Monday, December 11, 2017

13 Hal yang Perlu Diketahui tentang Amal Usaha Muhammadiyah


KHITTAH.co – Merujuk pada Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, khususnya pada bagian kehidupan dalam mengelola Amal usaha, terdapat 13 ketentuan yang perlu diketahui sebagai berikut:

  1. Amal usaha Muhammadiyah adalah salah satu usaha dari usaha-usaha dan media dakwah persyarikatan untuk mencapai maksud dan tujuan persyarikatan. Oleh karenanya semua bentuk kegiatan amal usaha Muhammadiyah harus mengarah kepada terlaksananya maksud dan tujuan persyarikatan dan seluruh pimpinan serta pengelola amal usaha ber-kewajiban untuk melaksanakan misi utama Muhammadiyah itu dengan sebaik-baiknya sebagai misi dakwah.
  2. Amal usaha Muhammadiyah adalah milik persyarikatan dan persyarikatan bertindak sebagai Badan Hukum/Yayasan dari seluruh amal usaha itu, sehingga semua bentuk kepemilikan persyarikatan hendaknya dapat diinventarisasi dengan baik serta dilindungi dengan bukti kepemilikan yang sah menurut hukum yang berlaku.
  3. Pimpinan amal usaha Muhammadiyah diangkat dan diberhentikan oleh pimpinan persyarikatan dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian pimpinan amal usaha dalam mengelola amal usahanya harus tunduk kepada kebijaksanaan Persyarikatan dan tidak menjadikan amal usaha itu terkesan sebagai milik pribadi atau keluarga, yang akan menjadi fitnah dalam kehidupan dan bertentangan dengan amanat.
  4. Pimpinan amal usaha Muhammadiyah adalah anggota Muhammadiyah yang mempunyai keahlian tertentu di bidang amal usaha tersebut, karena itu status keanggotaan dan komitmen pada misi Muhammadiyah menjadi sangat penting bagi pimpinan tersebut agar yang bersangkutan memahami secara tepat tentang fungsi amal usaha tersebut bagi persyarikatan dan bukan semata-mata sebagai pencari nafkah yang tidak peduli dengan tugas-tugas dan kepentingan-kepentingan Persyarikatan;
  5. Pimpinan amal usaha Muhammadiyah harus dapat memahami peran dan tugas dirinya dalam mengemban amanah p Dengan semangat amanah tersebut, maka pimpinan akan selalu menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh persyarikatan dengan melaksanakan fungsi manajemen perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan yang sebaik-baiknya dan sejujur jujurnya;
  6. Pimpinan amal usaha Muhammadiyah senantiasa berusaha meningkatkan dan mengembangkan amal usaha yang menjadi tanggung jawabnya dengan penuh kesungguhan. Pengembangan ini menjadi sangat penting agar amal usaha senantiasa dapat berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiq al–khairāt) guna memenuhi tuntutan masyarakat dan tuntutan zaman;
  7. Sebagai amal usaha yang bisa menghasilkan keuntungan, maka pimpinan amal usaha Muhammadiyah berhak mendapatkan nafkah dalam ukuran kewajaran (sesuai ketentuan yang berlaku) yang disertai dengan sikap amanah dan tanggungjawab akan kewajibannya. Untuk itu setiap pimpinan persyarikatan hendaknya membuat tata aturan yang jelas dan tegas mengenai gaji tersebut dengan dasar kemampuan dan keadilan;
  8. Pimpinan amal usaha Muhammadiyah berkewajiban untuk melaporkan pengelolaan amal usaha yang menjadi tanggung jawabnya, khususnya dalam hal keuangan/kekayaan kepada pimpinan persyarikatan secara bertanggung jawab dan bersedia untuk diaudit.
  9. Pimpinan amal usaha Muhammadiyah harus bisa menciptakan suasana kehidupan Islami dalam amal usaha yang menjadi tanggung jawabnya dan menjadikan amal usaha yang dipimpinnya sebagai salah satu alat dakwah maka tentu saja usaha ini menjadi sangat perlu agar juga menjadi contoh dalam kehidupan bermasyarakat;
  10. Karyawan amal usaha Muhammadiyah adalah warga (anggota) Muhammadiyah yang dipekerjakan sesuai dengan keahlian atau kemampuannya. Sebagai warga Muhammadiyah diharapkan karyawan mempunyai rasa memiliki dan kesetiaan untuk memelihara serta mengembangkan amal usaha tersebut sebagai bentuk pengabdian kepada Allah dan berbuat kebajikan kepada sesama. Sebagai karyawan dari amal usaha Muhammadiyah tentu tidak boleh terlantar dan bahkan berhak memperoleh kesejahteraan dan memperoleh hak-hak lain yang layak tanpa terjebak pada rasa ketidakpuasan, kehilangan rasa syukur, melalaikan kewajiban dan bersikap berlebihan;
  11. Seluruh pimpinan dan karyawan atau pengelola amal usaha Muhammadiyah berkewajiban dan menjadi tuntutan untuk menunjukkan keteladanan diri, melayani sesama, menghormati hak-hak sesama, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi sebagai cerminan dari sikap ihsan, ikhlas, dan ibadah;
  12. Seluruh pimpinan, karyawan, dan pengelola amal usaha Muhammadiyah hendaknya memperbanyak silaturahim dan membangun hubungan-hubungan sosial yang harmonis (persaudaraan dan kasih sayang) tanpa mengurangi ketegasan dan tegaknya sistem dalam penyelenggaraan amal usaha masing-masing;
  13. Seluruh pimpinan, karyawan, dan pengelola amal usaha Muhammadiyah selain melakukan aktivitas pekerjaan yang rutin dan menjadi kewajibannya juga dibiasakan melakukan kegiatan-kegiatan yang memperteguh dan meningkatkan taqarrub kepada Allah dan memperkaya ruhani serta kemuliaan akhlaq melalui pengajian, tadarrus serta kajian al-Qur’an dan sunnah , dan bentuk-bentuk ibadah dan mu’amalah lainnya yang tertanam kuat dan menyatu dalam seluruh kegiatan amal usaha Muhammadiyah.


