Monday, August 23, 2010

The Minangkabau traditionalists' response to the modernist movement

The Minangkabau traditionalists' response to the modernist movement
by Rais, Za'im, M.A., McGill University (Canada), 1994 , 129 pages; AAT MM99926

Abstract (Summary)

This thesis studies the response of the traditionalist Muslim groups of Minangkabau, Indonesia, to the modernist movement of the early decades of this century. In their effort to lay the foundations of a rational and progressive Muslim society and rediscovery the true ethics of Islam, the modernists had called for fresh ijtihad. The traditionalists rejected the possibility, or necessity, of new ijtihad and insisted that Islam had been perfectly articulated in the authoritative works of the scholars, especially those of the four schools of law, and that every Muslim must simply adhere to them. The traditionalists argued that the methods of the modernists' not only endangered the authority of the four schools, they threatened to undermine the age-old notion of a harmonious balance between Islam and adat, the two ideological foundations of Minangkabau society. To the traditionalists, therefore, the struggle against the modernists was at once a defense of the classical schools of law and of the harmony of Islam and adat in Minangkabau.

Indexing (document details)

Advisor:Turgay, A. Uner
School:McGill University (Canada)
School Location:Canada
Keyword(s):Indonesia
Source:MAI 34/02, p. 546, Apr 1996
Source type:Dissertation
Subjects:Religion
Publication Number: AAT MM99926
ISBN:9780315999268
Document URL:http://proquest.umi.com.ezproxy.lib.utexas.edu/pqdweb?did=743405761&sid=20&Fmt=2&clientId=48776&RQT=309&VName=PQD
ProQuest document ID:743405761

Taking care of the faithful: Islamic organizations and partisan engagement in Indonesia

Taking care of the faithful: Islamic organizations and partisan engagement in Indonesia
by Jung, Eunsook, Ph.D., The University of Wisconsin - Madison, 2009 , 266 pages; AAT 3400027

Abstract (Summary)

My dissertation examines variation in partisan engagement among three major Muslim organizations in Indonesia since the process of democratization began in 1998. The first two cases, Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah, were formed in the early 20 th century and have roughly 40 and 30 million members, respectively. The third, the Justice and Welfare Party (PKS), is a relative newcomer formed out of the Islamic student movement in 1998. While all three entities have the same broad combination of religious, social, and political goals and operate within the same external political environment, the particular relationships that they cultivate with political parties are different. NU, which established a political party in 1998 but decoupled from it in 2004, functions as a politicized organization; Muhammadiyah bypassed the opportunity to build a political party and functions as a civil society organization; and PKS emerged out of an Islamic social movement and demonstrates the overlap between movement and party. The variation can be explained by (a) the organizations' internal decision-making structures; and (b) the organizations' historical legacies in previous party building. Theoretically, my research sheds light on the importance of ideational factors in understanding religious institutions, which are established both to assert their religious principles and to protect the community of the faithful. Second, 1 highlight the importance of historical depth and institutional complexity in understanding interest formation and political behavior. Third, while scholars often treat civil society and political parties as functionally and spatially separate concepts, my research reveals how there can in practice be considerable overlap between them.

References

Indexing (document details)

Advisor:Hutchcroft, Paul D.
School:The University of Wisconsin - Madison
School Location:United States -- Wisconsin
Keyword(s):Islam, Political party, Muslim organizations, Civil society, Indonesia
Source:DAI-A 71/03, Sep 2010
Source type:Dissertation
Subjects:Religion, Political science
Publication Number: AAT 3400027
ISBN:9781109659832
Document URL:http://proquest.umi.com.ezproxy.lib.utexas.edu/pqdweb?did=1982841091&sid=14&Fmt=2&clientId=48776&RQT=309&VName=PQD
ProQuest document ID:1982841091

Sunday, August 22, 2010

Dr. H. Abdul Karim Amrullah : his influence in the Islamic Reform Movement in Minangkabau in the early twentieth century

Dr. H. Abdul Karim Amrullah : his influence in the Islamic Reform Movement in Minangkabau in the early twentieth century
by Djamal, Murni, M.A., McGill University (Canada), 1975; AAT MK24308

Indexing (document details)

School:McGill University (Canada)
School Location:Canada
Source:MAI 40/07, 2002
Source type:Dissertation
Subjects:Religion
Publication Number: AAT MK24308
Document URL:http://proquest.umi.com.ezproxy.lib.utexas.edu/pqdweb?did=767232091&sid=20&Fmt=1&clientId=48776&RQT=309&VName=PQD
ProQuest document ID:767232091

Friday, August 20, 2010

Memodernkan Budaya Jawa

Memodernkan Budaya Jawa

Narablog: Nazhori Author


Judul : Muhammadiyah Jawa
Penulis : Ahmad Najib Burhani
Penerbit : Al-Wasat Publishing House, Jakarta
Tahun : Juni, 2010
Tebal : xxii + 203 halaman
Harga : 48.000,-



Never Ending Asia, demikian ungkapan khas kawula muda sekarang tentang Yogyakarta. Di kota Yogyakarta terkenal sebuah kampung yang bernama Kauman, sebuah kampung Raden Ngabehi Muhammad Darwisy (KH. Ahmad Dahlan) dilahirkan dan dibesarkan.

Dari Kauman ini juga organisasi Islam bernama Muhammadiyah tersebar ke seluruh penjuru Indonesia. Sebuah organisasi Islam yang berani menyatakan diri sebagai gerakan puritanisme. Uniknya, meski dikenal sebagai organisasi modern keberadaannya tidak bisa lepas dari kebudayaan Jawa, tutur Burhani dalam buku berjudul Muhammadiyah Jawa. Dalam buku tersebut, ia ingin menggali sikap Muhammadiyah terutama apresiasi dan ketegangannya terhadap budaya Jawa dari 1912 sampai 1930.

Burhani juga menampilkan pandangan-pandangan para orientalis di antaranya Poensen, Geertz, Ricklefts, dan Penders. Lewat kajian pustakanya ia berusaha menalikan pandangan-pandangan orientalis dengan beberapa tokoh yang intens mengkaji Islam dan Jawa seperti Mitsuo Nakamura dan Mark Woodward. Bahasan semakin dalam setelah ia melengkapi kajian pustakanya dengan peneliti Indonesia yang mengkaji Muhammadiyah seperti Alfian, Achmad Jainuri, Alwi Shihab dan Abdul Munir Mulkhan.

Hal ini menjadi poin penting, sebab kejawaan muncul sebagai identitas pada awal abad ke-18. Identitas itu khususnya menjadi respons terhadap orang Eropa yang mulai mencoba menancapkan kekuasaan di Jawa. Pada waktu itu, menurutnya Islam menjadi bagian penting dari identitas budaya Jawa vis-à-vis Kristen yang menjadi bagian signifikan budaya Eropa. Orang-orang Jawa menyebut diri mereka Muslim atau wong selam (hal. 45).

Karena itu, dalam konteks sosiologis, pengaruh besar budaya terhadap cara manusia hidup dan berpikir dalam studi ini menjadi ulasan pokok dengan mengangkat Keraton Yogyakarta yang tidak hanya sebagai “teks” tapi sebagai kajian historiografi untuk menilai pengaruh Jawa terhadap perkembangan Muhammadiyah di masa awal. Mengingat sepulang dari Mekah, Ahmad Dahlan diberi tugas sebagai abdi dalem menggantikan ayahnya KH. Abu Bakar yang bertanggung jawab untuk urusan keagamaan di lingkungan Keraton.

