Monday, May 31, 2010

Mengenal Lebih Akrab Buya Syafii


Kompas, Minggu, 30 Mei 2010 | 01:28 WIB
istimewa

Judul: Titik-titik Kisar di Perjalananku; Autobiografi Ahmad Syafii Maarif
Penulis: Ahmad Syafii Maarif
Penerbit: Mizan
Tahun: I, April 2009
Tebal: 422 halaman
Harga: Rp 59.000

Membaca buku berjudul Titik-titik Kisar di Perjalananku; Autobiografi Ahmad Syafii Maarif ini kita serasa sedang diajak berselancar mengarungi samudera makna, berliku, dramatik, menyedihkan, menegangkan, tetapi penuh nilai dan sarat dengan pelajaran. Buku ini merekam perjalanan insan Minangkabau, putra bangsa, dan intelektual Muslim kenamaan Indonesia. Ia adalah Buya Syafii—panggilan akrab Ahmad Syafii Maarif.

Ahmad Syafii Maarif dilahirkan di Sumbar Kudus, Sumatera Barat, pada 31 Mei 1935. Ia terlahir sebagai anak biasa yang kemudian merangkak mengikuti arah retak tangan dan terlibat dalam pusaran waktu yang cukup panjang dan berliku. Syafii kecil tak memiliki cita-cita tinggi karena alam Sumpur Kudus yang sempit dan terpencil membuat alam bawah sadarnya tak memiliki angan-angan besar dan aneh-aneh. Ia seperti anak biasa yang suka menjala, memancing ikan, mengadu sapi dan ayam, mandi di sungai, dan sebagainya. Bahkan tikar kasar adalah sahabat sejatinya tatkala tidur.

Syafii kecil tumbuh dan berkembang di tanah Minang yang sarat dengan kekhasan budaya dan makna filosofi. Salah satu filosofi yang akrab melekat pada anak-anak Minang itu berbunyi: “alam terkembang jadi guru”. Secara filosofis, orang Minang seharusnya tidak saja jadi perantau, tetapi juga tampil sebagai warga dunia dengan wawasan universal (hal.67).

Dalam perspektif ini, si Minang yang ciut nyalinya memasuki kultur lain yang asing sifatnya, tidak saja terkurung dalam kategori pengecut, tetapi memang tidak paham filosofi dasar Minangkabau yang sering dituturkan kaum adat pada upacara-upacara tertentu. Sebab, jika filosofi Minang ini dipahami secara benar dan dalam, akan melahirkan spirit reflektif untuk selalu maju, berkembang, dan suka dengan segala tantangan.

Dari catatan sejarah, misalnya, filosofi tersebut tengah menjadikan manusia-manusia Minangkabau memiliki karakteristik yang khas, demokratik, pembenari, dan egalitarian. Tengok saja sosok seperti Tan Malaka yang pernah tampil sebagai salah seorang tokoh Komintren (Komunis Internasional), tentu diilhami oleh doktrin “alam terkembang jadi guru”. Begitu juga tokoh-tokoh seperti Hamka, Agus Salim, Hatta, Natsir, Sjahrir, Bahder Djohan, Assaat, Halim, Sjabilal Rasjad, dan Isa Ansyary. Mereka semua adalah Minang belaka, tetapi jadi “orang” setelah bergumul dengan kultur lain di rantau.

Setidaknya terdapat tiga titik kisar yang menjadi aras menggeliatnya perjalanan pemikiran Buya Syafii. Titik kisar pertama dimulai ketika ia mengenyam pendidikan di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah di Balai Tengah, Lintau. Di sinilah kali pertama konstruksi imajiner Buya Syafii mulai terbagun. Ia sudah berani berpidato di depan publik dan mengisi ceramah di kampung-kampung. Pun getol dalam berdebat.

Sementara titik kisar kedua terjadi ketika ia meneruskan pelajaran ke Madrasah Mu’allimin Yogyakarta. Di sini wawasannya semakin luas, tetapi naluri sebagai seorang “fundamentalis” belum berubah, jika bukan semakin menguat. Bahkan sampai belajar sejarah pada Universitas Ohio di Athens AS, paham agamanya belum mengalami perubahan.

Virus pencerahan yang memasuki titik kisar ketiga hadir ketika beliau singgah di ligkungan kampus Universitas Chicago. Di sini kebangkitan intelektual dan spiritualnya semakin meningkat. Ini adalah titik kisar ketiga dalam pemikiran keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Fazlur Rahman adalah sosok yang sangat membantu Buya Syafii dalam mengembangkan pemikirannya. Kekayaan khazanah Islam klasik dan modern dengan al-Qur’an tengah membuat titik kisar terakhir di perjalanan Buya Syafii.

Buku ini menarik sekali untuk dibaca. Pertautan insan Minang yang penuh dengan lika-liku kehidupan serasa membuat kita senang membacanya. Bukan hanya perantauan lahiriah yang ditampilkan dalam buku ini, tetapi lebih kepada perantauan intelektual, spiritual, dan kemanusiaan. Buya Syafii berusaha menembus sekat-sekat di antara umat manusia, merengkuh semua golongan untuk bersama mewujudkan nilai pluralisme, kebersamaan, dan semangat saling menghormati.

Peresensi adalah Ali Rif’an, pengelola Rumah Pustaka FLP Ciputat.

Friday, May 21, 2010

Muhammadiyah Jawa


… dalam diri Ahmad Dahlan, Islam dan kejawaan menjadi entitas tunggal… Muhammadiyah adalah Islam varian Jawa yang paling otentik… Buku ini wajib dibaca oleh mereka yang ingin melihat dialektika Muhammadiyah dengan tradisi lokal Indonesia, satu aspek yang sering dilewatkan para pengkaji gerakan ini. Alih-alih melihat pengaruh budaya Indonesia, banyak peneliti yang terlalu terfokus melacak pengaruh Timur Tengah, terutama Wahhabi, terhadap Muhammadiyah…

M. Din Syamsuddin
Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2010


Burhani significantly revises anachronistic understandings of the movement that cast it as puritanically hostile to Javanese culture. Burhani shows us that the impetus for Islamic renewal came in large part from Javanese elites deeply involved in traditional court culture, and they undertook that renewal not to expunge Javanese culture from Islamic practice but to promote the distillation of what they saw as Javanese culture’s Islamic essence. Burhani’s reconstruction of the early days of the Muhammadiyah in Java adds to a growing literature that appreciates the specificities of particular historical moments in Javanese apprehensions of Islam.

Julia D. Howell
Professor of Anthropology Griffith University, Australia


It is often assumed that from its very beginnings in 1912 the Muhammadiyah movement was propagating a universal and puritan brand of Islam… the author studies the Muhammadiyyah movement with a fresh and independent outlook and demonstrates that this assumption does not hold true... Only, after the Muhammadiyyah movement began to spread outside Java in the 1930-s the movement started to distance itself from this initial positive attitude, for instance under the influence of the Minangkabau-based Muslim scholar Haji Rasul.

Nico J.G. Kaptein
Professor of Islamic Studies Leiden University, the Netherlands


… buku ini berhasil menunjukkan dengan sangat bagus the other side of Muhammadiyah: Muhammadiyah Jawa… Temuan Burhani ini membuktikan bahwa Muhammadiyah bukanlah entitas paham keagamaan yang homogen dan monolitik, melainkan memiliki spektrum pemahaman yang sangat luas: dari Muhammadiyah Al-Ikhlas yang cenderung kaku sampai Marmud (Marhainis Muhammadiyah) atau Munas (Muhammadiyah Nasionalis)… Dimensi Jawa ternyata sangat menonjol dalam gerakan Muhammadiyah.

Hajriyanto Y. Thohari

Wakil Ketua MPR-RI 2009-2014

Sering kali kita dapati fakta seorang aktivis dari sebuah gerakan keagamaan merasa paling tahu tentang doktrin gerakan yang dianutnya daripada orang lain… tapi dari mana dan apa sumber dari keyakinan tersebut tentu juga harus dapat dipertanggungjawabkan. Buku ini… mencoba membaca ulang dokumen-dokumen lama yang kini jarang disentuh oleh pimpinan Muhammadiyah…. ditulis berdasar penelitian ilmiah dengan sejumlah bukti otentik dan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu penting aktivis Muhammadiyah membacanya, terutama terkait bagaimana hubungan Muhammadiyah dengan tradisi Jawa atau Ke-Jawa-an.

Abdul Munir Mulkhan

Profesor Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta


To download the book, click this link: Muhammadiyah Jawa.

Thursday, May 20, 2010

Muhammadiyah sebagai Gerakan Ilmu

Republika, Selasa, 18 Mei 2010 pukul 11:51:00

Oleh Ahmad Fuad Fanani
(Kader Muhammadiyah)

Muhammadiyah mempunyai posisi yang strategis tidak hanya di mata umat, rakyat, dan Pemerintah Indonesia, tapi juga di mata pengamat dan masyarakat luar negeri. Oleh karenanya, Muktamar Satu Abad Muhammadiyah yang akan diselenggarkan di Yogyakarta, pada 3-8 Juli 2010 mendatang, menarik untuk dicermati. Muktamar yang akan mengangkat tema "Gerak Melintasi Zaman: Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama" itu, sangat sesuai dengan kondisi internal dan eksternal Muhammadiyah serta umat Islam Indonesia.

Selama ini, banyak masyarakat yang menganggap bahwa posisi strategis Muhammadiyah adalah karena menjadi Ormas Islam terbesar kedua di Indonesia yang mempunyai massa puluhan juta. Oleh karenanya, dengan jumlah anggota yang besar itu, Muhammadiyah bisa berpotensi menjadi pendorong kekuatan politik, moral, ekonomi, dan kebudayaan. Namun, ada satu potensi yang sepertinya jarang disentuh dan diberdayakan secara maksimal oleh Muhammadiyah, yaitu potensi sebagai organisasi pembaharuan yang selama ini sedikit banyak juga sudah teruji sejarah.

Sayangnya, potensi sebagai gerakan pembaharuan yang bisa berjalan secara seirama dengan gerakan ilmu itu, akhir-akhir ini perannya meredup. Paling tidak, seperti yang sering disampaikan oleh Buya Syafii Maarif, bahwa orientasi Muhammadiyah sekarang lebih terpaku pada gerakan amal (Republika, 23/04/2010)

Agenda Gerakan Ilmu

Kalau kita baca sejarah perkembangan gerakan Muhammadiyah, pada dasarnya antara gerakan amal dan gerakan ilmu tidak bisa saling dipisahkan. Ketika KH Ahmad Dahlan pertama kali mendirikan Muhammadiyah di Kauman, Yogyakarta, selain melakukan gerakan keilmuan dengan mengajar mengaji dan mendirikan sekolah untuk umat Islam dan masyarakat pribumi, beliau juga melakukan gerakan amal. Hal itu terwujud dengan pendirian Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) yang menjadi wujud nyata untuk membumikan perintah agama guna menolong masyarakat mustadz'afin.

Selain itu, sebagai ormas keislaman, Muhammadiyah juga banyak menelorkan pembaruan dan kritik terhadap konservatisme keagamaan seperti takhayul, bid'ah, dan churafat (TBC) yang saat itu banyak membelenggu umat dan menyebabkan mereka tertinggal. Namun, Muhammadiyah bukan hanya organisasi pemikir yang berhenti pada dataran konsep, tapi juga berusaha melakukan pembaharuan dalam bidang pendidikan, amal sosial, dan ekonomi umat dengan mendirikan sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, panti asuhan, serta amal usaha lainnya. Rumusan itulah yang sering disebut oleh M. Amin Abdullah sebagai realisasi konsep a faith in action dalam tubuh Muhammadiyah.

Nah, dalam kerangka perpaduan antara gerakan amal dan gerakan ilmu, tampaknya gerakan ilmu di Muhammadiyah sekarang kurang mendapat porsi yang seimbang. Memang, harus diakui bahwa ekspansi gerakan Muhammadiyah dalam bidang amal sosial semakin meluas. Hal itu tampak terlihat dari semakin banyaknya perguruan tinggi, sekolah, rumah sakit, ataupun kegiatan yang dilakukan oleh majelis dan lembaga di PP Muhammadiyah, pimpinan wilayah, pimpinan daerah, maupun pimpinan cabang Muhammadiyah.

Namun, amal sosial itu kurang diimbangi oleh peningkatan kualitas, pembukaan ruang dialog, penciptaan pusat-pusat keunggulan (center for excellence), serta peningkatan produktivitas karya ilmiah dari warga serta pimpinan Muhammadiyah. Mestinya, perguruan tinggi yang dimiliki Muhammadiyah itu, dikembangkan kualitas dan potensinya secara maksimal sehingga ke depan ada yang masuk perguruan kelas dunia (world class university) sebagai universitas riset yang diperhitungkan.