Sumber: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2000), h. 76-80.

Diambil dari: http://www.khittah.co/13-hal-yang-perlu-diketahui-tentang-amal-usaha-muhammadiyah/4847/

Sunday, December 10, 2017

Bulan Sabit Terbit Di Atas Pohon Beringin: Sebuah Kesan Pembaca


Bulan Sabit Terbit Di Atas Pohon Beringin
(Sebuah Kesan Pembaca)

Oleh Anta Kusuma (Warga Kotagede)



Entah jin apa yang membawa saya pada 1 November 2017 untuk pergi ke Toko Buku Suara Muhammadiyah yang terletak tengah kota Yogyakarta. Niat saya hanya satu, membeli buku dengan judul di atas (di luar tanda kurung) yang ditulis oleh Mitsuo Nakamura. Kebetulan sudah lama sekali saya ingin mengetahui sejarah Kotagede.

Suatu malam setelah Idul Adha pada tahun yang sama, di dekat kawasan Masjid Gedhe Mataram, seorang kawan menyebutkan sebuah nama sebagai salah satu rujukan. Dan suatu malam dalam perjalanan ke sebuah pengajian atas meninggalnya seorang tetangga, masih di Kotagede, seseorang berkata tentang adanya seorang yang gemar memotret acara di Kotagede.
Ada kata kunci di dalam ceritanya: Orang Jepang dan Nakamura.

Buku seharga Rp136.800,00 setelah didiskon Rp7.200,00 itu tentu tidak murah. Tapi, saya benar-benar ingin membacanya.

Dari awal, saya begitu yakin kalau ini merupakan buku yang sangat penting, apalagi mengingat rentang waktu kejadian yang diteliti yang kemudian menjadi penjelasan di bawah judulnya: Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede sekitar 1910-2010.
Ditambah lagi, orang-orang Muhammadiyah yang hidup di sekitar saya, maka, membaca penelitian yang dibukukan, yang dilakukan dari tahun 1970 sampai 1972 untuk keperluan disertasi Pak Nakamura itu, serta tambahan tulisan beliau ketika bolak-balik ke Kotagede setelah 1972 sampai tahun 2010 bisa menjadi nutrisi tambahan pengetahuan bagi saya dalam melihat peran sebuah organisasi yang disebut reformis terhadap individu, juga sebaliknya: peran individu terhadap organisasinya.

Kupasan saya terhadap buku yang berjumlah 487 halaman ini, yang telah saya baca kata perkata dari halaman awal sampai bagian “Masa Depan Muhammadiyah” tentu jauh dari kritik layaknya tulisan akademis. Semoga penjelasan di bawah judul di atas kiranya tepat.
 
Kesan yang saya dapatkan dari membaca buku ini akan saya bagi menjadi dua, yaitu: kesan terhadap penulisnya dan kesan terhadap apa yang ditulisnya. Saya tahu, kedua hal ini agak sulit untuk dipisahkan.


Sebagai orang Jepang, kesan kesungguhan, sabar, setia, serius, dan sangat memerhatikan hal yang kecil atau detil sepertinya terwakili dalam diri Nakamura yang menyelesaikan sarjananya dalam bidang filsafat serta tiga pascasarjana dalam bidang antropologi (dua master dan satu doktoral). Keempat “pelajaran berat” tersebut tentu sulit untuk diselesaikan tanpa adanya kecintaan yang besar terhadap orang-orang atau lembaga yang ditelitinya. Dalam hal ini tentu saja: Indonesia, Islam, Muhammadiyah dan juga Nadhatul Ulama.

Menggeluti objek penelitian itu sebagai orang luar, saya yakin telah memberi tantangan yang sangat besar baginya. Mungkin karena hal itulah, karya yang dihasilkannya juga sangat besar dan mampu menjadi rujukan bacaan bagi anggota Muhammadiyah maupun yang bukan, Muslim atau bukan, Indonesia atau bukan, sekarang atau yang akan datang.