Pernikahannya dengan Walidah putri KH. Muhammad Fadhil seorang pengusaha batik, membuat Ahmad Dahlan diperhitungkan. Apalagi setelah dipercaya sebagai abdi dalem, keberadaanya di sana justeru tambah mengusik pola pikirnya tentang pengaruh tradisi Jawa terhadap Islam. Salah satunya, yang menjadi kritik tajamnya adalah upacara kerajaan (Grebeg) yang menjadi kebiasaan rutin di Keraton Yogyakarta. Terkait dengan kritiknya itu, satu kejadian penting yang sampai sekarang masih terngiang adalah aksinya dalam merubah arah kiblat Masjid Agung Yogykarta, yang menimbulkan ketegangan antara dirinya dan pihak Keraton.

Seiring dengan peran aktif Ahmad Dahlan, pada 1908 berdirilah Boedi Oetomo sebagai organisasi Jawa modern yang diprakarsai Mas Ngabehi Wahidin Sudiro Husodo. Salah satu tujuannya melestarikan budaya Jawa dari serangan budaya Barat dan mengembangkan pendidikan di kalangan masyarakat Jawa. Karena keanggotaannya terbatas hanya dari kalangan priyayi, maka Ahmad Dahlan tertarik untuk terlibat di dalamnya sehingga menambah spektrum pergaulannya yang luas.

Dalam bingkai budaya itulah Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 1912 di Yogyakarta. Boedi Oetomo menjadi pendukung utama gagasan mendirikan organisasi baru ini. Ada empat peran utama yang dimainkan Muhammadiyah dalam masa-masa awal, yakni: sebagai gerakan pembaruan keagamaan, sebagai kekuatan politik, sebagai perlawanan komunisme dan Kristen, dan sebagai pendukung budaya Jawa (hal. 78).

Melalui buku ini, Burhani memperlihatkan usaha untuk memaparkan sikap Muhammadiyah terhadap budaya Jawa. Pertama, merinci karakteristik keanggotaan Muhammadiyah. Di mana priyayi santri Kauman adalah kelompok pilar pertama Muhammadiyah. Untuk melengkapi keanggotaannya barulah diisi oleh para priyayi nonsantri dan priyayi yang terdidik ala Barat, serta pedagang dan pengusaha. Demikian representasi keanggotaan Muhammadiyah diawal berdirinya.

Kedua, dalam upaya mengapresiasi budaya Jawa, Muhammadiyah menekankan lima aspek yaitu perilaku, bahasa, busana, keanggotaan dan nama. Dalam kasus Grebeg Muhammadiyah justeru menilainya sebagai motivasi perilaku para anggotanya saat berdakwah, meski mengandung unsur takhayul. Dari segi bahasa pun Muhammadiyah berusaha menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa agar mudah diterima masyarakat setempat. Selain itu, Ahmad Dahlan bahkan membolehkan orang menggunakan bahasa Jawa dalam salat dan untuk menyampaikan khutbah Jum’at.

Dari penampilan khususnya berbusana, pakaian menjadi identitas sosial dalam berinteraksi agar batas-batas komunikasi dapat teridentifikasi. Berbusana juga menunjukkan ekspresi diri dan cermin berpakaian ala Jawa. Contohnya mulai tahun 1910, di Kauman beberapa pengusaha batik membentuk kelompok populer yang disebut handel batik. Cara berbusana tokoh-tokoh terkenal Muhammadiyah dulu kontras dengan para tokoh Nahdlatul Ulama, yang lebih menyukai busana Arab (hal. 110). Sedangkan keanggotaan sebagai identitas personal, juga bermakna identitas kolektif, yang dimiliki suatu komunitas atau kelompok tertentu. Pada sisi keanggotaan dan nama, Muhammadiyah adalah model yang dekat dengan identitas kolektif yang kental dengan unsur bahasa Jawa.

Adapun respon Muhammadiyah terhadap budaya Jawa pada dasarnya ingin menjembatani ideologi Jawa dan isme tertentu lewat rasionalisasi sikap dan perilaku agar tradisi lokal menjadi gagasan yang berkemajuan dalam hal ini budaya sebagai hasil karya dan budi masyarakat yang kreatif. Dengan kata lain bagi Muhammadiyah, Islam secara kultural dijawakan, dan Jawa secara substansi dirasionalkan dan dimodernkan.

Pada bagian terakhir buku ini, diuraikan pergeseran sikap Muhammadiyah terhadap budaya Jawa. Menurut Burhani berdasarkan telusur ilmiahnya, akar pergeseran sikap ini ditandai dengan doktrin teologis Muhammadiyah yang ketat. Peristiwa ini terjadi setelah pendirian Majlis Tarjih pada 1927 dan kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi pada 1930.

Awal masuknya Muhammadiyah ke Minangkabau sebagai salah satu faktor, pada dasarnya merupakan gerakan untuk mematahkan komunis lewat kegigihan Haji Rasul bersama Haji Abdullah Ahmad dan Syekh Djambek. Di Minangkabau ini tersimpan cerita dan kenangan tentang Muhammadiyah yang karakter ulamanya lebih puritan sehingga unsur-unsur yang berkarakter takhayul, bid’ah dan khurafat harus disingkirkan. Kondisi itu diperkuat oleh kemenangan Wahabi di Arab Saudi, nasionalisme Indonesia, dan berdirinya Nahdlatul Ulama.

Satu hal yang bisa dijadikan pelajaran dari buku ini bahwa Muhammadiyah pascamodernisme tidak bisa menghindar dari pluralitas budaya bangsa yang menjadi sasaran dakwahnya. Sementara, globalisasi tidak mengenal batas budaya, agama, suku, adat dan ras. Selama kemajuan teknologi dan informasi bisa masuk di dalamnya saat itu pula perubahan identitas dan tradisi lokal akan bergeser dan berubah. Lantas, bagaimana dengan sikap Muhammadiyah setelah melewati satu abad melihat perubahan itu ?

Penulis adalah Penikmat Buku, Tinggal di Gunungputri, Bogor.

Retrieved from: http://nazhoriauthor.blogspot.com/2010/08/memodernkan-budaya-jawa-narablog.html (August 19, 2010)

Tuesday, August 17, 2010

‘Compete with One Another in Good Works’: Exegesis of Qur’an Verse 5.48 and Contemporary Muslim Discourses on Religious Pluralism

Auteur(s) / Author(s)

SIRRY Mun'im (1) ;

Affiliation(s) du ou des auteurs / Author(s) Affiliation(s)

(1) Divinity School, University of Chicago, ETATS-UNIS

Résumé / Abstract

This article addresses the following two questions by examining the ideas of three modern Muslim scholars: Nurcholish Madjid (Indonesia), Asghar Ali Engineer (India), and Abdulaziz Sachedina (United States), with special reference to their interpretation of Q 5.48. How do modern Muslim scholars understand this verse and use it to support the idea that Islam advocates religious pluralism? And are modern Muslims simply superimposing modernist notions on the premodern worldview of the Qur'an? Two lines of thought will be explored. First, an examination of the classical exegesis of Q 5.48 will be reviewed in order to discover the teaching of the classical authorities on Islamic scripture about these issues of modern concern. Second, the verse will be analysed in light of modern debate on whether or not Islam advocates religious pluralism. Finally, possible explanations as to why these three Muslim scholars differ in their approach to what may be referred to as the 'conservative legacy' of the classical exegeses will be discussed.

