertama.
·    Penggunaan metode hisab menggantikan metode aboge dan melihat hilal.
·    Peristiwa dirobohkannya surau Kyai A. Dahlan.
 
1903
·    Ahmad Dahlan menunaikan haji yang kedua. Ia kembali memperdalam ilmu agamanya kepada guru-guru yang telah mengajarnya saat haji pertama. Ia belajar fiqh kepada Syekh Saleh Bafadal, Syekh Sa’id Yamani, dan Syekh Sa’id Babusyel. Belajar ilmu hadis kepada Mufti Syafi‘I, ilmu falaq pada Kyai Asy’ari Bawean, ilmu qiraat pada Syekh Ali Misri Makkah. Selain itu, selama bermukim di Mekah ini Dahlan juga mengadakan hubungan dan membicarakan berbagai masalah sosial-keagamaan, termasuk masalah yang terjadi di Indonesia dengan para ulama Indonesia yang telah lama bermukim di Arab Saudi, seperti: Syekh Ahmad Khatib, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang.
 
 
1909
·    Ahmad Dahlan resmi menjadi Anggota Budi Utomo. Selanjutnya, ia menjadi pengurus kring Kauman dan salah seorang komisaris dalam kepengurusan Budi Utomo Cabang Yogyakarta
 
1910
·    Ahmad Dahlan juga menjadi anggota Jamiat Khair, organisasi Islam yang banyak bergerak dalam bidang pendidikan dan mayoritas anggotanya adalah orang-orang Arab.
·    Melalui R. Budiharjo dan R Sosrosugondo (pengurus dan anggota Budi Utomo), yang tertarik pada masalah agama Islam, Ahmad Dahlan mendapat kesempatan mengajar agama Islam kepada para siswa Kweekschool Jetis.
·    Keinginan Ahmad Dahlan untuk mendirikan lembaga pendidikan yang menerapkan model sekolah yang mengajarkan ilmu agama Islam maupun ilmu pengetahuan umum terwujud. Sekolah pertama itu dimulai dengan 8 orang siswa, bertempat di ruang tamu rumah Ahmad Dahlan yang berukuran 2,5 m x 6 m, di ia sendiri bertindak sebagai guru. Pada tahap awal proses belajar mengajar belum berjalan lancar. Selain ada pemboikotan masyarakat sekitarnya, para siswa yang hanya 8 orang tersebut juga sering tidak masuk sekolah. Untuk mengatasinya, Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke rumah para siswanya dan meminta mereka masuk kembali.
 
 
Retrieved from: http://www.muhammadiyah.or.id/id/1-content-154-det-timeline-muhammadiyah.html
 
Tahun 1911 - 1920
 
1 Desember 1911
·    Sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan diresmikan dan diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Ketika diresmikan, sekolah itu mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian dilaporkan bahwa terdapat 62 orang siswa yang belajar di sekolah itu.
 
1912
·    Mas Mansur berada di Mesir. Belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih. Suasana Mesir pada saat itu sedang gencar-gencarnya membangun dan menumbuhkan semangat kebangkitan nasionalisme dan pembaharuan. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik melalui media massa maupun pidato. Mas Mansur juga memanfaatkan kondisi ini dengan membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media massa dan mendengarkan pidato-pidatonya.
·    18 November 1912 M/8 Dzulhijjah 1330H Persyarikatan Muhammadiyah didirikan. Sembilan orang pengurus inti yang pertama adalah Ketua: Ahmad Dahlan, Sekretaris: Abdullah Sirat, Anggota: Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan Mohammad Fakih.
·    20 Desember, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan mensiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama’ah-jama’ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awamu alal birri Ta’ruf bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).
 
1913
·    Pendirian sekolah di Karangkajen.
·    Tiga orang wanita dari Kauman masuk sekolah umum Neutraal Meisjes School di Ngupasan.
·    Algemeene Vergadering II di Yogyakarta.
 
1914
·    Dibentuk organisasi remaja putri Sopo Tresno. Kegiatannya menyantuni anak yatim piatu wanita untuk membantu kelompok pemuda yang bergerak dalam bidang pertolongan kesengsaraan umum.
 
1914
·    Diterbitkan Sworo Muhammadijah dalam bahasa Jawa dan Melayu memakai huruf Jawa dan latin.
·    Algemeene Vergadering III di Yogyakarta.
 
1915
·    Pendirian sekolah di Lempuyangan.
·    Algemeene Vergadering IV di Yogyakarta.
 
1916
·    Pendirian sekolah di Pasar Gede (Kotagede).
·    Menerbitkan Suwara Muhammadiyah yang menggunakan bahasa Jawa sebagai pengantar.
·    Algemeene Vergadering V di Yogyakarta.
 
1917
·    19 Mei/27 Rajab 1335. Berdirinya Aisyiyah sebagai perluasan aktivitas para wanita Muhammadiyah.
·    Sampai tahun ini tercatat ada 4 buah sekolah Muhammadiyah yang mengajarkan ilmu agama Islam dan ilmu umum.
·    Algemeene Vergadering VI di Yogyakarta.
 
1916-1920
·    K.H. A. Dahlan sering mengadakan tabligh di Surabaya yaitu di Gang Peneleh. Dalam pengajian itu H.O.S. Tjokroaminoto, Bung Karno dan Roeslan Abdoelgani untuk pertama kalinya mendengarkan penjelasan tentang Islam dari Kyai H. A. Dahlan
 
19…
·    Pendirian sekolah di Suronatan
 
1918
·    Pendirian sekolah calon guru agama bagi sekolah Ongko Loro (Volkschool). Sekolah ini bernama Al-Qismul Arqa, pelaksanaannya di rumah Ahmad Dahlan.
·    Algemeene Vergadering VII di Yogyakarta.
 
1919
·    Jasa Fakhruddin dalam mengembangkan SI sungguh besar. Berkat jasa-jasanya itu, dia diangkat sebagai Commisaris SI.
 