Jika saya mengibaratkan Muhammadiyah sebagai pohon beringin yang mampu menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar, maka, Nakamura adalah bulan yang dengannya kita bisa melihat keadaan si pohon secara agak terang dalam remang malam.

Mungkin Anda berpikir ini adalah penilaian yang sangat berlebihan, namun saya ingin bertanya selama lebih dari satu abad usia Muhammadiyah, adakah orang di dalam Muhammadiyah sendiri yang telah berhasil menulis sejarah salah satu organisasi terbesar di Indonesia itu dari zaman prakemerdekaan, pascakemerdekaan, reformasi, sampai pascareformasi dengan melakukan penelitian sosial yang begitu mendalam dan lama layaknya jalaran akar dan usia pohon beringin?

Saya rasa, sambil menikmati Cokelat Monggo di teras Masjid Gedhe Mataram, mungkin bisa ditambahkan sebuah pertanyaan, mengapa sang antropolog yang menempuh pendidikan formal di Jepang dan Amerika itu terkesan ingin turut serta dalam memajukan Muhammadiyah?

Jumat, 3 November 2017, dua hari setelah membeli buku yang diterjemahkan dari penerbit di Singapura ini, saya harus mencari satu buku lagi untuk seorang anggota Muhammadiyah. Di kantor Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kotagede, dengan berharap bisa mendapat harga yang lebih murah, saya bertanya apakah buku ini juga dijual di sana. Saya agak kecewa, teryata tak ada. Kekecewaan saya sebenarnya lebih kepada, bagaimana mungkin, sebulan setelah buku ini diluncurkan, tidak ada usaha dalam pengadaan buku ini untuk dijual ke masyarakat umum (minimal bisa dimiliki aktivis Muhammadiyah) yang tinggal di wilayah pusat penelitian buku ini? Saya, hanya bisa meninggalkan saran ke seorang staf yang menyambut kedatangan saya dengan hangat.

Memang, buku ini tak akan bisa dinikmati secara penuh oleh buruh perak, bakul di Sargedhe, para turis di Pesareyan, dan mungkin juga para jamaah di masjid yang arah kiblatnya telah bergeser sekali. Tapi, setidaknya buku yang bagian awalnya pernah diterbitkan oleh Universitas Gadjah Mada ini bisa terus dibicarakan di sekolah-sekolah, pengajian-pengajian, dan kegiatan-kegiatan yang setidaknya berhubungan dengan Muhammadiyah. Tanpa itu, kita benar-benar akan kehilangan sejarah yang sangat diperlukan untuk melihat masa kini dan masa depan sebuah gerakan sosial keagamaan.

Di buku yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah ini, begitu banyak pengantar yang sangat membosankan. Isinya banyak yang megulang apa yang dibahasa di dalam buku ini. Sehingga bagi pembaca yang agak malas karena mungkin tak punya banyak waktu, membaca pengantar yang berasal dari teman-teman sang penulis, kemungkinan sudah bisa menangkap inti dari buku ini, apalagi jika ditambah membaca bagian Pascawacana-nya.

Masuk ke bagian karya Nakamura, ia benar-benar sangat disiplin dalam menggelontorkan cerita berdasarkan kronologi waktu dan memasukkan kejadian-kejadian secara detil di dalamnya. Sayangnya, cara bercerita di dalam buku ini sangatlah akademik, sehingga saya bisa sedikit mengerti jika buku yang berkualitas tinggi ini hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Kutipan, catatan kaki, dan statistik terasa sangat memenuhi buku yang bersampul foto pohon beringin dengan dua orang Jawa di depannya pada  tahun 1896 yang arsipnya dirawat oleh sebuah lembaga dokumentasi dari Belanda.

Untungnya, Nakamura sering menyajikan kotak-kotak cerita yang isinya lebih ringan, semacam catatan harian yang sering diselipkan di 14 bab yang ada di dalam bukunya. Salah satu kotak yang menjadi favorit saya adalah cerita tentang Nakamura yang malam-malam mengintip pemuda yang bergoyang di dalam sebuah rumah ketika menyetel lagu dari The Beatles. Dari sini saya mendapat gambaran tentang “kenikmatan barat” yang malu-malu ditampilkan ke permukaan yang dipenuhi syiar keagamaan di Kotagede pada tahun 70-an. Saya tidak tahu apakah kesan itu yang membuat Nakamura tertawa, tapi saya pribadi agak geli membacanya. Lumayan, ada sedikit hiburan ketika membaca buku yang agak berat ini.

Foto-foto yang selalu ada di setiap bab tentu saja bisa melayangkan imajinasi pembaca tentang situasi sosial Kotagede sebelum tahun 70-an, juga setelahnya, terutama foto lama yang berhubungan dengan aktivitas keagamaan. Ada kesan agama memang bekerja dengan gembira dalam masyarakat pada zaman itu. Untuk foto di tahun 2000-an, ada beberapa yang saya temukan kurang memberi kisah yang dalam dan agak keluar dari kisah utama, misal foto di depan kasir Cokelat Monggo atau foto profil orang, bukan kegiatan kelompok.