Revue / Journal Title

Islam and Christian-Muslim relations ISSN 0959-6410

Source / Source

2009, vol. 20, no4, pp. 423-438 [16 page(s) (article)] (1 p.1/4)

Monday, August 16, 2010

Struktur Keilmuan Pesantren: Studi Komparatif antara Pesantren Tebuireng Jombang dan Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta

Ringkasan Laporan Hasil Penelitian Tahun 2002
Ketua Peneliti: Sembodo Ari Widodo, M. Ag.
Anggota Peneliti: Mahmud Arif, M. Ag., dan Ahmad Warid, M.Ag.
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Editor & Peringkas: Masykur Afuy


Penelitian ini difokuskan pada tiga masalah. Pertama, bagaimana dasar-dasar filosofis-teologis penyeleksian kitab-kitab diajarkan pada kedua pesantren itu? Kedua, bagaimana pemetaan struktur keilmuan dalam nalar bayâni, ‘irfâni dan burhâni pada kedua pesantren tersebut? Ketiga, bagaimana hubungan metodologis antara nalar materi dan metode pengajaran pada kedua pesantren tersebut? Untuk itu, penelitian ini menggunakan kerangka teoretik strukturalisme, yang dalam hal ini pemetaan nalar keilmuan bayâni, ‘irfâni dan burhâni yang telah digagas oleh al-Jabiri dianggap representatif untuk membongkar struktur keilmuan yang ada di pesantren. Penelitian ini ditujukan untuk mencari hubungan antara materi dan corak nalar dan metode pengajaran pada kedua pesantren tersebut.

Penelitian ini merupakan perpaduan antara penelitian literatur (library research) dan penelitian lapangan (field research). Untuk mengumpulkan literatur, peneliti menggunakan metode dokumentasi. Sementara itu, untuk mengumpulkan data di lapangan peneliti menggunkan metode observasi, wawancara dan diskusi. Selanjutnya, peneliti menganalisis literatur/data dengan metode komparatif untuk mengungkap lebih dalam persamaan dan perbedaan struktur nalar kedua pesantren tersebut dan keterkaitan nalar keilmuan dengan metodologi pengajarannya.

Retrieved from: http://www.ditpertais.net/istiqro/ist02-01.asp (August 16, 2010)

Download File

Sunday, August 15, 2010

Wahhabi influences in Indonesia, real and imagined

Martin van Bruinessen, "Wahhabi influences in Indonesia, real and imagined"
Summary of paper presented at the Journée d’Etudes du CEIFR (EHESS-CNRS) et MSH sur le Wahhabisme. Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales / Maison des Sciences de l’Homme, Paris, 10 June, 2002.

Martin van Bruinessen, ISIM

The first alleged incursion of Wahhabism into Indonesia occurred in 1804, when three pilgrims returned from Mecca to West Sumatra and initiated a radical and occasionally violent movement of religious and social reform. Dutch observers soon assumed that these pilgrims had been influenced by Wahhabi ideas during the Najdi occupation of Mecca in 1803, and this assumption has been adopted by most later Indonesian authors, although the evidence is extremely thin and there are many indications to the contrary. The large Indonesian community resident in Mecca was a medium through which knowledge about Wahhabism reached Indonesia, but the community itself appears to have remained virtually immune to Wahhabi influences.

Wahhabism became a hotly debated issue after the second Wahhabi conquest of Mecca in 1924. Indirectly it gave rise to the major traditionalist organization, Nahdlatul Ulama, that had as its chief objective the defence of beliefs and practices that were attacked by the Wahhabis: wasila, ziyara, tariqa, taqlid, fiqh. The middle part of the 20th century was characterized by often fierce debates over traditional practices, in which their opponents were invariably dubbed Wahhabis by the traditionalists. In reality there was little direct influence of [the Saudi version of] Wahhabism on Indonesian reformist thought until the 1970s. There was, however a certain convergence: the puritan Persatuan Islam movement appears to have developed its strict Salafi ideas almost in isolation from the contemporary Middle East, but evolved towards positions that were almost indistinuishable from those that were internationally sponsored by the Saudis. The fatwa rubric of Persatuan Islam journal Al Muslimun is indicative of the strict Salafi approach adopted by this organization.

It was political developments that pushed a segment of the Indonesian reformists – notably the Indonesian Islamic Da`wa Council – towards closer cooperation with the Saudis (through the Rabita) from the late 1960s on. Ideologically they remained closer to the Muslim Brotherhood than to Wahhabism, however. The Saudis sponsored (financially) a range of educational activities, even among moderate traditionalists, with the effect that Hanbali fiqh conquered a place beside, or even instead of Shafi`i fiqh in several traditional pesantren (madrasa).

In the 1980s and 1990s an unending stream of anti-Zionist, anti-Semitic, anti-Christian, anti-Shi`a, anti-Ahmadi and anti-liberal tracts, many of them of Saudi or Kuwaiti provenance, flooded the cheap book market in Indonesia. The Saudi Embassy attempted to intervene in Indonesian religious debates, and graduates from Saudi institutes of learning had an increasing impact on public debate. The final decade of Suharto’s rule gave this variety of Islam, innocuous to the regime, a wide berth.

Since the fall of Suharto, a few radical Muslim groups have acquired a disproportionate influence. One of them, the Laskar Jihad, is the one most directly influenced by contemporary Wahhabism, its leaders having studied with such luminaries as Bin Baz. This was the first movement in Indonesia that rejected elections on religious grounds and adopted a number of other positions that distinguish it from non-Wahhabi Salafi groups.

Retrieved from: http://www.let.uu.nl/~martin.vanbruinessen/personal/publications/Wahhabi%20influences%20in%20Indonesia.htm (August 15, 2010)

Saturday, August 14, 2010

Mendekonstruksi Muhammadiyah

Kompas, Sabtu, 14 Agustus 2010 | 01:57 WIB

Oleh: Muhammadun*

Judul buku : Marhaenis Muhammadiyah
Penulis : Abdul Munir Mulkhan
Penerbit : Galang Pres, Yogyakarta
Cetakan : 1, Juni 2010
Tebal : 232 halaman

Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Usia Muhammadiyah saat menginjak seabadnya. Gagap gempita telah menyertai peringatan seabadnya, termasuk dalam Muktamarnya yang ke-46 di Yogyakarta awal Juli 2010 lalu Gagap gempita usia seabad ini dilakukan dengan berbagai peringatan, dengan kemegahan yang mengagumkan, dan biaya miliaran rupiah yang dikeluarkan. Semuanya ingin menandai datangnya abad baru ke-2 yang akan dijalani untuk melangkah menuju peradaban utama yang lebih meyakinkan.

Namun demikian, tidak sedikit kaum kritis Muhammadiyah yang bersikap kritis dengan berbagai fenomena menarik yang sedang dijalani Muhammadiyah. Salah satu kader kritis itu adalah Abdul Munir Mulkhan. Lewat buku terbarunya berjudul “Marhaenis Muhammadiyah”, Munir melihat bahwa Muhammadiyah saatnya bergerak melihat kaum marginal yang terbelakang. Saatnya Muhammadiyah berpihak kepada kaum marhaen yang hidupnya masih diliputi keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan dalam hal pendidikan.

