Tuesday, July 6, 2010

Dua Dimensi Muhammadiyah

Kompas, Sabtu, 3 Juli 2010 | 02:41 WIB

Oleh Azyumardi Azra

Muktamar Muhammadiyah di Yogyakarta, 3-8 Juli 2010, ini memiliki banyak makna penting. Muktamar organisasi yang didirikan di Yogyakarta pada 1912 itu kini sudah mencapai usia seabad menurut perhitungan kalender Hijriah.

Dilihat dari segi usia, Muhammadiyah menunjukkan dirinya sebagai organisasi ”tahan banting”, yang menempuh perjalanan panjang sejak masa kolonialisme Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru, dan kini masa demokrasi. Dalam perjalanan panjang itu, Muhammadiyah merupakan salah satu dari sedikit ormas Islam yang tak hanya stabil dan konstan, bahkan kian berkembang dengan berbagai organisasi sayap dan lembaga amal usahanya, mulai dari dakwah, pendidikan, kesehatan, panti asuhan, hingga ekonomi.

Dalam usia seabad, sepatutnya Muktamar Muhammadiyah mengkaji ulang secara kritis berbagai aspek organisasi, baik terkait dengan paham keagamaan, pengembangan organisasi, maupun lembaga. Evaluasi diri perlu agar dapat lebih ”menggembirakan” dan ”memakmurkan” organisasi; sekaligus guna meningkatkan peran pada tingkat lokal, nasional, dan internasional yang terus mengalami perubahan.

Bagaimanapun, Muhammadiyah merupakan Islamic-based civil society (IBCS) yang perannya kian dibutuhkan di tengah dinamika keagamaan dan politik yang semakin kompleks di Indonesia dalam dasawarsa terakhir, ketika eksplosi dan euforia demokrasi menemukan momentum yang sampai sekarang ini belum sepenuhnya menyurut. Pada saat yang sama berbagai ekses dinamika politik demokrasi itu juga masih berlanjut; mengakibatkan konsolidasi demokrasi, penciptaan good governance, dan pemberantasan korupsi masih merupakan agenda yang belum selesai juga.

Politik dan fikih keadaban

Di tengah perkembangan dan dinamika politik yang belum sepenuhnya sesuai harapan, Muhammadiyah beserta ormas-cum-masyarakat madani berbasiskan agama lainnya masih diharapkan masyarakat dapat memainkan peran lebih besar lagi. Meski sejak Pemilu 1999, 2004, sampai 2009 terlihat pengaruh dan leverage Muhammadiyah dan NU, misalnya, kian memudar terhadap para anggotanya dalam voting behavior, tetap saja ormas-ormas sekaligus IBCS ini tidak bisa diabaikan begitu saja.

Menurut survei barometer nasional yang hampir setiap tahun dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mayoritas responden misalnya berharap ormas- ormas IBCS dapat meningkatkan peran lebih maksimal dalam membangun keadaban (civility) dan budaya kewargaan (civic culture) yang instrumental bagi konsolidasi demokrasi. Demokrasi tanpa keadaban dan budaya kewargaan bakal berujung pada konflik, kekerasan, dan anarki, seperti masih terus bisa disaksikan dalam sejumlah pemilihan umum kepala daerah di beberapa daerah sampai hari ini.

Pada saat yang sama, penguatan keadaban dan kewargaan dapat memberikan kontribusi penciptaan good governance dengan pendekatan dari bawah (bottom-up), persisnya dari masyarakat akar rumput. Melalui penguatan kembali nilai-nilai moral dan etik yang selalu menjadi salah satu tema pokoknya, Muhammadiyah dapat meningkatkan peran dalam penumbuhan dan fungsionalisasi keadaban dan budaya kewargaan dari bawah.