1919
·    Pendirian Hoogeschool Muhammadijah (sekolah lanjutan).
·    Somodiirdjo berhasil mendirikan perkumpulan yang anggotanya terdiri dari para remaja putra-putri Standard School Muhammadiyah. Perkum­pulan itu diberi nama Siswa Praja (SP). Lima bulan kemudian diadakan pemisahan antara anggota laki-laki dan perempuan yaitu Siswa Praja Wanita yang ketuanya Siti Wasilah. Siswa Praja Wanita kemudian menjadi cikal bakal Nasyiatul Aisyiyah (NA). Sebelum menjadi NA di tahun 1931, Siswa Praja Wanita adalah bagian dari kegiatan Aisyiyah.
·    Algemeene Vergadering VIII di Yogyakarta.
 
1920
·    Dibentuk gerakan kepanduan yaitu Padvinders Muhammadiyah. Kemudian atas usul Hajid nama pandu itu diganti menjadi Hizbul Wathon.
·    Fakhruddin diangkat sebagai Penningmeester (Bendahara) SI. Jabatan itu dipegangnya hingga tahun 1923.
·    Sekolah yang berada di Kauman tidak mampu lagi menampung murid sehingga sebagian murid dipindahkan ke Suronatan. Sekolah di Kauman dipergunakan untuk murid perempuan dan dikenal sebagai Sekolah Pawiyatan Muhammadiyah.
·    Pembentukan organisasi Siswa Praja sebagai wadah kegiatan ekstra kurikuler bagi seluruh siswa sekolah Muhammadiyah. Pembentukan ini atas inisatif Sumodirdjo, kepala sekolah Muhammadiyah Suronatan.
·    Algemeene Vergadering IX Muhammadiyah di Yogyakarta.
·    Pengadaan kelas khusus di Sekolah Angka 2 Suronatan. Kelas khusus ini dimaksudkan untuk siswa Sekolah Angka 2 pemerintah ataupun partikelir yang belum menerima pelajaran agama Islam di sekolah asalnya.
·    Terbentuknya kelompok-kelompok pengajian remaja putri dan putra maupun orang dewasa di sekitar Kauman dan tempat lain dalam Residensi Yogyakarta.
·    Pengadaan kursus agama Islam secara cuma-cuma di Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah Kauman.
·    Penggunaan metode hisab berdasarkan data astronomis untuk menentukan 1 Syawal. Metode ini meninggalkan cara sebelumnya yaitu metode aboge dan melihat hilal.
·    Pendirian Musholla Aisyiyah untuk kegiatan kaum wanita, khususnya di sekitar Kauman, untuk melakukan salat berjamaah dan membicarakan masalah keagamaan.
·               Pencetakan dan penerbitan selebaran tentang agama Islam untuk disebarkan secara cuma-cuma. Sedang penerbitan buku tentang agama Islam masih harus dibeli.
 
Retrieved from: http://www.muhammadiyah.or.id/id/2-content-154-det-timeline-muhammadiyah.html
 
Tahun 1921 - 1930
 
1921
·    Terbentuk cabang baru di luar residensi Yogyakarta yaitu di Blora (27 November), Surabaya (27 November), dan Kepanjen (21 Desember).
·    7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendi­rikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda (2 September 1921).
·    Pendirian sekolah guru Muhammadiyah yang sederajad dengan Kweekschool milik pemerintah. Nama sekolah itu Pondok Muhammadiyah.
·    Sejak tahun ini, jasa besar Fakhruddin adalah keberhasilannya dalam merintis Majalah Soeara Moehammadijah untuk dijadikan sebagai majalah resminya Hoofdbestuur Muhammadiyah di bawah naungan Bagian Pustaka. Selain itu, dia juga berjasa dalam merintis pendirian Percetakan Persatuan sebagai percetakan milik Muham­madiyah. Melalui percetakan itulah kemudian publikasi gerakan Muhammadiyah dalam bentuk majalah, berita tahunan, almanak dan buku-buku diterbitkan dan disebarluaskan ke daerah-daerah.
·    Fakhruddin pergi ke tanah suci Makkah. Ada dua hal yang dikerjakannya, yaitu melaksanakan ibadah haji dan menjalankan tugas yang diberikan Hoofdbesttur Muhammadiyah untuk menyelidiki sistem perjalanan jamaah haji Indonesia guna diperbaiki. Missi itu dijalankan karena kondisi sistem perjalanan jamaah haji Indonesia yang berlaku saat itu sangat jelek dan merugikan umat Islam Indonesia. Dalam menjalankan tugasnya itu, dia berkesempatan menghadap Raja Syarif Husein untuk membicarakan perbaikan sistem perjalanan jamaah haji Indonesia dan sekaligus memper­kenalkan gerakan Muhammadiyah. Bahkan ia juga berperan besar dalam perintisan pembentukan Persaoedaraan Djamaah Hadji Indonesia (PDHI).
·    Algemeene Vergadering X di Yogyakarta.
 
1922
·    12 April. Dibentuk Bagian Aisyiyah atau Muhammadiyah Istri yang bertanggung jawab dalam kegiatan khusus kaum wanita.
·    Jaavergadering XI Muhammadiyah di Yogyakarta.
·    Pada bulan Oktober, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad Surkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun mazhab baru di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan. Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan tafsir Qur’an baru, yang menurut kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya, “Muhammadiyah berusaha/bercita-cita mengang­kat agama Islam dari keadaan terbelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur’an dan Hadits. Umat Islam harus kembali kepada Qur’an dan Hadis. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir”.
·    Kegelisahan pikiran Sutan Mansur yang selalu menginginkan perubahan dan pembaharuan ajaran Islam menemukan pilihan aktivitasnya, ketika ia berinteraksi dengan Ahmad Dahlan yang sering datang ke Pekalongan untuk bertabligh. Dari interaksi itu, akhirnya ia tertarik untuk bergabung dengan Persyarikatan Muhammadiyah (1922), dan mendirikan Perkumpulan Nurul Islam di Pekalongan bersama para pedagang dari Maninjau yang telah masuk Muhammadiyah. Ia menemukan Islam dalam Muhammadiyah tidak hanya sebagai ilmu semata dengan mengetahui dan menguasai seluk-beluk hukum Islam secara detail sebagaimana yang terjadi di Minangkabau, tetapi ada upaya nyata untuk mengamalkannya. Ia begitu terkesan ketika anggota-anggota Muhammadiyah menyembelih qurban seusai menunaikan Shalat Iedul Adha dan membagi-bagikannya pada fakir miskin.
·    Pendirian sekolah dasar yaitu Sekolah Angka 1 dengan nama HIS Met de Qur’an.
·    Nama besar Fakhruddin ternyata tercatat di berbagai peristiwa besar di negeri ini. Ketika diadakan Konggres al-Islam Hindia I di Cirebon tahun 1922, dia diangkat menjadi Commite Pengusaha Pendiri Majlis Al-Islam Hindia.
 