Marhaenis Muhammadiyah mendambakan gerakan baru Muhammadiyah yang berani bersikap secara tegas untuk memperjuangkan nasib marginal yang selama ini terlunta-lunta. Perjuangan inilah yang dulu dijalankan oleh pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Beliau ini mendirikan sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, dan panti asuhan adalah untuk memberikan kehidupan kaum marginal yang nasibnya terpinggirkan. Ahmad Dahlan tidak rela dan menggugat semua itu, sehingga mendirikan persyarikatan yang bernama Muhammadiyah pada 18 November 1912/8 Dzulhijjah 1330 H.

Munir Mulkhan melihat etos perjuangan Kiai Ahmad Dahlan sekarang ini banyak dilupakan. Muhammadiyah terjebak dalam rutinitas yang begitu sibuk, sehingga sekolah dan perguruan tinggi alpa dalam memihak kaum marginal. Sekarang ini masyarakat kecil masuk sekolah Muhammadiyah, karena biaya yang tidak ramah. Demikian juga ketika berobat ke PKU (Pusat Kesehatan Umat) Muhammadiyah yang tak biaya tidak memihak kaum miskin. Muhammadiyah menjadi elitis, hanya merawat kaum menengah ke atas, sedangkan kaum menengah ke bawah jauh dari jangkauannya.

Karena terjebak dalam elitisme inilah, daya intelektualisme Muhammadiyah semakin merosot. Munir Mulkhan bukan hanya dalam buku ini saja mengkritik stagnasi pemikiran Muhammadiyah, tetapi dalam berbagai kesempatan telah dilontarkan, termasuk ketika dia ikut serta dalam mendukung lahirnya gerbong kaum muda kritis lewat JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Ironisnya, bagi Munir, kaum kritis-progresif ini tidak mendapatkan tempat dalam regenerasi struktural dalam tubuh Muhammadiyah.

Makin mandeknya nalar pencerahan inilah yang membuat Muhammadiyah semakin elitis, jauh dari kalangan kaum marginal-marhenis. Gebyar yang begitu megah yang menghabiskan dana miliaran rupiah merupakan bukti elitisasi gerak Muhammadiyah dalam berbagai evennya. Padahal, uang miliaran rupiah tersebut sangat berarti kalau digunakan untuk memberdayakan kaum marginal yang masih tertinggal di berbagai pelosok negeri. Elitisasi inilah justru yang akan menjadikan Muhammadiyah jauh dari harapan publik, dan bagi Munir, ini jelas mencederai ruh perjuangan yang telah ditancapkan oleh sang pendiri, KH Ahmad Dahlan.

Munir merekomendasikan bahwa saatnya Muhammadiyah kembali kepada khittahnya sebagai organisasi yang digerakkan Ahmad Dahlan yang selalu membela nasib kaum marginal yang masih terbelakang. Untuk itu, kader masa depan berupa marhaenis Muhammadiyah harus terus diciptakan, agar Muhammadiyah semakin dekat dengan masyarakat, keluar dari jebakan elitisme yang menipu. Marhaenis Muhammadiyah yang digelorakan Munir sebagai “wacana pinggir” yang digalakkan untuk menerobos tembok struktural organisasi yang masih konvensional. Marhaenis Muhammadiyah yang dicita-citakan Munir Mulkhan ingin menghasilkan wacana dan gerakan radikal yang membebaskan dalam ruh pencerahan di tubuh Muhammadiyah.

*Peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes) Jakarta

Tuesday, August 10, 2010

Ke-Islaman sebagai Tonggak Peroebahan

Book Review

Judul Buku : Tonggak Sang Pencerah, Sebuah Novel Tentang KHA Dahlan
Penerbit : Suara Muhammadiyah,Yogyakarta
Penulis : Yazid R.Passandre
Tebal : 279+

Refleksi dan Aksi Sosial Seorang Dahlan:
Keislaman sebagai Tonggak Peroebahan

Berulang kali dikatakan Darwisy atau Dahlan dalam seluruh bagian novel ini bahwa Dahlan menolak dengan keras dna tegas bahwa Islam Bukanlah agama ritual belaka, terbelakang, dan menghalangi bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan terbebas dari panindasan, ketidakberdayaan, kebodohan dan kesehatan yang terpuruk (hlm 48,246,250,). Ini merupakan novel yang membangkitkan semangat berorganisasi di kalangan aktifis Muhammadiyah. Karena ada kekuatan yang mengancam meminjam kata-kata Dahlan yang sedikit penulis ubah,”bahwa bis jadi Muhammadiyah lenyap dari Indonesia, tapi Islam tidak akin lenyap dari muka bumi.” Atau meminjam istilah Buya Syafii Ma’arif, “Sebuah Muhammadiyah yang tidak mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah Indonesia, Bukanlah Muhammadiyah yang sebenar-benarnya.” yang adopsi buya dari pendapat, ”Sebuah Islam yang tidak mampu memberikan solusi terhadap masalah-masalah manusia, bukanlah Islam yang sebenarnya.”

Lega dan bahagia rasanya, satu kekayaan dan hasanah baru mengenai KHA Dahlan yang telah merintis dan mendirikan Muhammadiyah yang sampai kini sudah berusia satu abad atau seratus tahun. Selain puluhan atau ratusan buku yang tertulis mengenai sosok manusia santun dan bijak dari Kauman ini, genre baru dalam bentuk novel pun hadir mengapresisasi betapa sosok Darwisy itu mampu menginspirasi anak bangsa untuk berbuat lebih banyak untuk bangsanya, untuk kemanusiaan sebagaimana yang diperankan oleh Dahlan dan pengikutnya pada zaman itu. Zaman yang terus bergerak pincang, meminjam istilah Passandre dalam novel ini, Dahlan bias bergerak dan terus bergerak untuk menunjukkan pada dunia bahwa Islam adalah semangat kemanusiaan dan bukan aliran tradisi yang diesinker terbelakang dan tidak modern. Bayangkan? Dalam keadaan yang serba terbatas, berhadapan dengan tradisi, kolinialisme, kraton yang kokoh seperti pohon beringin itu, dahlan tidak gentar terus melakukan istima’, ijtihad bahwa harus ada jalan keluar untuk membawa bangsanya keluar dari keterpurukan dalam beraqidah, sosial, ekonomi, politik.

Novel ini diilhami oleh film “Sang Pencerah” yang dikeluarkan oleh Jurusan Ilmu Komunikasi UMY 2006 dan dipersembahkan untuk Sang Pencerah, Pahlawan Kusuma Bangsa, Kiai Haji Ahmad Dahlan, dan Muktamar seabad Muhamamdiyah 2010. Sebuah kalimat yang sangat tulus bagaimana Penulis yang merupakan alumni Ikatan Pelajar Muhammadiyah ini mempunyai kepekaan hati untuk memberikan sesuatu yang berharga bagi dahlan, bagi Muhammadiyah, dan bagi anak bangsa yang seiring dan sejalan dengan pemikiran dan aksi sosial Dahlan. Kita mesti berterima kasih pada penulis yang memberikan bacaan yang menyentuh, penuh referensi, fakta, nuansa revolusi, menggebu-gebu, mendobrak, dan kadang-kadang hanyut dalam romatisme keluarga sakinah yang damai tentram yang pernah dilakoni KHA dahlan. Panduan hidup Islami Muhamamdiyah mungkin perlu disempurnakan dengan membaca novel ini terutama penggalan 6,7,8,9,10, yang berisi dialog-doalog singkat dan kaya makna antara Dahlan dengan Walidah yang cukup menyentuh dan membuat kita meneteskan air mata.(baca juga hlm.247-249).