Sayang harapan itu belum mendapatkan perhatian memadai dari Muhammadiyah. Pemikiran tajdid (pembaruan) Muhammadiyah masih saja berkutat terutama pada masalah-masalah fikih ”halal-haram” yang kaku. Kecenderungan berpikir legalistik bahkan terlihat kian kuat di kalangan elite Muhammadiyah sejak dari pusat sampai ranting; di dalam Muhammadiyah sendiri terjadi perdebatan dan kontestasi fiqhiyyah yang seolah tidak pernah selesai. Hal ini merupakan karakter fiqhiyyah yang lazim mengandung berbagai perbedaan seperti sudah lazim sejak zaman Islam klasik.

Sebab itu, Muktamar Yogyakarta kali ini seyogianya dapat menghasilkan kesepakatan tentang orientasi baru Muhammadiyah; dari sekadar fikih ”halal-haram” kepada juga fikih sosial-politik. Jika Muhammadiyah, misalnya, selama ini menekankan fatwa fikih tentang haramnya rokok, sepatutnya pula Muhammadiyah memberi perhatian pada fikih keadaban dan fikih kewargaan, dan bahkan fikih good governance. Fikih-fikih seperti ini awalnya dapat diterapkan di lingkungan Muhammadiyah sendiri, untuk kemudian dikembangkan ke tingkat lebih luas, sehingga memungkinkan bagi Muhammadiyah melintasi peran pada bidang-bidang konvensional selama ini.

Revitalisasi ”Washatiyyah”

Tantangan bagi Muhammadiyah tidak hanya menyangkut fikih sosial-politik dengan orientasi baru tadi, tetapi juga berkaitan dengan pemikiran dan gerakan keagamaan yang tumbuh cepat bersamaan dengan eksplosi demokrasi dan kebebasan. Ini terlihat dari berbagai gejala yang bukan tidak mencemaskan, misalnya dalam bentuk terorisme atas nama agama yang masih belum sepenuhnya bisa diatasi aparat kepolisian, pemerintah, dan masyarakat. Gejala lain adalah meningkatnya kecenderungan berbagai bentuk intoleransi; kelompok-kelompok tertentu atas nama Islam memaksakan pemahaman dan praktik keagamaan sendiri kepada bagian komunitas Islam lain yang menganut pemahaman yang berbeda. Gejala intoleransi ini bukan pula tidak ada di dalam Muhammadiyah sendiri.

Meningkatnya gejala pemahaman, gerakan, dan tindakan seperti itu selain terkait dengan perkembangan sosio-budaya, politik, dan ekonomi yang menimbulkan disorientasi, juga karena peningkatan arus pemikiran dan gerakan Islam trans-nasional ke Indonesia. Pemikiran dan gerakan Islam trans-nasional memang tidak selalu identik dengan kekerasan atau bahkan terorisme; karena juga terdapat yang bersifat damai, toleran, non-politis, dan inklusif. Namun, juga jelas gerakan trans-nasional terakhir ini tak banyak menarik minat kebanyakan umat Islam Indonesia, khususnya warga Muhammadiyah. Justru yang lebih memikat bagi sementara kalangan Muhammadiyah dan Muslim Indonesia lainnya adalah pemikiran dan gerakan trans-nasionalisme yang menekankan literalisme baik pada teologi maupun fikih yang hampir tidak menyisakan ruang bagi akomodasi dan inklusivisme.

Di sinilah tantangan pokok Muhammadiyah dalam hal keagamaan; persisnya revitalisasi dan pemberdayaan paradigma teologis dan fikih ”jalan tengah” atau washatiyyah, tidak terlalu ke kanan atau ke kiri. Dengan prinsip washatiyyah itulah Muhammadiyah dapat membangun ummatan washatan, yang dalam istilah Qur’ani disebut sebagai khayru ummah —umat terbaik. Tidak hanya itu; dengan prinsip washatiyyah itu pula Muhammadiyah dapat terus berkembang di tengah gejolak perubahan dan tantangan zaman.

Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Council on Faith, World Economic Forum, Davos

No comments:

Post a Comment