Thursday, January 21, 2016

Sejarah Kepanduan Hizbulwathan


Dari ENSIKLOPEDI UMUM (1962/1967-1971/1973 – Kanisius, Yogyakarta) dapat dikutip dan diangkat kesaksian dan pernyataan sejarah sebagai berikut: “MUHAMMADIYAH sejak berdirinya maju pesat; jumlah anggotanya naik cepat. Berhasil mendirikan banyak rumah sekolah, memberikan kursus-kursus agama, mendirikan poliklinik, perumahan anak yatim-piatu, dll. Pengajaran modern untuk anak-anak perempuan sangat diperhatikan. Bagian wanitanya AISYIYAH, berdiri sendiri. Gerakan pemudanya ialah Kepanduan HIZBUL WATHON.”

Pernyataan dan kesaksian sejarah Hizbul Wathan juga terukir di dalam ENSIKLOPEDI ISLAM (Jilid-2, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994) sebagai berikut, “HIZBUL WATHAN (Arab=pembela tanah air), nama barisan pandu (sekarang pramuka) Muhammadiyah. Hizbul Wathan berazaskan: 1) Agama Islam dengan maksud: (a) Memasukkan pelajaran agama Islam dalam Undang-Undang dan Perjanjian Hizbul Wathan dan dalam syarat mencapai tingkat kelas; (b) Memperdalam dan meresapkan jiwa Islam dalam latihan kepanduan dan memajukan amal ibadat sehari-hari; 2) Ilmu Jiwa, yang dipakai dalam kegiatan belajar dan bermain; 3) Kemerdekaan dalam bekerja dan latihan. Tujuan dan maksud Hizbul Wathan adalah membimbing anak-anak dan pemuda supaya kelak menjadi orang Islam yang berarti.”

HIZBUL WATHAN pada mulanya adalah nama madrasah yang didirikan oleh KH. Mas Mansur di Surabaya pada tahun 1916 setelah ia meninggalkan organisasi Nahdatul Wathan yang dibentuknya bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah.

Muhammadiyah mengambil nama itu menjadi perkumpulan pandunya yang didirikan pada tahun 1918 di Yogyakarta. Gagasan pembentukan barisan kepanduan Hizbul Wathan dalam Muhammadiyah muncul dari KH. Ahmad Dahlan sekitar tahun 1916 ketika beliau kembali dari perjalanan tabligh di Surakarta pada pengajian SAFT (Sidiq, Amanah, Fathonah, Tabligh) yang secara rutin diadakan di rumah KH. Imam Mukhtar Bukhari. Di kota tersebut beliau melihat anak-anak JPO (Javansche Padvinders Organisatie) dengan pakaian seragam sedang latihan berbaris di halaman pura Mangkunegaran. Sesampainya di Yogyakarta, beliau membicarakannya dengan beberapa muridnya, antara lain Sumodirjo dan Sarbini, dengan harapan agar pemuda Muhammadiyah juga dapat diajar tentang kepanduan guna berbakti kepada Allah Swt. Sejak pembicaraan itu mulailah Sumodirjo dan Sarbini merintis berdirinya di dalam Muhammadiyah. Kegiatan pertama banyak diarahkan pada latihan baris-berbaris, olah raga, dan pertolongan pertama pada kecelakaan. Pada setiap Ahad sore para peserta dilatih dengan kegiatan-kegiatan di atas, pada malam Rabu mereka diberikan bekal keagamaan. Dari cikal bakal itu lahirlah Hizbul Wathan pada tahun 1918, pada waktu itu bernama Padvinder Muhammadiyah. Kemudian, karena dianggap kurang relevan, atas usul H. Hadjid nama itu ditukar menjadi Hizbul Wathan.

Susunan pengurus dan personalianya yang pertama adalah: Ketua H. Mukhtar Bukhari, Wakil Ketua H. Hadjid, Sekretaris Sumodirjo, Keuangan Abdul Hamid, Organisasi Siraj Dahlan, Komando Sarbini dan Damiri. Untuk memajukan Padvinder Muhammadiyah ini, para pengurus mengambil pedoman pelajaran dari JPO Surakarta.

