Saturday, August 27, 2011

Muhammadiyah Terbelenggu Wujudul Hilal: Metode Lama yang Mematikan Tajdid Hisab

T. Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI

Perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha sering terjadi di Indonesia. Penyebab utama BUKAN perbedaan metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan), tetapi pada perbedaan kriterianya. Kalau mau lebih spesifik merujuk akar masalah, sumber masalah utama adalah Muhammadiyah yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal. Bila posisi bulan sudah positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat, batas kemungkinan untuk diamati) atau lebih rendah lagi, dapat dipastikan terjadi perbedaan. Perbedaan terkahir kita alami pada Idul Fitri 1327 H/2006 M dan 1428 H/2007 H serta Idul Adha 1431/2010. Idul Fitri 1432/2011 juga hampir dipastikan terjadi perbedaan. Kalau kriteria Muhammadiyah tidak diubah, dapat dipastikan awal Ramadhan 1433/2012, 1434/2013, dan 1435/2014 juga akan beda. Masyarakat dibuat bingung, tetapi hanya disodori solusi sementara, “mari kita saling menghormati”. Adakah solusi permanennya? Ada, Muhammadiyah bersama ormas-ormas Islam harus bersepakati untuk mengubah kriterianya.

Mengapa perbedaan itu pasti terjadi ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk? Kita ambil kasus penentuan Idul Fitri 1432/2011. Pada saat maghrib 29 Ramadhan 1432/29 Agustus 2011 tinggi bulan di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang, tetapi sudah positif. Perlu diketahui, kemampuan hisab sudah dimiliki semua ormas Islam secara merata, termasuk NU dan Persis, sehingga data hisab seperti itu sudah diketahui umum. Dengan perangkat astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini bisa menghisabnya. Dengan posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 30 Agustus 2011 karena bulan (“hilal”) sudah wujud di atas ufuk saat maghrib 29 Agustus 2011. Tetapi Ormas lain yang mengamalkan hisab juga, yaitu Persis (Persatuan Islam), mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 31 Agustus 2011 karena mendasarkan pada kriteria imkan rukyat (kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat maghrib 29 Agustus 2011 bulan masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati. NU yang mendasarkan pada rukyat masih menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam beberapa kejadian sebelumnya seperti 1427/2006 dan 1428/2007, laporan kesaksian hilal pada saat bulan sangat rendah sering kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan seringkali pengamat ternyata keliru menunjukkan arah hilal.

Jadi, selama Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya, kita selalu dihantui adanya perbedaan hari raya dan awal Ramadhan. Seperti apa sesungguhnya hisab wujudul hilal itu? Banyak kalangan di intern Muhammadiyah mengagungkannya, seolah itu sebagai simbol keunggulan hisab mereka yang mereka yakini, terutama ketika dibandingkan dengan metode rukyat. Tentu saja mereka anggota fanatik Muhammadiyah, tetapi sesungguhnya tidak faham ilmu hisab. Oktober 2003 saya diundang Muhammadiyah sebagai narasumber pada Munas Tarjih ke-26 di Padang. Saya diminta memaparkan “Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal dan Mathla’ Wilayatul Hukmi”. Saya katakan wujudul hilal hanya ada dalam teori, tidak mungkin bisa teramati. Pada kesempatan lain saya sering mangatakan teori/kriteria wujudul hilal tidak punya landasan kuat dari segi syar’i dan astronomisnya. Dari segi syar’i, tafsir yang merujuk pada QS Yasin 39-40 terkesan dipaksakan. Dari segi astronomi, kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli falak.

Kita ketahui, metode penentuan kalender yang paling kuno adalah hisab urfi (yang kini digunakan oleh beberapa kelompok kecil di Sumatera Barat dan Jawa Timur, yang hasilnya beda dengan metode hisab atau rukyat). Lalu berkembang hisab imkan rukyat, tetapi masih menggunakan hisab taqribi (pendekatan) yang akurasinya maish rendah. Muhammadiyah pun sempat menggunakannya pada awal sejarahnya. Kemudian untuk menghindari kerumitan imkan rukyat, digunakan hisab ijtimak qablal ghurub (konjungsi sebelum matahari terbenam) dan hisab wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk yang ditandai bulan terbenam lebih lambat daripada matahari). Kini kriteria wujudul hilal mulai ditinggalkan, kecuali oleh beberapa kelompok atau negara yang masih kekurangan ahli hisabnya, seperti oleh Arab Saudi untuk kalender Ummul Quro-nya. Kini para pembuat kalender cenderung menggunakan kriteria imkan rukyat karena bisa dibandingkan dengan hasil rukyat. Perhitungan imkan rukyat sudah sangat mudah dilakukan, terbantu dengan perkembangan perangkat lunak astronomi. Informasi imkanrur rukyat atau visibilitas hilal juga sangat mudah diakses secara online di internet.

Muhammdiyah yang tampaknya terlalu ketat menjauhi rukyat terjebak pada kejumudan (kebekuan pemikiran) dalam ilmu falak atau astronomi terkait penentuan sistem kelendernya. Mereka cukup puas dengan wujudul hilal, kriteria lama yang secara astronomi dapat dianggap usang. Mereka mematikan tajdid (pembaharuan) yang sebenarnya menjadi nama lembaga think tank mereka, Majelis Tarjih dan Tajdid. Sayang sekali. Sementara ormas Islam lain terus berubah. NU yang pada awalnya cenderung melarang rukyat dengan alat, termasuk kacamata, kini sudah melengkapi diri dengan perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Mungkin jumlah ahli hisab di NU jauh lebih banyak daripada di Muhammadiyah, walau mereka pengamat rukyat. Sementara Persis (Persatuan Islam), ormas “kecil” yang sangat aktif dengan Dewan Hisab Rukyat-nya berani beberapa kali mengubah kriteria hisabnya. Padahal, Persis kadang mengidentikan sebagai “saudara kembar” Muhammadiyah karena memang mengandalkan hisab, tanpa menunggu hasil rukyat. Persis beberapa kali mengubah kriterianya, dari ijtimak qablal ghrub, imkan rukyat 2 derajat, wujudul hilal di seluruh wilayah Indonesia, sampai imkan rukyat astronomis yang diterapkan. Lalu mau kemana Muhammadiyah? Kita berharap Muhammadiyah, sebagai ormas besar yang modern, mau berubah demi penyatuan Ummat. Semoga!

Retrieved from: http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/08/27/muhammadiyah-terbelenggu-wujudul-hilal-metode-lama-yang-mematikan-tajdid-hisab/

Friday, August 26, 2011

Ukhuwah Kala Lebaran Beda

Ki Ageng Wibisono (Pimpinan Muhammadiyah)

on Friday, August 26, 2011 at 7:18pm

1. Pendahuluan

Umumnya orang berpandangan, bahwa beda pendapat, termasuk beda lebaran itu merusak dan bertolak belakang dengan ukhuwah dan akan menimbulkan masalah. Karena itu, banyak pihak tidak siap mental menghadapi perbedaan. Mereka beranggapan, ukhuwah itu identik dengan keseragaman. Sudut pandang seperti ini bisa menimbulkan peminggiran kreativitas. Orang akan malas berkreasi, khawatir menimbulkan perbedaan yang akan berujung pada stigma merusak ukhuwah. Ukhuwah memang memerlukan fondasi yang seragam untuk terbangunnya ukhuwah itu sendiri. Tanpa fondasi yang kokoh dan seragam, sulit dibangun suatu ukhuwah. Apalagi kalau substansi ukhuwah diacuhkan dan diabaikan. Tulisan ini hendak menjelaskan fondasi bangunan ukhuwah, substansi ukhuwah dan mengelola serta menghindarkan tergangguya ukhuwah.

2. Kategorisasi Perbedaan

Untuk kepentingan menjelaskan fondasi bangunan ukhuwah, substansi ukhuwah dan mengelola serta menghindarkan terganggunya ukhuwah, pertama-pertama akan dijelaskan kategorisasi perbedaan. Ada beberapa kategori perbedaan. Pertama, kategori al-tanawwu' fi al-'ibâdah; keanekaragaman dalam kaifiat dan bacaan dalam beribadah. Istilah ini berasal dari Ibn Taimiah (Majmû' Fatâwâ) untuk menyebut keanekaragaman kaifiat; tatacara dan bacaan dalam ibadah yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Misalnya doa iftitah. Rasulullah saw pernah membaca, Allâhumma bâ'id bainỉ wa baina khathâyâya ... hingga wa al-barad (HR Bukhari Muslim). Rasulullah juga pernah membaca (dalam iftitahnya), wajjahtu wajhia lilladzỉ fathara al-samâwâti wa al-ardh ... hingga astaghfiruka wa atûbuilaihi (HRMuslim).

Kedua, khilâfiah. Beda pendapat kategori ini, berasal dari produk pemikiran atau penafsiran terhadap suatu nash; baik al-Qur'an ataupun al-sunnah. Contoh yang relatif populer di kalangan umat Islam dalam hal ini adalah perbedaan pendapat mengenai batal tidaknya wudhu seseorang bila bersentuhan dengan lawan jenis. Sebagian ulama (di antaranya al-Syafi'i) berpandangan, menyentuh lawan jenis membatalkan wudhu. Ulama lain (di antaranya Abu Hanifah), berpendapat menyentuh lawan jenis tidak membatalkan wudhu Perbedaan ini merupakan produk penafsiran terhadap kalimah, lâmastum al-nisâ` pada QS. 5: 6. Bagi yang berpendapat bahwa menyentuh lawan jenis membatalkan wudhu, lâmastum al-nisâ`, dipahami bersentuhan biasa (tidak jima'). Mereka yang berpendapat, menyentuh lawan jenis tidak membatalkan wudhu, laamastum al-nisaa`, dipahami melakukan hubungan suami istri, bukan sekedar bersentuhan biasa.

Ketiga, al-Khurûj 'an al-haqq; keluar dari kebenaran atau penyimpangan. Perbedaan pendapat yang dapat dimasukkan ke kategori ini, adalah pendapat yang bertentangan dengan nash; al-Qur'an dan al-Sunnah. Contoh populer dalam hal ini adalah pengakuan seseorang sebagai nabi atau rasul. Pengakuan ini adalah palsu, menyimpang dan bertentangan dengan penegasan Nabi saw bahwa setelah beliau tidak ada nabi atau rasul; FALâ RASûLA BAD’ỉY WA Lâ NABIYYA (HR Muslim dari Abu Hurairah dan HR al-Turmudzi dari Anas ibn Malik).