Mengenai kesalahan tulisan, kesalahan dalam menjelaskan letak sebuah bangunan, saya rasa merupakan masalah teknis yang tidak mengubah ide dasar buku ini dalam menjelaskan peran penting Muhammadiyah di Kotagede.

Selain itu, kejujuran Nakamura dalam mengkritik pendahulunya dalam melihat Islam secara umum, sekaligus kerendahan hatinya dalam memuat tulisan yang mengritik pemikirannya, saya rasa sangat pantas untuk diapresiasi.

Saya sendiri merasakan kekurangpuasan ketika Nakamura mengukur kemajuan dakwah Muhammadiyah  dengan pertumbuhan masjid dan aktivitas keagamaan setelah tahun 1972 (halaman 293). Bagi saya, jumlah bangunan dan kegiatan kuranglah tepat dijadikan dasar bagi Muhammadiyah yang sebelumnya pernah dijelaskan sebagai sebuah organisasi reformis dan pembebasan. Namun, Nakamura sendiri mengakui kesulitannya: “sulit untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan dakwah secara persis, karena, pada akhirnya, hasilnya merupakan masalah hati nurani individu.” Jika sulit, mengapa perlu diukur?

Hal lain yang saya temui di dalam buku ini adalah adanya hubungan antara isu Muhammadiyah di masa awal dan kini. Saya pikir, ini bisa membuktikan tidak adanya kemajuan pola pikir secara besar di dalam organisasi yang berdiri sejak tahun 1912 itu. Salah satu contohnya adalah komunisme yang “diperangi” oleh Muhammadiyah pada tahun 1965 tampaknya masih “diwariskan” oleh orang-orang atas di dalamnya di tahun 2017 ini, padahal suasana politik di Indonesia sudah jauh berbeda dengan tahun sebelum 30 September 1965.

Dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana pertentangan antara generasi muda Muhammadiyah sejak setelah reformasi yang lebih condong kepada pendekatan budaya daripada generasi tua yang lebih ingin mempertahankan nilai-nilai awal organisasi yang dekat dengan Partai Amanat Nasional ini dalam hal ketidaksetujuan mereka terhadap kesenian tradisonal.
Nakamura berhasil menggambarkan perbedaan pandangan ini melalui penelusurannya terhadap apa yang terjadi di Festival Kotagede sejak tahun 1999.

Sesungguhnya begitu banyak “catatan” tentang Muhammadiyah dalam buku ini, termasuk dimuatnya kutipan penting dari edisi Brosur Lebaran yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah di Kotagede setiap menjelang Idul Fitri yang berisi tulisan-tulisan yang bersifat reflektif. 

Jika Nakamura menginginkan Muhammadiyah mengikuti perkembangan zaman, maka saya yakin itu bisa dimulai dengan melihat kembali pemikiran kritis darinya atau dari orang-orang Muhammadiyah sendiri yang selama ratusan tahun ini masih nyangkut di pohon beringin.


Yogyakarta, 8 Desember 2017
(Sehari sebelum Pasar Keroncong Kotagede yang tak akan berasaing dengan kumandang azan dari masjid yang ada di setiap kampung di Kotagede)

 Tambahan: Pada tanggal 9,  panggung di kampung Sopingen dibatalkan. Di lorongnya yang berhias anyaman bambu, berjejer karangan bunga duka untuk Ibu Dalalah Chirzin. Beliau dimakamkan disamping Bapak Muhammad Habib Chirzin.
Semoga segala amal kebaikan kedua tokoh Muhammadiyah tersebut terus lestari.




Tuesday, December 5, 2017

Mitsuo Nakamura: Jembatan Pemahaman Islam, Indonesia, dan Jepang

Penulis catherine_krige - December 4, 2017

Mitsuo Nakamura, lewat serangkaian penelitian dan karyanya tentang Indonesia yang sudah ia terbitkan, menjadi sosok penting bagi pemerintah ataupun pelaku ekonomi, politik dan sosial budaya Jepang untuk memahami seluk beluk serta dinamika perkembangan Islam di Indonesia guna membangun kerja sama antarkedua negara. Dalam konteks ini pula, sosok Mitsuo Nakamura menjadi semacam jembatan penghubung antara kedua negara yang tak tergantikan keberadaannya.