Majelis Tarjih dan Tajdid yang diharapkan mengawal gerakan keilmuan Muhammadiyah, juga masih kurang berfungsi secara maksimal. Fatwa mereka tentang pengharaman rokok dan bunga bank, tampak seperti kurang relevan dengan kondisi masyarakat umum. Majelis ini lebih tepat mengeluarkan fatwa dan pokok pemikiran yang bermanfaat untuk perbaikan kondisi bangsa seperti soal mafia kasus, korupsi, reformasi birokrasi, peningkatan kualitas pendidikan, penegakan hukum, moralitas politik, dan sebagainya. Tidak heran jika Buya Syafii Maarif mengusulkan agar majelis ini diganti namanya menjadi Majelis Tarjih dan Kemerdekaan Berpikir. Mungkin maksudnya agar lebih peka dan berani mengeluarkan konsep-konsep yang lebih berani, membumi, dan bermanfaat untuk masyarakat luas. Tokoh-tokoh Muhammadiyah hendaknya juga berani berpikir jauh untuk membongkar warisan ijtihad lama yang mungkin sudah tidak relevan untuk memecahkan masalah kemanusiaan global sekarang ini.

Meskipun Muhammadiyah terkesan lamban dan kurang maksimal sebagai gerakan ilmu, namun Muhammadiyah mempunyai potensi besar untuk melakukannya. Setidaknya, Muhammadiyah bersama NU sudah berupaya untuk memperkuat dirinya sebagai civil Islam yang sangat penting dalam proses demokratisasi bangsa.

Potensi yang sudah ada itu, tentu harus direvitalisasi dan dikembangkan. Sudah saatnya Muhammadiyah meneguhkan jati dirinya sebagai gerakan ilmu yang bersifat lintas golongan, suku, agama, politik, dan negara. Untuk itu, Muhammadiyah harus aktif membentuk dan terlibat dalam epistemic community dalam lingkung internal dan eksternal. Epistemic community adalah sebuah jaringan para profesional atau pakar yang mengakui keahlian dan kompetensi masing-masing dalam hal-hal khusus, serta sebuah pendapat kebijakan otoritatif untuk pengetahuan yang relevan dalam bidang atau area tertentu (Hadi Soesastro, 2009).

Berkaitan dengan itu, maka Muhammadiyah selayaknya memanfaatkan potensi yang dimiliki kadernya dalam berbagai bidang keahlian, mulai dari agama, ekonomi, politik, teknologi, pendidikan, kesehatan, kebudayaan, serta pemberdayaan masyarakat. Setelah itu, Muhammadiyah seyogianya menggalakkan dialog di antara pakar luar dan kader itu untuk mendiskusikan dan merumuskan berbagai persoalan umat dan bangsa yang segera butuh dipecahkan. Tentu saja, hasil dialog itu hendaknya dirumuskan dalam kerangka praktis dan kebijakan yang bisa diimpelementasikan di lapangan. Dengan begitu, kerja sama dan saling kontribusi antarkader dalam ranah konseptual dan praktis ini akan tercapai.

Tuesday, May 18, 2010

Paradigma NU-Muhammadiyah

Republika, 05 Mar 2010

Imam Addaruqutni

Mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah

Secara historis, bangsa Indonesia menganut berbagai macam agama dan keyakinan. Karena itu, pluralitas secara keseluruhan merupakan realitas eksistensial dan historis serta lebih sebagai faktor pemersatu perpecahan. Platform nasional Bhinneka Tunggal Ika kita mempertegas truisme ini.

Tidak berlebihan kalau pluralitas kita juga me-representasi pluralitas global. Ratusan suku dengan masing-masing bahasa, budaya, institusi sosial, dan keberagamaan yang ada memberi makna pentingnya saling menghormati. Dalam konteks Islam, meski Indonesia berada dalam titik koordinat terjauh dari lokus lahirnya Islam (Arab), Islam merupakan mayoritas secara kuantitatif.

Secara sosiologis, hal ini dimungkinkan bukan karena pendekatan klerikal ataupun skriptural, melainkan proses proselitisasi Islam nusantara yang lebih disebabkan oleh proses budaya. Dengan ini, dimaksudkan bahwa penerimaan Islam oleh bangsa Indonesia, secara pos-faktum, disebabkan Islam mengambil bentuk budaya bercorak isoterisyang saling beradaptasi dengan dialektika budaya lokal sehingga terjadi enkulturasi antara keduanya. Belakangan, sejalan dengan perkembangan dunia baru

Islam (LS Stoddard), menyeruak kontroversi di kalangan umat Islam yang mulanya menyangkut spektrum pemahaman Islam. Kemudian, secara tak terhindarkan merepre-sentasi dua blok besar paradigma Islam Indonesia, yaitu blok yang tetap meneruskan traditional Islam (TRADISLAM) vis-vis purified Islam atau puri-tant Islam (PURISLAM), yaitu blok yang ingin menimbang kembali Islam yang bercampur tradisi berdasarkan ortodoksi (Alquran dan Alsunnah al Na-bawiyah).

Konstruktivisme paradigma tik tradislam di atas kiranya memperjelas proses tradision-alisasi Islam yang dimulai dengan gerak Islam ke kanan dan ke kiri (oscillation) yang secara resiprokal terjadi pula pada tradisi lokal. Akomodasi Islam terhadap kultur lokal mengandalkan ter-jadinya transformasi Islam Indonesia secara tipikal, bukan Islam Arab, Iran, Pakistan, atau mana pun.

Bahkan, secara kategoris dan dalam batas tertentu, bukan pula Islamnya Nabi Muhammad dan para sahabat, melainkan Islam dengan kemungkinan modifikasi pada aspek-aspek artifisial (furuyah) yang dilulur dengan kaidah ushuliyah/-fiqhiyak yang mapan.

Secara konseptual, konteks inilah yang lebih relevan karena label tradislam sering dilekatkan pada Nahdlatul Ulama (NU) selama ini, di luar pengamannya dengan doktrin Ahl al-Sunnah wal Jamaah (ASWAJA). Berbeda dengan NU dengan varian Islam Indonesia, Muhammadiyah memandang bahwa Islam itu universal dan tunggal.

Pengaitan Islam dengan menyertakan faktor budaya di luar sunnnah Nabi Muhammad, termasuk model tradislam atau apa pun, bukan lagi islam, melainkan Islam yang telah terkontaminasi dan secara radikal harus direforrnasi sesuai dengan petunjuk Alquran dan praktik Nabi Muhammad.

Konstruktivisme paradig-matik purislam tampak merupakan antitesis terhadap tradislam. Dalam paradigma purislam, Muhammadiyah meng-andaikan terjadinya transformasi Indonesia yang Islami untuk tidak mengatakan Isla-misasi Indonesia. Proses yang berlangsung adalah dekon-struksi atas tradislam yang notabene telah ada jauh sebelum lahirnya NU untuk dikoreksi dan direkonstruksi menjadi (ringkasnya) Islam Alquran-hadis. Di sinilah letak pengertian bahwa purislam Muhammadiyah tidak berwatak Is-lamisasi Indonesia secara kategoris ataupun secara radikal.

Hal itu telah terbukti dalam sejarah. Ahmad Syafei Maarif dalam hal ini adalah tokoh sen-trifugal Muhammadiyah yang dalam perannya tidak jarang dikritik dan dihujat oleh sesama kalangan Muhammadiyah sendiri dan di luar itu. Akan tetapi, keduanya secara fundamental berada pada basis yang sama Islam Sunn. Malahan, pendiri Muhammadiyah dan NU ini adalah murid dari guru yang sama (al-Syekh Ahmad Khatib).

Saat ini, baik Muhammadiyah maupun NU mengeksplorasi trilogi persaudaraan ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah ba-syariyah (persaudaraan sesama Islam, sesama anak bangsa, dan sesama anak manusia).

Ukhuwah Islamiyah

Kita berharap bahwa trilogi persaudaraan ini tidak diced-erai lagi oleh mental korup dari para pelaksana negara ini. Korupsi yang masih berlangsung di negeri ini merupakan pengkhianatan terburuk dari pernyataan kepercayaan pada kepribadian nurani bangsa. Kemakmuran, kesejahteraan, keamanan, dan kedamaian adalah harga dan arti yang sebenarnya mengapa kita ingin merdeka.

Muhammadiyah dan NU serta seluruh eksponen kaum beragama yang ada semakin percaya bahwa disharmoni, konflik, dan bentrok antarsesama untuk beberapa kurun terakhir bukan disebabkan oleh faktor agama, melainkan karena kohabitasi kemiskinan, ketidakadilan hukum, moralitas yang rendah dari aparat penegak hukum, korupsi oleh para pelaksana pemerintahan negara.

Kita semua adalah kaum demokrat. Tetapi, jika demokrasi yang dijalankan oleh para pelaksana negara kita tidak mewujudkan kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan lahir batin bagi rakyat; klaim demokrasi kita hanya melahirkan para otoritarian berjubah demokrat. Lagi-lagi, agama dipersalahkan untuk tidak mengatakan Tuhan dipersalahkan.

Monday, May 17, 2010

Muhammadiyah dalam Gejolak Politik


Kompas, Selasa, 18 Mei 2010 | 02:13 WIB
istimewa

Judul : Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006
Penulis : Syarifuddin Jurdi
Pengantar : Prof. Ahmad Syafi’I Ma’arif
Penerbit : Pustaka Pelajar Yogyakarta
Cetakan : I, April 2010
Tebal : 520 halaman

Peresensi : Amin Musthofa*

Muhammadiyah akan menggelar Muktamar yang ke-42 pada Juli 2010 nanti. Hiruk-pikuk ihwal persyarikatan sudah mulai menyuruak sejak sekarang. Termasuk ihwal relasi Muhammadiyah dengan dinamika politik kebangsaan. Sebagaimana dialami Nahdlatul Ulama’ (NU), Muhammadiyah juga kerap terjebak dalam kalkulasi politik yang tidak sehat, sehingga persyarikatan terjebak dalam untung-rugi kekuasaan, bukan pada persoalan keummatan. Tarikan politik kekuasaan memang tidak mudah dilalui, karena syahwat politik bukan sekedar melekat dalam diri persyarikatan sendiri, tetapi juga dalam diri para fungsionaris Muhammadiyah.

Dalam konteks dinamika politik inilah, Syarifuddin Jurdi menyuguhkan buku bertajuk “Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006”. Penulis menyuguhkan analisis ihwal dinamika politik Muhammadiyah yang berkembang sejak lahirnya Orde Baru dan orde reformasi. Tatkala Orde Baru lahir, Muhammadiyah ikut serta dalam jebakan politik, karena sebelumnya, yakni setelah kemerdekaan sampai runtuhnya orde lama, Muhammadiyah terlibat aktif dalam gerakan politik yang dijalankan Partai Masyumi. Beberapa kali kader Muhammadiyah menduduki jabatan penting dalam organisasi Masyumi.

Ketika orde baru lahir, lewat Masyumi lah Muhammadiyah menyalurkan aspirasi politiknya. Kader-kader Muhammadiyah banyak terlibat dalam lembaga legislative dan lembaga eksekutif. Banyaknya kader Muhammadiyah yang terlibat aktif ini justru menjadikan energi persyarikatan banyak terkuras dengan berbagai lobi politik dan kekuasaan. Karena itu, I’tikad menjalankan roga organsiasi pengelami pergeseran. Cita-cita pendiri Muhammadiyah untuk terus melakukan amar ma’ruf nahi munkar banyak tertelantarkan.

Karena itulah, pada Muktamar di Makassar tahun 1971, Muhammadiyah memutuskan untuk kembali ke khittah 1912. Kembali kepada jati diri yang dicetuskan para pendiri inilah yang menjadi momentum strategis Muhammadiyah untuk menjaga netralitas politiknya. Sayang, netralitas ini agak terganggu tatkala elite Muhammadiyah yang diprakarsai Prof Amien Rais, Ketua PP Muhammadiyah saat itu, pada era reformasi (tahun 1998) mendirikan partai politik yang bernama Partai Amanat Nasional (PAN). Walaupun PAN tak ada kaitan organisasional dengan Muhammadiyah, tetapi fakta politik tak disanggah bahwa PAN lahir dari rahim Muhammadiyah.

Karena tarikan politik era reformasi itulah, Muhammadiyah kembali banyak terjebak dengan agenda politik. Tetapi tidak lama itu berlangsung, karena Muhammadiyah terus meningkatkan perjuangan kulturalnya seraya menjauh dari hiruk-pikuk politik kekuasaan. Buya Syafi’I Ma’arif memelopori gerakan cultural Muhammadiyah disertai dengan pengembangan kekuatan intelektual.