Setelah tahun 1924 Hizbul Wathan berkembang di Jawa, bahkan telah dapat melebarkan sayapnya ke luar Jawa. Cabang-cabang baru Hizbul Wathan kian banyak berdiri. Cabang pertama yang berdiri di luar Jawa ialah di Sumatra Barat, yang dibawa oleh wakil-wakil yang menghadiri Kongres Muhammadiyah ke-17 di Yogyakarta pada tahun 1928. Dalam kesempatan itu wakil-wakil tadi tinggal beberapa lama di Yogyakarta setelah Kongres usai guna mempelajari dan ikut latihan kepanduan; dengan modal itu mereka mengembangkan kepanduan di daerah yang mengutusnya.

Peranan Hizbul Wathan banyak terlihat pada sektor penanaman semangat cinta tanah air kepada para pemuda. Dari benih-benih itu menjelmalah kekuatan yang bertekad ikut serta dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Di samping itu, latihan-latihan kepanduan mempunyai andil yang besar dalam melatih kader-kader bangsa dalam menghadapi kaum kolonial yang sedang mencengkeramkan kukunya di Indonesia. Latihan-latihan itu ternyata membuahkan hasil yang baik di kalangan pemuda. Dari barisan Hizbul Wathan ini muncul sederetan tokoh yang cukup handal, seperti Sudirman, KH. Dimyati, Surono, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, Kasman Singodimedjo, Adam Malik, Suharto, M. Sudirman, Sunandar Priyosudarmo, dan lain-lain. (Ensiklopedi Islam, I.B. Van HOEVE, Jilid II, hal. 119-120)

Ketika Jepang masuk, secara organisatoris Hizbul Wathan lebur, sesuai dengan kehendak Jepang yang membubarkan segenap organisasi yang ada pada waktu itu. Meskipun demikian, aktivis-aktivis Hizbul Wathan tetap berkiprah dalam organisasi-organisasi yang didirikan oleh Jepang seperti Keibondan, Seinendan, PETA, Hizbullah, dan sebagainya.

Dalam organisasi-organisasi tersebut malah para anggota Hizbul Wathan memegang peranan yang penting.

Setelah Kemerdekaan Indonesia, para pemuda banyak diarahkan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Segala perkumpulan pandu yang ada sebelumnya dilebur dan disatukan dalam satu wadah kepanduan yaitu Kesatuan Kepanduan Indonesia. Dalam rapat yang diadakan di Surakarta pada tgl. 27-30 Desember 1945 diputuskan pembentukan Pandu Rakyat Indonesia yang menyatukan segenap pandu yang ada di Indonesia dalam satu naungan guna mempererat tali persatuan dan kesatuan dalam rangka mempertahankan kemerdekaan yang masih amat muda pada saat itu.

Beberapa tahun kemudian situasi politik mulai berubah dan Pandu Rakyat Indonesia yang dibentuk pada tahun 1945 dirasakan tidak begitu efektif lagi. Oleh karena itu, pada tahun 1950 Hizbul Wathan mulai diaktifkan lagi. Sejak itu Hizbul Wathan mulai merata kembali anggota-anggotanya dan organisasinya secara umum di samping mengembangkannya ke seluruh tanah air di mana Muhammadiyah ada. Kegiatan tersebut berjalan terus sampai terbitnya Keputusan Presiden no.238 tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka yang mengharapkan agar segenap organisasi kepanduan yang ada di Indonesia meleburkan diri dalam perkumpulan Pramuka.

Dalam rangka memenuhi seruan tersebut, maka gerakan kepanduan Hizbul Wathan dalam suratnya tgl. 8 Juni 1961 kepada Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka menyatakan bersedia meleburkan diri dalam perkumpulan Gerakan Pramuka. Surat tersebut ditandatangani oleh HM. Mawardi dan H. Amin Luthfi, masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris Majlis Hizbul Wathan Yogyakarta.

Sebagai anak dari organisasi Muhammadiyah, Hizbul Wathan terkait erat dengan cita-cita Muhammadiyah. Hal ini tercermin dari Keputusan Kongres tahun 1938 yang menyatakan bahwa sebagai pemuda Muhammadiyah, anak-anak Hizbul Wathan harus membiasakan diri mengamalkan pekerjaan dalam Muhammadiyah, mereka harus siap menolong dan berjasa untuk keperluan Muhammadiyah khususnya dan agama Islam umumnya.