Mitsuo Nakamura lahir dari keluarga Jepang beragama Kristen pada 19 Oktober 1933 di Dalian, sebuah kota di bagian Timur Laut Manchuria, yang sekarang bagian dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Nakamura muda tumbuh dan berkembang di antara masyarakat Manchuria. Ia menyaksikan penderitaan yang ditimbulkan oleh imperialisme Jepang, terlebih masalah kesenjangan dalam hal kesejahteraan hidup yang terlihat dan dirasakan langsung oleh Mitsuo muda antara penduduk lokal dengan orang Jepang yang hidup di sana. Semasa menjadi mahasiswa, Mitsuo muda sempat menyaksikan Konferensi Asia Afrika yang diadakan di Bandung pada tahun 1955. Saat itu ia terkesan meligst perwakilan dari berbagai negara Asia dan Afrika yang baru merdeka hadir dan berkumpul untuk medeklarasikan penentangan terhadap penjajahan maupun neokolonialisme, sebuah pengalaman yang semakin menguatkan dirinya untuk aktif dalam gerakan-gerakan sayap kiri yang menentang nuklir dan kebangkitan militerisme di Jepang.

Perkenalan Mitsuo muda dengan Indonesia diawali saat ia bertemu dengan sosok Selo Sumardjan, sosiolog kenamaan asal Indonesia, ketika Prof Selo diundang sebagai pembicara dalam seminar internasional tentang “Class Formation” yang diadakan oleh Chie Nakane, dosen pembimbing Mitsuo pada saat itu, di Tokyo, Jepang. Selo memberikan tesisnya yang berjudul Social Change in Yogyakarta kepada Chie, yang kemudian memberikan buku tersebut ke Mitsuo muda. Buku itulah yang menjadi inspirasi dan motivasi bagi Mitsuo muda untuk mengenal lebih jauh mengenai Indonesia.

Dia menyelesaikan pendidikan S1 di bidang loso Barat (1960) dan S2 dalam bidang antopologi (1965) di Tokyo Daigaku (Univesitas Tokyo). Ia melanjutkan pendidikannya di Cornell University, AS, dan kembali mendapatkan gelar S2 di bidang antropologi, serta juga PhD (S3), dari penelitian berbasis observasi lapangan yang ia lakukan atas pergerakan Muhammadiyah di Kota Gede, Yogyakarta, dengan pembiayaan dari Carnegie Foundation. Disertasinya merupakan salah satu penelitian dengan pembiayaan Barat yang terawal dalam menyaksikan dan memprediksi proses Islamisasi di Indonesia pada akhir abad ke-20.

Setelah menetap untuk beberapa waktu di University of Adelaide, Australia, sebagai pengajar senior (1974-1975), ia kemudian direkrut oleh Profesor Selo Seomardjan dari Universitas Indonesia untuk bergabung dengan Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial (PLPIIS) sebagai peneliti rekanan untuk daerah Jakarta, yang terikat pada Fakultas Ilmu Sosial UI. Ia dibiayai oleh Canadian International Development Research Centre (Pusat Penelitian Pengembangan Internasional Kanada) semasa dia bekerja di PLPIIS.

Setelah bekerja dua tahun untuk PLPIIS di Jakarta (1976-1977), Mitsuo kembali ke Australia sebagai peneliti rekanan sementara di Research School of Paci c Studies, Australian National University (ANU), (1978-1980), didukung oleh pendanaan dari Toyota Foundation. Mitsuo kemudian bertemu dengan Profesor William Graham dari Harvard University yang datang menghadiri konferensi internasional yang diadakan di ANU untuk merayakan dimulainya abad ke-15 penanggalan Hijriyah. Profesor Graham memperkenalkan dan mengajak Mitsuo untuk bergabung dengan Pusat Pembelajaran Agama-agama Dunia (Center for Study of World Religions) Harvard sebagai pelajar tamu di tahun 1981 hingga 1982.

Selagi di Harvard, ia menyelesaikan revisi disertasi doktoralnya untuk diluncurkan sebagai buku, yang di kemudian hari menjadi maha karya terbesar Mitsuo, yaitu, The Crescent Arises Over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town (Bulan Sabit Terbit dari Balik Pohon Beringin: Studi Tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede Yogyakarta), yang diterbitkan oleh Penerbit Universitas Gadjah Mada pada tahun 1983. Selain itu, Mitsuo mengembangkan lingkup penelitiannya ke Nadlatul Ulama (NU), sayap Islam tradisionalis Indonesia, mengikuti anjuran (alm) KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang pada saat itu adalah ketua umum PBNU. Gus Dur mengundang Mitsuo untuk menghadiri Muktamar Ke-26 NU pada tahun 1979 sebagai pengamat. Pengalaman ini dituangkan oleh Mitsuo ke dalam sebuah artikel (1981) yang membuat namanya terkenal sebagai peneliti karena menjadi yang pertama kali meneliti mengenai NU yang dianggap terlalu terbelakang dan kampungan bagi kebanyakan peneliti lainpada saat itu.

Pada tahun 1983, Mitsuo diberikan jabatan profesor dan mengajar antropologi di Chiba Daigaku, Jepang. Dengan bantuan istrinya, Hisako—yang juga seorang antropolog dan sebagai guru besar studi internasional di Bunko Daigaku, juga kawan-kawannya yang lain—Mitsuo mendirikan Study Group on Islam in Southeast Asia (Kelompok Belajar tentang Islam di Asia Tenggara). Melalui institusi yang ia dirikan tersebut ia mengundang sejumlah tokoh intelektual Islam dari Indonesia, di antaranya Gus Dur, Munawir Sjadzari, Nurcholish Madjid (Cak Nur), Ahmad Sya ’i Ma’arif, dan mendorong para peneliti dan mahasiswa di sekitarnya untuk meneliti tentang Islam dan komunitas Islam di Indonesia.

