Wednesday, December 30, 2009

Rekonstruksi Makna Gerakan Tajdid

Surabaya Post, Jumat, 20 Nopember 2009 | 08:34 WIB

Oleh: Achmad Jainuri

Koordinator Bidang Pendidikan PWM Jawa Timur

Pada 8 Dzulhijjah 1430 H bertepatan dengan 25 Nopember 2009 Muhammadiyah genap berusia seratus tahun, menurut perhitungan kalender hijriyah. Dalam tradisi Islam mujaddid (pembaharu) selalu muncul setiap abad.

Siklus munculnya mujaddid setiap seratus tahun ini didasarkan pada Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud: ”sesungguhnya Allah akan membangkitkan pada kaum ini setiap awal abad seseorang yang akan memperbaharui (paham) keagamaannya.” Mujaddid yang dimaksudkan bisa seorang maupun kelompok dan karenanya bisa berupa pembaharuan pemikiran maupun gerakan.

Tajdid, yang muncul dalam berbagai ragam gerakan pembaharuan dalam sejarah Islam, merupakan salah satu bentuk implementasi nilai ajaran Islam setelah meninggalnya Nabi. Gerakan tajdid muncul sebagai jawaban terhadap tantangan kemunduran yang dialami dan, atau jawaban terhadap tantangan kemajuan yang dicapai oleh kaum Muslimin. Tulisan ini mencoba melihat kembali peran Muhammadiyah dalam mengemban misi tajdid yang telah berjalan selama sekitar satu abad.

Rekonstruksi tajdid Muhammadiyah dilakukan tidak hanya untuk menjawab kedua tantangan seperti yang disebutkan di atas, tetapi juga didasarkan pada landasan teologis yang menyebutkan perlunya pembaharuan pada setiap seratus tahun. Kedua tantangan di atas bisa dilihat dalam diri Muhammadiyah dan akibat pembaharuan yang telah dilakukannya. Alasan perlunya tajdid gerakan Muhammadiyah didasarkan pada alur logika yang menegaskan bahwa gerakan tajdid itu tidak akan muncul sebelum tegaknya sebuah tatanan kehidupan atau kemajuan, kemudian tatanan itu rusak dan kehidupan menjadi mundur.

Telah ditegakkannya kebaikan dan kemajuan dan rusaknya kehidupan secara berurutan harus ada sebelum gerakan tajdid itu dilakukan. Pertanyaannya kemudian adalah: apa pembaharuan yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah selama satu abad ini? Mengapa Muhammadiyah perlu merekonstruksi tajdid gerakannya? apakah rekonstruksi tajdid Muhammadiyah ini diarahkan untuk menjawab tantangan kemunduruan atau tantangan kemajuan atau kedua-duanya ?

Selama ini Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan tajdid, namun sejak dekade 1980-an kritik internal muncul mempertanyakan peran pembaharuan gerakan ini. Pada periode awal para elite Muhammadiyah telah meletakkan dasar wawasan keagamaan yang liberal, menurut konteks saat itu. Wawasan dasar keagamaan ini menjadi unsur penting formulasi ideologi gerakan yang memberikan landasan untuk mengkritisi tatanan kehidupan yang ingin dirubahnya, membenarkan tujuan yang ingin dicapai, membenarkan kebijakan dan langkah praktis guna mecapai tujuan.

Dasar pandangan seperti tersebut telah mendorong munculnya semangat tajdid ke dalam berbagai aspek kehidupan dan menerima nilai-nilai modern seperti: perubahan, rasionalitas, keteraturan, orientasi jangka panjang, rajin, kerja keras, tepat waktu, hemat, dan lain sebagainya. Pada tingkat individu, ideologi ini tidak hanya membentuk watak perilaku warga Muhammadiyah yang terbuka, menerima perubahan, rasional, adaptif, dan sebagainya, yang menjadi ciri utama kemodernan seseorang, tetapi juga telah melahirkan berbagai ragam institusi sosial yang membantu mencerahkan dan menyadarkan umat bahwa kemajuan dan kebahagiaan hidup merupakan tujuan yang bisa dicapai melalui kecerdasan dan bekerja keras.

Secara institusional, pada perempat pertama abad ke-20 Muhammadiyah dikenal sebagai simbol perubahan, kemajuan, dan karenanya dikenal sebagai gerakan modern. Stereotyping keagamaan yang menempel pada diri seorang Muslim sebagai eksklusif, tertutup, dan kolot terpatahkan oleh seorang anggota Muhammadiyah yang memiliki watak rasional dan terbuka. Pandangan dunia yang menjauhkan diri dari kehidupan dunia diganti dengan pandangan yang menyebutkan bahwa Islam membolehkan umatnya untuk memperoleh kebahagiaan duniawi.

Sikap keagamaan yang intolerant diganti dengan toleran; sikap budaya yang uniformitas diganti dengan pluralis; pandangan keilmuan yang membatasi pada ilmu agama diganti dengan wawasan bahwa ilmu tidak hanya terbatas pada ilmu agama. Stigma sosial yang menggambarkan orang Muslim itu malas, miskin, bodoh terbantahkan oleh semangat yang dikembangkan oleh warga Muhammadiyah yang kerja keras, memiliki penghasilan, dan memiliki pengetahuan untuk menekuni profesinya. Namun, masih bisakah keberhasilan institusional dan karakteristik individual yang disebutkan di atas dipakai mengukur tingkat keberhasilan Muhammadiyah sekarang ini?

Ketidaksiapan Muhammadiyah dalam mensikapi persoalan yang berkembang saat ini akan menghilangkan jati diri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid. Oleh karena itu, langkah pertama untuk mengatasi tantangan kemunduran ini adalah kembali kepada semangat dan model yang telah dibangun oleh para generasi awal Muhammadiyah. Mereka ini dipandang telah berhasil dalam meletakkan ideologi dasar dan melaksanakan program pembaharuan dalam arti yang sangat luas.