 
1923
·    23 Februari /7 Rajab 1340 K.H. Ahmad Dahlan meninggal dunia.
·    Perkoempoelan Tahoenan XII Muhammadiyah di Yogyakarta.
·    Kweekschool Muhammadijah dipecah menjadi Mu’allimin dan Mu’allimat.
·    Perkoempoelan Tahoenan (kemudian menjadi Congres) Muhammadiyah di Jogjakarta memilih K.H. Ibrahim sebagai Ketua Pengurus Besar. Beliau menjabat sampai Congress ke-23 di Jogjakarta tahun 1934. K.H. Ibrahim berhasil mendorong berdirinya Koperasi Adz-Dzakirat.
·    Pendirian rumah sakit pertama di Yogyakarta kemudian diikuti pendirian rumah sakit di Bandung, Sepanjang, Surabaya, Ujungpandang (Makassar), Semarang, dan Banjarmasin.
 
1924
·    K.H. Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan yang bertujuan membiayai sekolah untuk anak-anak miskin.
·    Berdirinya Panti Asuhan pertama.
·    Kongres XIII Muhammadiyah di Yogyakarta.
 
1925
·    K.H. Ibrahim juga mengadakan khitanan massal. Di samping itu, ia juga mengadakan perbaikan badan perkawinan untuk menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah. Dakwah Muham­madiyah juga secara gencar disebar­luaskan ke luar Jawa
·    Percetakan Persatuan mulai dapat beroperasi.
·    Rapat Besar Tahunan XIV di Yogyakarta.
·    Berdirinya rumah miskin pertama.
·    Fakhruddin menggerakkan pawai ummat Islam untuk memprotes kebijakan residen Yogyakarta yang terlalu menganakemaskan misi dan zending Kristen. Efeknya, ummat Islam sadar akan jatidirinya sebagai golongan yang mayoritas.
 
1925
·    Terjadi ancaman dan konflik antara Muhammadiyah dengan orang-orang komunis di Ranah Minang pada akhir 1925. Sutan Mansur diutus Hoofdbestuur Muhammadiyah untuk memimpin dan menata Muhammadiyah yang mulai tumbuh dan bergeliat di Minangkabau.
 
1926
·    Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya,
·    Haji Soedjak membentuk Bagian Penolong Haji.
·    Berangkatnya Mas Mansur dan H.O.S. Tjokro­aminoto ke Arab sebagai utusan Hindia
·    Kiprah politik Fakhruddin melalui SI hanya dapat bertahan sampai tahun 1926, karena adanya kemelut di kalangan anggota SI yang kemudian mengeluarkan peraturan disiplin partai, yaitu pelarangan rangkap keanggotaan bagi anggota SI. Berkaitan dengan peraturan tersebut, Fakhruddin memilih untuk tetap di Muhammadiyah. Fakhruddin juga dikenal sebagai seorang demonstran yang cukup terkenal. Bersama-sama dengan Suryopranoto (yang dikenal dengan sebutan stakings koning atau raja pemogokan), dia pernah menggerakkan demonstrasi buruh perkebunan tebu untuk menuntut hak, kehormatan, dan upah yang wajar. Oleh karenanya, ia pernah dituntut di pengadilan dengan dikenai denda 300 Gulden.
·    Fakhruddin juga dipilih oleh Konggres al-Islam Hindia dan Commite Chilafat sebagai utusan untuk datang ke Konggres Chilafat di Mesir. Oleh karena Konggres Chilafat tersebut ditunda, dia tidak jadi berangkat.
·    Terbentuknya Gabungan Keluarga Pelajar Muhammadiyah (GKPM) di Malang dan Garut.
·    Antara 1926-1929 Muhammadiyah mulai dikenal luas di luar pulau Jawa.
 
1927
·    Sutan Mansur bersama Fakhruddin melakukan tabligh dan mengembangkan Muhammadiyah di Medan dan Aceh.
·    Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan
 
1928
·    Fakhruddin meninggal dalam usia muda, sekitar 39 tahun, tanggal 28 Februari 1929.
·    Muhammadiyah mengirim putra-putri lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah (Mu‘allimin, Mu‘allimat, Tabligh School, Normaalschool) ke seluruh pelosok tanah air, yang kemudian di kenal dengan ‘anak panah Muhammadiyah’ (AR Fachruddin, 1991).

·    Pada Kongres Muhammadiyah ke-17 di Jogjakarta yaitu pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My, yaitu badan usaha penerbit buku-buku sekolah Muhammadiyah yang bernanung di bawah Majelis Taman Pustaka. Pada waktu itu pula terjadi penurunan gambar Ahmad Dahlan karena pada saat itu ada gejala mengkultuskan beliau.
·    Sutan Mansur berada di barisan depan dalam menentang upaya pemerintah Belanda menjalankan peraturan Guru Ordonansi yaitu guru-guru agama Islam dilarang mengajar sebelum mendapat surat izin mengajar dari Pemerintah Belanda. Peraturan ini dalam pandangan Sutan Mansur akan melenyapkan kemerdekaan menyiarkan agama dan pemerintah Belanda akan berkuasa sepenuhnya dengan memakai ulama-ulama yang tidak mempunyai pendirian hidup. Sikap yang sama juga ia perlihatkan ketika Jepang berikhtiar agar murid-murid tidak berpuasa dan bermaksud menghalangi pelaksanaan shalat dengan mengadakan pertemuan di waktu menjelang maghrib.
 
1929
·    Kongres Muhammadiyah ke-18 di Surakarta.
·    Sutan Mansur berhasil mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Mendawai, dan Amuntai.
 
1930
·    Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi (14-26 Maret 1930). Kongres ini memutuskan bahwa di setiap karesidenan harus ada wakil HB Muham­madiyah yang dinamakan Konsul Muhammadiyah.
·               Berdirinya Muhammadiyah cabang Merauke.