Syafi’I Ma’arif selalu menegaskan sikap netral politik dengan tidak mengaitkan diri dengan partai politik tertentu, sehingga seratus tahun umurnya kini, Muhammadiyah merupakan salah satu gerakan Islam yang tidak pernah menjadi partai politik. Pengalaman politik dengan Masyumi yang tidak mulus dan berbagai situasi yang menyebabkan partai politik menjadi tidak berdaya, inilah yang memberi bobot Muhammadiyah. Oleh sebab itu Muhammadiyah yang telah menyatu dengan denyut nadi bangsa ini dengan filsafat sosialnya yang telah teruji tidak akan pernah putus asa dan patah harapan. Bangsa ini adalah milik kita semua. Kita tidak akan lari meninggalkan bangsa yang sedang dililit banyak masalah ini.

Netralitas inilah, bagi penulis buku ini, yang harus kembali ditegaskan Muhammadiyah dalam Muktamarnya pada Juli 2010 nanti. Tugas besar menjadi tulang punggung bangsa masih menghadang, makanya Muhammadiyah jangan terpelesat dalam kubangan politik yang menjatuhkan diri Muhammadiyah di masa depan.

*Peneliti The Independent Institute Semarang

Friday, May 14, 2010

Rujukan Ulama

Republika, 30 Dec 2009

Kidwan Lubis

Ketua PB NU

Indonesia beruntung memiliki dua organisasi keagamaan besar, bahkan terbesar di dunia, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Dua organisasi ini lahir pada saat strategi penuangan bangsa Indonesia menghadapi kaum penjajah mengalami babak baru.Semula pola perjuangan bangsa masih bersifat lokal yang digerakkan oleh tokoh-tokoh masyarakat yang karismatik. Sekalipun dalam sekala kecil, akan tetapi perjuangan yang bersifat lokal itu cukup membuat repot pihak kolonial. Kehadiran dua organisasi ini dapat dipandang sebagai artikulasi dari format perjuangan umat Islam di Timur Tengah.

Penderitaan demi penderitaan yang dialami umat Islam yang puncaknya pada abad ke-19 menyadarkan umat Islam bahwa mereka menyimpan sejumlah persoalan keum-matan.Secara ideal, nilai-nilai ajaran yang terkandung dalam Islam sungguh amat luar biasa yang telah pernah mengantarkan umat manusia ke pintu gerbang peradaban yang modern yang ditandai lahirnya berbagai karya sebagai monumen klasik. Akan tetapi, semuanya menjadi sima lantaran umat Islam mengalami pembelokan etos perjuangan akibat melemahnya dinamika, kreativitas, dan inovasi mereka.

Kekuatan dua organisasi ini pada masa lalu adalah sebagai berikut. Pertama, para pendiri organisasi ini terdiri atas pribadi-pribadi yang memiliki kezuhudan, tidak tergoda oleh kekuasaan duniawi sehingga dengan keluhuran budi pekerti yang mereka miliki, maka jadilah mereka sebagai tokoh panutan yang selalu ditunggu-tunggu umat wejangannya manakala sedang menghadapi masa-masa sulit, terutama ketika berhadapan dengan penjajah. Keluhuran pribadi ini terpantul dalam seluruh tata lakunya sehingga .di wajahnya menampakkan suasana kesejukan dan kedamaian.

Kuatnya kepribadian para pemuka organisasi ini terutama pada generasi awal memantulkan kekuatan kepribadian (quwwat syakhsiah) sehingga mereka memiliki karamah, maunah, setidak-tidaknya irhas di mata pengikutnya. Sehingga, tidak jarang terjadi suasana penyerahan diri kepada kemauan ulama karena ulama diyakini oleh umat sebagai pewaris nabi {al ulama waratsat al anbiya).

Namun, konsekuensinya, terkadang para jamaah tidak mampu menarik batas antara keulamaan dengan kenabian sehingga yang terkesan bagi pengamat luar bahwa yang kelihatan adalah suasana feodalisme keberagamaan (religio-feodalisme), padahal utamanya sendiri tidak setuju untuk dilakukan pengultusan terhadap dirinya sebagaimana yang bisa diamati bahwa ketika seorang santri menyalami dan hendak mencium tangan kiai, serta-merta kiai menarik tangannya.

Kedua, sebagai upaya untuk membentengi umat dari penetrasi budaya asing yang tidak sejalan dengan Islam, ulama dengan sangat keras merumuskan batas-batas yang menjembatani tradisi dan modernitas. Oleh karena ulama lebih banyak berhadapan dengan masyarakat yang masih polos dan tingkat pengetahuan keagamaan yang masih tergolong rendah, terpaksa ulama merumuskan batas antara masa lalu dengan masa depan itu dengan mem-formulasikannya dalam sejumlah simbol, seperti kain sarung, topi putih, jas tutup, terompah, barjanzi, haul, serta larangan memakai dasi.

Dan pada masa berikutnya, oleh karena pola perjuangan Islam di nusantara lebih dipusatkan kepada pendekatan budaya bukan pendidikan, kondisi masyarakat tetap masih terpaku pada hal-hal yang simbolik. Dampaknya adalah sikap keberagamaan sebagian masyarakat bersifat kontraproduktif dengan esensi Islam sebagai pembawa kemajuan, yaitu dengan agenda tiga persoalan besar keumatan kemiskinan, kebodohan, clan keterbelakangan.

Ketiga, pola pemihakan yang dilakukan oleh ulama pada masa lampau, terutama dalam penyikapan terhadap berbagai persoalan kompetisi politik adalah keberhasilan mereka dalam menjaga jarak yang menjembatani antara pemerintah dan organisasi politik. Karena misi mereka adalah menjadikan aktivitas politik harus mendukung kepentingan Islam dan harus membawa kemaslahatan bagi umat Islam, bukan mengorbankan agama untuk kepentingan politik.

Kemampuan ulama untuk menjaga diri tidak terseret kepada arus persaingan kepentingan politik menempatkan NU dan Muhammadiyah berhasil untuk melakukan penjembatanan (bridging) dan penghubung (linking) antara pemerintah dengan masyarakat ketika masyarakat dihadapkan kepada pesetc-ruan dengan penguasa sehingga dua organisasi ini bebas berbicara kepada kedua belah pihak.

Mungkin inilah kelebihan NU dan Muhammadiyah di banding LSM yang terlihat cenderung menarik garis pemisah antara lembaganya dengan pemerintah karena didasari oleh semangat advokasi. Dalam pandangan NU dan Muhammadiyah, baik masyarakat maupun pemerintah adalah juga warganya yang harus diberikan semangat pencerahan. Oleh karena itu, wajar apabila dilakukan terhadapnya ajakan kepada kebaikan (amar maruf) dan mencegah dari kemungkaran (nahi munkar).

Keberhasilan dua organisasi ini berada pada posisi di atas semua kepentingan, maka NU dan Muhammadiyah berperan sebagai tempat umat mencari rujukan. Sehingga, sikap-sikap resmi yang dikeluarkan dua organisasi ini cenderung dapat mendinginkan suasana yang cenderung menghangat manakala terjadi kekisruhan politik.Dalam kaitan itulah, dua organisasi ini memainkan politik tingkat tinggi (high politic) yang titik tolaknya adalah komitmen pada esensi kekuasaan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ke depan, hal ini hendaknya semakin diperko-koh sehingga ia tidak terjebak dalam permainan dari kepentingan persaingan politik.

Persoalan utama yang dihadapi bangsa ini adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya sebagai akibat dari kurangnya perhatian untuk menjadikan wilayah pendidikan sebagai prioritas di dalam proses rekayasa sosial. Perkembangan penyiaran Islam di nusantara, sayangnya, tidak diteruskan dengan proses sosialisasi pembudayaan melalui pendidikan tingkat tinggi. Ulama sendiri pada masa lalu telah merumuskan selayaknya sikap umat Islam dalam memahami posisi tradisi dan modernitas dengan semboyan memelihara tradisi yang masih baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik.

Menarik keseimbangan antara dua pendulu tradisi dan modernitas adalah pekerjaan besar dan selalu bersifat jangka panjang karena setiap waktu selalu dibentuk oleh perubahan. Oleh karena itu, diperlukan semangat memikirkan kembali Islam dengan pengembangan model rethinking of Islam yang unsurnya adalah berpikir strategis, berpikir analitis, berpikir kekuatan, dan berpikirJcreatif. Keempat unsur ini akan saling memperkuat satu sama lain.

Tidak bisa dihindari bahwa dengan gerakan memikirkan kembali Islam akan melahirkan dua gaya berpikir, yaitu gaya berpikir adaptif dan proaktif. Gaya berpikir adaptif adalah lebih cenderung pada enam hal, yaitu mengikuti pola yang telah terbentuk; terorganisasi dengan baik; fokus pada tujuan; senang pada saat berhasil membuat keputusan; merasa nyaman saat menangani tugas satu per satu; dan lebih suka belajar melalui satu sumber.

Sementara gaya berpikir proaktif adalah mempunyai kecenderungan enam hal juga, yaitu menggunakan cara yang berbeda untuk mendapatkan hasil; terlihat tidak terorganisasi; lebih menghargai proses dibandingkan hasil nyata; lebih suka melanjutkan proses dibandingkan mencapai tujuan.

Kedua organisasi ini akan menyelenggarakan muktamarnya, NU pada Maret 2010 dan Muhammadiyah Juli 2010, maka wajarlah apabila harapan ini dititipkan kepada para muktamirin dan muktatnirat agar dapat menangkap kuatnya iklim ukhuwah di kalangan pendukung, baik NU maupun Muhammadiyah. Oleh karena itu, dua pemimpin organisasi ini hendaklah sering duduk bersama dalam satu majelis untuk membahas berbagai persoalan strategis keumatan.

Thursday, May 13, 2010

Muhammadiyah dan Masyarakat Informasi

Republika, 03 May 2010

M Nurul Yamien
Sekretaris Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah

Muktamar ke-46 Muhammadiyah Tahun 2010 atau Muktamar Satu Abad Muhammadiyah tinggal hitungan hari. Memasuki abad kedua, organisasi berlambang matahari ini dipastikan dihadapkan pada tantangan yang jauh berbeda jika dibandingkan perjalanan sejarah satu abad sebelumnya. Di sinilah, Muktamar Satu Abad Muhammadiyah menemukan momentum strategisnya sebagai ajang evaluasi gerakan Muhammadiyah sekaligus menyikapi perubahan secara dinamis sebagai implementasi dari ciri tajdid yang dimilikinya Dengan semangat tajdidiyah, diharapkan pada muktamar yang akan datang muncul gagasan ataupun pemikiran yang jauh lebih obsesif untuk melakukan rekonstruksi gerakan Muhammadiyah sehingga gerakan Muhammadiyah pada abad kedua tampil dengan paradigma baru.

Salah satu kecenderungan global peradaban manusia ke depan adalah perkembangan sains dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan informasi. Kemajuan peradaban manusia di bidang teknologi komunikasi dan informasi oleh Toffler (2003) disebutnya sebagai era reformasi gelombang ketiga atau juga sering disebut sebagai revolusi industri II. Kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi mampu menembus batas-batas teritorial, norma, dan nilai sehingga mampu mengubahgaya hidup manusia modern dan membawa berbagai perubahan dan implikasi-implikasi tertentu dalam kehidupan masyarakat. Informasi telah menjadi salah satu kebutuhan pokok sehari-hari, selain sembako dan peradaban manusia menuju peradaban baru yang disebut sebagai masyarakat informasi (information society).

Di dunia akademis, konvergensi teknologi untuk kepentingan informasi biasa dilakukan oleh para mahasiswa dan dosen untuk mendapatkan berbagai referensi tanpa perlu secara fisik hadir di perpustakaan. Mereka cukup menggunakan sebuah komputer yang tersambung internet. Konvergensi teknologi komunikasi bagi kepentingan kendali sering digunakan eksekutif perusahaan. Para eksekutif ini mengendalikan beberapa perusahaan yang tersebar di beberapa tempat dengan hanya duduk dan berdialog melalui teknologi komunikasi mutakhir. Kedua, digitalisasi. Perubahan dari teknologi analog ke digital memungkinkan komunikasi memuat informasi yang sangat kaya dari segala jenis data secara bersama, digabung atau dikonversikan, dan dapat disajikan dalam segala bentuk.

Ketiga, teknologi jaringan. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi jaringan memungkinkan membangun jalan raya informasi bebas hambatan (information super highway) dengan keterkaitan antara jaringan lokal, metropolitan, nasional, dan internasional.