Dalam beberapa dekade di akhir abad ke-20, kebangkitan organisasi masyarakat Islam di ranah publik negara mayoritas Islam maupun minoritas Islam di Asia Tenggara semakin kentara. Sumbangsih mereka atas demokratisasi dan pemajuan pendidikan, kesejahteraan dan keadilan sosial di setiap negara semakin signi kan dan telah dibahas sebagai topik penelitian akademis. Maka, pada tahun 1999, Mitsuo mengadakan sebuah lokakarya internasional mengenai “Islam and Civil Society in Southeast Asia”, bekerja sama dengan beberapa akademisi-aktivis setempat, termasuk di antaranya Cak Nur dan Amin Abdullah dari Indonesia. Hasil lokakarya ini diterbitkan menjadi buku pada tahun 2001 dengan judul yang sama: Islam and Civil Society in Southeast Asia.

Pada tahun 1998, pemerintah dan masyarakat Jepang sangat khawatir dengan Indonesia yang baru saja dilanda krisis ekonomi dan politik. Pemerintah Jepang akhirnya mengutus tim monitor untuk mengawasi pemilu Indonesia yang diadakan untuk pertama kalinya setelah kejatuhan Soeharto. Mitsuo dan Hisako, istrinya, ikut dalam tim monitoring tersebut. Ia juga dipercaya oleh Japan Bank for International Cooperation (JBIC) untuk menjadi peneliti dan penasihat untuk menilai sovereign risk Indonesia. Ia menjalankan tugasnya dengan mengunjungi beberapa wilayah Indonesia untuk melakukan observasi lapangan dan mewawancarai tokoh-tokoh kunci. Mitsuo kemudian memberikan laporannya kepada JBIC, yang kemudian diterbitkan pada tahun 2003 dengan judul Religious, Ethnic and Social Problem in Indonesia and Prospect for its National Re-Integration (Permasalahan Agama, Etnis dan Sosial di Indonesia dan Prospek Re-integrasi Indonesia sebagai Sebuah Bangsa). alam laporannya ini ia menekankan bahwa Indonesia telah memasuki sebuah proses demokratisasi yang tidak dapat dibendung, yang akan berkontribusi positif bagi Jepang.

Sejak tahun 2004 hingga 2005, semasa Mitsuo menjabat sebagai peneliti tamu senior di Center for Middle Eastern Studies di Harvard University, ia dan Hisako secara sukarela bergabung dengan International Observation Corps (Rombongan Observasi Internasional) untuk mengobservasi jalannya Pemilu dan Pilpres 2004 di Indonesia. Hasil observasi Mitsuo diterbitkan oleh Harvard pada tahun 2005 sebagai sebuah buklet berjudul, Islam and Democracy in Indoensia: Observations on the 2004 General and Presidential Elections.

Beberapa tahun terakhir ini, Mitsuo kembali berkonsentrasi pada studi gerakan-gerakan sosial Islam, seperti Muhammadiyah dan NU, pasca-kejatuhan Soeharto. Ia mengunjungi kembali pusat Muhammadiyah di Kotagede, Yoguakarta, pada tahun 2008 dan 2009 untuk melakukan penelitian lanjutan. Temuan hasil penelitian lapangannya itu ia terbitkan dalam sebuah edisi revisi yang lebih besar terhadap buku lamanya, yaitu The Crescent Arises Over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town, c 1910s-2010. Edisi baru ini ditambahkan Bagian Kedua, yang membahas mengenai perkembangan Muhammadiyah di Kotagede selama hampir 40 tahun (1972-2010), bersama dengan Bagian Pertama (cetakan awal buku Pohon Beringin). Buku baru ini melacak sejarah Muhammadiyah di Kotagede selama hampir 100 tahun, yakni dari tahun 1910 hingga 2010. Ia memandang karya ini sebagai proyek pribadinya untuk merayakan peringatan 100 tahun Muhammadiyah sejak berdiri tahun 1912.

Selain itu, pada tahun 2012, Mitsuo bersama dengan Profesor Azyumardi Azra (mantan rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta) dan Dr Ahmad Najib Burhani, seorang peneliti muda di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan beberapa koleganya di Indonesia dan luar negeri, mengadakan konferensi penelitian internasional perayaan 100 tahun pendirian Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang. Hasil konferensi yang brencananya akan diterbitkan dalam bentuk buku tersebut berisikan penilaian akademis tetapi simpatik atas pergerakan Muhammadiyah, yang tidak diragukan lagi merupakan salah satu organisasi Islam tertua, terbesar, dan progresif, yang bergerak di bidang pendidikan dan kesejahteraan sosial di dunia Islam kontemporer.