Perbedaan dalam kategori al-tanawwu' fi al-'ibâdah, disikapi dengan menerima apa adanya keanekaragaman kaifiat dan aneka ragam bacaan dalam ibadah sepanjang hal itu diajarkan oleh Rasulullah saw. Dalam contoh membaca doa iftitah, bisa diamalkan kedua-duanya, karena hal tersebut merupakan praktik ibadah (shalat) yang diajarkan oleh Rasulullah saw dan bukan merupakan produk penafsiran. Orang Islam dipersilahkan memilih salah satunya, atau menggunakan keduanya secara bergiliran.

Dalam soal khilâfiah, toleransi antar sesama mutlaq diperlukan. Ada baiknya beda pendapat yang masuk kategori khilâfiah dikelola secara baik dengan berazaskan kemaslahatan.

Untuk beda pendapat yang masuk kategori al-Khurûj 'an al-haqq, sikap yang perlu dikedepankan adalah mengajak para penganutnya kembali ke jalan yang benar dengan bijak dan hikmah, menghindari cara-cara kekerasan dan tidak main hakim sendiri dengan tetap mengacu pada QS. 16: 125). Kepada umat Islam dihimbau untuk berhati-hati dan menolak ajaran yang sudah keluar dari kebenaran tersebut.

3. Tiga Cara Penetapan Awal Bulan

Pertanyaan kemudian, masuk kategoari apa perbedaan dalam menentukan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 1 Dzul Hijjah? Jawabannya, penentuan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 1 Dzulhijjah masuk kategori khilafiah karena ia merupakan produk ijtihadiah. Perbedaan tersebut merupakan produk pemahaman terhadap suatu nash. Yang diperdebatkan adalah cara memastikan kapan hilal dianggap telah ada. Dalam hal ini, sekurang-kurangnya ada tiga cara yang dipergunakan untuk penetapan awal bulan:

Pertama, ru'yaţ al-hilâl bi al-fi’li: melihat hilal (bentuk semu bulan/bulan sabit yang paling kecil) dengan mata telanjang. Metode ini memutlakan terlihatnya hilal oleh mata telanjang sebagai penentu awal bulan. Jika hilal tidak kelihatan disebabkan oleh cuaca mendung, tertutup awan atau sebab lainnya yang menyebabkan hilal tidak terlihat, maka jumlah hari dalam satu bulan digenapkan menjadi 30 hari.

Argumentasi untuk metode ini adalah hadis riwayat Bukhâriy dari Abû Hurairah dan hadis riwayat Bukhâriy dari Ibn Umar r.a. Pada hadis dari Abû Hurairah itu Nabi saw menegaskan bahwa, kewajiban berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihatnya. Apabila terhalang melihatnya, maka umur bulan sya'ban disempurnakan dalam bilangan 30 hari. Pada hadis dari Ibn Umar r.a, Nabi saw berpesan untuk tidak berpuasa Ramadhan sehingga hilal dilihat, dan tidak berbuka sebelum melihat hilal. Jika terhalang (melihat) hilal, usia Ramadhan digenapkan 30 hari.

Kedua, imkân al-ru`yah (Kemungkinan terlihat hilal): Dalam metode ini, hadis Rasulullah saw mengenai ru'yaţ al-hilâl di atas dijadikan dalil sebagaimana pada metode pertama (ru'yaţ al-hilâl bi al-fi’li), namun yang menjadi substansi dari hadis tersebut dalam metode ini, bukan terletak pada melihat hilal akan tetapi terletak pada mungkinnya hilal itu dapat dilihat. Untuk menentukan kemungkinan terlihatnya hilal, dalam metode ini digunakan ilmu hisab atau astronomi. Namun para ahli hisab yang mendukung aliran ini masih berbeda pendapat dalam menetapkan kriteria hilal yang mungkin dapat dilihat. Ada yang hanya menetapkan ketinggian hilal saja dan ada yang menambah dengan kriteria sudut pandang (angular distance). Kriteria ketinggian hilal pun masih terdapat perbedaan, ada yang menetapkan minimal 7 derajat, ada yang 6 derajat dan ada pula yang hanya 3 derajat. Bahkan di Indonesia ditetapkan minimal kemungkinan terlihatnya hilal 2 derajat. Penetapan batas minimal di Indonesia tersebut banyak ditentang oleh ahli Astronomi/Hisab karena sangat kecil kemungkinan atau bahkan mustahil hilal bisa terlihat.

Ketiga, Hisab Hakiki/ wujûd al-hilâl: metode ini menegaskan bahwa awal bulan qamariah (termasuk Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah) dimulai sejak saat terbenam Matahari setelah terjadi ijtimâ' (konjungsi atau batas dan tanda usia bulan berakhir), dan Bulan (hilal) pada saat itu belum terbenam, tapi masih berada di atas ufuk (horizon). Dengan demikian, secara umum, kriteria yang dijadikan dasar untuk menetapkan awal bulan qamariah adalah dimulai sejak saat terbenam matahari setelah terjadi ijtimâ' dan pada saat terbenam matahari hilal belum terbenam atau masih berada di atas ufuk berapapun ketinggiannya. Metode terakhir ini, sebagaimana Imkân al-Ru'yah dan Ijtimâ' qabl al-ghurûb menggunakan ilmu Hisab/Astronomi. Adapun perbedaannya, metode wujûd al-hilâl tidak mempermasalahkan tingkat ketinggian atau besarnya hilal sebagaiamana dalam imkân al-ru`yah. Yang penting hilal itu telah wujud berapapun ketinggiannya. Sedangkan perbedaan dengan Ijtimâ' qabl al-ghurûb, wujûd al-hilâl mensyaratkan kedudukan bulan masih belum terbenam atau masih di atas ufuk saat Matahari terbenam.

4. Pilihan sikap

Sebagaimana diketahui, upaya mencari titik temu selalu dilakukan. Namun demikian, belum ditemukan kriteria yang disepakati dalam menentukan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Para pihak dengan keyakinan masing-masing bertahan pada posisi masing-masing sesuai dengan pemahaman yang sudah diyakini kebenarannya. Penganut rukyat bertahan dengan rukyatnya. Penganut Imkân al-Ru'yah bertahan dengan Imkân al-Ru'yah-nya. Penganut wujûd al-hilâl bertahana dengan wujûd al-hilâl-nya. Ketiga aliran ini terkadang bisa memulai puasa atau berlebaran bareng ketika posisi hilal tiga hingga lima derajat. Ketiga aliran memulai puasa bareng pada awal Ramadhan lalu, karena posisi hilal yang lima derajat dan ada laporan hilal dapat dilihat di Makassar, Madura dan Gresik. Kondisi alam menyatukan ketiga aliran tersebut, bukan kriteria yang disepakati. Ketika posisi hilal yang kurang dari dua derajat seperti akhir Ramadhan (29 Ramadhan) tahun ini, potensi beda lebaran menjadi sangat besar. Dalam kondisi seperti ini ada baiknya posisi pemerintah tetap mengacu kepada UUD 45 Pasal 29 karena mengakhiri puasa itu terkait dengan kebebasan beragama yang merupakan amanat konstitusi. Dalam UUD 45Pasal 29 ayat (2) disebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam Pasal 28E tentangHak Asasi Manusia hasil amendemen UUD 1945 tahun 2000 disebutkan,(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya… (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Dengan kriteria tinggi hilal minimal dua derajat dan bisa dilihat, pemerintah diperkirakan akan menetapkan 1 Syawal 1432 H jatuh pada hari Rabu, 31 Agustus 2011. Dengan mengacu pada konstitusi tersebut, pemerintah ada baiknya tetap memberi peluang kepada masyarakat yang sesuai dengan pemahaman yang diyakini, menetapkan 1 Syawal 2011 jatuh pada 30 Agustus 2011. Pemberian peluang tersebut dieksplisitkan pada salah satu bagian putusan sidang itsbat dan ditambahkan himbauan kepada semua pihak, terutama pemerintah daerah untuk bisa menghormati mereka yang bersatu syawal tgl 30 Agustus serta tidak memberikan stigma berseberangan dengan pemerintah. Dalam menyikapi lebaran ini, masyarakat dapat memilih hari lebaran yang dimantapi. Perbedaan lebaran adalah wiayah khilafiah. Umat Islam dibenarkan memilih sesuai dengan kemantapan dan keyakinannya. Beda lebaran tidak identik dengan merusak ukhuwah.

5. Fondasi dan Substansi UKHUWAH

Di muka telah dikemukakan bahwa, ukhuwah memerlukan fondasi yang seragam untuk terbangunnya ukhuwah itu sendiri. Tanpa fondasi yang kokoh dan seragam, sulit dibangun suatu ukhuwah. Apalagi kalau substansi ukhuwah diacuhkan dan diabaikan. Dengan mengacu pada QS. 49: 10, Al-Alusi dalam kitab Rauhu al-Ma’ânỉ fỉ Tafsỉr al-Qur’ânỉ wa al-Sab’i al-Masânỉ, berpandangan bahwa fondasi ukhuwah adalah keimanan. Dengan keimanan itu, setiap individu muslim diikat dalam suatu persaudaraan permanen yang menempatkan satu sama lain hidup dalam satu ikatan. Ikatan seiman dan keimanan kepada Allah, kapada para malaikat, kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah, kepada Rasul-Rasul Allah, kepada hari akhir (QS. 4: 136) dan keimanan kepada qadar Allah (HR. Muslim dari Abu Hurairah dan Umar ibn a-Khaththab). Mengabaikan unsur-unsur keimanan tersebut menempatkan seseorang pada kesesatan (QS. 4: 136) dan tercerabut dari fondasi ukhuwah. Substansi ukhuwah dengan demikian, bukan terletak pada keseragaman akan tetapi pada terpeliharanya fondasi ukhuwah dan adanya semangat saling menghargai, saling mendukung, saling memperkokoh (yasyuddu ba’dhuhû ba’dhan) dan saling mengasihi serta saling peduli (ftalâthufihim wa tarâhumihim). Substansi lain adalah, adanya upaya secara terus menerus melakukan ishlah, perbaikan, kedamaian dan keharmonisan betatapapun dalam perbedaan pandangan dan pemikiran.