Retrieved from: http://www.muhammadiyah.or.id/id/3-content-154-det-timeline-muhammadiyah.html

Tahun 1931 - 1940

 1931
·    Sutan Mansur dikukuhkan sebagai Konsul Muhammadiyah sampai 1944. Sutan Mansur juga membuka dan memimpin Kulliyah al-Muballighin Muhammadiyah di Padang Panjang.
·    Kongres Muhammadiyah ke-20 di Jogjakarta. Dalam kongres ini diputuskan Siswa Praja Wanita menjadi Nasyiatul Aisyiyah.

1932
·    Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar pada tahun memutuskan supaya Muhammadiyah menerbitkan surat kabar (dagblaad). Untuk pelaksanaannya diserahkan kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di kemudian hari dinamakan Adil.
·    2 Mei/26 Dzulhijjah 1350. Berdirinya Pemuda Muhammadiyah.
·    Sampai tahun ini Muhammadiyah sudah memiliki 103 Volkschool, 47 Standaardschool, 69 Hollands Inlandse School (HIS), dan 25 Schakelschool, yaitu sekolah lima tahun yang akan menyambung ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs yang setingkat SLTP saat ini) bagi murid tamatan vervolgschool atau standaardschool kelas V. Dalam sekolah-sekolah Muhammadiyah tersebut juga dipakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.

1932
·    Sekolah-sekolah Muhammadiyah saat itu merupakan salah satu lembaga pendidikan yang didirikan pribumi yang dapat menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah Katolik, dan sekolah-sekolah Protestan.

1933
·    Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang (Kongres Muhammadiyah terakhir dalam periode kepemimpinan KH. Ibrahim). Cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri hampir di seluruh tanah air.

1934
·    Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta memilih K.H. Hisyam sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.

1935
·    Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin memilih kembali K.H. Hisyam.

1936
·    Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) K.H. Hisyam masih dipilih.

1937
·    Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah hasil keputusan Congres ke-26 di Jogjakarta (sampai tahun 1943).
·    Mas Mansur banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot. Pikiran-pikiran pembaruannya dituangkannya dalam media massa. Majalah yang pertama kali diterbitkan bernama Suara Santri. Kata santri digunakan sebagai nama majalah, karena pada saat itu kata santri sangat digemari oleh masyarakat.
·    Majalah Jinem merupakan majalah kedua yang pernah diterbitkan oleh Mas Mansur. Majalah ini terbit dua kali sebulan dengan menggunakan bahasa Jawa dengan huruf Arab.

1937
·    Mas Mansur juga pernah menjadi redaktur majalah Kawan Kita di Surabaya.
·    Setelah menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, ia pun mulai melakukan gebrakan politik yang cukup berhasil bagi ummat Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) bersama KHA. Dahlan dan KH. Wahab Hasbullah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman Wiryosanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Demikian juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansur termasuk dalam empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansur. Namun kekejaman pemerintah Jepang yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan dalam empar serangkai tersebut, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Surabaya, dan kedudukannya dalam empat serangkai digantikan oleh Ki Bagus Hadikusumo.
·    Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansur belum sembuh benar dari sakitnya. Namun ia tetap ikut berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda (NICA). Akhirnya ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Surabaya. Di tengah pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946.
·    K.H. Faqih Usman aktif dalam Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) melawan kedatangan tentara Belanda (NICA). Akhirnya ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Surabaya. Di tengah pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946.
·    K.H. Faqih Usman aktif dalam Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI).

1938
·    Ketika Bung Karno diasingkan ke Bengkulu, Sutan Mansur menjadi penasehat Agama Islam bagi Bung Karno.
·    Bung Karno menjadi guru sekolah rendah Muhammadiyah di Bengkulu (Adams, 1966;193).

1939
·    Kongres Muhammadiyah ke-28 di Medan.
·    Penolong Kesengsaraan Oemat menjadi bagian dari Aisyiyah.
 
Retrieved from: http://www.muhammadiyah.or.id/id/4-content-154-det-timeline-muhammadiyah.html
 
Tahun 1941 - 1950
 
1941
·    Pertemuan antar cabang se-Jawa sebagai upaya penjembatanan berlangsungnya kongres darurat tahun 1946 di Yogyakarta.
 
1942
·    Congres ke-30 Muhammadiyah di Purwokerto batal.
 
1943
·    Jepang memberikan status hukum pada Muhammadiyah serta cabang-cabangnya di Jawa.
 
1944
·    Pertemuan cabang-cabang Muhammadiyah se-Jawa memilih Ki Bagus Hadikusumo sebagai ketua.
·    Ki Bagus termasuk seorang tokoh yang memiliki kecenderungan kuat untuk melembagakan Islam. Bagi Ki Bagus pelembagaan Islam menjadi sangat penting untuk alasan-alasan ideologi, politis, dan juga intelektual. Ini nampak dalam upayanya memperkokoh eksistensi hukum Islam di Indonesia ketika ia dan beberapa ulama lainnya terlibat dalam sebuah kepanitiaan yang bertugas memperbaiki peradilan agama (priesterraden commisse).
 
1944
Hasil penting sidang-sidang komisi ini ialah kesepakatan untuk memberlakukan hukum Islam. Akan tetapi Ki Bagus dikecewakan oleh sikap politik pemerintah kolonial yang didukung oleh para ahli hukum adat yang membatalkan seluruh keputusan penting tentang diberlakukannya hukum Islam untuk kemudian diganti dengan hukum adat melalui penetapan ordonansi 1931
·    Ki Bagus Hadikusumo berani menentang perintah pimpinan tentara Dai Nippon yang terkenal ganas dan kejam untuk memerintahkan ummat Islam dan warga Muhammadiyah melakukan upacara kebaktian tiap pagi sebagai penghormatan kepada Dewa Matahari.
·    Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Ki Bagus Hadikusumo sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia.
 
1945
·    Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo menjadi anggota PPKI.
·    K.H. Faqih Usman menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat dan Ketua Komite Nasional Surabaya.
·    K.H. Faqih Usman juga ikut andil dalam pendirian Partai Masyumi sejak didirikannya pada tanggal 7 Nopember 1945 dalam Muktamar Ummat Islam di Yogyakarta.
·    Sudirman, seorang dari kalangan rakyat biasa yang pernah menjadi kepala pasukan gerakan kepanduan Muhammadiyah yaitu Hizbul Wathan (HW), diangkat menjadi Panglima Besar angkatan bersenjata RI yang baru saja merdeka.
 