Keanggotaan Hizbul Wathan terdiri dari tiga tingkatan. Tingkat I disebut tingkat athfal yang diperuntukkan bagi anak-anak berumur 6-12 tahun, yang dibedakan lagi Athfal Melati, Athfal Bintang Satu dan Athfal Bintang Dua. Tingkat II disebut Pengenal, umur 12-17 tahun, yang terdiri dari Tangga I kelas III, Tangga II kelas II, Tangga III kelas I. Di atasnya lagi ada tingkat Penghela, untuk 17 tahun ke atas. Perbedaan yang ada dalam tingkat ditentukan oleh kemampuan masing-masing anggota dalam latihan dan pelajaran.

http://hizbulwathan.com/sejarah-kepanduan-hizbulwathan/

Tuesday, January 19, 2016

Hamka’s Great Story A Master Writer’s Vision of Islam for Modern Indonesia


Hamka’s Great Story
A Master Writer’s Vision of Islam for Modern Indonesia

New Perspectives in Southeast Asian Studies
Alfred W. McCoy, Thongchai Winichakul, I. G. Baird, Katherine Bowie, and Anne Ruth Hansen, Series Editors
Fully modern, fully Muslim, fully Indonesian
Hamka’s Great Story presents Indonesia through the eyes of an impassioned, popular thinker who believed that Indonesians and Muslims everywhere should embrace the thrilling promises of modern life, and navigate its dangers, with Islam as their compass.

Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) was born when Indonesia was still a Dutch colony and came of age as the nation itself was emerging through tumultuous periods of Japanese occupation, revolution, and early independence. He became a prominent author and controversial public figure. In his lifetime of prodigious writing, Hamka advanced Islam as a liberating, enlightened, and hopeful body of beliefs around which the new nation could form and prosper. He embraced science, human agency, social justice, and democracy, arguing that these modern concepts comported with Islam’s true teachings. Hamka unfolded this big idea—his Great Story—decade by decade in a vast outpouring of writing that included novels and poems and chatty newspaper columns, biographies, memoirs, and histories, and lengthy studies of theology including a thirty-volume commentary on the Holy Qur’an. In introducing this influential figure and his ideas to a wider audience, this sweeping biography also illustrates a profound global process: how public debates about religion are shaping national societies in the postcolonial world.

Author. Photo credit, Name James R. Rush is an associate professor of history at Arizona State University. He is the author of Opium to Java: Revenue Farming and Chinese Enterprise in Colonial Indonesia, 1860–1910, The Last Tree: Reclaiming the Environment in Tropical Asia, and numerous biographical essays about contemporary Asian activists, humanitarians, and public intellectuals in the Ramon Magsaysay Awards book series and website. 



https://uwpress.wisc.edu/books/5456.htm#pk

Sunday, January 10, 2016

Teologi Mustad’afin di Indonesia: Kajian atas Teologi Muhammadiyah

Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islan, Vol 7, No 2 (2011): 345-374

Teologi Mustad’afin di Indonesia: Kajian atas Teologi Muhammadiyah
Sokhi Huda

Abstract

Mustad’afin Theology in Indonesia is the new face of  al-Ma’un theology initiated by the Ahmad Dahlan. It eventually accumulates with more extensive issues and involves partnerships with other parties in order to achieve its praxis strategy. The basic assumption of  this theology is that the practice of  worship must be directly related to social concerns, with a foundation of monotheism that manifests itself  into the realm of  praxis. This finally leads to the key words of “social unity” and “social rituals” which are then developed in the context of contemporary nationhood and statehood in Indonesia. Moreover, its epistemology primarily comes from: (1) Wahhabi-Salafi ideology of  Rashid Rida, (2) the idea of    education reform of  Muhammad ‘Abduh, and (3) theology of al-Ma’un of Ahmad  Dahlan. These three basic epistemologies are equipped with a significant adaptation to seven factors, in order to be accepted as a theology of  liberators movement in Indonesia. The performance of  Mustad’afin theology is a theology that does social defense for the following conditions: (1) oppression of faith, (2) retardation, (3) suffering of economic and social status, (4) moral suffering, and (5) the threat of theologies and the existence of Indonesia. Finally, it implies the necessity of  Mustad’afin Islamic Jurisprudence to regulate the conduct of  worship and social community. Furthermore, the exclusive part of  Wahhabi-Salafi Islamic jurisprudence is no longer posed.