6. Catatan Penutup

Sebagai catatan penutup dalam uraian ini, dikemukakan bahwa yang ideal memang memiliki fondasi dan substansi ukhuwah, sekaligus ada keseragaman pandangan. Disatukan oleh ikatan keimanan dan memiliki semangat saling menghargai, saling mendukung, saling memperkokoh (yasyuddu ba’dhuhû ba’dhan), saling mengasihi, saling peduli (ftalâthufihim wa tarâhumihim) dan memiliki keseragaman pandangan. Manakala keseragaman belum bisa digapai, fondasi dan substansi ukhuwah relevan untuk dikedepankan. Bagi mereka yag memilih berlebaran 30 Agustus 2011, dituntut tetap menghargai, menghormati dan melindungi mereka yang memilih berlebaran 31 Agustus 2011. Begitu pula, mereka yang memilih berlebaran 31 Agustus 2011, dituntut tetap menghargai, menghormati dan melindungi mereka yang memilih berlebaran 31 Agustus 2011. Apapun pilihan yang diambil, semangat saling menghargai, saling mendukung, saling memperkokoh dan saling mengasihi serta saling peduli, selalu dikedepankan. Wallâh A’lam bi al-Shawâb

Retrieved from: http://www.facebook.com/notes/ki-ageng-wibisono/ukhuwah-kala-beda-lebaran/10150263254188639

Friday, August 19, 2011

Ritual guardians versus civil servants as cultural brokers in the New Order era

Probojo, Lany. 2010. "RITUAL GUARDIANS VERSUS CIVIL SERVANTS AS CULTURAL BROKERS IN THE NEW ORDER ERA". Indonesia and the Malay World. 38 (110): 95-107.

Authors:
Probojo, Lany1 probojo@em.uni-frankfurt.de
Source:
Indonesia & the Malay World; Mar 2010, Vol. 38 Issue 110, p95-107, 13p, 2 Maps
Abstract:
This paper examines two leading social roles in the island of Tidore: that of the traditional clan leaders and that of the civil servants, who advance two competing versions of Islam. While the traditional Tidore Islam espoused by the clan leaders is integrated with ancestor worship, the civil servants espouse a more strictly Qur'anic Islam endorsed by the Indonesian state ideology of Pancasila and modernisation. The two forms of Islam have come to represent a struggle for political power within Tidore society. [ABSTRACT FROM AUTHOR]
Conclusion
This article has dealt with the relationship between ‘real’ Islam and the local Islamic belief system of Tidore, and the important roles of cultural brokers. To a certain extent, advocating ‘real’ Islam has more to do with politics than with the belief system itself, in the Tidore context. It is still unclear which will eventually prevail: local tradition or the ‘real’ Islam. Another question is whether Islam could be maintained without a local tradition to support it, and indeed if there is any manifestation of Islam in the Indonesian context which is not ‘local’ Islam (Woodward 1996). This is a significant question, since the case of Tidore shows that their Islam is only understandable in its traditional context. Tidore Islam is fully accepted as Islam, even though it incorporates many local traditions, and the way the civil servants advocate so-called Islam Pancasila, rejecting their own local tradition, has to be understood as a political strategy. They have no option but to acknowledge the local tradition, as they could never achieve their objectives without the approval of the traditional elites, the sowohi and joguru, so championing ‘real’ Islam seems more to do with their position as civil servants representing state interests and policies. But are they really convinced that it is right to reject their own ancestors, which are their identity?

The debate on Islam Pancasila was very popular at the time I conducted field research in Tidore from 1989 to 1990. There were certain civil servants who were fundamentally against any local tradition because they belonged to the particular Islamic school of thought which would not follow anything but the Qur’an, but only a few Tidore take this uncompromising position. It is they who are the most fervent advocates of modernisation, of a better education system and of more technology. They contribute to stereotypes of the Tidore as ‘primitive ancestor-worshippers’ whose local traditions waste time, strain the economy and are an impediment to modernisation. The kind of modernisation called for by the Indonesian government would indeed be unacceptable in Tidore if it were to damage the local tradition, but the local tradition is actually not an impediment, as it is an adaptable agent for integration. Local rituals are the village institutions which can transmit development programmes from the state to peasants or to fishermen. The traditional elites can act as cultural brokers in negotiations between the village society and the government in matters of cultural policy as the authorities in village society. While civil servants proclaim their own form of ‘real’ Islam as the necessary religion of modernisation, the modernisation they actually achieve is based upon the local Tidore Islam, which is the source of traditional authority and identity in Tidore.

Tuesday, August 9, 2011

Pernikahan Muslim dengan non-Muslim dalam Tafsir Tematik al-Qur'an

Rosyadi, Imron. 2007. "PERNIKAHAN MUSLIM DENGAN NON MUSLIM DALAM TAFSIR TEMATIK AL-QUR’AN." SUHUF, Jurnal Fakultas Agama Islam, 19 (1): 1-8.

ISSN 0852-368X. Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta. http://eprints.ums.ac.id/1494/1/1._IMRON_ROSYADI_yes.pdf.

ABSTRAK
Pernikahan beda agama merupakan masalah yang serius dalam pergulatan pemikiran bangsa Indonesia antara yang pro dan kontra. Makalah ini menyoroti hukum pernikahan beda agama menurut Muhammadiya dengan menggunakan Tafsir Tematik al-Qur’an, setelah melakukan kajian ayat 221 al-Baqarah dan al-Mâidah ayat 5 serta melihat konteks keindonesiaan, pada akhirnya berkesimpulan bahwa haram hukumnya pernikahan orang Muslim dengan orang yang beda agama (di samping Yahudi dan Nasrani juga agama lainnya), baik bagi pria Muslim maupun wanita Muslim.

Kata Kunci: Nikah, non muslim, Muhammadiyah

Monday, August 8, 2011

Mewujudkan Gerakan Dakwah di Ranting


Muhammadiyah.or.id, 07 Agustus 2011 17:11 WIB
Agus Sukaca

Disebutkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah, Ranting adalah kesatuan anggota di suatu tempat atau kawasan yang terdiri atas sekurang-kurangnya 15 orang yang berfungsi melakukan pembinaan dan pemberdayaan anggota. Pimpinan Ranting memimpin Muhammadiyah dalam rantingnya serta melaksanakan kebijakan Pimpinan di atasnya. Tugas utama Pimpinan Ranting adalah memimpin Anggota Muhammadiyah di rantingnya untuk mengemban misi Muhammadiyah dan mewujudkan visi atau tujuannya.

Misi Muhammadiyah sebagaimana ditulis dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah adalah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam. Dalam Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah, misi tersebut diaktualisasikan dengan cara: (1) menegakkan Tauhid yang murni berdasar Al-Qur’an dan As-Sunnah; (2) menyebarluaskan dan memajukan Ajaran Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahihah/maqbulah; (3) mewujudkan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat. Misi tersebut merupakan langkah-langkah untuk mewujudkan Visi Muhammadiyah “Terwujudnya Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”

MewujudkanVisi Muhammadiyah di Ranting

Masa depan Muhammadiyah ditentukan oleh apa yang dilakukan oleh anggota, kader, dan para pemimpinnya. Gerak yang mereka lakukan adalah langkah-langkah yang sangat bermakna dan memberikan gambaran masa depan. Bila yang dilakukan tidak terkait dengan tujuan Muhammadiyah, maka selamanya tujuan Muhammadiyah tidak akan terwujud. Tetapi bila geraknya menuju tujuan Muhammadiyah, maka kita tinggal menunggu waktu untuk menyaksikan terwujudnya.

Program dan aktifitas apapun yang dilakukan oleh anggota, kader, muballigh, dan para pemimpin Muhammadiyah seharusnyalah dengan visi yang sama, yakni terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Bagi ranting, visi tersebut diterjemahkan menjadi “Terwujudnya Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya di ranting yang bersangkutan”.

Penjelasan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah menyebutkan, bahwa Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya secara umum dapat digambarkan sebagai keadaan masyarakat yang sentosa dan bahagia, disertai nikmat Allah yang melimpah-limpah, sehingga merupakan “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafuur” yakni suatu negara yang indah, bersih, suci dan makmur di bawah perlindungan Tuhan yang Maha Pengampun. Masyarakat semacam itu, selain merupakan kebahagiaan di dunia bagi seluruh manusia, akan juga menjadi tangga bagi ummat Islam untuk memasuki gerbang surga “Jannatun Na’im” untuk mendapatkan keridhaan Allah yang abadi.

Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya itu adalah merupakan rahmat Allah bagi seluruh alam, yang akan menjamin sepenuhnya keadilan, persamaan, keamanan, keselamatan, dan kebebasan bagi semua anggota-anggotanya.

Secara sederhana, Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya di ranting digambarkan sebagai sebuah kawasan yang didominasi oleh pribadi-pribadi muslim yang sebenar-benarnya. Mereka memberikan pengaruh kuat kepada keluarga dan masyarakat lingkungannya. Mereka berjuang menjadikan keluarganya menjadi Keluarga Islam yang sebenar-benarnya. Peran sosial yang mereka emban dilakoni sesuai dengan ajaran Islam dan dijadikan sebagai sarana menyebarluaskan dan memajukan ajaran Islam. Mereka menjalani peran sosialnya dengan menjadi ketua RT, ketua RW, lurah, kepala desa, guru, ustadz, pedagang, dan lain-lain.

Kunci pencapaianvisi Muhammadiyah adalah pribadi muslim yang sebenar-benarnya. Semakin banyak jumlah mereka, semakin dekat visi tercapai. Tugas Muhammadiyah membina sebanyak-banyaknya orang. Bila di sebuah kawasan ranting berpenduduk 1.000 orang, maka Pimpinan Ranting seharusnya menjadikan mereka semua menjadi sasaran dakwah. Selanjutnya memetakan siapa-siapa di antara mereka yang muslim dan non muslim. Yang muslim dicatat, berapa orang dan siapa-siapa saja yang anggota Muhammadiyah, yang simpatisan Muhammadiyah, dan yang non simpatisan Muhammadiyah. Demikian pula yang non muslim, berapa orang dan siapa-siapa saja yang beragama Kristen, Katolik, Hindu. Budha, dan lain-lain.

Energi terbesar hendaknya dicurahkan untuk membina anggota dan simpatisan. Terhadap yang non simpatisan, kita menjaga hubungan baik, bersillaturrahim, menunjukkan kebaikan Muhammadiyah, dan memberikan pelayanan yang bisa diberikan seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Siapa tahu lama-lama mereka bisa menjadi simpatisan. Terhadap yang non muslim, kitapun harus menjaga hubungan baik selagi mereka tidak menghalang-halangi ummat Islam untuk menjalankan agamanya, sambil mengajak mereka untuk mengerti Islam dan menjadi muslim.

Sebagai modal perwujudan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, diperlukan pribadi-pribadi muslim yang jumlahnya mencukupi untuk mengatur dan mendominasi tata kehidupan masyarakat di kawasan tersebut. Dalam kasus kawasan ranting yang berpendudukan 1.000 orang, Pimpinan ranting harus berani menargetkan lebih dari 500 orang yang dibina secara serius. Perjuangan utama anggota Muhammadiyah di ranting tersebut adalah membina mereka menjadi pribadi-pribadi muslim yang sebenar-benarnya.