1946
·    Kongres darurat Muhammadiyah (perundingan silaturrahmi cabang/ranting seluruh Jawa dan Madura).
 
1947
·    Pembentukan Angkatan Perang Sabil (APS) bermarkas di Mesjid Taqwa, Kampung Suronatan. Sebagai Ketua adalah Hadjid, , Wakil Ketua: A. Badawi, dan penasehat: Ki Bagus Hadikusumo.
·    1947-1949 oleh wakil Presiden Mohammad Hatta, Sutan Mansur diangkat menjadi Imam atau Guru Agama Islam buat Tentara Nasional Indonesia Komandemen Sumatera, berkedudukan di Bukit tinggi, dengan pangkat Mayor Jenderal Tituler.
 
1950
·    Sutan Mansur diminta menjadi Penasehat TNI AD, berkantor di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Akan tetapi, permintaan itu ia tolak karena ia harus berkeliling ke semua daerah di Sumatera, bertabligh sebagai pemuka Muhammadiyah.
·    Majelis Aisyiyah diganti menjadi Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah
·    21-26 Desember Kongres XXXI/Muktamar I berlangsung di kota kelahiran Muhammadiyah, Yogyakarta. Muktamar ini mendapat sambutan luar biasa dari tokoh-tokoh Muhammadiyah karena selama 10 tahun mereka hampir tidak pernah bertemu di forum resmi yang bersifat nasional. Hadir dalam Muktamar itu 83 cabang dan 97 ranting. Beberapa keputusan penting dari Muktamar ini adalah:
·    Mendorong dan bekerjasama dengan pemerintah untuk memperbaiki kerusakan akhlak.
·    Bekerjasama dengan pemerintah untuk memperbaiki dan meningkatkan kesehatan rakyat.
·    Membentuk kapal haji Muhammadiyah.
·    Menyediakan studiefonds untuk membiayai para pelajar yang sekolah di luar negeri.
·    Mendirikan universitas Muhammadiyah.
 
 
1950
·    Mengajukan usul kepada Badan Kongres Muslimin Indonesia dan pemerintah supaya mengadakan kongres Umat Islam se dunia dan persyarikatan blok-blok Islam.
·    Mendesak pemerintah Indonesia supaya mengambil harta wakaf yang dirampas Jepang yang masih dipakai oleh pemerintah.
·    Menghormati organisasi lain yang bukan Islam selama tidak merugikan dan bersedia bekerjasama.
·    Menghormati dan bekerja sama dengan organisasi Islam, saling mendekati antara organisasi Islam yang satu dengan lainnya agar tidak terjadi salah paham yang dapat merugikan perjuangan pokok Islam.
·    Anggota Muhammadiyah yang menjhadi anggota partai politik yang bukan Islam supaya dibiarkan jika menguntungkan cita-cita Islam dan Muham­madiyah seta diuasahakan saling pengertian agar tetap membawakan aspirasi Muham­madiyah. Apabila merugikan cita-cita Islam, anggota tersebut akan ditarik.
·    Muhammadiyah, baik sebagai organisasi maupun perorangan diperkenankan menjadi anggota DPR.
 
 
Retrieved from: http://www.muhammadiyah.or.id/id/5-content-154-det-timeline-muhammadiyah.html
 
Tahun 1951 – 1960
 
1951
·    Agustus Sidang Tanwir I mengeluarkan reolusi yang intinya meminta Pemerintah Indonesia mengembalikan calon jemaah haji yang gagal berangkat dan masih berada di Jakarta, ketempat maisng-masing dengan biaya ditanggung oleh pemerintah dan mengganti kerugian yang dialami oleh calon haji, seta meminta pemerintah membentuk suatu komisi guna menyelidiki segala sesuatu yang tidak beres dalam kasus itu. Sidang Tanwir itu juga berhasil merumuskan konsepsi tentang Majelis Ekonomi.
 
1951
     Selain itu dibentuk panitia kecil untuk merancang UU Perkawinan. Melalui Masyumi Muhammadiyah meminta supaya memperjuangkan agar UU Perkawinan itu tidak diajukan ke DPR sebelum adanya pemilihan umum atau bahklan kalau mungkin digagalkan. Sikap Muhammadiyah seperti itu menimbulkan bermacam-macam reaksi balik.
·    10 Desember. Dibangun kembali Madrasah Mual­limin Muhammadiyah. Gedung Mu’allimin sebelum hancur pada masa clash II pernah digunakan sebagai markas gerilya melawan Belanda.
 
1952
·    K.H. Faqih Usman dipercaya kembali sebagai Menteri Agama pada masa kabinet Wilopo (3 April l952-1 Agustus 1953). Fenomena terpilihnya Faqih Usman sebagai Menteri Agama yang kedua kalinya sempat menimbulkan konflik politik antara Masyumi dan NU.
·    Sutan Mansur diminta Presiden Soekarno untuk menjadi penasehat Presiden dengan syarat harus memboyong keluarganya dari Bukit tinggi ke Jakarta. Permintaan itu lagi-lagi ditolaknya . Ia hanya bersedia menjadi penasehat tidak resmi sehingga tidak harus berhijrah ke Jakarta.
·    Sutan Mansur diangkat menjadi wakil ketua Syura Masyumi Pusat.
 
1953
·    Telah dibentuk dan dipulihkan kembali 322 cabang dan, 1.612 ranting dengan jumlah anggota 69.554.
·    Muktamar XXXII di Purwokerto. Untuk pertama kali, timbang terima jabatan dilaksanakan secara tertulis sebagai bentuk kesadaran pentingnya tertib organisasi. Sebelumnya cukup secara lisan.
·    7 Juli 1953 Surat dari Presiden Sukarno yang isinya antara lain pengakuannya akan betapa besar sumbangan Muhammadiyah bagi kehidupan rohani bangsa, kenegaraan, dan masyarakat Indonesia.
 
1953
     Beliau pun mengakui sudah cukup lama mengenal Muhammadiyah dari dalam dan mendoalan Muhammadiyah senantiasa mendapat taufik dan hidayah agar tetap dapat menyumbangkan tenaga dan fikirannya bagi pembangunan negara.
·    Majelis Hikmah dibentuk guna memperhatikan dan mempelajari hal ihwal Muhammadiyah yang berkaitan soal politik. Tugas utamanya menghimpun keseimbangan politik mengenai agama dan umat Islam pada umumnya serta Muham­madiyah sendiri. Selain itu digariskan program pendidikan politik bagi warga Muhammadiyah.
 