Teknologi jaringan mengingatkan kita tentang global village atau kampung dunia yang dikemukakan oleh pakar komunikasi Marshall MLuhan. Pada masa itu, mungkin kita tidak perlu marah kalau dikatakan kam-pungan karena toh semua pada saat itu memang telah menjadi kampungan. Keempat, pengembangan multimedia. Pengembangan multimedia akan membuat media komunikasi massa yang saat ini kita kenal sebagai pertanda kehidupan modern (seperti surat kabar, televisi, radio, film, dan sebagainya) oleh Aston Schwarz (1995) dikatakan untuk bersiap-siap sebagai media tradisional. Wartawan surat kabar, radio, dan televisi pun pada saatnya harus siap mendisebut sebagai pekerja media tradisional, yang mirip-mirip dengan media komunikasi tradisional yang selama ini kita kenal, misalnya sinden atau dalang yang memang menggeluti dunia komunikasi tradisional yang sarat dengan nilai-nilai luhur. Bedanya, kalau yang satu menjadi tradisional karena konsekuensi perkembangan teknologi komunikasi, sedangkan yang satunya lagi memang dari sananya sudah tradisional.

Kecenderungan masyarakat informasi sebagaimana disebutkan di atas tidak hanya menuntut perubahan paradigma pada kehidupan organisasi, tetapi juga berdampak pada level kehidupan individu dan keluarga. Kemampuan umat manusia mengembangkan sains dan teknologi tenyata tidak seimbang dengan kemampuannya untuk mereduksi akibat samping dari penggunaan teknologi itu sendiri. Dengan demikian, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi bak pisau bermata dua yang masing-masing sisinya sama tajamnya.

Agenda Muhammadiyah

Ke depan, Muhammadiyah dihadapkan pada realitas peradaban masyarakat informasi yang kalau tidak diantisipasi akan menenggelamkan Muhammadiyah menjadi organisasi tradisional karena percepatan gerak peradaban sejarah teknologi komunikasi dan informasi. Oleh karena itu, Muhammadiyah harus menempatkan persoalan teknologi komunikasi dan informasi menjadi salah satu agenda penting pada abad kedua Muhammadiyah dengan berbagai langkah antisipatif sebagai berikut.

Pertama, kesiapan sumber daya manusia yang berorientasi pada penguatan penguasaan teknologi komunikasi dan informasi. Kedua, manajemen berbasis teknologi dan jaringan.

Dengan manajemen berbasis teknologi dan jaringan, proses penyebaran informasi timbal balik dan menyeluruh dari dan ke seluruh stakeholders Muhammadiyah akan menjadi lebih cepat dan merata. Muhammadiyah harus mengoptimalkan peran perguruan tinggi Muhammadiyah yang memiliki prodi teknologi informasi dalam memajukan dan memo-dernkan manajemen organisasi Muhammadiyah.

Ketiga, revitalisasi media massa Muhammadiyah. Keempat, dari dakwah verbal manual ke dakwah digital.

Akhirnya, hanya waktu dan sejarahlah yang akan membuktikan apakah Muhammadiyah akan tetap mempertahankan karakter tajdidiyah-nya atau tenggelam menjadi tradisional karena percepatan pergerakan sejarah peradaban manusian.

Wednesday, May 12, 2010

Gus Dur dan Muhammadiyah

Republika, 18 Jan 2010

Oleh Prof Dr Imam Suprayogo

(Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang)

Membaca sepintas judul dalam tulisan ini mungkin terkesan aneh. Dalam hal ini, Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid dija-jarkan dengan Muhammadiyah. Bukankah semestinya Gus Dur lebih tepat diperbincangkan dengan NU atau Nahdlatul Ulama? Bukankah Gus Dur dan Muhammadiyah adalah dua identitas yang jelasber-beda.

Perbincangan tentang Gus Dur dan NU terasa sudah biasa. Gus Dur tidak akan bisa dipisahkan dari NU. Gus Dur adalah cucu pendiri NU, semua orang sudah mafhum. Gus Dur pernah menjadi ketua PB NU sejak tahun 1984, terpilih dalam Muktamar di Situbondo, dan baru setelahnya digantikan oleh KH Hasyim Muzadi hingga sekarang. Selain itu, Gus Dur adalah pendiri PKB, partai politik kaum Nahdliyin. Itu semua menjadikan antara NU dan Gus Dur tidak bisa dir pisahkan.

Saya selama ini melihat keduanya-entah disetujui atau tidak-memiliki persamaan, yaitu sama-sama dipandang sebagai gerakan pembaruan di Indonesia. Gus Dur, dengan berbagai pemikiran dan gerakan sosialnya, sekalipun tidak mengklaim sebagai pembaru, dianggap telah melakukan peran-peran perubahan yang sangat mendasar oleh berbagai kalangan. Demikian pula Muhammadiyah, secara eksplisit, yang menyebut dirinya sebagai organisasi pembaru.

Selanjutnya, kalau keduanya disebut sebagai pembaru atau katakanlah sebagai kekuatan pengubah, lalu adakah
perbedaan di antara keduanya? Jika hal itu memang berbeda, ada di wilayah mana perbedaan itu? Pertanyaan ini rasanya penting untuk dicarikan jawabannya. Sementara ini, saya melihat bahwa keduanya adalah pembaru, namun pendekatan yang digunakan di antara keduanya tampak amat berbeda.

Muhammadiyah yang dirintis oleh KH Achmad Dahlan melakukan pembaruan dengan mendirikan organisasi. Berbagai aspek keagamaan disentuh sebagai bagian dari wilayah pembaruan itu. Dengan sen-tuhan-sentuhan itu, ada beberapa aspek yang terasa berbeda dengan sebelumnya. Sehingga, siapa pun bisa membedakan NU dan Muhammadiyah. Katakanlah, misalnya, orang NU dalam shalat Subuh menggunakan doa kunut, sedangkan Muhammadiyah tidak. NU dalam shalat Jumat menggunakan dua azan, sedangkan Muhammadiyah hanya satu azan. Jamaah NU shalat Id di masjid, sedangkan Muhammadiyah di lapangan.

Perbedaan itu sesungguhnya sederhana saja. Bahkan, akhir-akhir ini sudah semakin saling mendekat atau berbaur, setidak-tidaknya perbedaan itu semakin tidak dihiraukan. Misalnya, orang NU shalat berjamaah dengan orang Muhammadiyah, siapa pun yang menjadi imam dianggap sah. Tidak sedikit orang NU shalat tarawih hanya delapan rakaat sebagaimana orang Muhammadiyah melakukannya. Demikian pula orang Muhammadiyah khotbah shalat Id di masjid dan begitu juga sebaliknya. Hal itu judah banyak terjadi dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang ganjil atau aneh. Dulu, diakui atau tidak, gerakan Muhammadiyah menghadapi resistensi luar biasa besarnya.

Hal itu sangat berbeda dengan pembaruan yang dilakukan oleh Gus Dur. Sekalipun resistensi itu ada, tawaran-tawaran pembaruan yang dilakukan oleh Gus Dur tidak sampai melahirkan perasaan khawatir atau ketakutan, kecuali beberapa pihak saja. Jika ada tokoh yang tidak menyetujui pandangan Gus Dur, paling banter, mereka hanya diam. Tokoh yang pernah menjadi ketua PBNU dan juga pemrakarsa berdirinya PKB ini, sekalipun memiliki pikiran dan pandangan yang sangat berbeda, masih tetap diterima sebagai pimpinannya. Perubahan yang ditawarkan oleh Gus Dur tidak ada resistensi, kecuali beberapa yang tidak terlalu berpengaruh.

Kalau benar demikian, pertanyaannya adalah apa yang berbeda antara Gus Dur dan Muhammadiyah jika kedua-duanya disepakati sebagai kekuatan pembaru. Sepintas, saya melihat perbedaan itu terletak pada pendekatan yang dilakukannya. Muhammadiyah dengan pembaruannya melahirkan identitas baru yang berbeda dari kelompok lainnya. Munculnya Muhammadiyah melahirkan sekolah Muhammadiyah, masjid Muhammadiyah, ritual orang-orang Muhammadiyah, bahkan juga baju seragam Muhammadiyah, dan sebagainya. Perbedaan itu kemudian melahirkan jarak. Dengan jarak itu, tidak jarang memunculkan perasaan berbeda, identitas berbeda, dan bahkan kemudian melahirkan kompetisi atau juga konflik. Satu sama lain menjadi merasa tersaingi atau terganggu.

Sementara itu, saya melihat bahwa Gus Dur juga melakukan pembaruan, tetapi tidak memunculkan identitas baru. Ketika Gus Dur melakukan pembaruan di tubuh NU, orang-orang NU di berbagai tingkatan tidak pernah merasa diubah. Hal itu karena Gus Dur tidak pernah melakukan perubahan pada tingkatan identitas atau simbol-simbol. Orang-
orang NU tetap saja memakai sarung dan kopiah, shalat Id di masjid, shalat tarawih 20 rakaat, tetap saja tahlil, talkin, dan juga ziarah kubur. Hal-hal seperti itu, oleh Gus Dur, tidak pernah disentuh, melainkan tetap dijalankan sebagaimana sedia kala.

Namun, jangan dikira Gus Dur tidak melakukan perubahan. Dengan berbagai langkah strategisnya, Gus Dur telah melakukan perubahan di kalangan NU sedemikian dahsyat. Perubahan itu, saya lihat terletak bukan pada wilayah-wilayah identitas yang bersifat simbolik, melainkan pada wilayah yang lebih dalam, yaitu pandangan dan pemikiran, tidak terkecuali pemikiran tentang keagamaan. Jika kita mau melihat secara jeli, pemikiran-pemikiran anak muda NU, termasuk dalam pemikiran keagamaan, melalui Gus Dur, menjadi terbuka luar biasa. Akan tetapi, perubahan itu seolah-olah tidak dirasakan oleh orang-orang NU sendiri.

Melalui fenomena itu, saya melihat. Gus Dur dan Muhammadiyah telah melakukan perubahan, tetapi masing-masing menempuh pendekatan yang berbeda dan ternya ta hasilnya juga berbeda.

Perubahan yang dilakukan oleh Muhammadiyah melahirkan perasaan dan kelompok yang berbeda. Sedangkan, Gus Dur yang mengubah dari dalam, apalagi perubahan itu bukan berada pada wilayah simbolik, melainkan menyentuh aspek yang lebih dalam-berupa cara pandang, pemikiran, dan ide-ide tentang banyak hal, misalnya demokrasi, politik, sosial, dan lain-lain-membuat perubahan itu tetap terjadi dan bahkan dalam hal-hal tertentu lebih dahsyat, tanpa dirasakan.

Gus Dur tetap dianggap sebagi bagiannya dan bahkan harus dicintai dan selalu diikutinya. Wallahuallam. rn

Tuesday, May 11, 2010

"Reformis" vs. "Konservatif" di Muktamar ke-42 Yogyakarta 1990

Muktamar, persatuan, dan pertarungan

STADION Mandala Krida di Yogyakarta tampak semarak dan sekaligus sesak Sabtu siang pekan lalu. Umbul-umbul dan bendera Muhammadiyah yang berwarna hijau itu bertebaran di dalam dan di luar stadion. Panas yang menyengat tak mengurangi puluhan ribu orang berbondong-bondong memadati bangku-bangku di dalam stadion. Sedangkan puluhan ribu lainnya, yang tak memiliki tanda masuk, hanya bisa menyemut di sekeliling stadion. Puluhan ribu orang itu datang untuk satu tujuan: menyemarakkan pembukaan Muktamar Muhammadiyah yang ke-42. Pada mereka yang beruntung bisa masuk dalam stadion, disuguhkan sebuah pesta budaya. Ada pencak silat masal yang dilakukan 4.000 pesilat dari perguruan Tapak Suci. Ada senam masal seribu murid SD. Juga drumband.

Adalah Presiden Soeharto yang membuka secara resmi muktamar Muhammadiyah ini. Ikut hadir tujuh menteri -- seperti Menteri Agama Munawir Sjadzali, Menteri Dalam Negeri Rudini, dan Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara -- ikut memberikan sambutan dalam berbagai acara muktamar, yang berakhir Rabu pekan ini (19 Desember 1990).

Boleh jadi, ini muktamar yang paling akbar sepanjang sejarah Muhammadiyah, yang berdiri pada 1912. Sekitar 3.000 orang hadir sebagai peserta -- termasuk musyawarah nasional organisasi wanita Muhammadiyah Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah, yang penyelenggaraannya dibarengkan. Lalu, sekitar 40.000 penggembira ikut memeriahkan muktamar. Peristiwa ini juga diliput 400 wartawan dalam negeri. Mereka semua dijamu oleh sekitar 2.000 panitia yang ditopang dana Rp 1 milyar.