Gambaran Pribadi Muslim yang sebenar-benarnya

Pribadi Muslim yang sebenar-benarnya adalah pribadi yang memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara kaafah, dengan ciri-ciri: bertauhid murni, berakhlak mulia, taat beribadah dengan cara yang dituntunkan Nabi, dan bermuamalat duniawiyat menurut ajaran Islam. Contoh pribadi muslim yang sempurna adalah Rasulullah SAW. Pribadi Rasulullah adalah puncak sesungguhnya dari kepribadian muslim yang sempurna, yang seharusnya kita jadian acuan perjalanan hidup kita.

Menjadi pribadi seperti Rasulullah, seharusnya menjadi impian terbesar hidup kita, menjadi obsesi kita, menjadi sesuatu yang kita perjuangkan dengan segala daya dan upaya yang kita miliki. Hidup kita adalah perjuangan mewujudkan impian tersebut. Aktualisasinya adalah dengan melangkahkan kaki dan memastikan bahwa langkah-langkah kita benar-benar menuju puncak impian tersebut.

Kita harus mencurahkan segenap energi yang kita miliki untuk melangkah mendaki menuju puncak kepribadian meskipun jauh lebih berat dibanding bila melangkah turun menjauhi puncak. Bila kita melakukan perjalanan mendaki gunung, kita cukup dengan melangkahkan kaki kanan dan kiri secara bergantian dan berulang-ulang sampai ribuan kali, dan akhirnya kita bisa tiba di puncak. Demikian pula perjalanan menuju pribadi muslim yang sebenar-benarnya, kita cukup melakukan dua langkah berulang-ulang tanpa kenal lelah.

Langkah pertama:menyelaraskan misi pribadi dengan misi Muhammadiyah.

Misi pertama Muhammadiyah adalah“menegakkan Tauhid yang murni berdasar Al-Qur’an dan As-Sunnah”. Misi tersebut kita aktualisasikan dalam pribadi kita masing-masing sehingga menjadi :”menegakkan tauhid yang murni berdasar Al Qur’an dan As-Sunnah dalam diri saya pribadi” Yang kita lakukan adalah mempelajari tauhid dan menjadikan hidup kita sepenuhnya berdasar tauhid yang murni, bebas dari segala macam bentuk syirik. Inti dari ajaran tauhid adalah kalimah laa ilaaha illallah –tidak ada ilah kecuali Allah - . Kata Ilah di dalam Al Qur’an setidaknya digunakan untuk 3 hal: pertama, benda-benda atau berhala-berhala yang dijadikan sesembahan. Kedua, manusia yang segala titahnya harus ditaati meskipun tidak sesuai dengan aturan Allah, seperti yang dilakukan oleh Fir’aun. Ketiga, hawa nafsu, yakni ketika dorongan nafsu berhasil mengatasi tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Orang yang bertauhid murni adalah yang berhasil membebaskan diri segala macam pengaruh benda, sesama manusia, dan hawa nafsu, dan hanya membuka peluang dan membenamkan diri dalam pengaruh yang berasal dari Allah. Benda, manusia, hawa nafsu boleh mempengaruhi dirinya sepanjang sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Ia menjadi orang yang paling bebas karena bersandar kepada Allah yang Maha Perkasa, tidak ada ikatan-ikatan lain yang membelenggunya.

Misi kedua Muhammadiyah adalah: “menyebarluaskan dan memajukan Ajaran Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahihah/maqbulah”. Kita jadikan menjadi misi pribadi kita sehingga menjadi: “Saya belajar, menyebarluaskan, dan memajukan Ajaran Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahihah/ maqbulah”. Aktualisasi misi ini kita lakukan dengan senantiasa mempelajari Islam dengan membaca, mengikuti pendidikan dan pengajian. Tiada hari tanpa belajar. Semakin lama kepahaman kita terhadap ajaran Islam semakin baik.

Misi ketiga Muhammadiyah adalah “mewujudkan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat”. Kita jadikan menjadi misi pribadi menjadi “Mewujudkan Islam dalam kehidupan pribadi saya dan keluarga saya”. Menjalankan misi ketiga ini menghasilkan komitmen untuk mengamalkan ajaran Islam secara kaafah. Setiap perintah Allah disikapi dengan bersungguh-sungguh mengamalkannya. Setiap larangan Allah disikapinya dengan sungguh-sungguh menghindarinya. Ia senantiasa bersungguh-sungguh menjalani kehidupan sesuai dengan petunjuk Allah.

Langkah kedua: membangun kebiasaan positif.

Masa depan kita ditentukan oleh apa yang kita lakukan hari ini. Perbuatan baik yang dilakukan terus menerus menjadi kebiasaan baik. Kebiasaan baik yang dilakukan terus menerus menjadi sikap, dan sikap berkembang menjadi karakter. Kesuksesan dimulai dengan membangun kebiasaan baik, melakukan terus menerus apapun rintangannya. Boleh saja terjatuh, tetapi selalu bangun lagi. Orang mengatakan jatuh bangun. Di situlah terjadi pembelajaran luar biasa. Setiap kejatuhanan adalah guru yang membuat semakin arif dan vaksin yang menjadikan semakin kuat sehingga ketika bangun menjadi semakin bijak dan kokoh. Tidak ada orang hebat yang tak pernah jatuh.

Perbuatan baik yang harus kita biasakan dan perjuangkan menjadi kebiasaan anggota Muhammadiyah dan pribadi-pribadi muslim, antara lain The Seven Golden Habit bagi seorang Muslim. Bagi seorang Muslim, The Seven Golden Habit (tujuh kebiasaan emas) ini dapat diterjemahkan dalam bentuk: pertama, tertib dalam melaksanakan shalat, yakni shalat fardhu di awal waktu dan berjama’ah serta melaksanakan shalat tathawwu’, meliputi shalat sunnah rawatib, shalat tahajud 11 raka’at setiap sepertiga malam akhir dan shalat dhuha setiap pagi. Kebiasaan emas kedua adalah puasa sunnah, ketiga: berinfaq dan berzakat secara terprogram, keempat: beramal shaleh dan berjihad setiap hari, kelima: membaca Al-Qur’an setiap hari dan mengkhatamkannya (30 juz) setiap bulan, keenam: membaca buku minimal satu jam setiap hari, dan ketujuh: berpikiran positif dan murah senyum.

Kedua langkah tersebut kita lakukan berulang-ulang terus menerus sampai ribuan kali bahkan jutaan kali sepanjang hanyat masih di kandung badan. Setiap langkah yang benar memberikan selapis peningkatan kualitas pribadi. Semakin banyak pengulangan langkah semakin tinggi pula kualitas pribadi kita, dan semakin dekat terwujud pribadi muslim yang sebenar-benarnya

Aktualisasi Gerakan di Ranting

Menurut Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah, Ranting Muhammadiyah dapat berdiri apabila anggota-anggota Muhammadiyah di suatu kawasan telah mampu: (1) Menyelenggarakan pengajian/kursus anggota berkala, sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan; (2) Menyelenggarakan pengajian/kursus umum berkala, sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan; (3) Mendirikan Mushalla/surau/langgar sebagai pusat kegiatan; (4) Membentuk jama’ah-jama’ah.

Persyaratan pendirian ranting tersebut merupakan ketentuan strategis yang dapat menjamin gerakan dakwah Muhammadiyah dapat terlaksana di kawasan ranting. Pengajian, kursus berkala, mushalla, dan jama’ah merupakan media pembinaan yang efektif untuk pembinaan ummat. Pimpinan Ranting berkewajiban menyelenggarakan media-media pembinaan tersebut menjadi lembaga yang punya nama di kawasan ranting sehingga memiliki daya panggil yang kuat dan digemari masyarakat.

Pengajian/Kursus Anggota Berkala

Pengajian Anggotaadalah pengajian khusus bagi anggota-anggota Muhammadiyah. Tujuannya memberikan pengajaran dan bimbingan kepada anggota agar menjadi muslim yang taat,memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang benar sesuai dengan yang dipahami Muhammadiyah, dan mampu menjadi subyek dakwah terutama sebagai inti jama’ah. Kita dapat mensosialisasikan himpunan putusan tarjih, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, Tuntunan Keluarga Sakinah, kaidah-kaidah perjuangan Muhammadiyah serta produk-produk pemikiran resmi Muhammadiyah lainnya. Diselenggarakan sekurang-kurang sekali dalam sebulan, idealnya diselengarakan seminggu sekali karena otak lebih mudah mengingatnya dan lebih mudah menjadikannya sebagai kebiasaan mingguan. Pimpinan Ranting berkewajiban memotivasi setiap anggota Muhammadiyah yang berada dalam kawasan ranting senantiasa hadir di setiap pengajian anggota.

Kursus Anggota Berkala adalah kursus-kursus yang diselenggarakan khusus untuk anggota Muhammadiyah. Bentuknya bisa berupa Baitul Arqam, Darul Arqam, Mabit Bersama, Kursus Penyelenggaraan Jama’ah, dll.

Pengajian/Kursus Umum Berkala

Pengajian Umumadalah pengajian untuk anggota Muhammadiyah dan masyarakat umum. Pengajian ini menjadi media Muhammadiyah dalam menyebarluaskan ajaran Islam kepada masyarakat umum. Karena sifatnya yang umum, dalam pengajian ini sebaiknya mengajarkan topik-topik yang tidak mudah menimbulkan gejolak atau sikap pro dan kontra di kalangan ummat Islam. Sesuai dengan misi Muhammadiyah, materi yang paling tepat adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pengajian umum ini dapat dikembangkan menjadi lembaga pengajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah yang komperhensif, berorientasi pada peningkatan pemahaman dan pengamalan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. ART Muhammadiyah mensyaratkan ranting menyelenggarakannya sekurang-kurangnya sebulan sekali. Lebih bagus bila dapat diselenggarakan seminggu sekali sehingga mudah diingat dan menjadi agenda rutin mingguan.

Kursus Umum Berkala;adalah kursus-kursus yang diselenggarakan untuk mengajarkan ketrampilan tertentu kepada anggota dan simpatisan Muhammadiyah. Kursus-kursus yang diselenggarakan ranting antara lain: Kursus Shalat, Kursus Merawat Jenazah, Kursus Manasik Haji dan Umrah, Kursus Penyembelihan, dan lain-lain.

Masjid/Mushalla/Surau/Langgar sebagai pusat Kegiatan

Pimpinan Rantingberkewajiban membina masyarakat agar menjadikan masjid/mushalla/surau/ langgar sebagai pusat kegiatan anggota dan simpatisan Muhammadiyah serta masyarakat muslim pada umumnya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain: pertama, mengelola masjid/mushalla/surau/langgar dengan baik dengan cara: menetapkan imam masjid dari kader Muhammadiyah, membentuk Pengurus Ta’mir dari kalangan anggota dan simpatisan Muhammadiyah aktif, dan menyelenggarakan pelatihan “Penyelenggaraan Masjid/Mushalla/Surau/ Langgar” bagi Pengurus Ta’mir.