Mitsuo dan Hisako Nakamura telah menjadi peserta tetap Forum Perdamaian Dunia yang diadakan dua tahun sekali oleh Muhammadiyah dan Cheng-Ho Multicultural Education Trust Malaysia sejak tahun 2006, sebuah forum yang menjunjung ide “Satu Kemanusiaan, Satu Nasib, Satu Tanggung Jawab”, sebuah ide yang sejalan dengan Mitsuo Nakamura, sang Jembatan Pemahaman antara Islam, Indonesia, dan Jepang.

http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/2017/12/04/mitsuo-nakamura-jembatan-pemahaman-islam-indonesia-dan-jepang/

Monday, December 4, 2017

Buya Syafii Maarif dan Pak Amin Rais


BUYA SYAFII MAARIF DAN PAK AMIN RAIS

Oleh: Erik Tauvani Somae

Baru saja (Selasa, 5 Desember 2017, jam 08.47), melalui WhatsApp, Buya mengirim gambar ini, gambar dirinya duduk bersebelahan dengan sahabat karibnya, Pak Amin Rais. Raut wajah keduanya tampak ceria. Pak Amin tersenyum tulus dan Buya tampak riang dengan agak menahan tawa. Kedua-duanya adalah sahabat seperjuangan sejak lama. Sama-sama berjuang menimba ilmu di negeri orang. Sama-sama berjuang di Persyarikatan Muhammadiyah. Sama-sama berjuang untuk keindonesiaan. Meskipun berbeda gaya dan cara, kedua-duanya adalah Guru Bangsa.

Sesaat setelah pesan gambar ini masuk, saya kirim balasan ke Buya: “Foto kapan ini, Buya?” Kemudian Buya menjawab: “Tadi pagi secara kebetulan jumpa di Adi Sucipto”. “Buya hendak ke mana?” tanyaku lagi. “Ke Betawi,” jawab Buya.

Saat ini, di tengah keganasan politik dalam negeri yang bergemuruh tanpa henti di media sosial, siang dan malam, siapapun bisa menjadi mangsa hanya karena beda pendapat. Tidak terkecuali kedua tokoh ini. Bagi sebagian kalangan yang telah merdeka sejak dalam pikiran, meskipun berbeda, kedua tokoh ini tetap dipandang sebagai sosok yang telah berjasa dan dengan tulus berjuang untuk Indonesia. Contohnya adalah Pak Mahfud MD. Dalam akun tweeternya yang diposting pada 3 Desember 2017 pukul 09.13, Pak Mahfud berkata: “Ada yang mencela Amien Rais. Ada yang menghardik Buya Syafii Maarif. Sy sungguh hormat kpd Pak Amien dan Buya Syafii krn sampai sepuh seperti itu masih berjuang dgn tulus utk Indonesia yg kita cintai. Semoga Allah merahmati kedua beliau. Soal perbedaan jalur juang, tdk apa2. Itu hak.”

Dalam Memoar Anak Kampung yang ditulis oleh Buya Syafii, di sana tampak jelas betapa Buya selalu mengenang persahabatan keduanya yang amat manis. Bahkan, Buya tidak pernah melupakan kiprahnya di Persyarikatan yang bermula atas jasa Pak Amin Rais. Ketika kediaman Pak Amin beberapa waktu yang lalu mendapatkan teror dari orang tak dikenal, Buya saat itu langsung menuju rumah Pak Amin untuk memastikan semua baik-baik saja.

Meskipun saat ini kerap berbeda pandangan, keduanya tidak pernah saling hantam di depan media. Tidak saling menjelek-jelekkan. Anak Bangsa patut belajar pada kedua tokoh ini. Belajar tentang perbedaan pendapat, belajar tentang saling menghormati, belajar tentang kerukunan, persatuan, dan tentang persahabatan.

Semoga Allah Swt selalu merahmati mereka berdua.

Muhammadiyah yang Berubah

Gatra, 30 November - 6 Desember 2017. h. 46


Judul buku      : Bulan Sabit Terbit di Atas Pohon Beringin
Penulis            : Mitsuo Nakamura
Penerbit           : Suara Muhammadiyah, Yogyakarta
Cetakan           : I, Oktober 2017
Tebal               : 487 halaman

Judul resensi ini merupakan penggalan dari judul pengantar buku yang ditulis oleh M.C. Ricklefs, yaitu: “Masyarakat yang Berubah dan Muhammadiyah yang Berubah”. Judul itu berusaha menggambarkan secara ringkas isi buku yang merupakan revisi serta pengembangan dari buku yang pernah diterbitkan oleh UGM Press dengan judul yang sama tahun 1983.

Edisi 1983 itu merupakan kajian tentang Muhammadiyah di Kotagede dari tahun 1910 hingga 1972. Dalam edisi 2017 ini, seluruh isi edisi pertama itu menjadi bagian pertama dari buku ini. Bagian kedua merupakan kajian antropologis baru yang dilakukan Nakamura sejak 1972 hingga 2010.