Keywords

Teologi Mustad'afin; fikih Musta'afin; teologi Profetik; teologi Pembahasan; strategi praksis

Download

Tuesday, January 5, 2016

Kitab Kuning dan Kitab Suci: Pengaruh Al-Jabiri terhadap Pemikiran Keagamaan di NU dan Muhammadiyah

 Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol 41 No. 1, Juni 2015

Ahmad Najib Burhani
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Email: najib27@yahoo.com


Abstract
This article aims to answer the following questions: First, why did the study of al-Jabiri’s ideas so fertile in NU (Nahdlatul Ulama), especially among the post-traditionalist group, while in Muhammadiyah, including the progressive group, this did not receive a similar response? Second, how did the post-traditionalist group of NU read and interpret al-Jabiri’s ideas and implement them in the context of the organization (NU), in particular, and Indonesia, in general. This article shows that: 1) the difference between NU and Muhammadiyah in their treatment and appreaciation to al-Jabiri mostly stems from the religious tradition in these two organizations. NU’s tradition is strongly influenced by kitab kuning, while Muhammadiyah’s tradition is strongly influenced by kitab suci (holy book). 2) The study of a-Jabiri’s ideas encourages critical thought and discourse within NU, particularly when these ideas were used as a tool to read established doctrines, e.g. the sunni doctrine, and to read the involvement of NU in the 1965 massacre.

Keywords: post-tradisionalism, modernism, ‘aṣāla (authenticity), ‘ar al-tadwīn (era of codification), turāth (heritage), tradition, nahḍa (renaissance).

Abstrak
Tulisan ini ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Pertama, mengapa kajian tentang pemikiran al-Jabiri begitu subur di lingkungan NU (Nahdlatul Ulama), terutama kelompok post-tradisionalis, sementara di lingkungan Muhammadiyah, termasuk kelompok progresifnya, kajian al-Jabiri tidak mendapat respon serupa? Kedua, bagaimana kelompok post-tradisionalis NU membaca pemikiran al-Jabiri dan menerjemahkannya dalam konteks ke-NU-an dan ke-Indonesiaan? Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa: 1) Perbedaan sikap antara NU dan Muhammadiyah dalam mengapresiasi pemikiran al-Jabiri terutama disebabkan karena tradisi keberagamaan yang berkembang di NU banyak dibentuk oleh Kitab Kuning, sementara di Muhammadiyah, Kitab Suci lebih dominan dalam membentuk tradisinya. 2) Kajian tentang al-Jabiri telah melahirkan nalar kritis di NU terutama katika mereka membaca doktrin dan wacana yang selama ini telah mapan seperti Aswaja dan keterlibatan NU dalam peristiwa 1965.

Kata kunci: post-tradisionalisme, modernism, ‘aṣāla (otentisitas), ‘ar al-tadwīn (era kodifikasi), turāth (heritage), tradisi, nahḍa (renaisans).

Sunday, January 3, 2016

Pergulatan Pemikiran Melawan Arus: Penyempalan dalam Tubuh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah

Ulumuna: Journal of Islamic Studies, Vol. 11 No. 2 (2007): 237-264

Mutawalli Mutawalli

Abstract

Political reform after the resign of the former president Suharto in 1998, open the channel of freedom of expression for the people of Indonesia. This enables the Muslims, as the majority of the Indonesian people to express their thoughts in any forms – either orally or in action. This condition resulted in the existence of the liberal progressive movement in Nahdlatul Ulama and Muhamadiyah. The intellectual critical attitude of the young generation in the Nahdlatul Ulama form some institutions such as Liberal Islamic Networks, Islamic Emancipators, Religious study and Democratic Institution, Islamic Study and Social Institution, Human Resource Development Institution; in Muhammadiyah, Muhammadiyah Youth Islamic Networks leads the thought reform. This phenomenon is a concept of dialectical process, communication, and expression of social reality—movements and thoughts are responses of the dialectical thought in the society. Liberal progressive thought appears to be contradictive, even.

Keywords

Sempalan; Muhammadiyah; Nahdlatul Ulama; Pergulatan Pemikiran; Intelektual Muda.

Full Text:
Untitled
References

Ahmad Baso, “JIMM: Sebuah “Teks’ Multitafsir”, Republika, 24 Maret 2004.

_________, “Neo-Modernisme Islam Versus Post-Tradisionalisme Islam”, Jurnal Tashwirul Afkar, vol. 10 (2001).

Ahmad Najib Burhani, “JIMM: Pemberontakan Anak-anak Muda Terhadap Aktivisme, Skripturalisme dan Orientasi Struktural di Muhammadiyah”, http//www.islamlib.com; diakses 15 Desember 2005.