Kedua, menyelenggarakan pengajian/kursus anggota dan umum di masjid/mushalla/langgar. Ketiga, menyelenggarakan Pengajian Anak-Anak. Keempat, menyediakan tempat untuk kegiatan-kegiatan masyarakat, seperti: acara akad nikah, walimah, dan kelima, mengajak masyarakat Islam untuk memakmurkan masjid dengan shalat fardhu 5 waktu berjama’ah

Jama’ah

Buku Pedoman Pokok Pembentukan Jama’ah terbitan PP Muhammadiyah (1972) disebutkan, bahwa Jama‘ahadalah sekelompok orang atau keluarga dalam satu lingkungan tempat tinggal yang merupakan satu ikatan yang diusahakan pembentukannya oleh seorang atau beberapa orang anggota Muhammadiyah dalam lingkungan tersebut. Jama‘ahmerupakan dakwah dengan menggunakan sistem pembinaan masyarakat dengan menggiatkan anggota Muhammadiyah dalam tugasnya sebagai muballigh. Idealnya setiap jama’ah terdiri atas 5–10 keluarga. Dalam setiap jama’ah terdapat satu atau lebih anggota Muhammadiyah.

Jama’ah merupakan amal usaha wajib bagi ranting. Kewajiban membina jama’ah mengisyaratkan bahwa setiap anggota Muhammadiyah haruslah berada dalam jama’ah. Dengan berjama’ah, semangat ber-Islam akan terjaga, dan hidupnya akan terpimpin. Dalam jama’ah, pembinaan akan intensif dan berlangsung dalam jangka lama.

Jama’ah dipimpin oleh seorang Kader Muhammadiyah yang bertugas antara lain: (1) memotivasi dan menjaga agar masing-masing anggota jama’ahnya mengikuti pengajian rutin dan kursus-kursus yang diselenggarakan; (2) membimbing anggota jama’ah membiasaan “The Seven Golden Habit” dan mengamalkan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya; (3) membimbing anggota jama’ah dalam mengaktualisasikan ajaran Islam pada bidang tugas dan pekerjaan masing-masing; (4) menjaga agar anggota jama’ahnya senantiasa berada dalam jama’ah, dan tidak keluar dari jama’ah sampai akhir hayat; (5) apabila anggota jama’ahnya pindah tempat tinggal, ia menghubungkan dengan jama’ah yang ada di tempat tinggalnya yang baru dan menyerahkannya kepada pemimpin jama’ahnya untuk pembinaan lebih lanjut; (6) menduplikasikan kemampuannya memimpin jama’ah kepada anggota-anggotanya dengan mensponsori mereka menjadi kader.

Dengan dipimpin oleh Pemimpin Jama’ah inilah, anggota dan simpatisan Muhammadiyah diproses dalam sistem pembinaan melalui pengajian dan kursus.

Alur pembinaan dimulai dengan proses rekruitmen anggota jama’ah oleh para kader dari kalangan anggota dan simpatisan Muhammadiyah. Selanjutnya mengajak mereka mengikuti pengajian rutin dan kursus-kursus, membina dalam jama’ah, mensponsori menjadi anggota, mengikutsertakan dalam perkaderan dan pelatihan muballigh hingga akhirnya sebagian di antara mereka menjadi kader dan muballigh. Kader yang dihasilkan melakukan hal yang serupa mulai dari rekruitmen sampai menjadi kader. Kewajiban seorang kader adalah menduplikasikan dirinya kepada anggota jama’ah binaannya sehingga menjadi kader seperti dirinya. Dengan cara ini sistem pembinaan menjadi terstruktur, dilaksanakan secara bertahap, sampai menjadi pribadi yang dicita-citakan.

Jama’ah yang berhasil adalah jama’ah yang mampu mengantarkan anggota-anggotanya menjadi pribadi muslim yang sebenar-benarnya, dan mampu membentuk jama’ah baru.

Penutup

Basis Perwujudan Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang dicita-citakan Muhammadiyah adalah ranting. Aktualisasi dakwah di ranting dilaksanakan secara terpimpin melalui jama’ah-jama’ah, dengan kegiatan utama berupa pengajian-pengajian dan kursus- kursus keagamaan , berbasis di masjid, mushalla, surau atau langgar. Anggota Muhammadiyah apapun jabatannya, seharusnyalah berjama’ah. Wallahu A’lam.

[1] Tulisan ini pernah disampaikan dalam Seminar Pra Musyda yang diselengarakan oleh PDM Gresik pada tanggal 10 Januari 2011

[2]Penulis adalah Ketua Majlis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 2010 - 2015

Retrieved from: http://tabligh.muhammadiyah.or.id/artikel-mewujudkan-gerakan-dakwah-di-ranting-1-detail-27.html

Sunday, August 7, 2011

Muslim Activities in Java: Mohammadiyah and Sarikat Islam

Fermantash, M. 1925. "Muslim Activities in Java." Islamic Review, Xiii (9/September): 5-6.

Java, one of the most fertile countries in the world, is the most important island of the East Indies, thouhg not the largest. Borneo, Sumatra and Celebes are much bigger. The area of Java is fifty thousand square miles. It is about four times the area of Holland.

The Javanese are now making good progress. The Mohammadiyah, a purely religious institution (the Muslim Mission), is making great headway. In 1922 the movement took root at Djokja, a town in Central Java; and under the leadership of the late Kiai Haji Dachlan, and assisted by other indefatigable missionaris, it now has --after a period of thirteen years-- branches all over the island, and other islands in the East Indies-- that string of pearls in the Southern Seas, as described by Multatuli, a famous Dutch author. The Institution has proved a great handicap to the Christian mission; and at Djogja the attendance at the church is decreasing. This is quite contrary to the conditions in mosques, where Muslims in larger number attend daily, so much so that a new mosque is now in the course of building; the Mohammadiyah has now some forty schools and a few hospitals of their own.

Download

Friday, August 5, 2011

Meneropong Wajah Tasawuf Dalam Muhammadiyah

Muhammadiyah.or.id, 16 Februari 2009 11:17 WIB

Oleh : Masyitoh Chusnan

Muhammadiyah sebagai organisasi dan gerakan sosial keagamaan didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) pada awal abad kedua puluh, tepatnya pada 8 Dzulhijjah 1330 H, bersesuaian dengan tanggal 18 Nopember 1912. Pendirian organisasi ini, antara lain, dipengaruhi oleh gerakan tajdîd (reformasi, pembaruan pemikiran Islam) yang digelorakan oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (1703-1792) di Arab Saudi, Muhammad ‘Abduh (1849-1905), Muhammad Rasyîd Ridhâ (1865-1935) di Mesir, dan lain-lain. Masing-masing tokoh tersebut memiliki corak pemikiran yang khas, berbeda satu dengan yang lain. Jika Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb menekankan pemurnian akidah, sehingga gerakannya lebih bersifat puritan (purifikasi), maka Muhammad ‘Abduh lebih menekankan pemanfaatan budaya modern dan menempuh jalur pendidikan, dan karena itu, gerakannya lebih bersifat modernis dan populis. Sementara itu, Rasyîd Ridhâ menekankan pentingnya keterikatan pada teks-teks al-Qurân dalam kerangka pemahaman Islam, yang dikenal dengan al-Rujû’ ilâ al-Qur’ân wa al-Sunnah (kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah). Oleh karena itu, gerakannya lebih bersifat skriptualis (tekstual), yang kelak menjadi akar fundamentalisme (al-ushûliyyah) di Timur Tengah (Syafiq A. Mughni, 1998). Dari telaah biografi KH. Ahmad Dahlan, terlihat bahwa betapa pendiri Muhammadiyah itu sangat terkesan dan sedikit banyak terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran tokoh di atas yang kemudian dipadukan dan dikontekstualisasikan dengan setting sosial dan budaya Jawa, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Ketika itu, masyarakat Indonesia berada dalam kondisi terjajah, terbelakang, mundur, miskin, dan keberagamaan sebagian mereka cenderung mengidap penyakit TBC (Tahayul, Bid’ah, dan Churafat).

Sebagai gerakan tajdîd (pembaruan), dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam, Muhammadiyah memang mengembangkan semangat tajdîd dan ijtihâd (mendayagunakan nalar rasional dalam memecahkan dan mengambil kesimpulan berbagai masalah hukum dan lainnya yang tidak ada dalilnya secara eksplisit dalam al-Qur’an dan al-sunnah), serta menjauhi sikap taklid (mengikuti ajaran agama secara membabi buta, tanpa disertai pemahaman yang memadai terhadap dalil-dalilnya), sehingga di samping dikenal sebagai gerakan sosial keagamaan juga dikenal sebagai gerakan tajdîd.

Istilah tajdîd pada dasarnya bermakna pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi dan sebagainya. Dalam konteks ini, menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif mantan Ketua PP Muhammadiyah, tajdîd mengandung pengertian bahwa kebangkitan Muhammadiyah adalah dalam usaha memperbarui pemahaman umat Islam tentang agamanya, mencerahkan hati dan pikirannya dengan jalan mengenalkan kembali ajaran Islam sesuai dengan dasar al-Qur’ân dan al-Sunnah (A. Syafi’i Ma’arif, 1996). Pencerahan hati, pikiran, dan tindakan dalam berislam sungguh sangat penting digelorakan dewasa ini, mengingat penetrasi dan akulturasi budaya Barat yang sekuler dan rendahnya kualitas sebagian besar umat Islam masih menghantui kehidupan umat Islam Indonesia.

Tajdîdsecara harfiah memang mempunyai arti pembaruan. Muhammadiyah sebagai gerakan tajdîd, dituntut untuk selalu mampu membuat langkah-langkah yang ditempuhnya tetap segar, kreatif, inovatif dan responsif mengikuti perkembangan zaman. Dengan kata lain, Muhammadiyah diharapkan dapat selalu berdiri di hadapan sejarah, dalam arti selalu berada di tengah-tengah perkembangan masyarakat. Dengan cara demikian, Muhammadiyah mampu melakukan interpretasi terhadap ajaran Islam secara dinamis dan kontekstual. Al-Qurân dan al-Sunnah tidak akan pernah ketinggalan zaman, jika umat Islam selalu berusaha menangkap dan meresponi pesan-pesan kedua sumber Islam itu, kemudian mengontekstualisasikannya dengan perkembangan masyarakat secara antisipatif. Muhammadiyah, memang harus terus menerus melakukan pembaruan. Harus selalu ada reorientasi, reevaluasi, revisi dan regenerasi terhadap apa yang sudah dan sedang dikerjakan demikian Amien Rais, sang lokomotif reformasi Indonesia. Di samping itu, Muhammadiyah tidak boleh cepat merasa puas diri terhadap capaian dan prestasinya selama ini, terutama di bidang pendidikan dan amal sosial, karena setiap rasa puas diri akan membawa pada stagnasi dan dekadensi (M. Amien Rais, 1995).