Meskipun secara kuantitatif perkembangan fisik organisasi dan amal usaha semakin bertambah sekarang ini, tetapi kualitas gagasan dan ide pembaharuan tereduksi menjadi sangat superficial dan masih terjebak pada persoalan trivial. Oleh karena itu, bisa dipahami mengapa pembaharuan pada akhirnya hanya muncul dalam pemberantasan bid’ah, khurafat, dan takhayyul. Kenyataan inilah yang kemudian mendorong munculnya usaha baru (tajdid gerakan) untuk menata kembali makna dan misi Muhammadiyah yang sesungguhnya.

Kedua, rekonstruksi tajdid gerakan juga diarahkan untuk menjawab tantangan kemajuan yang dihadapi oleh Muhammadiyah. Aspek penting dari rekonstruksi ini adalah menumbuhkan kesadaran warga Muhammadiyah untuk tidak puas dengan keadaan yang ada. Mereka harus merasa sebagai kelompok yang tidak ingin mempertahankan sesuatu itu sebagaimana adanya (status quo), tetapi menjadi kelompok yang selalu peka terhadap perubahan bagi perbaikan kehidupan masyarakat. Berbagai tantangan yang dihadapi oleh Muhammadiyah sebagian merupakan problem yang muncul akibat pembaharuan yang telah dilakukannya.

Orang mengaitkan kemajuan itu dengan semakin meratanya ide dan ciri kemodernan yang dulu umumnya ditemukan di kalangan warga Muhammadiyah, tetapi sekarang ini hampir menggejala di kalangan masyarakat luas. Dalam beberapa aspek pemikiran, dari sebagian kelompok yang disebut terakhir ini bahkan ditemukan ide dan gagasan yang lebih maju atau paling tidak, responsif terhadap wacana yang berkembang terkait dengan masalah keagamaan kontemporer.

Usaha untuk memperbaharui (tajdid) gerakan telah mencapai saat yang tepat pada usia Muhammadiyah satu abad (8 Dzulhijjah 1430 H). Karena itu semangat pembaharuan mesti terus disosialisasikan. Langkah ini dilakukan dengan merumuskan kembali atau memberikan makna baru ideologi gerakan. Pikiran dasar ideologi Muhammadiyah yang dirumuskan dalam maksud dan tujuan gerakan: “menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” sampai sekarang, masih menjadi acuan gerakan.

Meskipun yang disebut “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” itu belum terumuskan secara jelas, namun tidak keliru apabila disimpulkan bahwa tatanan dasar kehidupan masyarakat yang diinginkan oleh Muhammadiyah, disadari atau tidak, mengacu pada konsep pendewasaan individu warga dan pemberdayaan masyarakat sipil. Dalam masyarakat seperti ini tingkat kedewasaan, kecerdasan, dan kesadaran anggotanya merupakan modal utama untuk menata kehidupan mereka sendiri.

Masyarakat menjadi cukup dewasa untuk bisa mengatur diri sendiri, bahkan tanpa adanya sebuah pemerintahan dan negara. Karena itu penekanan pada pembenahan sumber daya manusia melalui pendidikan menjadi program utama gerakan ini. Dari karakteristik warga masyarakat seperti inilah yang nantinya diharapkan bisa memfasilitasi munculnya sebuah peradaban. Jadi dalam konteks ini peran Muhammadiyah adalah keikutsertaannya dalam proses menciptakan sebuah peradaban baru.

Tuesday, December 29, 2009

A study of `Aisyiyah: An Indonesian women's organization (1917-1998)

A study of `Aisyiyah: An Indonesian women's organization (1917--1998)
by Ro'fah, M.A., McGill University (Canada), 2000 , 106 pages; AAT MQ70620

Abstract (Summary)

This thesis examines the social role of the Indonesian women's organization known as `Aisyiyah, the female wing of the reformist group the Muhammadiyah, founded in 1912. This is achieved by analyzing the development of the organization vis à vis other Muslim women's organizations. It looks at the activities of `Aisyiyah during the period extending from its birth in 1917 until the late New Order era of the 1990s, with close reference to other women's organizations.

A comparison of the activities of `Aisyiyah with those of other women's organizations, and an analysis of the response of this organization towards such issues as polygamy, is also an important feature of this work. While there was much common purpose, still, inevitable differences in perspective, even disharmony developed between `Aisyiyah and other women's groups. This was due in many respects to its determination to maintain its identity as a Muslim women's organization, while it at the same time faced certain limitations by virtue of its being a part of the Muhammadiyah. In general, however, `Aisyiyah is no different from other women's organizations in Indonesia, all of which have tried to represent women's interests and have struggled for their enhancement, while at the same time being faced with the challenges posed by a constantly changing political situation.

Indexing (document details)

Advisor:Alui, Sajida S.
School:McGill University (Canada)
School Location:Canada
Source:MAI 41/01, p. 61, Feb 2003
Source type:Dissertation
Subjects:Religious history, Womens studies, History
Publication Number: AAT MQ70620
ISBN:97806127062010
Document URL:http://proquest.umi.com/pqdweb?did=766152651&sid=1&Fmt=2&clientId=48051&RQT=309&VName=PQD
ProQuest document ID:766152651

Friday, December 25, 2009

‘Aisyiyah Luncurkan Buku Respon Muhammadiyah Terhadap KDRT

Muhammadiyah.or.id, [June 16, 2009]

Yogyakarta - Permasalah perempuan secara serius terus menjadi fokus perhatian sayap perempuan Muhammadiyah, ‘Aisyiyah. Kali ini bekerjasama dengan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan membuat sebuah buku bertajuk "Memecah kebisuan, agama mendengar suara perempuan korban kekerasan demi keadilan (Respon Muhammadiyah)". Melalui buku ini PP Aisyiyah memberikan berbagai solusi kongkret mengatasi berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.