Yang tampaknya paling menonjol dalam muktamar kali ini adalah mencuatnya isu pergantian A.R. Fakhruddin sebagai Ketua PP Muhammadiyah, dan pertentangan antara kelompok "reformis" -- biasa disebut Lukman Harun dkk. -- dan kelompok "konservatif" yang dimotori oleh Djazman Alkindi. Memang, sebelum muktamar berlangsung, Pak A.R. (baca: A-Er) -- begitu panggilan akrab A.R. Fakhruddin -- sudah menyatakan tak bersedia lagi menjabat sebagai orang nomor satu di Muhammadiyah. Dan bakal penggantinya sudah ia tunjuk: Azhar Basyir. "Dia seorang ustad yang ilmu agamanya tinggi," kata Pak A.R. Itu berarti figur Lukman Harun -- Wakil Ketua II PP Muhammadiyah -- bakal tergusur.

Sebelum muktamar, Lukman memang selalu mendengungkan perlunya profesionalisme manajemen dalam organisasi Muhammadiyah. Kalau perlu, kata Lukman, "Pengurus Muhammadiyah juga harus mendapatkan gaji." Bahkan ia juga menilai bahwa semangat proses pembaruan dalam Muhammadiyah mengalami kemandekan.

Tokoh muda Muhammadiyah seperti Amien Rais, Syafii Maarif, Watik Pratiknya, atau Dien Syamsuddin, tampaknya berada di pihak Lukman. Tapi Pak A.R., Ahmad Azhar Basyir, atau Djazman Alkindi, misalnya, melihat sebaliknya. Maka, arena Sidang Tanwir -- memilih calon anggota tetap PP Muhammadiyah -- pada Kamis dan Jumat pekan lalu, yang berlangsung menjelang muktamar, pun berlangsung seru. Lukman sendiri ternyata kalah.

Dalam pemilihan calon anggota tetap PP Muhammadiyah, di luar dugaan, namanya tak masuk dalam nominasi 39 calon anggota tetap PP Muhammadiyah 1990-1995 mendatang. Padahal, dalam muktamar Muhammadiyah ke-41 di Solo, 1985, dalam pemilihan yang sama Lukman termasuk lima besar. Tentu saja banyak yang kaget. Amien Rais, misalnya, terus terang kecewa. Menurut dia, peristiwa ini merupakan yang pertama kalinya terjadi sepanjang sejarah Muhammadiyah: ada seorang pimpinan inti Muhammadiyah yang terpental karena rekayasa yang cukup intensif.

"Ini perlu diratapi. Cukuplah sekali ini saja terjadi. Kalau jadi preseden, Muhammadiyah akan lebih gawat dari partai politik," tukas Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah itu. Ia mengibaratkan Lukman dianiaya. "Ini dholim. Saya tak rela, orang yang begitu banyak jasanya kok dibegitukan," katanya. "Saya kaget dan kasihan. Bagaimanapun, Lukman sudah berbuat banyak buat Muhammadiyah," komentar Djarnawi Hadikusumo, Wakil Ketua I PP Muhammadiyah. Menurut dia, "kesalahan" Lukman adalah kurangnya hati-hati dalam membuat pernyataan-pernyataan yang kemudian dikutip berbagai media. "Itu salah langkah," tambahnya.

Namun, Djarnawi menilai Lukman sangat andal dalam hal lobbying dengan berbagai pihak. Pergaulannya sangat luas di kalangan tokoh-tokoh mancanegara. Maklum, Lukman hingga kini aktif sebagai Wakil Sekjen Asian Conference on Religion and Peace, Ketua Komite Solidaritas Islam, dan Wakil Ketua Panitia Pembantu Pembebasan Palestina dan Masjidil Aqsa. Lukman sendiri tampak siap menerima kekalahannya. "Tak apa-apa, ini artinya ide-ide saya yang progresif memang belum bisa diterima. Mau apa lagi?" katanya.

Tersingkirnya Lukman membuat banyak orang menoleh kepada Djazman, yang disebut-sebut sebagai "musuh bebuyutan" Lukman (konon sejak mereka berdua bersaing ketat memperebutkan kursi ketua Pemuda Muhammadiyah tahun 1960-an). "Perseteruan" itu tampaknya semakin berlanjut setelah Lukman secara terbuka menentang rangkap jabatan oleh Djazman. Tokoh yang terakhir ini, selain duduk sebagai Ketua Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, juga menjabat sebagai rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Ini dinilai mengundang kerancuan antara si pengelola dan si pengawas.

Persoalan sempat diredam setelah Pak A.R. menandatangani surat keputusan PP Muhammadiyah yang membolehkan Djazman memegang dua jabatan itu. Tapi Lukman dkk. tetap tak puas atas keputusan yang dianggap bertentangan dengan Anggaran Dasar Muhammadiyah dan hasil muktamar ke-41. Ketidakpuasan Lukman itu rupanya "dibocorkan" ke media massa. Pembeberan inilah yang membuat sejumlah tokoh Muhammadiyah panas kupingnya. Termasuk Pak A.R. "Janganlah kita sebar-sebarkan kesalahan dan kekeliruan itu melalui surat kabar, katanya, ketika memberikan sambutan pada pembukaan Muktamar Muhammadiyah, Sabtu pekan lalu.

Gelombang membendung Lukman dalam kepemimpinan Muhammadiyah sudah gencar menjelang berlangsungnya pemungutan suara untuk mencari 39 nama calon anggota tetap PP Muhammadiyah di Sidang Tanwir. Bahkan, menurut Amien Rais, Pak A.R. di depan Sidang Tanwir, Kamis malam pekan silam, sempat mengatakan bahwa ide Lukman tentang profesionalisme di kalangan pengurus Muhammadiyah tak benar. "Ini sangat memojokkan Lukman dan mempengaruhi jalannya pemilihan," katanya.

Hasil pemilihan: Lukman hanya mendapat dukungan 52 suara, sama seperti yang diperoleh Prof. Dr. Rasyidi. Sialnya, perolehan suara itu hanya terpaut 2 suara dari peringkat ke-39 yang diduduki oleh A. Dimyati (Wakil Ketua Majelis Tabligh). Adakah ini hasil rekayasa seperti yang dituding oleh Lukman dan Amien?

"Kalau toh ada rekayasa, biayanya sangat mahal. Perlu dana jutaan rupiah dan waktu yang berbulan-bulan untuk menggarapnya. Jadi, tak mungkin," kata Djazman. "Ini adalah hasil pemilihan yang demokratis," ujar Ismail Sunny, Wakil Ketua III PP Muhammadiyah, yang dalam pemilihan itu mendapat 89 suara dan menempati peringkat ke-14.

Kekalahan Lukman itu tampaknya bisa ditebak kalau melihat komposisi peserta Sidang Tanwir. Mereka yang menjadi mayoritas adalah utusan Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) -- tingkat provinsi. Ada 26 PWM -- tak termasuk Timor Timur -- yang masing-masing diwakili oleh empat orang, kecuali Ambon yang hanya diwakili seorang utusan. Ini ditambah dengan belasan anggota PP Muhammadiyah, 10 utusan Organisasi Otonom (seperti Pemuda Muhammadiyah, Aisyiyah) dan utusan Majelis PP Muhammadiyah (seperti wakil dari Majelis Tablih, Majelis Tarjih). Total peserta Sidang Tanwir 139 orang.

"Banyak yang umurnya sudah berkepala tujuh," komentar Amien, yang mengamsalkan bahwa pemilihnya adalah orang-orang tua seangkatan Pak A.R. Dari jumlah di atas, hanya 120 yang memiliki hak memberikan suara. Sedangkan yang berhak dipilih ada 86 orang. Di muktamar nanti, dari 39 calon tadi dipilih lagi jadi 13 nama pengurus inti PP Muhammadiyah. Kiai Azhar duduk di peringkat pertama dengan suara terbanyak (111 suara). Peringkat berikutnya, Sutrisno Muchdam, 109 suara. Djarnawi Hadikusumo dan Rosyad Soleh masing-masing memperoleh 107 suara.

Sedangkan Amien Rais menempati peringkat ke-6 dengan 103 suara. Djazman menduduki peringkat ke-11 (93 suara). Sedangkan Pak A.R. ada di peringkat ke-16 dengan perolehan suara 88. Satu-satunya calon wanita yang melejit masuk 39 Besar adalah Prof. Dra. Siti Baroroh Baried, 66 tahun, mantan Ketua PP Aisyiyah. Sedangkan calon termuda adalah Rusli Karim, 38 tahun, dosen IKIP Negeri Yogyakarta dan sekretaris Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan Muhammadiyah.

Dalam analisa seorang peserta muktamar, tampaknya kelompok "konservatif" menguasai ke-39 anggota calon tetap PP Muhammadiyah. Sedangkan kelompok "reformis" hanya terwakili -- seperti dikatakan seorang sumber yang dekat dengan kelompok Lukman dkk. -- oleh Amien Rais, Ismail Sunny, Ahmad Watik Pratiknya (80 suara, peringkat ke-22), Syafii Maarif (94 suara, peringkat ke-8), Fahmi Chatib (72 suara, peringkat ke-32) Rusjdi Hamka (97 suara, peringkat ke-17), dan Ramli Thoha (77 suara, peringkat ke-28).

Toh itu tak berarti kelompok "reformis" tersingkir. Sebab, mereka mewakili suatu kelompok besar di Muhammadiyah. Dan apa pun yang terjadi, semangat persatuan agaknya masih tetap menjadi tradisi Muhammadiyah. Menurut sumber TEMPO yang dekat dengan kelompok "konservatif", mereka masih menginginkan tampilnya Amien Rais, Ramli Thoha, atau Rusjdi Hamka, dalam 13 anggota tetap PP Muhammadiyah (1990-1995) hasil pemilihan di muktamar ini. "Bahkan tokoh-tokoh dari Jakarta seperti Sugiat Ahmad Sumadi dan Peunoh Dali juga kami harap masuk," katanya.

Tak masuknya Lukman dalam 39 besar itu rupanya mengundang keprihatinan bekas Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara. Sampai-sampai Alamsjah mengundang Djarnawi Hadikusumo, Jumat petang pekan lalu, untuk menemuinya di Hotel Garuda, Yogyakarta. Keduanya bertukar pikiran tentang peluang Lukman untuk tetap masuk dalam kepengurusan inti PP Muhammadiyah. "Tapi saya tak menjanjikan apa-apa. Biarlah nanti 13 orang yang terpilih itu yang akan menentukannya setelah muktamar selesai," kata Djarnawi.

Pemilihan untuk menentukan 13 anggota tetap PP Muhammadiyah berlangsung Selasa pekan ini. Sekitar 1.200 orang peserta akan memberikan suaranya secara langsung -- memilih dari 39 calon yang ada. Dalam taksiran Amien Rais, sekitar 70-% pemberi suara adalah pengurus Muhammadiyah di tingkat cabang. Mereka ini relatif muda. "Saya berharap banyak pada mereka," kata Amien. Tapi muktamar memang tak melulu membicarakan soal terlemparnya Lukman atau mencuatnya konflik antara kelompok "reformis" dan "konservatif". Masih banyak agenda lain yang juga dibahas. Seperti penyantunan kaum du'afa -- masyarakat miskin -- yang menurut Pak A.R., "Jumlahnya masih 30 juta orang di Indonesia ini". Muhammadiyah memang sudah seharusnya mengulurkan tangan pada mereka. Ahmed K. Soeriawidjaja, Siti Nurhaiti, Heddy Lugito (Yogyakarta)

Retrieved from: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1990/12/22/NAS/mbm.19901222.NAS17539.id.html (May 11, 2010)

Monday, May 10, 2010

Jiwa Besar NU untuk Muktamar Muhammadiyah

Islamlib.com, 14/04/2010
Oleh Saidiman Ahmad

NU dan Muhammadiyah adalah organisasi besar dengan harapan yang sangat besar. Jika kedua organisasi ini dibiarkan stagnan dan terus-menerus mempertahankan sikap statis, maka yang akan merugi adalah seluruh bangsa. Dengan kebesaran yang ada, kedua organisasi ini sejatinya tidak membutuhkan pengakuan dari manapun. Sehingga kampanye menjaga citra sebenarnya adalah percuma. Yang dibutuhkan dari kedua organisasi ini adalah gebrakan-gebrakan dinamis untuk transformasi sosial ke arah yang lebih baik.

Menjelang Muktamar Muhammadiyah ke-46 yang sekaligus menandai seratus tahun organisasi massa Islam itu, pelbagai manuver politik mulai muncul ke permukaan. Seperti pada Muktamar NU ke-32 di Makassar, isu mengenai liberalisme dan pluralisme juga mulai mencuat menjelang Muktamar Muhammadiyah. Isu liberalisme dan pluralisme digunakan oleh sejumlah pihak yang memiliki kepentingan politik untuk menyerang kekuatan lain. Alasan utamanya adalah bahwa liberalisme dan pluralisme adalah gagasan baru yang sangat tidak populer. Siapapun yang terstigma dengan liberalisme dan pluralisme akan ditolak oleh banyak kalangan. Semuanya adalah manuver politik dalam rangka perebutan posisi Ketua Umum.