Berdasarkan pengamatan dan partisipasinya dalam berbagai kegiatan di Muhammadiyah selama lebih dari 47 tahun itu, Nakamura berkesimpulan bahwa gerakan Islam ini tengah menghadapi tantangan besar yang bisa menentukan masa depannya; akan terus berpengaruh atau justru akan mati. Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah tidak hanya terkait aktivitas, kepemimpinan, dan keanggotaan, tetapi juga dalam hal ideologi. Secara umum Muhammadiyah telah berusaha menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat, diantaranya dengan program Dakwah Kultural-nya.

Namun Nakamura juga melihat bahwa banyak orang Muhammadiyah yang tidak bisa atau tidak mau berubah. Dalam kasus Festival Kotagede (FK), misalnya, beberapa pimpinan Muhammadiyah masih terjebak pada ideologi lama yang cenderung puritanis dan eksklusif. “Banyak dari mereka yang hanya memfokuskan perhatian pada masalah TBC, yang mencakup jelangkung dan jatilan, sementara urusan arti penting FK bagi masyarakat secara keseluruhan tidak diapresiasi” (h. 417).

Pada kasus Dakwah Kultural, Nakamura melihat adanya perubahan yang positif dalam Muhammadiyah. Sebaliknya pada kasus FK, tidak berubahnya sikap dan pola berpikir sebagian warga Muhammadiyah dari era 1970-an itulah yang kemudian membawa kepada kesimpulan bahwa Muhammadiyah kini telah berubah ke arah negatif. Dulu, sikap Muhammadiyah terhadap TBC itu dipandang sebagai upaya modernisasi. Sekarang, seperti disebut Nakamura, sikap itu dipandang sebagai anti-budaya dan kekurangpedulian terhadap kepentingan bersama (common good).

Tidak berubahnya sikap Muhammadiyah dalam 40 tahun terakhir itulah yang menimbulkan kesan bahwa ia berubah, dari progresif ke regresif. Tidak berubah tapi terlihat seperti berubah karena konteksnya mengalami perubahan. Sebagai orang yang sudah merasa menjadi bagian dari Muhammadiyah, Nakamura merasa gelisah dan khawatir dengan apa yang terjadi dalam organisasi ini. Kira-kira ia ingin mengatakan, “Mengapa sebagian pimpinan Muhammadiyah kok tenang-tenang dan tenteram saja dengan persoalan ideologi dalam organisasi ini?” Persoalan inilah yang ditulis Nakamura pada bagian-bagian akhir dari buku ini.

Secara umum, bagian awal dari buku ini ditulis sebagai kritik terhadap Clifford Geertz yang melakukan penelitian antropologis di Modjokuto atau Pare, Kediri. Bagi Nakamura, penelitian Geertz yang diterbitkan menjadi buku berjudul The Religion of Java (1960) itu berpijak pada pilihan tempat yang kurang pas yang kemudian membawa kepada kesimpulan yang kurang akurat.

Modjokuto adalah kota baru dan tidak memiliki sejarah yang panjang. Karena itu, menjadikannya sebagai obyek kajian tentang dinamika keagamaan di Jawa menjadi tidak pas. Kotagede-lah yang lebih pas untuk melihat Jawa. Lewat kajiannya di Kotagede, Nakamura melihat bahwa banyak priyayi yang sekaligus merupakan santri dan karena itu memisahkan keduanya menjadi problematis. Tokoh-tokoh Muhammadiyah Kotagede, misalnya, adalah kumpulan para priyayi.

Selain kritik terhadap Geertz, kekuatan buku ini adalah pada deskripsi dan analisisnya tentang Kotagede yang begitu teliti. Barangkali tidak ada satu dokumentasi dan kajian pun tentang Kotagede yang selengkap dan sedetail buku ini. Apalagi yang mencakup rentang waktu beberapa dekade.

Seorang antropolog seperti Nakamura ini menjadi orang yang lebih tahu tentang tempat yang dikaji daripada insider atau mereka yang tinggal di daerah itu. Dalam konteks Muhammadiyah secara umum, banyak hal yang ditulis oleh Nakamura itu yang justru tidak diketahui atau disadari oleh orang Muhammadiyah sendiri. Inilah yang membuat buku ini perlu dibaca oleh orang-orang Kotagede dan Muhammadiyah.

Sebagai penelitian antropologis tentu saja Nakamura tidak mengklaim bahwa hasil kajiannya bisa menggambarkan Muhammadiyah secara lengkap dan utuh. Muhammadiyah adalah multi wajah. Berbagai daerah menampilkan karakter dan corak yang berbeda. Namun demikian, perubahan di Muhammadiyah Kotagede bisa dilihat sebagai satu potret dari Muhammadiyah secara umum dalam skala nasional. Bahkan, kajian ini bisa dipakai untuk mengaca tentang dinamika umat Islam Indonesia, tidak terbatas pada Muhammadiyah.
-oo0oo-

Ahmad Najib Burhani
Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah
dan Peneliti LIPI