Akhmad Minhadji, “Ushul Al-Fiqh: Metodologi Memahami Wahyu dalam Mencari Kebenaran”, dalam Makalah yang disampaikan pada acara Pelatihan Metodologi Ilmu Kesyari'ahan di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus, 1 November 2000.

Arsyad Hidayat, “Mencari Islam Alternatif Perjalanan Seorang Mahasiswa al-Azhar”, Jurnal Tashwirul Afkar, vol. 8 (2000).

Boy Pradana ZTF., Islam Dialektis: Membendung Dogmatisme, Menuju Liberalisme (Malang: UMM Press, 2005).

Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004).

Greg Barton, “Liberalisme Dasar-Dasar Progresifitas Pemikiran Abdurrahman Wahid”, dalam Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama Negara, ed. Greg Fealy dan Greg Barton (Yogyakarta: LKiS, 1997).

Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid (Jakarta: Paramadina, 1999).

Kamaruzzaman Bastaman Ahmad, Wajah Baru Islam di Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 2004).

Khudari Soleh, Pemikiran Islam Kontemporer, ed. Khudari Saleh (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003).

M. Arif Hidayat, “KMNU, Al-Azhar, dan Generasi Baru”, Jurnal Tashwirul Afkar, vol. 6 (1999).

Moeslim Abdurrahman, “Pengantar”, dalam Pradana Boy dan M. Helmi Faiq (ed.), Kembali ke al-Qur'an Menafsir Makna Zaman (Malang: UMM-Press).

Moeslim Abdurrahman, Islam yang Memihak (Yogyakarta: LKiS, 2005).

Pradana Boy dan M. Helmi Faiq (ed.), Kembali ke al-Qur'an Menafsir Makna Zaman (Malang: UMM-Press, 2004).

Pramono U. Tanthowi, “Muhammadiyah dan Islam Liberal” http//www.islamlib.com; diakses 15 Desember 2005.

Qomar, NU “Liberal” dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme (Bandung: Mizan, 2002).

Rizqan Khatami, “Fenomena Intelektual Muda NU dan Muhammadiyah”, DUTA, 16 Januari 2004.

Rumadi, “Menebar Wacana, Menyodok Tradisi: Geliat Mencari Makna Liberalisme”, Jurnal Tashwirul Afkar, vol. 9 (2000).

Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan (Jakarta: P3M dan Ford Foundation, 2004).

Zakiyuddin Baidhawi, “Dakwah Kultural vs Supremasi Islam Murni”, dalam Muhammadiyah sebagai Tenda Kultural, ed. Moeslim Abdurrahman (Jakarta: Ido Press dan Ma'arif Institute for the Culture and Humanity, 2003).

Zuhairi Misrawi dan Novriantoni, Doktrin Islam Progresif Memahami Islam sebagai Ajaran Rahmat (Jakarta: LSIP, 2004).

Zuli Qadir, “Bangkitnya ‘Second’ Muhammadiyah”, KOMPAS, 20 November 2003.



DOI: http://dx.doi.org/10.20414/ujis.v11i2.401

http://ejurnal.iainmataram.ac.id/index.php/ulumuna/article/view/401

Saturday, January 2, 2016

Muhammadiyah Studies: The Transformation of Research on Islamic Movement in Indonesia

Analisa: Journal of Social Science and Religion, Vol 22, No 2 (2015): 269-280
Mutohharun Jinan

Abstract

This research aims to describe the studies of the Muhammadiyah movement. Scholars have condukted research, observations, and discussions of the Movement. This research is not limited the Muhammadiyah as an Islamic movement, but also its role as economic,educational, and socio-political movement. Research and discussion on the various dimensions of Muhammadiyah are called "Muhammadiyah Studies". By hitoriographical approach, there are three stages of development in the Muhammadiyah Studies. First, study of the fundamental of islamic teaching (1912-1950). Sceond, the preriod wich the Muhammadiyah Studies as a part of modern islamic studies (1950-200). Thrid, after 200s, Muhammadiyah Studies is Characterized by new themes as a part of papular culture.


References

Abdullah, Amin. 2006. Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Alfian, 1989. Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Baso, Ahmad. 2006. NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, Jakarta: Erlangga.

Basral, Akmal Nasery. 2010. Sang Pencerah. Bandung: Mizan.

Geertz, Clifford. 1981 Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka.