Majalah Tabligh terbitan PP Muhammadiyah, Maret 2010, misalnya, memuat pernyataan Amien Rais tentang kerisauannya terhadap perkembangan anak-anak muda Muhammadiyah yang mulai menerima gagasan-gagasan pluralisme dan liberalisme. Pada kasus Judicial Review UU PNPS/1965 tentang Penodaan Agama, PP Muhammadiyah juga secara tegas penolak pencabutan UU pembatasan kebebasan beragama itu. Beberapa spanduk di sekitar arena Muktamar NU juga terpampang penolakan terhadap liberalisme dan pluralisme. Bahkan berkembang isu untuk menjegal tokoh-tokoh yang disinyalir memperjuangkan gagasan-gagasan liberalisme dan pluralisme.

Pada Muktamar NU ke-32, isu anti-liberalisme dan anti-pluralisme tampak tidak banyak menuai simpati. Hal itu dibuktikan dengan komposisi perolehan suara, baik pada pemilihan Syuriah maupun Tanfidziyah, justru lebih banyak diraih oleh tokoh-tokoh yang selama ini identik dengan gerakan liberalisme dan pluralisme. KH Sahal Mahfudz yang selama ini sangat kukuh menolak formalisasi syariat Islam justru secara aklamasi kembali dinobatkan sebagai Rais Aam PBNU. KH Said Aqil Siradj yang selama ini dikenal sebagai ahli tasawwuf yang oleh karenanya memperjuangkan pemikiran terbuka di dalam Islam justru memenangkan pemilihan Ketua Umum PBNU. Ulil Abshar-Abdalla (Gus Ulil) yang getol memperjuangkan gagasan-gagasan kebebasan sipil (civil liberties) didukung oleh 22 cabang dan wilayah NU. Sementara tokoh konservatif KH Hasyim Muzadi yang selama ini melakukan kampanye anti-liberalisme dan pluralisme kalah dalam pemilihan Rais Aam dan hanya memperoleh enam suara pada pemilihan Ketua Umum PBNU tahap pertama.

Muktamar NU ini seharusnya menjadi pelajaran yang berharga bagi Muktamar Muhammadiyah. Liberalisme dan pluralisme adalah gagasan-gagasan yang dikembangkan oleh anak-anak muda NU dan Muhammadiyah. Menolak gagasan yang berkembang di kalangan anak-anak muda adalah pilihan yang tidak bijak. Para pemimpin Muhammadiyah harus menyadari bahwa telah terjadi perubahan di dalam tubuh organisasi. Gagasan-gagasan yang dikembangkan oleh anak-anak muda boleh jadi jauh lebih maju dan relevan untuk pengembangan organisasi di masa depan. Gagasan-gagasan semacam keterbukaan, kemajuan dan toleransi adalah sangat penting bagi organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah.

Gagasan-gagasan baru yang dikembangkan oleh anak-anak muda juga tidak bisa ditolak begitu saja, karena biasanya hal itu terkait dengan gagasan umum yang sedang berkembang di kalangan ummat. Pada kasus Muktamar NU, para pengamat tentu akan dengan mudah mengidentifikasi bagaimana masyarakat NU yang hadir pada Muktamar itu mengelu-elukan tokoh-tokoh seperti KH Sahal Mahfudz, KH Maemun Zubair, KH Said Aqil Siradj dan Ulil Abshar-Abdalla. Setiap kali nama mereka disebut sontak para hadirin meneriakkan kaya “Yes” dan bersorak gembira. Hal sebaliknya terjadi ketika nama yang disebut adalah tokoh yang sejauh ini dianggap tidak ramah terhadap gagasan baru. Setiap kali nama KH Hasyim Muzadi disebut, yang terdengar adalah teriakan “huuu.” Contoh kecil ini bisa dijadikan bukti bahwa mereka yang mengusung gagasan baru sesungguhnya menampung kebutuhan masyarakat secara umum.

NU dan Muhammadiyah adalah organisasi besar dengan harapan yang sangat besar. Jika kedua organisasi ini dibiarkan stagnan dan terus-menerus mempertahankan sikap statis, maka yang akan merugi adalah seluruh bangsa. Dengan kebesaran yang ada, kedua organisasi ini sejatinya tidak membutuhkan pengakuan dari manapun. Sehingga kampanye menjaga citra sebenarnya adalah percuma. Yang dibutuhkan dari kedua organisasi ini adalah gebrakan-gebrakan dinamis untuk transformasi sosial ke arah yang lebih baik.

Selama sepuluh tahun di bawah kepemimpinan KH Hasyim Muzadi, NU seolah adalah organisasi kecil yang butuh pengakuan. Itulah yang menjelaskan kenapa PBNU tampak enggan memberi respon tegas terhadap pelbagai persoalan bangsa. Lima tahun di bawah kepemimpinan Din Syamsuddin, Muhammadiyah muncul sebagai organisasi kecil yang seolah harus selalu mengikuti arus konservatifisme agar ia tetap eksis. Sejatinya pilihan-pilihan kebijakan yang mengikuti arus itu tidak terlalu dibutuhkan oleh NU dan Muhammadiyah, karena pada dirinya keduanya adalah organisasi besar.

NU dan Muhammadiyah membutuhkan pemimpin-pemimpin seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Prof. Ahmad Syafi’i Ma’arif. Kedua tokoh itu memiliki kesadaran tentang betapa besar organisasi yang mereka pimpin. Dengan kesadaran semacam itu, keduanya dengan leluasa melakukan gebrakan-gebrakan dinamis. Mereka tidak takut berseberangan dengan arus konservatifisme. Mereka dengan lantang dan tegas melakukan pembelaan terhadap kelompok minoritas yang terpinggirkan. Mereka dengan gagah berani melakukan pembelaan terhadap siapapun yang didzalimi. Mereka maju di garda depan menentang segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Sikap-sikap semacam ini hanya muncul dari tokoh yang merasa bahwa organisasi yang mereka pimpin dan kelola adalah organisasi besar, dan bukan organisasi kemarin sore yang masih harus butuh pengakuan publik.

Hasil Muktamar NU ke-32 membuktikan bahwa masyarakat NU adalah masyarakat yang cukup percaya diri. Mereka tidak terdikte oleh politik pencitraan. Mereka memiliki kesadaran sebagai organisasi besar yang oleh karenanya tidak terlalu risau terhadap gagasan-gagasan baru. Dalam setiap forum di Muktamar, para Muktamirin memperdebatkan secara terbuka dan konstruktif setiap isu. Gagasan-gagasan baru diperbincangkan secara bergairah. Tokoh-tokoh dan pemikir-pemikir muda NU disambut dengan tangan terbuka. Tentu saja ada upaya sejumlah pihak yang hendak menghalangi berkembangnya gagasan-gagasan pembaharuan, tetapi arus besar di NU lebih menginginkan sikap terbuka ketimbang tertutup. Masyarakat NU percaya, tanpa sikap keterbukaan, tidak akan mungkin lahir tokoh-tokoh besar semacam KH Ahmad Siddiq, KH Sahal Mahfudz, KH Abdurrahman Wahid, dan seterusnya.

Bagaimana dengan Muhammadiyah? Kita tunggu hasil Muktamar ke-46 Juli mendatang.

Retrieved from: http://islamlib.com/id/artikel/jiwa-besar-nu-untuk-muktamar-muhammadiyah/ (May 10, 2010)

Dilema Politik Muhammadiyah-NU

Dilema Politik Muhammadiyah-NU

Oleh Dani Muhtada
Dimuat di Suara Merdeka, 16 April 2001

Beberapa waktu lalu, Abdul Mukti menulis artikel berjudul “Transformasi Muhammadiyah-NU” (SM 12/2). Siapapun tidak akan menyangkal bahwa dalam rentang satu dasawarsa terakhir ini, ada semacam akulturasi antara Muhammadiyah dan NU. Boleh dikata secara kultural tidak ada lagi sekat antara Muhammadiyah dan NU. Transformasi NU-Muhammadiyah terjadi nyaris di semua lini kehidupan sosial. NU merambah hingga ke segmen-segmen masyarakat di perkotaan, sama seperti Muhammadiyah memasuki ranah-ranah di pedesaan.

Sementara itu, Abdul Mukti menceritakan, banyak anak NU belajar di lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah, seperti halnya tidak sedikit generasi Muhammadiyah yang nyantri di pesantren-pesantren NU. Disparitas praktek ritual keagamaan yang selama ini menjadi ciri pembeda antara keduanya pun mulai luntur. Hal ini tampak pada fenomena tahlilan, tarawih, shalat Ied, dan sejenisnya. Walhasil, “agama NU” dan “agama Muhammadiyah” yang dulu pernah menjadi ironi dan menghantui ukhuwah islamiyah sedikit demi sedikit mulai beranjak dari balada Islam Indonesia.

Namun aura reformasi mulai membalik keharmonisan kultural ini. Konflik politik antara Abdurrahman Wahid dan Amien Rais disadari atau tidak mengancam keharmonisan hubungan NU-Muhammadiyah. Siapapun boleh mengatakan bahwa aktivitas politik kedua tokoh ini tidak ada kaitannya dengan NU dan Muhammadiyah. Sehingga pertentangan antara Gus Dur dan Amien Rais tidak berarti pertentangan antara NU dan Muhammadiyah.

Hanya saja kita harus melihat bahwa paternalisme masyarakat Indonesia masih sangat kuat. Masyarakat kita masih sangat “tergantung” kepada pimpinannya. Secara psikologis umat tidak akan dapat begitu saja mengabaikan keduanya sebagai mantan pucuk pimpinan NU dan Muhammadiyah. Kharisma keduanya di mata pengikutnya menyebabkan keduanya massih dianggap sebagai pemimpin informal bagi kelompoknya.

Terjadilah kemudian tragedi-tragedi semisal penyilangan rumah-rumah warga Muhammadiyah di Banyuwangi dan beberapa tempat di Jawa Timur, perusakan fasilitas dan amal usaha Muhammadiyah, dan tindakan-tindakan destruktif lain yang mengancam hubungan dua ormas bersaudara ini. Penyebabnya jelas, lantaran massa grass root menurunkan konflik elit ke dataran yang massif yang lebih rendah. Secara psikologis, konflik politik antara Abdurrahman Wahid dan Amien Rais dianggap sebagai konflik antara NU dan Muhammadiyah. Kedua orang ini masih dianggap sebagai pemimpin informal yang mewakili kepentingan mereka.

Jika aksi-aksi beberapa warga NU di Jawa Timur tersebut dibiarkan, dan memancing reaksi warga Muammadiyah untuk berbuat serupa, maka konflik fisik horisontal pun akan menjadi kenyataan. NU dan Muhammadiyah adalah dua ormas Islam terbesar di Indonesia. Meskipun masih banyak ormas-ormas lain di luar keduanya, tak akan ada yang menyangsikan bahwa konflik horisontal antara dua massa besar ini akan sangat berpengaruh bagi stabilitas nasional.

Peran Pemimpin

Di sinilah integritas pemimpin kedua massa dipertaruhkan. Dalam kondisi di mana masyarakat masih sangat paternalistik, peran pemimpin informal sangat signifikan. Pemimpin memiliki kharisma yang membuatnya akan sangat ditaati pengikutnya. Peristiwa-peristiwa destruktif di Jawa Timur seharusnya tidak terjadi manakala para pemimpinnya mampu mencegah massa bertindak emosional. Yang terjadi di Jawa Timur dan beberapa daerah di Jawa Tengah justeru sebaliknya, para pimpinan lokal ikut-ikutan marah melihat “kelakuan” para elie poitik yang bertengkar sendiri. Kedatangan Presiden Abdurahman Wahid ke Pasuruan yang mampu meredam amarah massa menunjukkan betapa masyarakat kita sangat menaati pemimpinnya.

Hal serupa harus pula dilakukan oleh pimpinan Muhammadiyah di tingkat lokal. Tokoh-tokoh Muhammadiyah harus mampu mengendalikan massanya untuk tidak turut bertindak destruktif. Gelagat pimpinan Muhammadiyah Jawa Timur yang mengisyaratkan “kesabaran ada batasnya” merupakan pertanda buruk bagi nasib hubungan NU-Muhammadiyah. Artinya, bila para pemimpin Muhammadiyah ikut-ikutan marah dan tak mampu menahan massanya bertindak serupa, bisa ditebak prahara yang bakal terjadi di bumi pertiwi.