Sementara itu, ketika bicara tentang tajdîd masa kini, Amien Rais mengajukan lima paket tajdîd atau pembaruan yang saling berkaitan dan harus senantiasa dilakukan Muhammadiyah. Kelima paket tajdîd tersebut adalah: tanzhîf al-aqîdah (purifikasi akidah), tajdîd al-nizhâm (pembaruan sistem, organisasi), taktsîr al-kawâdir (kaderisasi, memperbanyak kader), tajdîd etos Muhammadiyah, dan tajdîd kepemimpinan (Amien Rais, 1995). Kelima spektrum tajdîd memang sangat relevan dengan tuntutan masa kini; mengingat dewasa ini fenomena jahiliyah modern juga bermunculan, seperti: perdukunan, ramalan-ramalan yang bernuansa klenik dan tahayul, dekadensi moral, pornografi dan pornoaksi, premanisme, terorisme, trafficking (perdagangan manusia) terutama anak-anak dan perempuan, dan sebagainya. Semua persoalan tersebut hanya dapat dihadapi dan diatasi dengan menggelorakan kembali semangat bertauhid secara murni, reformasi managemen dan organisasi Muhammadiyah dengan melakukan kaderisasi dan intelektualisasi dalam skala yang lebih besar dan merata ke seluruh penjuru tanah air.

Wilayah ijtihâd dan tajdîd Muhammadiyah sejak awal sebenarnya selalu terfokus pada persoalan historisitas kemanusiaan yang sekaligus juga menyentuh persoalan kebangsaan dan keumatan. Masalah pengentasan kemiskinan melalui jalur pendidikan dan pelayanan kesehatan merupakan persoalan keumatan yang kongkrit dan otentik. Sikap dan aksi nyata seperti itulah yang dilakukan oleh pendiri Muhammadiyah pada awal berdirinya dan terus berlangsung hingga kini. Karena etos amal kemanusiaan dan keagamaan ini perlu mendapat ruang dan respons yang lebih luas dari warga Muhammadiyah dan lainnya.

Bagi KH Ahmad Dahlan yang aktivis Budi Utomo itu, setiap warga harus membangun di dalam dirinya etos kehidupan dan etos sosial sebagai seorang guru dan murid sekaligus. Etos guru-murid adalah inti kekuatan ijtihâd dan juga inti kekuatan gerakan sosial KHA. Dahlan dalam usahanya mencairkan kebekuan ritual, sehingga mempunyai fungsi pragmatis sebagai pemecahan problem sosial bagi pencarian feodalisasi keagamaan dan pendidikan yang cenderung maskulin (kelelakian). Seluruh warga, laki-laki dan perempuan, digerakkan untuk bekerja sebagai guru sekaligus murid di dalam banyak bidang sosial dan kegamaan. Kasus penafsiran surat al-Mâ’ûn sebagai dasar kelahiran lembaga panti asuhan mencerminkan ide dasar metodologi pragmatis etos guru-murid dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an (Abdul Munir Mulkhan, 2003).

Nafas Muhammadiyah sebagai gerakan tajdîd, sesungguhnya terletak dalam pergumulannya dengan persoalan historisitas keberagamaan manusia. Untuk membangkitkan dan menyegarkan kembali gerakan pembaruan pemikiran keagamaan Muhammadiyah dalam konteks pembangunan umat, tidak lain dan tidak bukan adalah dengan cara mencermati kembali makna normativitas teks-teks (nash-nash) al-Qurân dan al-Sunnah secara lebih kontekstual, dengan cara mengkaitkan dan mempertautkannya secara langsung atau kontekstualisasi dengan persoalan-persoalan sosial-historis keberagamaan Islam kontemporer secara aktual (M. Amin Abdullah, dalam “Muhammadiyah dan Pemikiran Keagamaan”).

Sebagai pelopor pembaruan pemikiran Islam khususnya di Indonesia, baik yang bercorak purifikatif (pemurnian akidah-ibadah) maupun rasionalistik (bidang muamalah duniawiyah), Muhammadiyah telah menyumbangkan sesuatu yang paling mendasar, yakni sikap kritisnya terhadap status quo pemikiran keislaman saat kelahirannya maupun dalam perjalanan kehidupan bangsa. Selain itu, keunikan corak pembaruan yang dibawa Muhammadiyah adalah terletak pada sisi amaliahnya yang menekankan kesalehan sosial, seperti pembangunan lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, masjid serta sarana dakwah lainnya.

Dalam konteks purifikasi, al-Qurân dan al-Sunnah al-shahîhah (yang valid) secara tekstual normatif merupakan paradigma utama dalam komitmen aqidah maupun pelaksanaan ibadah mahdhah. Dari paradigma tekstual normatif ini melahirkan doktrin segala sesuatu diyakini dan dilaksanakan bila ada perintah (al-Qurân dan al-Sunnah). Sedangkan dalam konteks rasionalisasi, al-Qurân dan al-Sunnah al-shahîhah juga tetap menjadi rujukan pokok, namun dalam keyakinan dan pengamalan bidang muamalah duniawiyah ini berlaku kaidah ushul: al-ashl fi al-asyyâ’ al-ibâhah (semua urusan muamalah duniawiyah boleh dikerjakan) selama tidak ada larangan atau tidak bertentangan dengan al-Qurân dan al-Sunnah.

Sebagai sebuah gerakan (harakah), tentu banyak faktor yang melatarbelakangi kelahirannya. Berbagai pakar dan penulis mengemukakan teori dan alasan untuk menunjang teori mereka. Setiap temuan, masing-masing telah diperkaya dan diperkuat oleh berbagai faktor yang mereka yakini kebenarannya. Di antara nama tersebut misalnya A. Mukti Ali (The Muhammadiyah Movement, 1985), mantan Menteri Agama, yang menyebutkan paling tidak ada empat faktor yang mendorong lahirnya Muhammadiyah, yaitu kehidupan beragama yang tidak murni, pendidikan agama yang tidak efisien, kegiatan para misionaris Kristen, dan sikap masa bodoh dan bahkan anti agama dari kalangan intelegensia (Mukti Ali, 1985).

Sementara itu, Alwi Shihab dalam bukunya, Membendung Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Alwi Shihab, 1998), lebih menekankan faktor penetrasi Kristen yang melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah, di samping sejumlah faktor lain yang sangat kompleks, dan faktor terpentingnya masih tetap diperdebatkan. Dalam perdebatan tersebut menurut Alwi, muncul dua pandangan utama yang pada umumnya diterima. Pandangan pertama, mengatakan bahwa kelahiran Muhammadiyah didorong oleh tersebarnya gagasan pembaruan Islam dari Timur Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama abad ke-20. Pandangan kedua, menekankan kenyataan bahwa Muhammadiyah muncul sebagai respons terhadap pertentangan ideologis yang telah berlangsung lama dalam masyarakat Jawa. Meskipun kedua faktor di atas memainkan peran sangat penting, namun terdapat faktor lain yang sama pentingnya yang terabaikan dari pertimbangan analitis para sarjana, yaitu penetrasi dalam misi Kristen di negeri ini serta pengaruh besar yang ditimbulkannya. Meskipun oleh para sarjana Indonesia faktor ini dipandang tidak penting, namun harus diakui bahwa faktor ini merupakan yang terpenting dari semua faktor yang telah mendorong KHA. Dahlan mendirikan organisasi ini pada tahun 1912.

Dari pendapat yang dikemukakan baik oleh Mukti Ali maupun Alwi Shihab tampaknya, faktor yang paling dominan yang menyebabkan Muhammadiyah lahir adalah faktor kehidupan beragama yang tidak murni, pendidikan agama yang tidak efisien, dan kegiatan para misionaris Kristen yang melakukan kristenisasi terhadap kalangan Muslim tertentu, seperti: kaum fakir-miskin dan kalangan Islam abangan. Kelompok inilah yang mudah menjadi sasaran garap kaum missionaris, karena mereka adalah kaum yang lemah secara ekonomi maupun secara akidah.

Sementara itu, menyoroti tentang persyarikatan Muhammadiyah ini, berbagai pandangan dan pendapat telah dilontarkan kepada organisasi ini, baik dari kalangan luar maupun dari kalangan dalam. Kritik internal yang diarahkan kepada persyarikatan akhir-akhir ini misalnya, ia terkesan kering dan tidak lagi sevokal dan seagresif dahulu dalam menyerukan ide-ide pembaruan pemahaman keagamaan, khususnya dalam hubungannya dengan realitas historis masyarakat Muslim yang hidup di tengah-tengah era modernitas. Kritik ini tentu saja bersifat membangun (konstruktif). Para aktivis dan penerus gerakan sosial keagamaan Muhammadiyah ini dikesankan “terjebak” dalam rutinitas menjalankan perputaran roda organisasi keagamaan. Jika kritik ini benar, memang agak ironis: mengapa organisasi yang dahulunya bebas dan leluasa bergerak, akhirnya harus terjebak dalam liku-liku (mekanisme) birokrasi organisasi yang diciptakannya sendiri untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh persyarikatan. Kritik ini tentu harus diresponi secara positif agar organisasi ini tidak mau dikatakan mandeg (stagnan). Elan vital pembaruan (tajdîd) harus tetap menjadi “watak dasar” Muhammadiyah.

Sebagai sebuah organisasi pembaruan keagamaan, Muhammadiyah memang berpandangan bahwa kunci kemajuan dan kemakmuran kaum Muslimin adalah perbaikan pendidikan. Oleh karena itulah, sesungguhnya sejak dulu nama organisasi ini diambil dari nama sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan satu tahun sebelum didirikannya Muhammadiyah (Alwi Shihab, 1998).

Gerakan Muhammadiyah juga sejak awal dikenal luas sebagai gerakan sosial keagamaan yang didirikan untuk mengadaptasikan Islam dengan situasi modern Indonesia, karena gerakan ini menegaskan diri sebagai gerakan pembaruan yang peduli dan konsen (care and concern) terhadap kemajuan Islam dan umat Islam, dan menyebabkan kebangkitan kembali kaum Muslimin di Indonesia.