Menurut editor buku tersebut, Dra Siti Aisyah MAg, buku tersebut berisikan berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani dan didampingi penyelesaiannya oleh Aisyiyah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk perempuan di Indonesia.

Diakuinya, selama ini kekerasan terhadap perempuan di Indonesia ibarat gunung es. ''Yang terlihat dipermukaan dan yang melapor hanya sedikit tetapi jika ditelusuri dan dicari banyak sekali,'' paparnya. Menurutnya, selama ini penafsiran atau reinterpretasi terhadap ajaran agama juga sering digunakan sebagai senjata untuk membungkam aksi kekerasan terhadap perempuan tersebut.

Dikatakan 'Aisyah, selama ini dalam masyarakat tertanam bahwa cara pandang agama istri yang sholihah adalah istri yang taat, menerima dan sabar walaupun mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). ''Padahal dalam hatinya, si istri bisa saja tidak terima dan merasa tertekan karena kekerasan suami, dan menganggap bahwa Islam itu tidak adil karena harus menerima dan bersabar saja diperlakukan suaminya. Ini berbahaya. Islam itu rahmatan lil 'alamin,'' paparnya.


Tidak Mengubah Ayat

Melalui buku tersebut, Aisyiyah berusaha menjelaskan kepada masyarakat bagaimana sebenarnya Islam memandang keluarga dan hak-hak perempuan. Aisyiyah berusaha melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat dalam Alquran untuk mencari solusi terhadap kekerasan pada perempuan yang ada di Indonesia.

''Kita tidak mengubah ayat tetapi berusaha menampilkan bagaiman Islam itu adil untuk kaumnya baik laki-laki dan perempuan serta benar-benar rahmatan lil 'alamin,'' lanjutnya.

Selain melalui buku tersebut Aisyiyah secara kongkret juga telah membentuk lembaga khusus yang menangani dan melakukan pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan. Aisyiyah juga melakukan pelatihan terhadap hakim-hakim di Indonesia untuk lebih memiliki sense terhadap kesetaraan gender dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. ''Kita juga melakukan pelatihan terhadap mubaligh serta mubalighot di Indonesia. Mereka kita bekali tafsir Alquran yang berkeadilan bahwa Islam itu memang benar-benar rahmatan lil 'alamin,'' tandas 'Aisyah.

Sementara itu pada rekomendasi hasil Tanwir, Aisyiyah mendesak Menteri Kesehatan untuk menginstruksikan kepada Rumah Sakit-Rumah Sakit Pemerintah se-Indonesia untuk melayani korban KDRT, korban Kekerasan Terhadap Anak (KTA) sebagai implementasi SK bersama Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Polri. (arif)

Source: http://www.muhammadiyah.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1503&Itemid=2

Darah Guru Darah Muhammadiyah: Setengah Abad Kiprah A Malik Fadjar

Pelita, [November 19, 2009]

Laporan:

Tepat, pada hari pendidikan nasional (Hardiknas) 2 Mei 2009 (Sabtu malam), digelar Refleksi Pendidikan dan Kebangsaan Setengah Abad Kiprah Abdul Malik Fadjar di gedung Pusat Muhammadiyah Jakarta.

Ada tiga buku yang diluncurkan pada malam itu, masing-masing berjudul: Darah Guru, Darah Muhammadiyah: Perjalanan Hidup Abdul Malik Fadjar; Pengembangan Profesionalisme Guru: 70 Tahun Abdul Malik Fadjar; dan Pergumulan Pemikiran Pendidikan Tinggi Islam. Acara yang diprakarsai Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA (Uhamka) dan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu dihadiri para pakar, tokoh dan praktisi pendidikan.

Auditorium PP Muhammadiyah yang biasa digunakan untuk seminar dan acara resepsi, saat itu penuh, sesak. Banyak yang tidak kebagian tempat duduk. Dari puluhan tokoh, pakar dan praktisi pendidikan yang menghadiri acara tersebut, ada 13 orang yang memberikan tanggapan atas refleksi tersebut. Mereka adalah Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr H Din Syamsuddin MA, Peneliti dari LIPI Taufik Abdullah, Guru Besar UNJ Jakarta Prof Dr Arief Rachman MPd, mantan Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Syafii Maarif, mantan Mendikbud Prof Dr Wardiman, Guru Besar UPI Bandung, Prof Dr Abin Syamsuddin Mamun, Guru Besar UNJ dan Universitas Indonesia Prof Dr HAR Tilaar, Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, Prof Suyanto PhD, Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia Prof Dr Soedijarto MA , mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,Prof Dr Azyumardi Azra, Rektor UIN Jakarta Prof Dr Qomaruddin Hidayat, mantan Pemred Antara Sobari, dan ketua tim penulisan buku Pengembangan Profesionalisme Guru Zamroni.

Malik Fadjar banyak melontarkan pernyataan yang dapat dijadikan pedoman untuk kemajuan pendidikan di Indonesia. Semua pembicara pada acara itu pun memberikan apresiasi positif kepada Malik Fadjar. Salah satu pernyataan Malik Fadjar tertulis: Pendidikan itu tidak pernah berakhir, saya sekarang juga masih jadi dosen, tetapi tidak boleh berhenti untuk belajar berpikir, sehingga ada istilah berpikir dan berpikir kemali. Think and re- think, shape dan re-shape.