1954
·    11-14 April. Sidang Majelis Tanwir mengambil keputusan bahwa dasar dan pemilihan umum adalah kemenagan Islam, keutuhan Masyumi, kemaslahatan Muhammadiyah, menyetujui perinsip-prisnsip rencana peraturan pencalonan anggota DPR dan konstituante yang disusun oleh DPP Masyumi dengan amandemen-amandemen yang diserahkan kepada PB Muhammadiyah.
·    Pengaruh Muhammadiyah sampai di Penang
 
1955
·    Sutan Mansur terpilih sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Konstituante dari Masyumi sejak Konstituante berdiri sampai dibubarkan oleh Soekarno.
 
1956
·    Mukatamar XXXIII Muhammadiyah di Palembang berhasil menelurkan khittah Palembang.
 
1957
·    24-26 Agustus. Sidang Majelis Tanwir Muham­madiyah di Yogyakarta mengambil keputusan: pertama, menugaskan untuk menggerakkan aparatnya dengan cara-cara yang sesuai bidangnya masing-masing dengan berpedoman pada khittah Muhammadiyah sera mengindahkan saran dan sambutan-sambutan yang diberikan dalam sidang Tanwir; kedua, menugasi HAMKA dan Bustami Ibrahim untuk menulis risalah khusus guna menghadapi paham ateis; ketiga, mengajak para ulama, pemimpin Islam dan cendekiawan muslim agar memberikan pendapat mereka tentang cara-cara memelihara umat mengatasi bahaya ateisme.
·    Terbentuknya Ikatan Pelajar Sekolah Muham­madiyah (IKPSM) di Solo.
 
1958
·    Pecah pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Padang, Sutan Mansur berada di tengah-tengah mereka karena didasari oleh ketidaksukaannya pada PKI dan kediktatoran Bung Karno.
·    Sebagai salah seorang tokoh Masyumi, K.H. Faqih Usman juga terlibat aktif dalam resolusi konflik politik dalam negeri. Menjelang meletusnya gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat, bersama Moch. Roem, dia berusaha menjadi mediator untuk mendamaikan konflik antara PRRI dengan pemerintah pusat. Ia berusaha menemui rekan-rekannya di Masyumi yang terlibat dalam kegiatan PRRI, seperti Muhammad Natsir, Boerhanuddin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara untuk mendialogkan persoalan yang semakin menajam menjadi perang saudara tersebut.
·    Kahar Muzakkar, putra Sulawesi Selatan yang pernah dididik di lingkungan Muhammadiyah melakukan resistensi terhadap pemerintah pusat RI dengan membentuk gerakan DI/TII.
·    Pengaruh Muhammadiyah sampai Singapura.
 
1959
·    Fakih Usman menerbitkan majalah Panji Masya­rakat (Panjimas) bersama-sama Hamka, Joesoef Abdullah Poear, dan Joesoef Ahmad.
 
1959
·    18-23 November. Muktamar XXXIV Muhammadiyah di Yogyakarta memilih M. Junus Anies sebagai Ketua Pimpinan Pusat periode 1959-1962. Muktamar ini menetapkan langkah ke depan tahun 1959-1962 “yang meliputi bidang kepemimpinan, dakwah, pendidikan dan pengajaran, kemasya­rakatan, wakaf, keputrian, kepemudaan, pereko­nomian, keagamaan, taman pustaka, dan bidang-bidang lain yang dipandang perlu”.
 
1960
·               24-28 Juli. Muktamar II Pemuda Muhammadiyah di Yogyakarta memutuskan terbentuknya Ikatan Pelajar Muhammadiyah sebagai organisasi resmi pelajar Muhammadiyah.
 
Retrieved from: http://www.muhammadiyah.or.id/id/6-content-154-det-timeline-muhammadiyah.html
 
Tahun 1961 - 1970
 
1961
·    Atas jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam membang­kitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, Pemerintah RI menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional (SK Presiden no. 657 tahun 1961). Dasar-dasar penetapan itu ialah: 1. KHA. Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat; 2. Organisasi Muhammadiyah yang didiri­kannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman dan Islam; 3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; 4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
 
1961
·    16 Juli. Pembentukan Ikatan Pelajar Muham­madiyah (IPM).
·    25-27 November. Sidang Tanwir di Yogyakarta menerima rencana Garis Perjuangan Muham­madiyah dari Dr. Sukiman Wiryosanjoyo, intinya menghendaki agar Muhammadiyah memperluas bidang perjuangan­nya, tidak hanya menitik­beratkan dalam bidang sosial, tetapi juga meliputi bidang-bidang lain yang menjadi alat untuk memperjuangkan tegaknya Agama Islam.
 
1962
·    21-25 Muktamar XXXV Muhammadiyah di Jakarta. Terpilih sebagai Ketua PP adalah Ahmad Badawi. Pada resepsi penutupan turut memberi sambutan adalah Presiden Sukarno sendiri dengan sambutan berjudul “Makin Lama Makin Cinta” dan Dr. Roeslan Abdoelgani dengan sambutan berjudul “Palu Godam terhadap Kolonialisme dan Imperialisme, Muhammadiyah sebagai Gelombang Pemukul Kembali terhadap Kolonialisme dan Imperialisme”.
·    Muktamar juga melahirkan rumusan Kepribadian Muhammadiyah. Kerja digarap oleh suatu tim dipimpin oleh KH Faqih Usman.
·    Diadakan Kursus Kader Pimpinan Muhammadiyah seluruh Indonesia utnuk menggairahkan kembali gerak perjuangan Muhammadiyah.
·    Ada perkembangan baru dalam penyebarluasan pengaruh Muhammadiyah. Surat kabar Utusan Melayu mengabarkan bahwa di Kuala Lumpur telah berdiri pusat Pergerakan Muhammadiyah yang berujuan sebagai pusat penyiaran dan pendidikan Islam seTanah Melayu. Meskipun secara organisatoris eksistensinya berada di luar persyarikatan tetapi anggaran dasarnya hampir sama dengan Anggaran Dasar Muhammadiyah.
 