Passandre menarisakan kisah yang mengandung nilai keutuhan dengan sangat apik. Sosok Dahlan atau Darwisy sebagai sosok yang selalu risau terhadap tradisi yang lebih dimulikan dari pada ajar an agama Islam, sosok yang mendobrak dan anti penjajahan, dalam suasana kehidupan keluarga yang harmonis, yang saling menguatkan dengan landasan katakan Islam yang akin membawa kebahagiaan. Dahlan sama sekali bukan digambarkan dan memang bukan sebagai tokoh yang egois, hanya mementingkan orang lain atau perjuangannya, tidak mau tahu dengan urusan keluarga. Pendek kata, Dahlan ingin mengatakan bahwa kehidpan berkeluarga tidak akin pernah menghalangi dakwah, menghalangi peroebahan yang dicita-citakannya bahkan menawarkan ragam second opinion atau alternatif manakalah kebutuhan dalam perjuangan itu menghentikan langkah kakinya (hlm 249). Sekali lagi, ayat-ayat cinta dan semesta itu hadir menyelimuti kehidupan rumah tangga Dahlan-Walidah.

“Dari penampilannya saja, sekolah itu memang tampak mengingkari zamannya, dan seolah hendak membranous zaman baru: zamannya sendiri. Zaman dimana manusia terbebaskan dari belenggu tradisi yang membodohkan.” (hlm.258). Ya, Dahlan memang memberontak tradisi, memimpikan perubahan. Dan untuk membengan zamannya, dan zaman yang akin dating dahlan mengorbankan banyak hal terutama waktu bercengkerama dengan keluarga lalu ditinggal ke Makkah untuk hajI dan belajar agama. Dahlan ingin islam modern sehingga Kiblat pun perlu direvisi sebagai consequence dari berkembangnya ilmu pengetahuan karena Dahlan mengenal dunia, mengenal ilmu geografi. Disamping itu, beliau memahami dan menyaksikan bahwa Islam yang revolutioner sedang bergeliat di tanah Arab, Mesir yang dipromotori oleh Jamalludin al Afgani, Rosyid Ridho, dan sebagainya. Dahlan memanfaatkannya sebagai pendorong semangat dalam jiwanya untuk aksi nyata: Peroebahan!. Tidak hanya itu, Dahlan juga belajar membangun sekolah yang meski dianggap kafir lantaran meja kelas dan pelajaran musik dan biola.(hlm.262). Beliau juga memikiran perlunya organisasi setelah berinterkasi dengan Budi Oetomo, Taman Siswa, dan hasil dialog dengan seorang anak yang tidak rela sekolah Dahlan ambruk dan roboh setelah dahlan meninggal dunia, maka ikhtiar itu termanifestasikan dalam langkah nyata mendirikan organisasi modernis yang diberikan nama: Muhammadiyah pada 18 November 1912 M.

Salah satu keunggulan novel ini adalah sosok penulisnya yang memang aktivis Muhammadiyah, semenjak SMA menghabiskan waktunya di Sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta dan aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah sampai di tingkat Pimpinan Pusat. Aroma kepekaan sebagai orang dalam sangat kental dan sering melihat dinamika dahlan sebagai sesuatu yang harus kembali ditumbuhkan pada generasi kekinian anak muda Muhammadiyah yang bisa jadi terlalu dimanjakan dengan fasilitas, tidak peka, dan tidak berani megabit posisi yang beresiko. Inilah yang hendak penulis novel ini bangun bahwa katakana kebenaran walau rasanya pahit sebagaimana kisah Dahlan dalam khutbahnya di Semarang saat perjalanan haji menuju Tanah suci, Makkah (hlm.117). Bangsa ini akin beranjak menjadi baik jika kata-kata Dahlan itu terus dipraktikkan dalam segala situasi. Bangsa ini tentu tidak akin mendapat predikat bangsa dengan indeks korupsi tertinggi di jagat raya.

Novel ini layak dijadikan bacaan wajib dalam sekolah-sekolah Muhammadiyah baik di tingkat sekolah dasar atau sekolah tinggi dan universities. Buku yang kaya akin literasi dan referensi ini diharapkan akin menggugah semangat untuk ber-uswatun hasanah pada Peiping terdahulu untuk kembali melejitkan ghirah bermuhamamdiyah, berislam, dan berbuat untuk kemanusiaan. Maka, “saya berharap Muhammadiyah benar-benar bertujuan untuk pencerahan kehidupan umat. Bukan untuk repenting pribadi. Maka itu, hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari kehidupan di Muhammadiyah.” (hlm.279). Bebeb hal menarik lainnya adalah pesan-pesan yang penuh inspirasi dan makna dari Dahlan kepada muridnya atau santrinya selama berinteraksi pada saaat-saat penuh tantanggan. Kata-kata berbobot itu layajk dijadikan pelajaran untuk anak didik Muhammadiyah. (hlm.220,221,231,260, 264). Dan salah satu usulan yang sederhana mungkin diantara bab atau penggalan itu dilengkapi foto dokumentasi, atau karikatur yang bisa mengundang perhatian pembaca terutama, pembaca muda yang masih ogah-ogahan dijejali novel apalagi yang namanya teksbook.

Terakhir, Sebagaimana Nabi Muhammad, dalam dakwahnya Dahlan juga mengalami masa-masa sulit seperti perlawanan dari kelompok Islam-tradisi, Langgar yang dirobohkan, dituduh kyai kafir, juga peristiwa mamilukan saat meninggalnya Ibunda tercinta dan Ayahnya. Tapi hasrat perubahan terus dipelihara dalam pikiran dan tindakannya. Lalu, perubahan itu terus bergerak kencang dan bertenaga maniac zaman, sejarahnya yang terus tumbuh dewasa dan terkadang macet ditengah jalan. Tapi karya Dahlan terus dipercayai sebagai kabaikan, kesalahean sosial yang dilandasi keislaman yang membebaskan yang dilandasi akal sucinya untuk menebar rahmat bagi semestaraya. Prestasi baik Darwisy dan Dahlan keduanya itu tak akan musnah dimakan bubuk zaman, taklekang oleh panas dan hujan. Mewakili Penulis novel itu yang ingin mengatakan: Selamat Milad Muhammadiyah ke-100 tahun, semoga tetap energik, bertenaga dalam bergerak memasuki pusaran gelombang kedua di abad kedua ini. Selamat membaca dan salam dari Pengikut Tonggak Sang Pencerah.

Peresensi
David Effendi, Pengikut Tonggak Sang Pencerah
Honolulu, University of Hawaii at Manoa

Retrieved from: http://hiburan.kompasiana.com/group/buku/2010/08/10/ke-islaman-sebagai-tonggak-peroebahan/ (August 10, 2010)

Thursday, August 5, 2010

Spirit Pembaruan Sang Pendobrak

Kompas, Kamis, 5 Agustus 2010 | 02:33 WIB

Oleh: Siti Muyassarotul Hafidzoh*

Judul buku : Matahari Pembaruan: Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan
Penulis : Nasruddin Anshoriy Ch
Penerbit : JB Publisher, Yogyakarta
Cetakan : 1, Juni 2010
Tebal : 188 halaman

Muhammadiyah telah menginjak usianya yang seabad. Gerak Muhammadiyah dalam melintasi jaman terus dijalankan guna mengarungi peradaban utama dengan jejak yang bermanfaat bagi masyarakat. Jejak-jejak Muhammadiyah telah melekat dalam ruang publik bangsa Indonesia, terbukti dengan berdirinya berbagai sekolah, panti asuhan, rumah sakit, dan gerakan sosial lainnya. Semuanya telah menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi modern yang terus menggerakkan kemajuan umat Islam tanpa mengenal lelah, letih, dan putus asa. Gerakan Muhammadiyah sudah menjadi teraket kehidupan bagi para pengurus dan warganya untuk melanjutkan perjuangan para pendirinya.