Pendidikan itu harus dipikirkan dan dipikirkan kembali dan dibentuk dan dibentuk kembali. Kalimat lain termaktub: Bangunlah pendidikan yang berdasarkan atas kondisi sosial budaya, adat stiadat, agama, dan tradisi. Jadikanlah pendidikan sebagai sumber kekuatan pembangunan masa depan. Tanpa itu pendidikan tidak akan bisa memenuhi harapan bagi peserta didik, masyarakat, dan Negara. Menurut Malik Fadjar, pendidikan harus menggunakan pendekatan lebih humanis. Yaitu pendekatan yang mengatur keseimbangan antara head (rasio), heart (perasaan) dan hard (keterampilan).

Untuk membangun pendidikan yang paling penting bukanlah mendirikan gedung megah, tetapi proses pendidikan yang berlangsung secara menyenangkan, mengasikkan, sekaligus mencerdaskan. Pendidikan seperti ini hanya bisa dilakukan jika lembaga pendidkan itu tumbuh dan berkembang di atas basis masyarakat, agama, tradisi, dan akar sosial budaya. Pendidikan juga harus bisa membekali peserta didik dengan ilmu yang sesuai denan zamannya. Peserta didik tidak akan hidup di masa sekarang, tetapi akan menjadi generasi masa depan.

Malik Fadjar, mantan Menteri Agama dan mantan Mendiknas ini juga mengkritik tentang kebaradaan lembaga pendidikan Islam. Kapan umat Islam yang kaya dengan lembaga-lembaga pendidikan itu memiliki lembaga riset dan pengembangan pendidikan Islam yang tangguh dan mumpuni? Bukankah kita sudah memiliki modalnya, baik yang berupa tenaga ahli maupun berupa kelembagaan (pondok pesantren, madrasah, sekolah dan perguruan tinggi).

Disisi lain, ia merasa bahagia jika anak didiknya berhasil dalam menempuh pendidikan. Yang paling membahagiakan adalah kalau kita ketemu anak didik kita yang sudah jadi orang. Anak didik yang saya ajar di SMP, sekarang suda h ada yang menjadi guru besar. Ada juga yang jadi perwira di kemiliteran dan ada juga yang jadi pengusaha sukses. Jadi kebahagian, seorang guru ada di situ, tidak diukur dari sebuah materi. Kalau kita melihat peserta anak didik kita jadi orang dan membanggakan sekaligs memberikan dedikasinya, itu sangat mengesankan.Sepertnya jerih payah, kelelahan-kelelahan yang dulu kita rasakan itu terobati dengan sendirinya.

Malik Fadjar juga berkomentar tentang kepemimpinan nasional bahwa Fungsi tugas kepemimpinan nasional itu adalah mengajak, membimbing dan mengerahkan seluruh warga bangsanya menyatu untuk membangun serta mengatasi persoalan-persoalan dalam perjalanan menuju cita-cita bangsa. Sementara itu, guru besar UNJ Prof Dr Arief Rachman mengungkapkan pesan Malik Fadjar kepadanya: Bersyukurlah menjadi orang, ucapnya. Syukur itu ada tiga, pertama berterima kasih kepada Tuhan dan orangtua. Kedua, memanfaatkan apa yang kau miliki dengan sebaik-baiknya, dan kegita pandai melihara harta yang kau miliki itu. Apabila kita bersyukur bahwa tanah air ini adalah tanah kita, kita tidak lupakan Allah. Orang yang pandai memanfaatkan apa yang dimilikinya itu adalah orang yang berilmu. Orang yang pandai memelihara juga orang yang berilmu pengetahuan.

Pesan Malik Fadjar kedua kepada Arief Rachan adalah bahwa menjadi guru itu ada pegangannya. Pertama, kamu harus melihat mutu dari kemampuan muridmu masing-masing. Tidak boleh beruang harus berenang, tidak boleh burung harus merayap, biarkanlah murid-murid itu mempunyai standar masing-masing. Kedua, perhatikanlah keadilan, sebagaimana tuhan memberikan matahari bersinar, meskipun orang kapir diberi matahari oleh Allah. Kamu adalah guru, karena itu kamu harus adil, di dalam mengevaluasi anak-anakmu dan di dalam memberikan pendidikan jangan diskriminatif.

Tokoh langka

Prof Dr HA Malik Fadjar, MSc lahir di Yogyakarta, 22 Februari 1939. Ia merupakan tokoh langka yang dimiliki bangsa ini. Pak Malik, begitu biasa koleganya memanggil, adaah sosok yang menggeluti dunia pendidikan di hamper seua aspekya. Bermula dari kiprahnya sebagai praktisi pendidikan paling mendasar: sebagai seorang guru Sekolah Rakyat (SR) di daerah terpencil Sumbawa Besar pada ahun 1959, kemudian menjadi dosen di IAIN Sunan Ampel Malang, dosen dan dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) hingga sukses menjadi rektor di dua universitas sekaligus, UMM dan Universitas Muhammadiyah Solo.

Sebagai birokrat, Malik Fadjar pernah menjabat sebagai Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, Menteri Agama Kainet Reformasi Pembangunan di bawah Presiden BJ Habibie dan Menteri Pendidikan Nasional pada Kabinet Gotong Royong Presiden Megawati Soekarnoputri. Kini ketika usia memasuki ke 70 tahun, kiprah Malik Fadjar tetap tidak berhenti. Sebagai anak seorang guru yang aktivis Muhammadiyah, Malik Fadjar adalah sosok yang mewarisi jiwa aktivis dan kepemimpinan ayahandanya Fadjar Martodihardjo di kalangan Muhammadiyah. Ia adalah tokoh tua yang mngayomi dan bijaksana. Pada diri Pak Malik, mengalir darah guru dan darah Muhammadiyah, kata Anwar Hudijono, penulis perjalanan hidup Abdul Malik Fadjar.