Pengamat lain menegaskan bahwa organisasi ini merupakan sebuah gerakan dakwah dengan lingkup kegiatan yang mencakup semua aspek kehidupan sosial: agama, pendidikan, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Barangkali lebih pantaslah kalau Muhammadiyah ini dikatakan, sebagaimana pendapat Alwi Shihab, bahwa gerakan Muhammadiyah masuk ke dalam kombinasi berbagai penamaan dan penyifatan, sejalan dengan sasaran dan tujuannya yang beragam, yang telah mengalami banyak perubahan dalam upayanya untuk terus memberikan respons terhadap kebutuhan zaman. Organisasi ini tidak membatasi diri kepada dakwah semata dalam pengertian yang sempit, tetapi mengambil peran dalam semua aspek perkembangan masyarakat, bergantung kepada atmosfir yang sedang berlangsung (Alwi Shihab, 1998). Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia menyatakan bahwa Muhammadiyah paling tidak memiliki peran dalam tiga dataran: “sebagai gerakan pembaruan, sebagai agen perubahan sosial, dan sebagai kekuatan politik (Kahin, h.87-88). Ketiga atribut yang disematkan kepada Muhammadiyah tersebut memang merupakan keniscayaan. Sebagai gerakan pembaruan, Muhammadiyah berupaya menghadirkan pemikiran-pemikiran inovatif dan kritis terhadap status quo, sehingga eksistensinya juga sekaligus membawa transformasi sosial, terutama melalui modernisasi sistem pendidikan Islam. Seiring dengan kekuatan yang semakin diperhitungkan, terutama di kalangan menengah perkotaan, keberadaan Muhammadiyah juga patut diperhitungkan secara politik, meskipun khiththah (garis dan orientasi perjuangan) organisasi ini tidak berpolitik praktis.

Sebagai pelopor gerakan pembaruan pemikiran Islam yang lebih mengutamakan aspek rasional dalam beragama (meskipun akhir-akhir ini tidak sevokal dan seagresif dahulu) dan menekankan pentingnya peranan akal serta pendidikan akal, ternyata dalam praktik pemimpin dan anggotanya banyak yang mencerminkan dan menekankan pentingnya kehidupan spiritual yang sangat dekat dengan wilayah tasawuf. Keharusan hidup untuk mensucikan jiwa (akhlaq) yang bersumber dari ajaran agama dan berkehendak menaati seluruh perintah Allah berdasarkan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Saw. serta “menyifatkan dirinya dengan sifat-sifat Allah”, merupakan ciri dan perilaku kehidupan tasawuf. Meskipun perilaku seperti itu pada zaman Rasul tidak disebut tasawuf, karena istilah atau laqab (julukan) Sufi pada saat itu belum ada. Istilah ini baru muncul pada akhir abad dua atau awal abad tiga hijriyah (Abd. Al-Fattah Ahmad Fuad, 1980). Ibn Taimiyah (661-728 H) menyatakan bahwa ahli agama, ahli ilmu dan ahli ibadah pada saat itu disebut kaum Salaf, yang kemudian disebut dengan “Shufiyah wa al-Fuqarâ” (Ibn. Taimiyah dan Abd. Al-Fattah Ahmad Fuad, 1980).

Perilaku dan kehidupan spiritual sejumlah pemimpin Muhammadiyah, dilakukan seiring dengan pelaksanaan pemberantasan bid’ah, syirik dan khurafat serta desakralisasi praktik beragama, seperti praktik beragama (baca: bertasawuf) model Ibn Taimiyah. Orang-orang yang masuk ke dalam kategori ini (sufi) adalah mereka yang sungguh-sungguh mentaati Allah. Di antara mereka ada yang lebih utama karena kesungguhannya dalam ketaatannya pada Allah dan adapula yang masih dalam tahap penyempurnaan, mereka disebut dengan Ahl al-Yamîn (Ibn Taimiyah, 1986). Sementara itu, Imam al-Ghazzâlî (1058-1111 M) memberikan makna tasawuf dengan: “Ketulusan kepada Allah dan pergaulan yang baik kepada sesama manusia”. Setiap orang yang tulus kepada Allah dan membaguskan pergaulan dengan sesama manusia menurut al-Ghazzâlî disebut sufi (Al-Ghazzali, 1988). Sedangkan ketulusan kepada Allah Swt. berarti menghilangkan kepentingan-kepentingan diri sendiri (hawa al-nafs) untuk melaksanakan perintah Allah dengan sepenuh hati. Sementara pergaulan yang baik dengan sesama manusia tidaklah mengutamakan kepentingannya di atas kepentingan orang lain, selama kepentingan mereka itu sesuai dengan syari’at. Sebab, setiap orang yang rela terhadap penyimpangan syari’at atau dia mengingkarinya, menurut al-Ghazzâlî, dia bukanlah sufi. Jadi, sufi adalah orang yang menempuh jalan hidup dengan menjalankan syariat secara benar dan sekaligus mengambil spiritualitas (hakikat) dari ajaran syariat dalam bentuk penyucian dan pendekatan diri secara terus-menerus kepada Allah Swt. Perilaku ketaatan terhadap syariat itu kemudian diwujudkan dalam perilaku yang penuh moralitas (akhlak mulia) dalam kehidupan sehari-hari (tasawuf akhlaqi).

Apabila pengertian tasawuf mengacu pada pencanderaan seperti yang diungkapkan oleh Ibn Taimiyah maupun al-Ghazzâlî seperti yang disebutkan di atas, maka di dalam Muhammadiyahpun akan muncul wajah-wajah tasawuf, yakni mereka yang ketaatan serta kehidupan spiritualitasnya cukup intens. Tidaklah mengherankan bila disimak dengan seksama penuturan salah seorang murid K.H.A. Dahlan, yaitu K.R.H. Hadjid, bahwa di antara referensi pendiri Muhammadiyah adalah kitab-kitab yang ditulis oleh tokoh-tokoh seperti Ibnu Taimiyah, Ibn al-Qayyim, Muhammad ibn Abd al-Wahhab, Muhammad ‘Abduh dan termasuk juga karya al-Ghazzâlî. Kitab-kitab tasawuf seperti Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Bidâyah al-Hidâyah, Kimiyah al-Sa’âdah, Kitab al-Arba’în fî Ushûl al-Dîn dan sebagainya menjadi bacaan KHA. Dahlan (Kiyai Hadjid, 1968), sehingga keakraban kehidupan spiritual yang dekat dengan wilayah tasawuf juga mewarnai kepribadian pendiri gerakan pembaruan dalam Islam ini. Bahkan beberapa penerusnya seperti Ki Bagus Hadikusumo, cukup intens dalam kehidupan wilayah ini (baca: bertasawuf). Dia menekankan pentingnya akhlak luhur dan kesederhanaan dalam hidup. Ia prihatin terhadap krisis akhlak yang melanda umat. Banyak orang mengaku Muslim (KTP-nya Islam), tetapi perilakunya tidak Islami. Terhadap krisis ini, Ki Bagus menulis tentang akhlak dalam bukunya “Pustaka Ihsan“ yang mengemukakan tentang istiqâmah, tawakkul, muhâsabah, ‘adl, shidq, tawâdhu’, ikhlâs, amânah, shabr sertaqanâ’ah (Farid Ma’ruf, 1990).

Sementara itu, figur A.R. Fakhruddin juga pantas masuk dalam kategori sebagai sosok sufi dalam Muhammadiyah. Karena menurut hemat penulis, ia dapat mewakili wajah kehidupan spiritual dalam Muhammadiyah, karena beberapa alasan. Pertama, praktek hidup pribadi A.R. Fakhruddin mencerminkan perilaku kehidupan spiritual yang sangat dekat dengan wilayah tasawuf. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam kehidupannya sehari-hari, baik ketika bertugas, di lingkungan rumah tangganya, di masyarakat maupun di kalangan organisasi Muhammadiyah yang dipimpinnya, ia senantiasa mencerminkan pribadi mutasawwif dan watak tasawuf yang akhlaqi, mementingkan pembinaan dan pengamalan perilaku yang menunjukkan akhlak mulia.

Kehidupannya mencerminkan hidup dan kehidupan yang sederhana, asketik dan tidak ngoyo (zâhid). Ia senantiasa menekankan pada perilaku akhlak terpuji. Dalam salah satu ceramah A.R. Fakhruddin, Nakamura pernah mengutip inti ceramahnya sebagai berikut (Mitsuo Nakamura, 1983) :

“Bahwa kita dapat berdoa lima kali sehari dengan teratur, namun jika akhlak kita tetap buruk, tetap rakus, kikir, tidak mau memperhatikan yang miskin dan susah, maka do’a kita tidak akan diterima oleh Allah, tidak akan masuk surga, namun bahkan masuk neraka. Kita dapat menyelesaikan puasa, namun jika kita tetap membicarakan keburukan orang lain, berdusta, menipu, sombong, maka puasa kita tidak berguna dan tidak diakui oleh Allah, marilah kita berdo’a, berpuasa, berhaji, membayar zakat, dan di atas segalanya ini, marilah kita memperbaiki akhlak kita”.

Selanjutnya A.R. Fakhruddin menambahkan:

“Bahwa jalan yang paling pasti untuk membentuk akhlak yang mulia adalah melakukan ibadat, dengan kesadaran penuh kepada Tauhid. Jalan yang harus dilalui dengan kesadaran adalah hasrat seseorang untuk menjadi ikhlas. Ikhlas menunjuk kepada orientasi mental yang sepenuhnya tidak terikat pada hal-hal yang bersifat duniawi, kosong, bersih, dan kekosongan inilah yang harus diisi dengan Allah sepenuhnya diisi dengan kebaktian kepada Allah, tidak pada yang lain. Bahwa shalat-shalat sunnah, termasuk witir, shalat dhuha dan yang sejenisnya sangatlah dianjurkan. Dan bahwa dzikir, wirid, bukanlah monopoli tarekat, dan boleh diperaktikkan bilamana hal tersebut dapat membantu meningkatkan kesalehan seseorang serta ikhlas dalam beribadah maupun dalam bermu’amalah”.

Dalam tindakan dan perbuatannya, A.R. Fakhruddin dapat dicandera lebih mencerminkan pribadi “amal”, figur yang menekankan pada perbuatan nyata, aksis sosial kemanusiaan. Baginya yang penting adalah bagaimana Islam benar-benar dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kepuasannya yang mendalam adalah bilamana umat Islam sungguh-sungguh dapat mencerminkan dirinya sebagai muslim yang baik, Muslim dalam keyakinan, dalam ucapan maupun dalam tindakannya. Di antara watak muslim “amal” ini agaknya lebih dekat kepada wilayah tasawuf, dibandingkan Muslim “intelektual” yang mungkin lebih dekat kepada wilayah kalam atau filsafat.