Usia seabad yang telah tiba saat ini membukakan mata dunia bahwa Muhammadiyah berdiri bukanlah dalam ruang hampa, melainkan melalui sebuah tujuan mulia yang dipijakkan oleh pendirinya. Publik tidak akan bisa melepaskan sosok KH Ahmad Dahlan untuk membuka lembaran ke- Muhammadiyah-an. Dalam diri KH Ahmad Dahlan, gerak dan cita-cita Muhammadiyah terpantulkan. Seorang kiai yang dikenal ulet dalam berorgansasi dan berdagang ini teguh dalam menjalankan amanat agamanya dalam menggerakkan kemajuan dan kegemilangan. Kiai ini tidak mau diam diri melihat berbagai keterbelakangan umat yang sangat mengenaskan.

Sosok kiai kharismatik inilah yang direkam secara menarik dalam buku bertajuk “Matahari Pembaruan: Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan.” KH Ahmad Dahlan, yang bernama asli Muhammad Darwis, lahir di Kampung Kauman Yogyakarta pada 1868. Ayahnya, KH Abu Bakar adalah seorang imam dan khatib Masjid Besar Kauman Yogyakarta, sementara ibunya, Siti Aminah, adalah anak KH Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Darwis ini juga diriwayatkan mempunyai keturunan dengan Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali penyebar agama Islam di pulau Jawa yang dimakamkan di Gresik.

Melihat rekam jejak silsilahnya, Darwis terbukti sebagai keturunan elite Islam di Jawa. Tak salah kalau sejak kecil Darwis mendapatkan pendidikan agama yang ketat dari kedua orang tuanya. Sejak kecil, Darwis sudah lancar membaca Al-Quran, juga mengkaji keilmuan dasar dalam Islam. Bukan hanya dengan ayahnya Darwis berguru, tetapi juga kepada para ulama kesohor di pulau Jawa, termasuk KH Soleh Darat, Semarang, yang juga guru RA Kartini dan KH Hasyim Asy’ari itu. Tidak puas hanya di Jawa, Darwis akhirnya berangkat menuju Tanah Suci, bukan saja untuk menunaikan ibadah haji, tetapi juga berguru dengan para ulama’ besar Indonesia yang bermukim di sana dan juga kepada para ulama’ penting yang terkenal keilmuannya saat itu (hlm. 132).

Salah satu pemikir Islam yang sangat berpengaruh dalam diri KH Ahmad Dahlan saat itu adalah Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho dari Mesir. Kedua pemikir ini telah membangkitkan spirit pembaharuan dalam dunia Islam. KH Ahmad Dahlan benar-benar merasakan ruh kebangkitan pemikiran modern dalam Islam, sehingga terpantul dalam jiwanya untuk melakukan pembaharuan di Indonesia. Jiwanya yang teguh, kuat, dan penuh gagasan, ditambah dengan rangsangan dari pemikiran Muhammad Abduh, KH Ahmad Dahlan semakin matang dirinya untuk segerak kembali ke Indonesia dalam menggerakkan kemajuan bagi masyarakat Islam.

Semangat pembaharuan dalam diri KH Ahmad Dahlan akhirnya terwujud dengan berdirinya Muhammadiyah pada 19 November 1912 M/8 Dzulhijjah 1330 H. Berdirinya Muhammadiyah menandai lahirnya era baru dalam jelajah umat Islam Indonesia. Pada awal abad ke-20, umat Islam Indonesia masih dirundung kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Umat Islam juga masih terjebak dalam ruang mistisisme yang sangat akut, sehingga gagal memaknai pesan kemajuan yang sedang bergulir saat itu. Melihat kondisi inilah, KH Ahmad Dahlan datang untuk mendobrak kejumudan yang terus mengepung umat Islam. Spirit pembaharuannya dibuktikan dengan mendirikan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan lainnya. Semua gerakan itu menjadi ciri khas Muhammadiyah yang berbentuk amal usaha yang ikhlas dan tulus dalam mengabdikan diri kepada umat (hlm. 98).

Sebelum mendirikan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan telah ikut serta dalam pergerakan nasional di Indonesia. Pada tahun 1909, KH Ahmad Dahlan sudah berkenalan dengan Boedi Oetomo (BO) yang kemudian menjadi anggota untuk kring Yogyakarta. Pada tahun 1010, KH Ahmad Dahlan juga menjadi anggota Jamiat Khoir, organisasi Islam yang banyak bergerak dalam bidang pendidikan dan mayoritas anggotanya adalah orang Arab. Keterlibatan KH Ahmad Dahlan dalam kedua organisasi tersebut menjadikan beliau paham dengan masalah berorganisasi dan mengatur organsiasi secara modern serta dapat mempelajari cara berorganisasi modern di kalangan Islam.

Di samping itu, watak Ahmad Dahlan sebagai pendobrak sangat penting akan lahirnya organisasi benama Muhammadiyah. Walaupun beliau hidup di lingkungan keluarga Keraton, tetapi beliau sering turun ke bawah (turba) untuk mendakwahkan Islam tanpa mengenal lelah. Diceritakan bahwa ketika beliau sakit keras, dakwah tak mengendorkan niat beliau untuk terus dijalankan. Walaupun istri dan koleganya meminta beliau untuk istirahat, permintaan itu ditolak dengan halus oleh beliau. Beliau tak rela dengan kondisi umat yang terbelakang. Bahkan beliau berdakwah sampai ke pelosok Surabaya, yakni di Gang Peneleh. Disanalah, HOS Tjokraminoto, Soekarno, Roeslan Abdulghani pertama kalinya mendengarkan penjelasan tentang Islam dari KH Ahmad Dahlan (hlm. 58).

Spirit pembaharuan sang kiai sampai detik seabad ini masih menjulang di Indonesia. Peradaban utama selalu didengungkan untuk menggerakkan perjuangan sang pendobrak. Dalam melanjutkan perjuangan ini, pesan KH Ahmad Dahlan masih snagat terasa sampai sekarang: hidupkanlah Muhammadiyah, jangan mencari kehidupan dalam Muhammadiyah!