Posisi NU dan Muhammadiyah memang sangat dilematis. Di mata warga Nahdliyyin, Gus Dur lebih dari sekedar presiden Republik Indonesia. Ia adalah cucu dari pendiri NU dan sekaligus anak dari pendiri republik. Darah biru yang dimilikinya, kemampuan intelektualnya yang tinggi, serta posisi spiritual dalam komunitasnya membuat para pengikutnya tidak bisa menerima junjungannya ini di-obok-obok. Bagaimana mungkin Gus Dur yang di mata pengikutnya adalah nyaris seperti wali bisa dituduh terlibat dalam skandal Buloggate dan Bruneigate. Tidak masuk akal bagi para pengikutnya Gus Dur melakukan kesalahan seperti yang dituduh-tuduhkan kepadanya.

Kemarahan sebagian warga NU secara irrasional dilampiaskan kepada warga Muhammadiyah. Setidaknya penyebabnya ada dua. Pertama, salah satu pengkritik keras pemerintahan Wahid adalah Amien Rais yang nota bene mantan ketua umum PP Muhammadiyah. Amien Rais di mata Nahdliyyin menjadi simbol Muhammadiyah. Massa dengan karakter paternalistiknya yang kental menurunkan konflik di tingkat elit politik itu ke tingkat yang lebih kultural.

Kedua, refleks pelampiasan kepada warga Muhammadiyah tersebut merupakan kelanjutan dari konflik fiqhiyyah yang dulu pernah ada. Artinya, disparitas yang mulai menipis di masa Orde Baru antara warga dua ormas ini sebenarnya belum sampai ke akarnya. Sehingga sedikit saja hubungan antara keduanya terkontaminasi oleh hawa politik, potensi konflik pun kembali mencuat ke permukaan.

Sementara itu tentu saja warga Muhammadiyah tidak akan tinggal diam eksistensi dirinya terus menerus diintimidasi. Semangat untuk survive sebagai “makhluk hidup” muncul dengan sendirinya. Semangat survive ini berhadapan dengan emosi warga NU di tingkat grass root yang aspirasinya tersumbat di bangku parlemen. Terjadilah bom waktu yang siap meledak atau siap diledakkan manakala pemimpin kedua pihak tidak memiliki kedewasaan berpolitik.

Sindrom HAM

Sementara pemimpin kedua ormas berusaha menenangkan massanya untuk mencegah konflik horisontal, pemerintah pun harus bersikap tegas. Ketegasan ini penting untuk menegakkan wibawa pemerintahan Gus Dur, sekaligus untuk menampik anggapan Amerika Serikat yang mengatakan situasi di Indonesia lebih mirip “negara tanpa pemerintahan” daripada “adanya pemerintahan yang lemah”.

Diakui atau tidak, tuduhan Amerika tersebut agaknya beralasan. Apa yang terjadi di Kalimantan Tengah dan Jawa Timur menunjukkan inferioritas aparat kemanan di hadapan massa yang tengah mengamuk. Nyaris tidak ada jaminan keamanan dan ketenteraman bagi segmen warga minoritas dalam komunitas mayoritas di suatu daerah. Tampaknya aparat keamanan sedang mengalami sindrom HAM. Kelihatan sekali aparat takut bertindak tegas karena khawatir dituduh melanggar Hak Asasi Manusia. Sehingga tindakan massa tertentu, yang efeknya justeru pelanggaran terhadap HAM, dibiarkan oleh aparat hanya karena takut “dianggap” melanggar HAM. Akibatnya, seperti yang kita lihat saat ini, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin memudar.

Kita tentu tidak menginginkan generasi setelah kita mengenal Indonesia hanya tinggal nama. Apa yang terjadi di tanah air merupakan ancaman serius bagi integrasi bangsa. Barangkali kita tidak perlu memaksakan persatuan dan kesatuan di tengah keragaman yang kita miliki. Yang kita perlukan adalah bagaimana mengajari masyarakat untuk hidup bersama dalam perbedaan. Terserah bagaimana kita melakukannya!

Sunday, May 9, 2010

The Exorcist

From the WSJ Opinion Archives

http://www.opinionjournal.com/columnists/bstephens/?id=110009922

GLOBAL VIEW

The Exorcist
An Indonesian man seeks "to create an Islam that will make people smile."

BY BRET STEPHENS
Tuesday, April 10, 2007 12:01 a.m.

SENDANG AYU, Indonesia--In the fall of 2005, Abdul Munir Mulkhan returned to his childhood village to exorcise a demon.

Belief in the spirit world persists in this corner of southern Sumatra, as it does throughout most of Indonesia. In this case, however, the demon took human form as an itinerant Islamic preacher named Mun Faasil. He had appeared as if from nowhere the year before and had promptly set about "purifying" the villagers' religious practices. For instance, he objected to sacrificing water buffalo (a local practice) instead of sheep (an Arab one) for the annual feast of Eid ul-Adha. He also disapproved of the villagers' custom of giving couples an envelope of cash on their wedding day, on the grounds that there was no Quranic basis for it.

What happened next is a portrait-in-miniature of the assault being waged against traditional Indonesian Islam by its totalitarian variant. "Mun Faasil's speeches created a crisis of faith," recalls a village elder. "One group started implying that the others were not true believers." Things got worse when the preacher began extolling the Prosperous Justice Party (PKS), a radical Islamist party modeled on Egypt's Muslim Brotherhood, while attacking the Muhammadiyah, the century-old, 30 million-strong, apolitical Islamic social movement to which most of the villagers belong. Soon PKS cadres started arriving in the village.

It was at this point that some of the villagers called on Mr. Mulkhan, 60, to offer a "clarification" on the true teachings of Islam. They were fortunate in their native son. A leading scholar of Islamic theology and history, Mr. Mulkhan had only recently stepped down as vice secretary of the Muhammadiyah and continues to wield influence as a reformer within the organization. It did not take much to persuade his old neighbors that good Muslims do not use narrow theological pretexts to condemn fellow Muslims as infidels. Mun Faasil and his cadres were told to go.

For Mr. Mulkhan, however, what happened in Sendang Ayu was not the end of the matter but only the beginning. If the PKS could reach a remote rural community of 150 people, he reasoned, where had they not penetrated? The problem was compounded by the PKS's use of clandestine cells to infiltrate the Muhammadiyah's institutions--hospitals, universities, schools, mosques, charities, student associations--and recruit new members. "We had a situation where people in positions of trust were suddenly revealing themselves as PKS," he says. "If we had allowed this to continue they would have consolidated their position with a purge of their opponents."

The rise of the PKS nationally is itself a thing to marvel at. Barely eight years old, it won just 7% of the vote in the 2004 elections and has made itself conspicuous with its support of radical cleric Abu Bakir Bashir. Yet it has already managed to seize key institutions of prestige and patronage throughout Indonesia, including the speakership of the national Parliament, the ministry of agriculture and key municipal posts. As with Hamas in the Palestine Authority, it has burnished a reputation for incorruptibility.

But the Muhammadiyah, with its immense network of social services, is the organization the PKS must first seize if--in the spirit of Antonio Gramsci's "long march through the institutions"--it is to achieve its longer-term political objectives. As a takeover target, it also helps the PKS that the Muhammadiyah has espoused a relatively strict form of Islam, making its members all the more susceptible to tarbiyeh, the form of Islamic indoctrination practiced by the Muslim Brotherhood and adopted by the PKS.

Ahmed Sujino, a teacher at a Muhammadiyah boarding school in the Sumatran city of Metro, is a case in point. "There is nothing wrong with tarbiyeh," he says, making little effort to disguise his PKS sympathies. Despite the Muhammadiyah's longstanding support for a secular state, Mr. Sujino believes Shariah must become the law of the land and that those who persistently refuse to observe it, including non-Muslims, should be reminded of what's expected of them "in a physical way." He also has invited Salafist preachers from Jakarta to "make themselves at home and teach the students."

It is against this backdrop--compounded by the appointment of two PKS sympathizers to the Muhammadiyah's 13-member Central Board--that Mr. Mulkhan and a handful of allies have decided to fight back. As vice secretary of the Muhammadiyah, he had already revoked its longstanding practice of requiring new members to abandon local Islamic traditions that were at variance with organizational dogma. At his behest, too, the Muhammadiyah had issued an official finding that Christianity, Judaism, Hinduism and Buddhism were theologically legitimate faiths, worthy of the organization's respect. "This wasn't just about my personal beliefs but about the organization's future," he explains. "We needed to stop fighting everyone and start getting along with everyone."

Now Mr. Mulkhan is in the midst of carrying out his most ambitious reform. Later this month, a Mohammadiyah congress is set to implement a decree he helped engineer banning the PKS from its activities. The ostensible motive is to distance the Muhammadiyah from parties of any kind whose "primary goal is the acquisition of political power for themselves."

The larger issue, however, concerns Islam's identity and reputation in Indonesia, both of which, he believes, the PKS and its fellow travelers are bringing into global disrepute. Whether the Muhammadiyah and its millions of members will stand as a bulwark against it will rest in no small part on the outcome of the congress--and on whether people like Mr. Mulkhan will be able to maintain the support and resources they need to keep the organization out of the radicals' grip.

"What is the Muhammadiyah for?" Mr. Mulkhan asks. "My answer is that the Muhammadiyah is not just for the Muhammadiyah and Islam is not just for the Muslims. There are many teachings in Islam that are very beautiful but they are being covered over by this black-and-white way of thinking. For instance, there is a hadith [teaching] that says that smiling at other people is a form of charity. I want to create an Islam that will make people smile."
Mr. Stephens is a member of The Wall Street Journal's editorial board. His column appears in the Journal Tuesdays.

Copyright © 2010 Dow Jones & Company, Inc. All Rights Reserved.


Saturday, May 8, 2010

Smoking in Indonesia: Islam and Tobacco

Smoking in Indonesia

Apr 29th 2010 | JAKARTA
From The Economist print edition

Where there's smoke

There’s no fiery religious passion




LIFE is hard for Indonesia’s anti-tobacco lobby. More and more teenagers are smoking; tobacco is still advertised on television and at concerts and sporting events; and the police fail to enforce even the most basic smoking bans. Some 70% of Indonesian men older than 20 smoke, and 400,000 Indonesians die each year from smoking-related illnesses, according to the World Health Organisation. Perhaps unsurprisingly, anti-smoking groups have turned to religion.

They have teamed up with Muhammadiyah, Indonesia’s second-largest Islamic organisation, with some 30m members. It has issued a fatwa declaring smoking haram, or forbidden under Islam. There is, however, a snag. The ruling is useless. Indonesia has more than 190m Muslims, and the government is occasionally guilty of pandering to the religious right. In April the Constitutional Court refused to repeal a 1965 blasphemy law, which has strict provisions that are widely abused by Islamist groups. On the other hand, Indonesia’s constitution and government are secular. Fatwas have no legal force and are widely flouted.

This did not stop religious groups and the anti-smoking lobby from mobilising to try to stop a planned concert in Jakarta by Kelly Clarkson, an American singer. It was to be sponsored by Djarum, one of the country’s main tobacco companies, and its L.A. Lights cigarette brand. Muhammadiyah—though not other religious groups—declared the concert also haram.

It didn’t matter. The uproar only served to boost ticket sales, and the concert was due to go ahead on April 29th, after Ms Clarkson issued a statement saying she was unaware of the sponsorship arrangement and was personally opposed to smoking. L.A. Lights withdrew as the show’s main sponsor.

The brand, however, may well have emerged the winner from the controversy. Not only did it receive far more publicity than its sponsorship money would have bought. It also earned a bad-boy image that has done it no harm with teenage smokers.

Meanwhile, the religious right and anti-smoking lobby dented their own credibility. Busy vituperating against Ms Clarkson’s concert—after foreign activists spotted the smoking link—they kept hypocritically mum about the L.A. Lights Open, a volleyball tournament held at the same time on the island of Batam.

There might be better targets for the anti-smoking lobbies, such as the failure to enforce a four-year old ban on smoking in Jakarta’s buildings. That would at least spare Indonesians the embarrassment of watching their elected representatives on live television, puffing away in the chambers of parliament.

Retrived from: http://www.economist.com/world/asia/displaystory.cfm?story_id=16009377

Friday, May 7, 2010

Muhammadiyah Takut Berpikir

Republika, Resonansi, 27 April 2010

Oleh Ahmad Syafii Maarif

ImageAda karya Dr Haedar Nashir yang baru saja terbit berjudul Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010). Penulis mencoba melakukan rekonstrusi perjalanan panjang Muhammadiyah yang sudah melampaui satu abad berdasarkan hitungan kalender Hijriah. Jika yang digunakan kaleder miladiyah usia satu abad Muhammadiyah masih menanti tanggal 18 November 2012. Tampaknya muktamar satu abad pada 3-8 Juli 2010 berdasarkan Hijriah, karena Muhammadiyah resmi lahir pada 8 Zulhijjah 1330.