Kedua, karya-karya tulisnya, jelas memang diungkapkan dengan narasi yang berbeda dengan karya al-Ghazzâlî maupun Ibn Taimiyah, namun substansinya senafas dengan karya-karya tasawuf al-Ghazzâlî, misalnya tentang Adab-Adab dalam Beragama, tentang al-Qawâid al-‘Asyrah, Tindak Kepatuhan, Menghindar dari Dosa, baik dosa-dosa tubuh maupun dosa-dosa jiwa yang berhubungan dengan Allah Swt. dan manusia, tentang tauhid, iman, penyucian diri dari noda, dosa, maksiat, dan lain sebagainya.

Gaya penulisannya sederhana, namun menarik dan enak dibaca. Sepintas, karena kesederhanaannya, terkesan seolah-olah kurang dilandasi teori-teori yang dapat mencerminkan sebagai tokoh pergerakan modernisme dalam Islam. Padahal, justru di situlah letak kekuatannya. Sebab, apa yang dikemukakan dan ditulisnya merupakan manifestasi dari kedalaman dan pengamalan Islam yang diyakininya serta bertolak dari kejujuran dan ketulusan pribadinya, pengalaman keseharian dan problem-problem aktual keagamaan dan kemasyarakatan yang ditemuinya. Dengan karya-karyanya dalam bentuk tadzkirah (peringatan/pelajaran moral) dan anekdotis, di sana dapat dibaca bahwa sifat-sifat dan pribadinya sendiri adalah karya-karya tulisnya itu.

Ketiga, A.R. Fakhruddin adalah pimpinan puncak di Muhammadiyah (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah) terlama sepanjang sejarah perkembangannya, yaitu selama 22 tahun (1968–1990), sementara pendiri Muhammadiyah sendiri yakni K.H.A. Dahlan memimpin Muhammadiyah selama 11 tahun (1912–1923). Bahkan sebelum dipilih sebagai Ketua PP Muhammadiyah, cukup lama A.R. Fakhruddin menjadi pimpinan di daerah dan tingkat wilayah, dan selama 30 tahun diberi tugas oleh pengurus besar Muhammadiyah untuk menggerakkan dakwah di pelosok Sumatera Bagian Selatan. Dengan demikian, A.R. Fakhruddin memiliki kesempatan yang cukup untuk memberi corak kehidupan yang bernuansa tasawuf dalam kepemimpinan dan kehidupan gerakan Muhammadiyah. Selama periode tersebut, melalui kepemimpinannya di tingkat nasional, berbagai kegiatan dan pertemuan, baik di tingkat pusat, wilayah, daerah, cabang maupun di tingkat ranting dapat dilakukan secara intensif dan cukup padat. Bahkan ia seringkali mengisi halaqah-halaqah (pengajian-pengajian dalam forum-forum terbatas) di lingkungan keluarga besar Muhammadiyah, seperti jamaah wanita, ‘Aisyiyah, Nasyi’atul 'Aisyiyah, remaja, kaum terpelajar, guru-guru dan dalam berbagai komunitas lainnya.

A.R. Fakhruddin adalah simbol dan lambang kepemimpinan Muhammadiyah, menjadi tipe pengembangan kepribadian Muhammadiyah dan tokoh sentral yang lengser dari puncak piramida persyarikatan secara ikhlas dan legowo. Ia telah bertiwikrama menjadi trade mark organisasi Islam yang paling rapih di Indonesia. Semua itu, secara langsung ataupun tidak, dapat memberi pengaruh dalam kehidupan persyarikatan. Didukung pula oleh hampir semua karya tulisnya yang lebih banyak ditujukan kepada pembaca keluarga persyarikatan, seperti: Pedoman Muballigh Muhammadiyah,Pedoman Anggota Muhammadiyah,Muhammadiyah Abad ke XV H,Kepribadian Muhammadiyah,Pemimpin Muhammadiyah dan beberapa karya lain dalam bentuk tanya jawab, artikel di majalah Suara Muhammadiyah dan Suara Aisyiyah, serta makalah-makalah yang disampaikan pada halaqah-halaqah, penataran, seminar baik untuk anggota, pengurus, maupun kader-kader Muhammadiyah, seluruhnya cukup efektif dalam kurun yang demikian relatif panjang dalam memberikan sentuhan tasawuf dari pancaran pribadinya dalam jiwa dan amalan anggota Muhammadiyah.

Tema-tema majelis halaqah, tabligh, pengajian, kuliah, khotbah, ataupun tulisan-tulisan yang tersebar dalam brosur dan majalah-majalah intern persyarikatan Muhammadiyah, memang tidak mengangkat tema yang secara eksplisit tentang tasawuf, seperti tokoh lain dalam Muhammadiyah, yaitu Buya HAMKA, namun sarat dengan pelajaran akhlaq yang dekat dengan wilayah tasawuf, yaitu tasawuf akhlaqi. Sementara karya-karya HAMKA di bidang Tasawuf, lebih bersifat universal dan ditujukan untuk khalayak pembaca yang beragam. Karya-karyanya antara lain : Tasawuf Modern; Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, Renungan Tasawuf, Lembaga Budi dan Falsafah Budi.

Tanpa menyebut kata tasawuf sebenarnya ia telah mempraktekkan dan menyebarkan ajaran akhlak tasawuf secara inklusif. Waktu yang dimiliki selama menjadi tokoh puncak Muhammadiyah, memberi peluang yang cukup luas untuk mensosialisasikan pikiran/ renungan dan seruan-seruannya baik dalam perilaku organisasi maupun praktik pribadi dalam mengamalkan ajaran Islam yang bernuansa tasawuf. Jiwa dan pribadinya merentang cermin pribadi “sufi” dalam hal taubat, taqwâ, wara, zuhd, rajâ, khauf, khusyu’, tawâdhu’, qanâ’ah, tawakkul, syukr, shabr, ridhâ, istiqâmah, ikhlâs, dan beberapa tahapan lain penempuh jalan sufi seperti pencanderaan Imam al-Qusyairî al-Naisaburî di dalam Risâlah al-Qusyairiyah (Al-Qusyairi, t.t).

Menurut hemat penulis, kehidupan spiritual A.R. Fakhruddin dapat digolongkan dalam pribadi yang hidup berdasarkan pencerahan dan memiliki karakter tasawuf (tasawuf akhlaqi), serta menjadi salah satu tokoh puncak dan panutan di dalam komunitas persyarikatan Muhammadiyah yang menghayati dan “berjiwa sufi”. Namun, asumsi sementara di atas perlu dibuktikan, apakah benar kehidupan spiritual AR. Fakhruddin itu memang memiliki karakter tasawuf yang dekat dengan dunia Sufi. Lalu, cukup tepatkah pernyataan ini ditujukan kepada AR. Fakhruddin. Bukankah karya-karya tulisnya juga tidak spesifik menulis tentang tasawuf, meskipun sarat dengan dimensi dan pelajaran akhlak.

Dalam berislam dan bermuhammadiyah, memang sangat diperlukan adanya rujukan moral dan keteladanan spiritual yang dapat membina jati diri muslim melalui akhlak tasawuf, karena kita berkeyakinan bahwa kehidupan yang Islami dapat terwujud lewat perilaku dan kehidupan spiritual yang luhur, mulia, dan sarat dengan amal shalih. Ke depan, menurut penulis, Muhammadiyah dan bangsa ini memerlukan figur pemimpin yang dapat diteladani integritas pribadi, kedalaman spiritualitas, dan kecanggihan berpikirnya. Spiritual leadership meminjam istilah Tobroni barangkali merupakan salah satu warisan kepemimpinan AR. Fakhruddin dalam menahkodai dan membesarkan Muhammadiyah. Dengan gaya dan model kepemimpinan spiritual dan sufistik inilah, jati diri Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan dapat menyentuh berbagai lapisan masyarakat. AR. Fakhruddin tidak hanya memimpin dan berdakwah, tetapi juga mendidik dan mencerdaskan umat dengan kecerdasan emosi, kedalaman spiritualitas (the corporate mystics), dan keluhuran moralnya yang tercermin dalam kepemimpinan spiritual dimaksud (Tobroni, 2005). Umat dan bangsa dewasa ini memang sangat memerlukan figur-figur pemimpin yang dapat diteladani dari segi pemihakannya terhadap kejujuran, kebenaran, dan integritas moralnya.

Akhirnya, sebagai refleksi bersama: bukankah yang kelak dinilai Allah Swt. di akhirat adalah amal bakti, prestasi kinerja nyata kita? Muslim yang baik adalah Muslim yang selalu bersikap rendah hati untuk mau belajar dan membelajarkan diri sendiri menuju kualitas hidup yang lebih baik. Mudah-mudahan, pembaca dan kita semua dapat belajar “Islam amalî” dan “amal Islami” serta mengambil pelajaran moral dan spiritual dari tokoh-tokoh puncak pimpinan Muhammadiyah khususnya tokoh kita yang satu ini, K.H. AR. Fakhuruddin (Allah yarham).

Retrieved from: http://www.muhammadiyah.or.id/id/artikel-meneropong-wajah-tasawuf-dalam-muhammadiyah-detail-5.html

Artikel ini merupakan iftitah buku yang akan segera terbit dengan judul Permata Tasawuf Muhammadiyah, Meneladani Spiritual Leadership AR. Fakhruddin.

Monday, August 1, 2011

Ahmad Dahlan in the Eyes of Hendrik Kraemer

Kraemer, H. 1937. "A SURVEY OF THE NETHERLANDS INDIES". The Muslim World. 27 (1): 44-55.

The reform movement, although divided into many sections, is chiefly organized into the Muhammadiyya, as the association is called. It began in 1912 in Jogjakarta, one of the centres of the old Javanese life. The promoter was Haji Ahmad Dahlan, a man of noble and courageous character. He was very broad-minded and was led to start his movement mainly in answer to the challenge which the many-sided religious and philanthropic activity of Christian missions had aroused in his mind. He felt it to be his life task to demonstrate that Islam, too, could supply the same urge for uplift and disinterested service. This movement has continuously increased in strength and significance since 1912, founding schools, small hospitals and orphanages, and exhibiting great zeal in preaching, in publishing literature and in various kinds of social service. The movement has many branches spread over Java, Sumatra, Celebes and even some parts of Borneo. It includes a special department for youth and women. (pp. 53-4)

Note: The above mentioned quotation is a widely quoted statement or an avowed statement from a Dutch missionary on Ahmad Dahlan. This statement is paraphrased or translated or re-written in numerous biography of Ahmad Dahlan in Bahasa Indonesia.

Hendrik Kraemer (born on 17 May 1888 in Amsterdam, died 11 November 1965 in Driebergen) was a lay missiologist and prominent figure in the ecumenical movement from Dutch Reformed Church in the Netherlands. (Wikipedia contributors, "Hendrik Kraemer," Wikipedia, The Free Encyclopedia, http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Hendrik_Kraemer&oldid=430281148 (accessed September 1, 2011))