1962
·    Selama masa kepemimpinan Ahmad Badawi di perkenalkan metode KOKAM dalam administrasi. Tercatat jumlah anggota Muhammadiyah sebanyak 185.119, ranting 2.300, cabang 712, sedangkan daerah-daerah mulai dari Aceh sampai Nusa Tenggara tercatat 36 perwakilan daerah. Setelah Irian Barat kembali ke pangkuan RI mulai terlihat pengaruh Muhammadiyah di Fakfak, Kotabaru, Sorong Besar, Sorong Raja Empat, dan Manokwari yang dimotori oleh Ibrahim Bauw Radja Rumbeti serta pejabat daerah dan pegawai negeri yang menjadi anggota Muhammadiyah.
·    Dikeluarkan dokumen “Kebijaksanan Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965 dan 1965-1968” yang memberi gambaran tentang interaksi Muhammadiyah di dalam percaturan politik nasional. Kebijakan tersebut lebih merupakan kebijakan politik Muhammadiyah dalam menetap­kan kebijakan untuk beradaptasi dan berinteraksi terhadap persoalan-persoalan politik yang timbul.
 
1963
·    Nasyiatul ‘Aisyiyah diberi status otonom lepas dari ‘Aisyiyah.
·    Ahmad Badawi diangkat menjadi Penasehat Pribadi Presiden di bidang agama.
 
1964
·    Berbagai gerakan dan aksi perjuangan yang dilakukan K.H. Fakhruddin adalah dalam rangka memperbaiki nasib dan kondisi umat serta bangsa Indonesia dari lumpur kebodohan, kehinaan dan ketertindasan di tangan penjajahan kolonial Belanda. Berkat jasa-jasanya dalam perjuangan, Pemerintah RI memberinya penghargaan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan keputusan Presiden RI no. 162/1964.
·    14 Maret/29 Syawal 1384. Berdirinya Ikatan Maha­siswa Muhammadiyah (IMM)(Fathoni, 101).
 
1964
·    Penangkapan dan penahanan HAMKA hingga 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Dipenjara beliau menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya terbesarnya.
 
1965
·    Munas I Nasyiatul ‘Aisyiyah. Hadir di sana perwakilan dari 33 daerah dan 166 cabang.
·    Muktamar XXXVI Muhammadiyah di Bandung.
·    16 Agustus, Badan Koordinasi Amal; Muslimin terbentuk. Muhammadiyah merupakan nsalah satu organisasi pendukung utama di antara 16 organisasi yang tergabung dalam badan itu.
 
1966
·    Sukarno mengatakan dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams, “Yang senantiasa menjadi keinginan­ku ialah agar peti matiku diselubungi dengan panji Islam Muhammadiyah” (hal. 459).
·    15 Agustus, Syukuran pembebasan tahanan politik Islam di Mesjid Al Azhar. Acara dipimpin Prof. Dr. Hamka. Sekeluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
 
1968
·    Muktamar XXXVII Muhammadiyah di Yogyakarta.
·    Ahmad Badawi diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung.
·    Faqih Usman bersama Hasan Basri (mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia)dan Anwar Haryono (mantan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) mengirim nota politik kepada pemerintah Orde Baru (dikenal dengan Nota KH. Faqih Usman), isinya permintaan agar Pemerintah Orde Baru merehabilitasi Masyumi sebagai partai terlarang.
 
 
 Retrieved from: http://www.muhammadiyah.or.id/id/7-content-154-det-timeline-muhammadiyah.html
 
Tahun 1971 - 2009
 
1971
·    Muktamar XXXVIII Muhammadiyah di Ujung Pandang.
 
1974
·    Muktamar XXXIX Muhammadiyah di Padang.
 
1978
·    Muktamar XL Muhammadiyah di Surabaya.
 
1985
·    Muktamar XLI Muhammadiyah di Surakarta.
 
1989
·    K.H. A.R. Fakhruddin menyampaikan surat kepada Paus Yohanes Paulus II dalam kunjungannya di Indonesia. Surat itu adalah kritikan yang disam­paikannya secara halus dan sejuk. Dalam surat itu, ia mengungkapkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia adalah muslim. Namun, ada hal yang mengganjal bagi umat Islam Indonesia, bahwa umat Katholik banyak menggunakan kesempatan untuk mempengaruhi ummat Islam yang miskin agar mau masuk ke agama Katolik. Mereka diberi uang, dicukupi kebutuhannya, dibangunkan rumah-rumah sederhana, dipinjami uang untuk modal dagang, dengan ajakan agar menjadi umat kristen. Umat Islam dibujuk dan dirayu untuk pindah agama. Pak AR mengungkapkan bahwa agama harus disebar­luaskan dengan cara-cara yang perwira dan sportif.
 
1990
·    Muktamar XLII Muhammadiyah di Yogyakarta. Suksesi keperesidenan RI menjadi agenda di Muktamar Yogyakarta.
·    Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah, sejak Anggaran Dasar pertama sampai ke-14, istilah yang digunakan -istilah mana semakna dengan istilah misi- adalah istilah maksud, kecuali Anggaran Dasar keempat dan kelima, yang menggunakan istilah hajat. Istilah misi kita jumpai pada tulisan para tokoh Muhammadiyah, terutama Ustadz K.H. Ahmad Azhar Basyir, MA Ketua PP Muhammadiyah periode 1990-1995, yang secara khusus pernah menulis tentang Misi Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam.
 
1995
·    Muktamar XLIII Muhammadiyah di Banda Aceh.
·    Terpilihnya Prof DR HM Amien Rais MA sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah.
·    Wilayah kerja Majelis Tarjih tidak saja di bidang fikih, namun juga pengembangan pemikiran Islam. Karena itu, majelis ini sejak Muktamar Aceh berganti nama menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI).
 
1998
·    Prof. DR. Ahmad Syafii Maarif sebagai Ketua Umum menggantikan Prof. DR. HM Amien Rais MA yang meletakkan jabatan karena harus memimpin Partai Amanah Nasional, sebagai lanjutan dari amanat reformasi.
 