Resonansi ini akan memberikan perhatian untuk menjawab pertanyaan yang diberikan judul, karena menurut pertimbangan saya tema muktamar: 'Melintasi Satu Abad, Membangun Peradaban Utama' akan sia-sia belaka jika pertanyaan itu tidak dijawab secara jujur dan bertanggung jawab. Sumber autentik yang dapat dibaca dalam karya Haedar di atas sangat menolong kita untuk memberikan jawaban tentang bagaimana sejatinya sikap Muhammadiyah terhadap kemerdekaan berpikir, seperti yang terbaca pada halaman 185.

Saya kutip penegasan sikap itu: 'Maka kembang bersinarlah agama Islam, karena kemerdekaan berfikir. Dan setelah itu muramlah cahayanya, karena kemerdekaan berfikir itu tidak ada lagi. Maka kita berkeyakinan, bahwasanya kembalinya kemegahan dan kebesaran Islam, sangatlah tergantung kepada kembalinya kemerdekaan berfikir, dan kesungguh-sungguhan menggali dan mengorek hikmah agama dari segala seginya.'

Kutipan di atas muncul tahun 1954 saat Muhammadiyah dipimpin oleh AR Sutan Mansur, tetapi boleh jadi telah dirumuskan pada periode Ki Bagus Hadikusomo. Luar biasa, bukan? Muhammadiyah ternyata sangat mendorong kemerdekaan dan kebebasan berfikir sebagai prasyarat bagi terciptanya peradaban utama. Dengan kata lain, orang akan menjadi tidak layak berbicara tentang peradaban utama jika takut berfikir bebas. Peradaban tinggi mana pun di muka bumi, bangsa apa pun yang menerukanya hanya mungkin menjadi kenyataan manakala prinsip kebebasan berfikir dijamin secara penuh oleh negara. Kebebasan berfikirlah yang paling bertanggung jawab bagi mekar dan mencuatnya menara-menara peradaban sepanjang sejarah.

Jika demikian, apa yang dirumuskan oleh PP Muhammadiyah 56 tahun yang lalu patut benar direnungkan kembali di saat-saat persyariktan ini sedang melangkahkan kakinya memasuki gerbang abad ke-2 dari misinya di nusantara ini. Formula antisipatif Muhammadiyah ini jangan sampai dibombardir oleh mereka yang berpikir a-historis yang menurut Abdallah Laroui (Maroko) hanya punya satu risiko: orang gagal membaca realitas. Muhammadiyah tidak boleh terperangkap dalam serba kegagalan ini lantaran tidak membuka dokumen yang pernah dirumuskan oleh pendahulu kita dengan yang sangat berani.

Bagaimana situasi sejarah di tahun 1950-an itu di Indonesia? Dari sudut pandang politik, bangsa ini ketika sedang demam pemilu pertama yang dilaksanakan tahun 1955, untuk DPR dan untuk Majelis Konstituante. Suhu politik sangat panas tetapi terkendali. Pertarungan ideologi sengit sekali, tetapi tidak ada setetes darah pun yang tertumpah. Bangsa kita ketika jauh lebih dewasa dibandingkan setengah abad kemudian. Ki Bagus dan AR Sutan Mansur, dua tokoh puncak Muhammadiyah yang sangat dihormati, adalah pendukung gagasan Islam sebagai dasar negara. Ki Bagus bahkan dalam sidang-sidang BPUUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) bulan Mei-Juni 1945 dengan gigih memperjuangkan dasar Islam agar masuk dalam UUD Negara, sesuai dengan situasi zaman ketika itu.

Namun, sikap teologisnya tentang kemerdekaan berpikir sangat maju. Pimpinan Muhammadiyah dalam suasana politik yang kritikal itu tidak kehilangan perspektif jangka panjang untuk Islam ke depan.

Maju mundurnya peradaban Islam dikaitkan dengan sikap umat terhadap kemerdekaan berpikir. Kemajuan akan diraih jika kemerdekaan berpikir itu digalakkan dan dilindungi. Sebaliknya, kehinaan dan keterbelakangan umat adalah akibat dari pemasungan terhadap kemerdekaan berpikir itu, baik itu dilakukan oleh penguasa maupun oleh 'ulama' yang reaktif di mana pemikirannya telah lama menjadi fosil. Bukankah salah satu alasan utama munculnya Muhammadiyah adalah untuk membebaskan umat dari suasana hati dan pikiran yang telah menfosil itu? Saya melihat munculnya gejala konservatisme di lingkungan Muhammadiyah pada tahun-tahun terakhir ini salah satu penyebabnya adalah karena terputusnya hubungan dengan dokumen penting yang telah dirumuskan oleh PP Muhammadiyah masa dulu.

Berdasarkan pertimbangan di atas, saya dengan sadar mengusulkan kepada Muktamar Muhammadiyah bulan Juli 2010 ini agar nama 'Majelis Tarjih dan Tajdid' sebagai hasil muktamar Malang 2005 diubah menjadi 'Majelis Tarjih dan Kemerdekaan Berpikir,' demi menghargai kerja keras intelektual para pendahulu kita yang telah berhasil merumuskan Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah tahun 1954 yang cemerlang itu. Sebagai seorang yang lama terlibat dalam kiprah Muhammadiyah, saya sedikit menyesali diri mengapa lalai meneliti dokumen-dokumen strategis yang pernah dirumuskan Muhammadiyah yang punya moto 'Islam Berkemajuan' ini.

Dengan Resonansi ini, penyesalan itu akan berkurang dengan harapan generasi muda Muhammadiyah tidak mengikuti kelalaian saya. Dengan berbekal dokumen, kita akan terhindar dari kebiasaan: melompat dari kekosongan. Dokumenlah yang mengisi kekosongan itu. Sudah tentu, semua dokumen itu harus dibaca secara cerdas dan kritikal sesuai dengan suasana dan konteks zamannya. Tetapi, dokumen tentang kemerdekaan berpikir akan bertahan sampai rapuhnya dunia ini, karena rahasia kebesaran suatu umat terletak di sana.

Thursday, May 6, 2010

Krisis Intelektual di Muhammadiyah

Oleh: Fajar Riza Ul Haq
(Direktur Eksekutif Maarif Institute for Culture and Humanity)

Krisis sumber-sumber intelektualisme sedang mendera Persyarikatan Muhammadiyah saat memasuki abad ke-2. Akibatnya, eksistensi karakter pembaruan yang melekat pada identitas gerakan asal Kauman Yogyakarta ini sedang menjadi sorotan.

Berangkat dari kondisi inilah, Buya Syafii Maarif menyerukan perlunya perubahan (kembali) nama Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menjadi Majelis Tarjih dan Kebebasan Berpikir, sebagaimana disampaikannya dalam Resonansi (27/04).

Menurut mantan ketua PP Muhammadiyah tersebut, Muktamar Satu Abad Muhammadiyah yang akan digelar pada 3-8 Juli mendatang di Yogyakarta merupakan momentum penting untuk menjawab krisis intelektualisme di tubuh organisasi ini.

Memang usai Muktamar ke-45 Muhammadiyah tahun 2005 di Malang, Buya Syafii menilai, perubahan nama Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam menjadi Majelis Tarjih dan Tajdid adalah sebuah pertanda stagnasi. Padahal, dinamika pemikiran Majelis Tarjih setelah Muktamar ke-44 Aceh tahun 2000 sangat progresif, seperti produk Tafsir Tematik Alquran tentang hubungan sosial antarumat beragama serta rumusan manhaj tarjih yang mereformulasikan metode bayani, burhani , dan irfani .

Lalu, bukankah 'tajdid' bermakna pembaruan yang sebangun dengan semangat pengembangan pemikiran? Pada kenyataannya, psikologi bahkan alam pemikiran warga Muhammadiyah lebih memahami tajdid dalam bingkai purifikasi ketimbang dinamisasi, apalagi kreativitas. Jika ditelisik lebih jauh, akar persoalan itu berkaitan dengan model paradigmatik satu kelompok dalam memahami dan mengekspresikan corak keislaman di Indonesia. Padahal, sejak semula, pendiri Muhammadiyah Ahmad Dahlan menegaskan keberpihakannya terhadap nuansa domestik-keindonesiaan dengan membakukan nama Moehammadijah (ejaan lama), bukan Moehammadiyyah (Nashir, 2010: 18).

Peneguhan nama pertama merepresentasikan semangat keberislaman yang berpadu dengan konteks keindonesiaan dibanding 'Moehammadiyyah' yang mengisyaratkan kemelekatan pada budaya Arab yang bersifat eksklusif. Teori bahasa Sapir-Whorf mengajukan bahwa keterikatan satu bahasa dengan budayanya tidak sebatas relasi semantik, tetapi juga saling memengaruhi. Alur logika semacam ini dapat diusut dalam relasi diskursus tajdid dan pengembangan pemikiran Islam pada struktur kesadaran Majelis Tarjih pada khususnya dan institusi Muhammadiyah pada umumnya.

Jika becermin pada Muktamar Muhammadiyah tahun 2005 di Malang, perubahan nama pada Majelis Tarjih menandai pergeseran orientasi dan merefleksikan kontestasi wacana keagamaan di kalangan internal. Kecemasan sebagian anggota Muhammadiyah terhadap dinamika Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (2000-2005) yang dianggap bergerak ke arah 'liberal' merupakan salah satu faktor penting yang melatarbelakangi proses pergantian nama Majelis Tarjih. Sulit untuk dimungkiri, terminologi kebebasan berpikir ( freedom of thought ) masih direspons sebagai sesuatu yang asing dalam masyarakat Muslim.

Akbar Ahmed dan Lawrence Rosen, misalnya, mencatat seluruh generasi intelektual Muslim dari Asia Selatan hingga Afrika Utara sedang berada dalam bayang-bayang ancaman pemberangusan kemerdekaan intelektual: Mereka ada yang diasingkan, dipaksa diam, bahkan sampai dibunuh. Padahal, karena semangat kemerdekaan berpikir inilah, peradaban Islam berkembang pesat di daratan Barat, Spanyol, dan gerakan reformasi Islam bermunculan di Asia pada era kolonial. Ini pula yang terjadi pada Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah, 12 November 1912.

Dengan demikian, urgensi usulan perubahan nama untuk Majelis Tarjih di atas terletak pada semangat intelektualisme-transformatif yang ingin ditanamkan pada alam kesadaran berpikir institusi Muslim modernis ini. Meskipun Muhammadiyah sering menyebut dirinya sebagai gerakan pembaruan yang menekankan pada dimensi aksi, bukan berarti organisasi ini harus membiarkan diri miskin pada level pembaruan pemikiran. Seperti diingatkan Paulo Freire, aksi tanpa refleksi menyeret pada aktivisme. Sebaliknya, refleksi tanpa aksi ibarat revolusi tak berkaki.

Jika kebebasan intelektual ( intellectual freedom ) bersumbu pada lembaga pendidikan semacam universitas, secara historis Muhammadiyah adalah salah satu inisiator pada awal abad ke-20. Dalam rapat anggota Muhammadiyah istimewa, 17-18 Juni 1920, HM Hisjam, Ketua Bagian Sekolahan HB/PP Muhammadiyah, menyampaikan rencana strategis Muhammadiyah di bidang pendidikan, yaitu mendirikan universitas Muhammadiyah untuk mencetak sarjana-sarjana Islam dan mahaguru-mahaguru (profesor) Muhammadiyah guna kepentingan umat Islam pada umumnya dan Muhammadiyah pada khususnya (2010: 41).

Pernyataan Hisjam ini membuktikan bahwa sedari awal Muhammadiyah sudah memosisikan semangat kesarjanaan ( scholarship ) sebagai saka guru gerakan dalam skema perjuangan umat Islam di Indonesia. Dalam perjalanannya, organisasi ini belum bisa sepenuhnya menciptakan ruang-ruang publik yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebebasan intelektualisme. Selalu ada relasional subordinat antara agama dalam framing pemurnian dan wacana yang menyebabkan kekeringan intelektual. Hal inilah yang dikritik Azyumardi Azra dengan mempertanyakan tidak adanya sumber-sumber intelektualisme di tubuh Muhammadiyah. Apabila kondisi ini dibiarkan, akan sangat sulit bagi organisasi ini untuk tetap berada pada garda depan pembaruan Islam.

Sejauh ini, institusi Tarjih dan universitas-universitas Muhammadiyah yang seharusnya menjadi kantung-kantung pergumulan intelektualisme tidak cukup berperan signifikan dalam menggerakkan intelektualisme Islam. Idealnya, institusi strategis semacam ini berperan sebagai laboratorium intelektualisme Islam yang menjunjung tinggi etika kebebasan berpikir. Faktanya, gairah kemerdekaan berolah nalar di lingkungan Muhammadiyah sering terbentur tembok konservatisme agama yang berorientasi reifikasi produk-produk fikih abad pertengahan.

Retrieved from: http://www.maarifinstitute.org/content/view/547/166/lang,indonesian/

Republika, May 03, 2010. Judul; Krisis Muhammadiyah