Ghazali, Abdurrahim. Dkk. 2007. Muhammadiyah Progresif: Manifesto Pemikiran Kaum Muda, Jakarta: JIMM-LESFI.

Hirata, Andrea. 2005. Laskar Pelangi, Jakarta: Bentang Budaya.

Hadikusuma, Djarnawi. 1969. Jalan Mendekatkan Diri Kepada Allah. Yogyakarta: Persatuan.

Kleden, Ignas. 1988. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES.

Kurniawan, Rizaluddin, dkk., 207. Komik Muhammadiyah, Jakarta: Dar Mizan.

Mu’tasim, Radjasa. 2013. Agama dan Pariwisata: Telaah Atas transformasi Keagamaan Komunitas Muhammadiyah Borobudur, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mulkhan, Abdul Munir. 2000. Islam Murni dalam Masyarakat Petani, Yogyakarta: Bentang Budaya.

Nakamura, Mitsuo.1983. Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Nashir, Haedar. 2010. Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Noor, Deliar. 1982. Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1945, Jakarta: LP3ES.

Peacock, James L. 1978. Muslim Puritan: Reformist Psychology in Southeast Asian Islam, Berkeley and London: University of California Press.

_______. 1982. Purifiying of the Faith: The Muhammadiyah Movement in Indonesia Islam, Menlo Park, California: The Benjamin Publishing Company.

Qoadir, Zuly. 2010. Muhammadiyah Studies: Reorientasi Gerakan dan Pemikiran Memasuki Abad Kedua, Yogyakarta: Kanisius.

Ricklefs, M.C. 2013. Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang, Jakarta: Serambi.

Shihab, Alwi. 1999. Membendung Arus: Respon Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung: Mizan.

van Bruinessen, Martin. 1995. Rakyat Kecil Islam dan Politik, Yogyakarta: Bentang.

Wahid, Abdurrahman (ed.). 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Transnasional di Indonesia, Jakarta: Gramedia.

Yuristiadi, Ghifari. 2014. “Studi Muhammadiyah di Mata ‘Muhammadiyahnis’ Lokal dan Asing: Perkembangan Tema, Locus dan Tempus Kajian (Sebuah Kajian Historiografis Awal)”, Makalah dipresentasikan pada Kolokium Internasionalisasi Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Surakarta, 21-23 Nopember.



DOI: http://dx.doi.org/10.18784/analisa.v22i2.96

http://blasemarang.kemenag.go.id/journal/index.php/analisa/article/view/96/163

Friday, January 1, 2016

Transforming the writing of history: The new narrative of enlightenment within Muhammadiyah

Transforming the writing of history: The new narrative of enlightenment within Muhammadiyah

RIMA: Review of Indonesian and Malaysian Affairs
Volume 47 Issue 2 (2013)

Harijanto, Christian1; Chalmers, Ian

Abstract: This article seeks to account for a recent change in the method of history writing within the major Indonesian social organisation Muhammadiyah, namely a shift from chronology to historical narrative. Until recently, Muhammadiyah's history had always been written as a chronicle, a form with minimal moral import. But in 2010 Muhammadiyah published an historical account that takes the form of a narrative, a form with a beginning, middle and moral end. This historical account has been constructed around three ideas: the importance of individual enlightenment, that the founder of Muhammadiyah (Ahmad Dahlan) was the prototype of the enlightened individual, and that divine intervention served to monitor this process. Further, this article suggests that the change to a narrative form can be explained by shifts in the political balance within Muhammadiyah as it responds to a changing social context.

To cite this article: Harijanto, Christian and Chalmers, Ian. Transforming the writing of history: The new narrative of enlightenment within Muhammadiyah [online]. RIMA: Review of Indonesian and Malaysian Affairs, Vol. 47, No. 2, 2013: 63-90. Availability: ISSN: 0815-7251. [cited 11 Jan 16].

Personal Author: Harijanto, Christian; Chalmers, Ian; Source: RIMA: Review of Indonesian and Malaysian Affairs, Vol. 47, No. 2, 2013: 63-90 Document Type: Journal Article ISSN: 0815-7251 Subject: Islam and politics--Historiography; Cultural pluralism--Religious aspects--Islam; Knowledge, Theory of (Islam); Muhammadiyah (Organization); Islamic renewal; Affiliation: (1) Teacher, Curtin University and Murdoch University, Western Australia


http://search.informit.com.au/documentSummary;dn=598612651246799;res=IELIND