*Pustakawan, Peneliti Center for Developing Islamic Education (CDIE) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tuesday, August 3, 2010

KH Ahmad Dahlan, Wong Agung dengan Makam Sederhana

Situs-Situs
KH. A DAHLAN, WONG AGUNG DENGAN MAKAM SEDERHANA
Keletakan
Makam Kyai Haji Ahmad Dahlan terletak di RT 41 RW 11, Kampung Karangkajen, Brontokusuman, Mergangsan, Yogyakarta. Lokasi makam ini berada di belakang Masjid Jami Karangkajen. Keduanya berada di tengah pemukiman penduduk yang padat. Lokasi ini dapat dijangkau melalui Jl. Karangkajen (jika pengunjung menggunakan jalur sisi timur). Jika menggunakan jalur sisi barat pengunjung bisa menjangkaunya melalui Jl. Parangtritis. Tepatnya di sisi selatan Hotel Matahari terdapat gang kecil ke timur. Pengunjung tinggal mengikuti gang ini dan melihat papan petunjuk lokasi makam atau lokasi Masjid Jami Karangkajen. Jika diukur dari Jl. Parangtritis, maka jarak antara makam KHA. Dahlan dan Jl. Parangtritis kurang lebih 1 kilometer.
Kondisi Fisik Makam
Nisan dari KH. Ahmad Dahlan dibuat dengan sederhana. Nisannya hanya berupa pasangan batu bata yang direkatkan dengan semen sambung-menyambung sehingga membentuk bangun persegi panjang. Nisan ini pada bagian tengahnya dibiarkan kosong dan dihias dengan taburan batu kerikil. Jirat dari makam KH. Dahlan hanya satu, yakni di bagian kepala (utara). Jirat ini bertuliskan namanya.
Nisan dari KH. Ahmad Dahlan diletakkan berdampingan dengan nisan kerabat dan keturunannya. Secara keseluruhan kompleks makam di Karangkajen ini kelihatan panas karena minimnya pohon peneduh di dalam makam. Hal ini mungkin memang disengaja karena tumbuhnya banyak pepohonan di areal makam akan menyita bidang-bidang tanah yang bisa digunakan untuk lokasi kuburan.
Luas makam di Karangkajen ini sekitar 2.000 meter persegi. Jika keluasannya dihitung dengan kompleks Masjid Jami Karangkajen, maka keluasannya sekitar 3.000 meter persegi. Demikian menurut penjelasan jurukunci makam setempat yang bernama Mas Bekel Surakso Nurhadi alias Muhammad Nurhadi (55). Kompleks Makam Karangkajen ini diberi pengaman berupa tembok keliling bercat putih yang keberadaannya menyambung (menjadi satu dengan dinding Masjid Jami Karangkajen). Pintu gerbang makam terletak di sisi timur (samping masjid) dan sisi utara (menghadap gang kampung).
Pada kompleks makam Karangkajen ii selain terdapat makam KH. Ahmad Dahlan juga terdapat makam Prof. Fatchurrochman yang dulu pernah menjadi Menteri Agama RI, makam Ir. HM. Baried Ishom seorang tokoh pendiri PKU Muhammadiyah, dan makam KH. Muchtar yang pernah menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama I di Yogyakarta.
Latar Belakang
Kyai Haji Ahmad Dahlan bukan merupakan nama asing bagi bangsa Indonesia bahkan dunia. Bahkan istrinya pun, yakni Nyai Haji Ahmad Dahlan tidak kalah populernya dengan KHA. Dahlan. Melalui buah pikiran dan kiprahnya lahirlah organisasi bernafaskan keagamaan, Muhammadiyah dan PP Aisyiah. Dua organisasi Islam ini telah memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi kemajuan di berbagai bidang. Tidak saja dalam bidang keagamaan atau spiritual, namun juga bidang-bidang sosial, politik, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.
Jasa-jasanya yang besar terhadap kemajuan agama Islam dan pembangunan bangsa Indonesia pada umumnya menyebabkan KHA. Dahlan maupun Nyai Haji Ahmad Dahlan dianugerahi gelar pahlawan nasional. Namanya dikenang abadi tidak saja oleh warga Muhammadiyah, namun juga oleh seluruh bangsa. Ada begitu banyak nama jalan di seantero Indonesia ini yang menggunakan nama KHA. Dahlan dan Nyai Haji Ahmad Dahlan.
KHA. Dahlan memiliki nama kecil Mohammad Darwis. Semasa kanak-kanak dan remaja ia dikenal sebagai sosok yang terampil membuat aneka macam kerajinan dan permainan. Hobinya adalah bermain layang-layang dan gasing. Ia belajar agama (fiqh) pada Kyai Haji Muhamad Saleh. Sedangkan pada Kyai haji Muhsin ia belajar nahwu. Selain itu ia juga banyak belajar kepada Kyai Haji Abdul Hamid dan Kyai Haji Muhammad Nur.
KHA. Dahlan dikenal sebagai orang gemar membaca dan mencari ilmu. Sebelum naik haji ia banyak membaca kitab-kitab Ahlussunah wal jamaah dalam ilmu alqaid dari mashab Syafii dalam ilmu fiqh, dan ilmu-ilmu tasawuf dari Imam Ghazali. Pada saat naik haji pertama kali ke Mekkah tahun 1888, KHA. Dahlan juga banyak belajar pada para ulama.
Untuk ilmu hadits ia belajar kepada Kyai Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar ilmu qiraah kepada Syekh Amien dan Sayid Bakri Syatha, belajar ilmu falaq pada K.H. Dahlan Semarang, Ia juga pernah belajar pada Syekh Hasan tentang cara-cara atau mengobati racun binatang. Selain dengan guru-guru di atas, selama delapan bulan di tanah suci, ia sempat bersosialisasi dengan Syekh Akhmad Khatib dan Syekh Jamil Jambek dari Minangkabau, Kyai Najrowi dari Banyumas, Kyai Nawawi dari Banten, para ulama dari Arab, serta pemikiran baru yang ia pelajari selama mukim di di Mekkah.
Tanggal 18 November 1912 ia mendirikan organisasi Islam, Muhammadiyah. Melalui organisasi ini ia ingin mengubah cara berpikir, bertindak, berperilaku, beramal, dan berdoa menurut agama Islam. Ia ingin mengajak umat Islam kembali kepada Al Qur’an dan Al Hadis. Sejak awal pendirian organisasi ini KHA. Dahlan telah menyatakan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik namun organisasi yang bersifat sosial dan bergerak pada bidang pendidikan.
Apa yang dilakukan oleh KHA. Dahlan ini bukannya tidak mendapatkan penolakan, penentangan, fitnah, dan sebagainya. Bahkan resistensi itu juga muncul di dari kerabat-kerabatnya sendiri. Ia dituduh akan mendirikan agama baru yang bertentangan dengan Islam. Ia juga dituduh sebagai kyai palsu karena gagasan atau cara berpikirnya meniru bangsa Barat (Belanda). Bahkan ia juga dituduh meniru-niru cara hidup orang Kristen. Tidak aneh jika di masa itu ia menjadi sasaran kebencian dari banyak orang, khususnya yang tidak atau belum bisa memahami jalan pemikirannya. Sekalipun demikian banyak orang menentang buah pikirannya, KHA. Dahlan tidak menyerah. Ia menghadapi semuanya itu dengan sabar dan tabah.
Tanggal 20 Desember 1912 KHA. Dahlan mengajukan ijin pada pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum bagi organisasi Muhammadiyah yang baru saja dibentuknya. Pemerintah kolonial Hindia Belanda waktu itu memiliki kekhawatiran terhadap organisasi yang didirikan KHA. Dahlan ini. Dengan berbagai pertimbangan ijin atau badan hukum untuk organisasi Muhammadiyah ini keluar juga selang dua tahun kemudian, yakni pada tanggal 22 Agustus 1914, dengan nomor SK 18.
Atas jasa-jasanya dalam membangkitkan kesadaran bangsa melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkan KHA. Dahlan sebagai Pahlawan Nasional. Penetapan ini dituangkan dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961.
a. sartono
Retrieved from: http://www.tembi.org/situs/20100722.htm (August 3, 2010)

Monday, August 2, 2010

Amien Rais di Mata Sang Anak

Kompas, Rabu, 28 Juli 2010 | 01:36 WIB

Oleh: Ali Rif’an*

Judul : Menapak Jejak Amien Rais; Persembahan Seorang Putri untuk Ayah Tercinta
Penulis : Hanum Salsabiela Rais
Penerbit : Esensi Group Erlangga
Tahun : I, 2010
Tebal : 284 halaman

Sudah banyak buku yang membincang tokoh Amien Rais dan tak jarang dicetak ulang. Tetapi buku yang ditulis oleh orang terdekat, pernah bergumul dengan sang tokoh sejak lahir dan merasakan suka duka bersamanya tentu masih nihil. Hanum Salsabiela Rais—putri kandung Amien Rais—melalui karya bagusnya Menapak Jejak Amien Rais; Persembahan Seorang Putri untuk Ayah Tercinta ini mencoba menyajikan sesuatu yang bebeda.