2000
·    Muktamar XLIV Muhammadiyah di Jakarta, terpilihnya Prof. DR. Ahmad Syafii Maarif sebagai Ketua Umum
 
2002
·    TANWIR Muhammadiyah di Denpasar, 24-27 Januari, menyepakati perlunya Muhammadiyah menyiapkan kader terbaiknya sebagai pemimpin nasional (Khittah dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara)
o   Sidang Tanwir membahas Khittah Muham­madiyah dalam berbagai persoalan, termasuk rekomendasi Muhammadiyah bagi kemajuan bangsa dan negara. Masalah lainnya, adalah bahasan tentang Bank Persyarikatan, di mana akan diputuskan apakah manajemen perbankan diselenggarakan secara syariah atau secara konfesional. 
 
2002
·     Masalah politik nasional dibahas pada Sidang Pleno VII yang dipimpin A. Watik Pratiknya. Tampil di sini, Mendiknas Malik Fadjar, ahli hukum tata negara Prof Dr. Ismail Suny, dan Wakil Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin. Amien Rais akan berbicara tentang Pencerahan dan Visi Indonesia ke Depan, pada sidang pleno III yang dipimpin Bambang Sudibyo. Sejumlah pembicara tenar lainnya, seperti Nurcholis Madjid, Jakob Oetama, dan Taufik Abdullah juga hadir. Mereka membahas tema “Masalah Nasional dan Agenda Pencerahan bangsa”
 
2003
·    Persyarikatan Muhammadiyah menggelar Sidang Tanwir di Makassar 26-29 Juni 2003. Sidang Tanwir kali ini merupakan yang terakhir sebelum pelaksanaan Pemilu 2004.
 
2005
·    Muktamar Muhammadiyah di Malang,
o   Terpilihnya Prof DR Din Syamsuddin sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah
o   Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah ’Abra Qarn min al-Zamãn (Pernyataan Pikiran Muham­madiyah Jelang Satu Abad).
 
2006
·    PP Muhammadiyah mengeluarkan SK No. 149/2006 tentang Konsolidasi Organisasi dan Amal Usaha, yang antara lain berisi tentang bentuk relasi Muhammadiyah dengan gerakan Islam lain dan juga partai politik. Muhammadiyah berhak dan memiliki keabsahan untuk bebas dari segala campur-tangan, pengaruh, dan kepentingan fihak mana­pun yang dapat mengganggu keutuhan dan kelangsungan gerakan dakwah Muhammadiyah.
 
2007
·    Sidang Tanwir Muhammadiyah25-29 April 2007 di Yogyakarta. Merupakan Sidang Tanwir pertama setelah Muktamar ke-45 Muhammadiyah tanggal 3-8 Juli 2005 di Malang. Tanwir 2007 Yogyakarta mengangkat tema: “Pencerahan Gerakan untuk Kemajuan Bangsa”. Fokus pembahasan dalam Tanwir diarahkan pada upaya pencerahan, revitalisasi, konsolidasi terhadap tubuh Persyarikatan, sesuai problematika yang dihadapi Persyarikatan selama hampir dua tahun mengoperasionalkan keputusan Muktamar ke-45. Tanwir 2007 juga membahas upaya peningkatan peran kebangsaan, keumatan dan kemanusiaan, yang harus dilakukan oleh Persyarikatan, sesuai komitmen yang telah dicanangkan dalam “Pernyatan Pikiran Muhammaiyah Jelang Satu Abad”. 
·    Tanwir 2007 juga menekankan pentingnya Muhammadiyah kembali menggiatkan sektor ekonomi, agar Muhammadiyah kembali diperhitungkan sebagai kekuatan ekonomi. Mengembalikan Muhammadiyah pada masa-masa awal berdirinya, dimana kelompok mayoritas anggotanya merupakan pengusaha. Salah satu poin dari rekomendasi Tanwir ini adalah meminta kepada pemerintah untuk memihak pada pemberdayaan ekonomi rakyat.
 
2009
·    Sidang Tanwir tahun 2009, di kota Bandar Lampung. Mmerupakan Tanwir kedua pada periode ini, dan Tanwir jelang Muktamar ke-46 di Yogyakarta pertengahan tahun 2010. 
·    Sidang Tanwir 2009 memiliki tujuan antara lain:
-    Dihasilkannya keputusan untuk meningkatkan peran Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar dalam membangun kembali visi dan karakter bangsa, di tengah pergulatan bangsa-bangsa lain yang semakin maju.
     Sidang Tanwir 2009 dilaksanakan menjelang Pemilu 2009 dimana suasana politik Indonesia menghangat.
 
2009
     Muhammadiyah memberikan rekomendasi terkait Pemilu 2009 antara lain: 1). Mendesak partai politik dan seluruh komponen bangsa untuk tidak menjadikan Pemilu 2009 sebagai ajang perebutan kursi kekuasaan belaka yang menjurus pada pragmatisme dan menghalalkan segala cara. Pemilu harus dijadikan momentum untuk menghasilkan anggota legislatif, presiden dan wakil presiden yang bertanggungjawab dalam menjalankan amanat rakyat, mengurus negara/pemerintahan dengan benar, menghasilkan kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat kecil, menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan dan etika publik, membangun kepercayaan, serta tidak menggunakan aji mumpung dalam melaksanakan kekuasaan yang dimilikinya; 2). Muhammadiyah menyerukan kepada segenap komponen bangsa untuk memilih pemimpin nasional pada Pemilu 2009, yang:
1. Memiliki visi dan karakter yang kuat sebagai negarawan yang mengutamakan kepen­tingan bangsa dan negara ketimbang kepentingan  partai politik, diri sendiri, keluarga, kroni dan lainnya;
2. Berani mengambil berbagai keputusan penting dan strategis yang menyangkut hajat hidup rakyat dan kepentingan negara, mampu menyelesaikan persoalan-persoalan krusial bangsa secara tegas, serta melakukan penyelamatan aset dan kekayaan negara;
3. Mampu menjaga kewibawaan dan kedaulatan nasional dari berbagai ancaman di dalam dan luar negeri, serta mampu mewujudkan good governance termasuk melakukan pembe­rantasan korupsi tanpa pandang bulu;
4. Melepaskan jabatan di partai politik apapun dan berkonsentrasi dalam memimpin bangsa dan negara.
 
Retrieved from: http://www.muhammadiyah.or.id/id/8-content-154-det-timeline-muhammadiyah.html