Guru besar yang yang diperoleh dari IAIN sunan Ampel Malang (1996) dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2000) menambah karakter keguruannya yang tetap konsisten dipegangnya, enjadi guru bagi semua orang hingga sekarang. Maka lengkaplah iprah Malik Fadjar, sebagai praktisi pendidikan paling dasar, birokrat pendidikan, pemikr pendidikan hingga filosof pendidikan dan kebangsaan. Ibarat pena, Malik Fadjar adalah tinta yang tak pernah habis. (sidik m nasir)


Sumber: http://203.130.198.30//artikel/70376.shtml

Thursday, December 24, 2009

Biografi Singkat (1869-1923) KH. Ahmad Dahlan



Judul buku : Biografi Singkat (1869-1923) KH. Ahmad Dahlan

Penulis buku : Adi Nugraha

Penerbit : Garasi

Cetakan : Pertama,2009

Harga : Rp 25.000

Tebal : 136 hlm

“Jangan kamu anggap urusan kecil, Muhammadiyah adalah besar…”, inilah salah satu pernyataan K.H. Ahmad Dahlan, yan tertulis dalam buku Biografi Singkat (1869-1923) K.H. Ahmad Dahlan. Dalam buku ini, Adi Nugraha ingin menceritakan sosok K.H. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah. Yang ketika itu umat Islam dan ajaran Islam sedang dilanda krisis kepercayaan. Seperti ungkap K.H. Ahmad Dahlan dalam buku ini, “tidak mungkin Islam lenyap dari seluruh dunia, tapi tidak mustahil Islam hapus dari bumi Indonesia. Siapakah yang bertanggungjawab?”

K.H. Ahmad Dahlan adalah anak keempat dari tujuh bersaudara, putra dari K.H. Abu Bakar bin Kiai Sulaiman dan Siti Aminah binti almarhum K.H. Ibrahim. Ayahnya seorang khatib tetap Masjid Agung Yogyakarta. Sedangkan adalah putri dari Penghulu Besar di Yogyakarta. K.H. Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, tahun 1869. Sebelum ia mendapat gelar dan nama K.H. Ahmad Dahlan, nama yang diberikan orangtuanya adalah Muhammad Darwis. Nama K.H. Ahmad Dahlan, ia peroleh dari para Kiai setelah ia selesai menunaikan ibadah haji.

Setelah ia kembali ke Kauman, ia berniat ingin mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Alasannya, karena ia merasa resah melihat keadaan umat Islam waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik. Dari kondisi inilah hatinya tergerak untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya menurut ajaran dari Al Quran dan Hadis.

Tekadnya ini, ia amalkan dengan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Organisasi ini, didirikan pada 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912. Pendirian organisasi ini dipengaruhi oleh gerakan tadjin (reformasi, pembaruan pemikiran Islam) yang digelorakan oleh Muhammad bin Abd Al-Wahab di Arab Saudi, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha di Mesir dan lain-lain. Bertolak dari sini, salah satu tindakan nyata yang dilakukannya adalah memperbaiki arah kiblat, yang awalnya lurus ke barat, tapi kemudian dengan mengacu pada ilmu falak dibuat agak condong ke utara 22 derajat. Pembetulan arah kiblat ini dimulai dari Langgar Kidul milik K.H. Ahmad Dahlan. Caranya dengan membuat garis shaf.

Semenjak didirikan, Muhammadiyah banyak bergerak di bidang pendidikan. Selain giat memberikan pengajian kepada ibu-ibu dan anak-anak, ia juga mendirikan berbagai sekolah. Gerakan membangun pendidikan itu terus berkembang hingga saat ini.

Dalam perjuangannya ini, K.H Dahlan jatuh sakit, dan pada Jumat malam, 7 Rajab tahun 134 Hijriah, ia menghembuskan napas terakhirnya di hadapan keluarganya. Kemudian ia dimakamkan di makam milik keluarganya di Karangkajen, Yogyakarta.

Dari semua keterangan yang Adi Nugraha tulis dalam buku ini, sudah mewakili biografi singkat K.H. Ahmad Dahlan. Tetapi, jika dibaca dengan saksama, ada kesalahan ketik yang menurut saya cukup fatal. Tahun kelahiran K.H. Ahmad Dahlan ada yang tertulis 1968, ada juga yang tertulis 1969. Di bab 1, penulis banyak menceritakan silsilah tata ruang di Kauman. Padahal judul di bab 1 adalah Biografi K.H. Ahmad Dahlan. Bukankah seharusnya penulis banyak menceritakan tentang sosok K.H. Ahmad Dahlan, sejak lahir, masa kanak-kanak, masa remaja, sampai dia mengutuskan mendirikan Muhammadiyah? Kemudian, penulis juga banyak menulis kata-kata yang tidak biasa dan tidak menuliskan artinya. Dengan begitu pesan yang disampaikan ke pembaca kurang kena. Bertolak dari sini, sebagai buku biografi, buku ini sudah cukup memberi gambaran tentang K.H.Ahmad Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah.(Riska)***

P.S: Pernah disiarkan harian Kedaulatan Rakyat, Bedah Buku, tgl 12 April 2009.

Source: http://abrar-agency.com/resensi-buku/

Related Articles >>

Kyai Haji Ahmad Dahlan
KH Ahmad Dahlan, wong agung dengan makam sederhana
Ahmad Dahlan in the eyes of Hendrik Kramer
Api pembaharuan Kiai Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan, Muhammadiyah, and Christianity in Indonesia

Monday, December 21, 2009

Perspective versus Practice: Women’s Leadership in Muhammadiyah

Kurniawati Hastuti Dewi
Perspective versus Practice: Women’s Leadership in Muhammadiyah
Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia - Volume 23, Number 2, October 2008, pp. 161-185

Abstract

This study examines Muhammadiyah’s views on women’s leadership that play a significant role in determining whether the demand for women’s leadership in the movement, based on the case of the 45th Muhammadiyah Muktamar in July 2005, will be met. This paper presents the discrepancy between these perspectives and contemporary practices, and assesses the endorsements of the textual approach for understanding divine messages on women, the male hegemonic sentiment, and the rejection of the affirmative action rule for accommodating women in the Muhammadiyah central board. Findings suggest that the views of Muhammadiyah followers have shifted towards favouring women’s leadership, and are presently a crucial factor in improving the status of women.