Buku ini memuat rekam-jejak perjalan tokoh reformasi nomor wahid dengan amat mengagumkan. Di mulai dari kisah-kisah perjuangan Amien Rais sebelum dan sesudah reformasi digulirkan, sampai obrolan gayeng (cair) bersama keluarga di meja makan, di mushola setelah shalat bersama, di depan televisi, ataupun saat berada dalam mobil bersama dalam sebuah perjalanan.

Di mata anaknya, Pak Amien—panggilan hormat Amien Rais—dikenal sebagai sosok yang bersahaja, berprinsip kuat, dan kental dengan nuansa relegius. Kebersahajaan Pak Amien ini tak lepas dari alam bawah sadarnya yang pernah disesaki tradisi kraton yang sangat menjunjung tinggi tata krama (sopan santun). Prinsip kuatnya terlihat dari berbagai manuver politiknya yang sulit untuk dikalahkan. Pak Amien selalu memperjuangkan apa yang ia yakini. Ia acap mendengarkan apa kata intuisi ketimbang imaji. Sementara nuansa religiusnya terlihat dari kehidupan sehari-hari Pak Amin yang dijalani dengan riuh rendah dan masih menjunjung tinggi nilai-nilai salafi. Seperti menjalankan tradisi puasa daud ataupun melanggengkan wudhu.

Barangkali, Pak Amien ini sosok yang amat berbeda dari kebanyakan politisi lainnya. Meski tidak hidup bergelimang kemewahan, keluarga Pak Amien sangat concern terhadap pendidikan putra-putrinya. Salah satunya adalah tradisi membaca yang kuat, berikut penekanan pada penguasaan bahasa asing. Perhatian pada keluarganya juga diberikan pada pembentukan karakter, kemandirian dan konsistensi. Putra-putri dibiarkan hidup mandiri, diajarkan kesulitan hidup, mencoba hal-hal baru dan berbuat kesalahan, membuat keputusan dan bertanggung jawab pada pilihan yang diambil (hlm. 53).

Buku ini menjadi berbobot lantaran dua hal. Pertama, bercerita tentang ketokohan seorang politisi ulung yang sudah diakui Indonesia, bahkan dunia. Tentu perjuangan Pak Amin pada arena menjelang reformasi 1988 kemudian saat menjabat Ketua MPR RI (1999-2004) dan dilanjutkan dengan pencalonan presiden 2004 akan menarik untuk disimak. Sebab, semangat amar ma'ruf nahi munkar yang menjiwai keberanian Pak Amien menggulirkan isu suksesi kepemimpinan berhadapan rezim Soeharto, berikut kegetolannya dalam mengkritisi isu-isu sensitif nasional dan kebijakan pemerintah yang plin-plan menjadikan buku ini memiliki selling point yang tinggi.

Kedua, buku ini ditulis oleh orang terdekat sekaligus pernah bergelut di dunia jurnalistik televisi. Tak pelak, latar belakang Hanum sebagai kuli tinta (baca: wartawan) serta kelihaiannya dalam meracik kata, tentu sangat berpengaruh terhadap gaya bahasa yang dituturkannya, sehingga buku yang diproyeksikan sebagai kado ulang tahun Pak Amien di umurnya yang ke 66 ini menjadi enak untuk dibaca. Ringan tetapi dalam. Reflektif sekaligus elaboratif.

Sesuai dengan judulnya, buku ini memang tidak melulu mengupas sosok mantan ketua MPR tersebut dalam ranah politik. Hanum justru lebih banyak bertutur ihwal kehidupan sehari-hari ayahandanya. Misalnya kehidupan ayahandanya ketika menyusuri setiap pelosok sudut kota dan desa, atau cara bercanda Pak Amien yang acapkali membuat hangat suasana keluarga.

Lebih dari itu, buku ini juga disajikan dengan bahasa ringan ala novel. Pembaca akan hanyut dalam menyusuri tiap jengkal lembar karya heroik ini. Kita acap terjebak pada suasana yang mengharukan, menggelikan, berikutnya menegangkan. Karena sebagai keluarga dan anak, Hanum tentu memiliki banyak kisah dan pelajaran penting dari ayahnya yang belum atau tidak diketahui banyak orang. Sosok Pak Amien, di sini, berusaha dipotret lewat sisi lain yang selama ini belum banyak terungkap kepada publik melalui media.

Ada cerita menarik. Suatu hari, di siang yang panas, Pak Amien pernah memerintahkan Hanum untuk membeli sapu kepada pedagang asongan yang lewat di depan rumahnya. Dalam hati, Hanum bertanya-tanya alasan ayahnya merasa perlu membeli sapu lagi. Sebab, sapu di rumah masih ada dan kondisinya masih bagus. Namun, setelah menerima uang 10 ribu dari sang ayah, Hanum bergegas keluar membeli sapu tersebut. Tak berapa lama kemudian ia kembali masuk rumah dan membawa sapu sambil menyerahkan uang kembalian Rp 6.500. Sapu tersebut ditawar oleh Hanum dari harga pertama Rp 7.000 hingga akhirnya dilepas dengan harga Rp 3.500. Dengan bangga Hanum berkata pada ayahnya, “Lumayan kan Pak, sapunya bisa terbeli dengan setengah harga,” katanya.

Namun, di luar dugaan, pernyataan Hanum yang disampaikan sambil lalu itu mendapat reaksi begitu serius dari Pak Amien. Raut muka mantan ketua umum PP Muhammadiyah yang tadinya sedang santai menonton televisi tersebut mendadak berubah. Pak Amien kemudian menyuruh Hanum untuk mengejar pedagang itu seraya memberikan uang kembalian Rp 6.500. Di sinilah Hanum mendapat pelajaran berharga. Dalam hati, ia merasa bangga dengan kepekaan dan kebesaran hati ayahnya.

Kelebihan sekaligus kekurangan
Kelebihan yang mungkin juga akan menjadi kekurangan buku ini adalah ditulis oleh anak Amien Rais sendiri. Kelebihannya terletak pada akurasi sumber data yang disajikan tentu saja akan mendalam. Seperti dalam penelitian, paradigma kualitatif dengan seperangkat metode pengambilan data live in dengan yang diteliti akan memberikan informasi yang akurat, meski bumbu-bumbu “ketidakobjektifan” akan selalu dituduhkan.

Karena pendekatan penulisan buku ini lebih menyerupai dairy writing. Kita sesekali juga akan menemukan rupa-rupa narsisme dalam buku ini yang, barangkali, tidak perlu disebutkan. Tetapi apapun itu, buku ini layak sekali untuk dimiliki. Sebab, ketokohan Pak Amien sebagai politisi-pemikir yang memiliki pengaruh besar di negeri ini akan serasa penting untuk dijadikan inspirasi sekaligus referensi.

*) Ketua Umum FLP Ciputat, Peneliti di Community of People Against-Corruption (CPA-C) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.