Keywords
Muhammadiyah, women’s leadership, religious perspectives, religious practices, gender issue

Sunday, December 13, 2009

Muhammadiyah, Local Politics and Local Identity in Kotagede

Sulistiyanto, Priyambudi*
*Assistant Professor at the Southeast Asian Studies Programme, National University of Singapore
  • Subject Headings:
    • Muhammadiyah (Organization)
    • Kotagede (Indonesia) -- Politics and government.
    • Islam and politics -- Indonesia -- Kotagede.
    Abstract:

      This article is a preliminary observation of local politics and local identity in Kotagede, Central Java, Indonesia, during the post-Soeharto period. It examines the roles of Muhammadiyah and local actors in maintaining local identity in this town. I highlight the importance of Islamic and Javanese traditions in shaping the local history and the dynamics of local politics in Kotagede. I also argue that there is a place for local actors and social networks in the pursuit of preserving local identity in this town. Some observations are made about the impact of the Yogyakarta earthquake and future research directions.

    Keywords:
      Kotagede, Muhammadiyah, scholarship, local politics, local identity.

References

  1. Albiladiyah, S. Ilmi. Kotagede: Pesona dan Dinamika Sejarahnya. Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa, 1997.
  2. Aspinall, Edward, and Greg Fealy, eds. Local Power and Politics in Indonesia. Singapore and Canberra: Institute of Southeast Asian Studies and Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University, 2003.
  3. Bahari, Nooryan. Daya Tahan Karakteristik Estetis dan Simbolisme Jawa pada Kria Perak di Sentra Industri Kotagede dalam Konteks Perubahan Lingkungan Sosial Budaya. Unpublished thesis. Bandung: Institut Tehnologi Bandung, 2004.
  4. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DIY Yogyakarta. Kotagede, A Living Museum. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DIY Yogyakarta, 2003.
  5. Erb, Maribeth, Priyambudi Sulistiyanto, and Carole Faucher, eds. Regionalism in Post-Suharto Indonesia. London and New York: Routledge-Curzon, 2005.
  6. Khudori, Darwis. Orang-Orang Kotagede. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000.
  7. Kingsbury, Damien, and Harry Aveling, eds. Autonomy and Disintegration in Indonesia. London and New York: Routledge Curzon, 2003. [End Page 270]
  8. Maulana, M. Jadul. "The Moving Equilibrium: Kultur Jawa, Muhammadiyah, Buruh Gugat di dalam Festival Kotagede 2000". In Ngesuhi Deso Sak Kukuban Lokalitas, Pluralisme, Modal Sosial Demokrasi, edited by M. Jadul Maulana. Yogyakarta: LKIS, 2001.
  9. McVey, R. The Rise of Indonesian Communism. Ithaca: Cornell University Press, 1965.
  10. Nakamura, Mitsuo. The Cresent Arises over the Banyan Tree. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983.
  11. ———. "Muhammadiyah Faces the Challenges of Democracy". In MuhammadiyahMenjemput Perubahan: Tafsir Baru Gerakan Sosial-Ekonomi-Politik, edited by Mukhaer Pakkanna and Nur Achmad, pp. 215–29. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2005.
  12. Pemerintah Kota Yogyakarta. Data Potensi Wilayah Kecamatan Kotagede Tahun 2004. Yogyakarta: Pemerintah Kota Yogyakarta, 2004.
  13. Shiraishi, T. An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912–1926. Ithaca: Cornell University Press, 1990.
  14. Soekiman, Djoko. Kotagede. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992.
  15. Tjahyono, Gunawan. Cosmos, Center, and Duality in Javanese Architectural Tradition: The Symbolic Dimensions of House Shapes in Kota Gede and Surroundings. Unpublished thesis. Berkeley: University of California, 1991.
  16. Van Mook, H.J. "Kuta Gede". In The Indonesian Town, edited by W.F. Wertheim. The Hague and Bandung: W. Van Hoeve Ltd, 1958. Zaidan, Aden Wijdan Syarief. Pluralitas Keagamaan Studi tentang Pluralitas Agama-Politik dalam Masyarakat Kotagede Kawasan. Unpublished thesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2003.

Newspaper

  1. Kedaulatan Rakyat (KR). 28 May 2006.

Saturday, December 12, 2009

Explaining the Cause of Muslim-Christian Conflicts in Indonesia: Tracing the Origins of Kristenisasi and Islamisasi

Alexander R. Arifianto


Department of Political Science, Arizona State University, Tempe, USA


Abstract

Within the last decade, Indonesia has experienced numerous incidents of communal violence between conservative Muslims, who are the religious majority in the country, and the Christian minority. This has been caused by mutual prejudices and suspicions that have gradually developed between the two groups. This article will explain the origins of such sentiments by looking at the history of Muslim-Christian relations in Indonesia. It argues that the origins of tensions between the two religions date from the Dutch colonial period in Indonesia and persisted throughout Indonesia's post-independence history. First, the article will survey the roots of Kristenisasi suspicions among Indonesian Muslims, from the Dutch colonial period until the New Order regime under Suharto. Next, it will examine government policies designed to appease conservative Muslims and restrict the religious freedom of Indonesian Christians. Finally, it will discuss how these policies helped to create the fear of Islamisasi among Indonesian Christians.

References

  1. Alfian (1989) Muhammadiyah: The Political Behavior of an Indonesian Muslim Organization under Dutch Colonialism Gadjah Mada University Press , Yogyakarta, Indonesia
  2. Aragon, L. (2000) Fields of the Lord: Animism, Christian Minorities, and State Development in Indonesia University of Hawaii Press , Honolulu, HI
  3. Aritonang, J. (2004) Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia PT BPK Gunung Mulia , Jakarta, Indonesia — [History of Christian and Muslim Encounters in Indonesia]
  4. Benda, H. (1958a) The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation Williem van Hoeve , The Hague, the Netherlands
  5. Benda, H. (1958b) Christiaan Snouck Hurgronje and the foundations of Dutch Islamic policy in Indonesia. Journal of Modern History 30:4 , pp. 338-347.
  6. Bertrand, J. (2004) Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia Cambridge University Press , New York
  7. Boland, B. J. (1971) The Struggle of Islam in Modern Indonesia Martinus Nijhoff , The Hague, the Netherlands
  8. Bush, R. (2002) Islam and Civil Society in Indonesia: The Case of Nahdatul Ulama University of Washington , Seattle, WA — PhD Dissertation
  9. Crouch, M. (2007) Regulating places of worship in Indonesia: upholding freedom of religion for religious minorities. Singapore Journal of Legal Studies pp. 96-116.
  10. Hatta, M. Penders, C. L. M. (ed) (1981) Mohammad Hatta, Indonesian Patriot: Memoirs PT Gunung Agung , Singapore
  11. Hefner, R. (2000) Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia Princeton University Press , Princeton, NJ
  12. Hefner, R. Bresnan, J. (ed) (2005) Social legacies and possible futures. Indonesia: The Great Transition pp. 75-136. Rowman & Littlefeld , Lanham, MD
  13. Husein, F. (2005) Muslim-Christian Relations in the New Order Indonesia: The Exclusivist and Inclusivist Muslims' Perspectives Mizan Pustaka , Bandung, Indonesia
  14. Kadir, S. A. (1999) Traditional Islamic Society and the State in Indonesia: The Nahdatul Ulama, Political Accommodation, and the Preservation of Autonomy University of Wisconsin , Madison, WI — PhD Dissertation
  15. Kim, H. J. (1998) The changing interpretation of religious freedom in Indonesia. Journal of Southeast Asian Studies 29:2 , pp. 357-373.
  16. Laffan, M. F. (2003) Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma before the Winds RoutledgeCurzon , London
  17. Mulyadi, S. (2003) Violence under the banner of religion: the case of Laskar Jihad and Laskar Kristus. Studia Islamika 10:2 , pp. 75-109.
  18. Noer, D. (1978) Administration of Islam in Indonesia Cornell University Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program , Ithaca, NY
  19. Roosa, J. (2006) Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'Etat in Indonesia University of Wisconsin Press , Madison, WI
  20. Ropi, I. (1998) Muslim-Christian polemics in Indonesian Islamic literature. Islam and Christian-Muslim Relations 9:2 , pp. 217-229.
  21. Ropi, I. (1999) Depicting the other faith: a bibliographical survey of Indonesian Muslim polemics on Christianity. Studia Islamika 6:1 , pp. 79-120.
  22. Shihab, A. (1995) The Muhammadiyah Movement and its Controversy with Christian Mission Temple University , Philadelphia, PA — PhD Dissertation
  23. Sidel, J. (2006) Riots, Pogroms, Jihad: Religious Violence in Indonesia Cornell University Press , Ithaca, NY
  24. Steenbrink, K. (1992) Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contacts and Conflicts, 1596-1950 Rodopi, B.V , Amsterdam, the Netherlands
  25. Steenbrink, K. (1993) Indonesian politics and a Muslim theology of religions: 1965-1990. Islam and Christian-Muslim Relations 4:2 , pp. 223-246.
  26. Steenbrink, K. (1998) Muslim-Christian relations in the Pancasila state of Indonesia. The Muslim World 88:3-4 , pp. 320-352.
  27. Sukarno McVey, R. T. (ed) (1926 [1969]) Nationalism, Islam, and Marxism Cornell University Modern Indonesia Project , Ithaca, NY
  28. Sumartana, T. (1991) Missions at the Crossroads: Indigenous Churches, European Missionaries, Islamic Associations, and Socio-religious Change in Java, 1812-1936 PT BPK Gunung Mulia , Jakarta, Indonesia
  29. Van Bruinessen, M. (2002) Genealogies of Islamic radicalism in post-Suharto Indonesia. Southeast Asia Research 10:2 , pp. 117-154.
  30. Van Bruinessen, M. (2003) Post-Suharto Muslim engagements with civil society and democratization,'. paper presented at the Third International Conference and Workshop on 'Indonesia in Transition' Depok, Indonesia: — Available at http://igiturarchive.library.uu.nl/let/2007-0312083801/bruinessen_04_postsoehartomuslim.pdf (accessed 2 August 2008)
  31. Van Klinken, G. (2003) Minorities, Modernity, and the Emerging Nation: Christians in Indonesia—A Biographical Approach KITLV Press , Leiden, the Netherlands
  32. Van Klinken, G. (2007) Communal Violence and Democratization in Indonesia: Small Town Wars Routledge , London
  33. Van Niel, R. (1960) The Emergence of the Modern Indonesian Elite Williem van Hoeve , The Hague, the Netherlands
  34. Webb, P. (1978) Indonesian Christians and their Political Parties 1923-1966: The Role of Partai Kristen Indonesia and Partai Katolik , Southeast Asian Monograph Series 2 . James Cook University , Townsville, Australia
  35. Willis, A. (1977) Indonesian Revival: Why Two Million Came to Christ William Carey Library , South Pasadena, CA

Wednesday, December 9, 2009

Gerakan Kultural Muhammadiyah

Republika, [04-11-2008]

Almisar Hamid
Mantan Aktivis IMM dan Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta

Tulisan Deni al Asy'ari mengenai Runtuhnya Gerakan Kultural Muhammadiyah (Republika, 24/10) menarik disimak. Ia melihat keterlibatan Muhammadiyah secara praktis dalam ruang politik semakin kentara, terutama setelah berdiri Partai Matahari Bangsa (PMB) yang menurut dia didukung oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsuddin.

Din Syamsuddin, menurut Deni, di samping mendukung berdirinya PMB secara terang-terangan juga melibatkan diri dengan berbagai pernyataan yang menunjukkan kesiapannya menjadi petinggi republik ini (presiden atau wakil presiden). Sekalipun fenomena yang demikian tidak semuanya didukung oleh pimpinan dan warga Muhammadiyah, warga Muhammadiyah nyatanya tidak dapat mengelak akan adanya bayang-bayang pergeseran posisi dan peran Muhammadiyah sebagai gerakan kultural yang idealnya mengabdi untuk kepentingan bangsa dengan mengayomi semua partai politik (parpol) dengan posisi yang sama selama bertujuan mendorong amar makruf nahi munkar ke arah gerakan politik.

Akan tetapi, menurut Deni, yang terjadi justru sebaliknya, adanya upaya pemihakan yang dilakukan oleh salah satu pimpinan Muhammadiyah, seperti Ketua Umum Pusat Muhammadiyah terhadap salah satu partai politik. Hal ini setidaknya bisa dicermati melalui berbagai pernyataan yang diberikan oleh Ketua Umum Pusat Muhammadiyah terhadap PMB dalam berbagai kegiatan partai yang berlambang matahari merah ini yang secara terbuka ditafsirkan memberikan dukungan terhadap partai tersebut.

Menurut Deni, langkah-langkah tersebut tentu saja tidak ada salahnya. Tetapi, berpijak pada khittah Muhammadiyah yang menjunjung tinggi etika berpolitik atau meminjam istilah Prof Dr HM Amien Rais yang menggunakan prinsip high politic, tentu saja manuver maupun berbagai pernyataan yang dikeluarkan oleh petinggi Muhammadiyah tersebut akan dapat mencederai cita-cita dan idealisme Muhammadiyah karena dinilai menunjukkan keberpihakan terhadap parpol tertentu.

Sekilas tentang PMB, partai itu memang didirikan oleh kader-kader muda Muhammadiyah yang sebagian masih duduk di pengurus Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah. Orang nomor satu PMB saat ini, Imam Addaruqutni (mantan politisi PAN), adalah mantan ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah menggantikan Hajriyanto Y Tohari ( saat ini menjadi politisi Partai Golkar).

Sebelum Hajriyanto, PP Pemuda Muhammadiyah dipimpin oleh Din Syamsuddin. Dia imam saat ini yang juga dipercaya memimpin salah satu badan di bawah Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.

Seperti di pusat di mana anggota pengurus PMB banyak yang merangkap menjadi pengurus Pemuda Muhammadiyah, begitu juga di tingkat wilayah dan daerah. Mereka sebagian juga masih aktif menjadi pengurus Pemuda Muhammadiyah, bahkan pengurus Muhammadiyah.

Penting diketahui, Muhammadiyah adalah gerakan kultural/gerakan membangun masyarakat madani atau masyarakat utama, istilah Muhammadiyah. Di antara konsep masyarakat utama yang dirumuskan Muhammadiyah itu adalah hadirnya sistem dan tatanan sosial yang memberikan kemudahan, perlindungan, persamaan, kemerdekaan, dan terbebasnya individu-individu anggota masyarakat dari belenggu dan kondisi hidup yang tidak manusiawi (miskin, bodoh, terbelakang).

Salah satu yang digarap oleh Muhammadiyah sebagai gerakan kultural sejak awal berdirinya adalah bidang pendidikan dengan membangun sekolah sebanyak-banyaknya. Mengapa pendidikan ?

Meminjam pandangan Amien Rais, mantan Ketua PP Muhammadiyah, karena kebodohan telah menjadi musuh terbesar umat Islam dan mustahil umat Islam dapat membangun masa depan yang lebih baik bilamana kebodohan dan keterbelakangan tetap saja melekat lengket dalam kehidupan mereka. Suksesnya Muhammadiyah membangun sekolah sebanyak-banyaknya ditopang oleh doktrin yang disebutnya sebagai pencerahan umat yang terus dipegang oleh para kader Muhammadiyah.

Adapun politik dalam konsep gerakan kultural Muhammadiyah bukan politik praktis, politik mengejar kekuasaan, tetapi politik amar ma'ruf nahi munkar. Di sini setidak-tidaknya Muhammadiyah mampu menjadi kelompok penekan yang andal dalam mengawal jalannya kekuasaan. Amien Rais menyebutnya sebagai high politic atau politik luhur.
Langgengnya gerakan Muhammadiyah, menurut Amien Rais, juga ditopang oleh doktrin yang disebutnya tidak berpolitik praktis. Sepintas sikap Muhammadiyah seperti ini ada yang menilai tidak bijak karena bagaimana mungkin dakwah dalam arti rekonstruksi sosial dapat berhasil bila dijauhkan dari politik praktis.

Masalahnya, kata Amien, Muhammadiyah membangun masyarakat. Membangun katakanlah infrastruktur dalam jangka panjang, Muhammadiyah tidak ingin mengambil short cut atau jalan pintas politik dengan membangun kekuasaan dan berambisi ikut berebut kekuasaan dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada.

Logika Muhammadiyah adalah dengan membina masyarakat lewat siraman nilai-nilai Islam, Muhammadiyah berarti telah ikut mempersiapkan manusia-manusia yang berakhlak, memegang nilai-nilai dan norma-norma moral secara kuat. Dengan begitu, tatkala manusia-manusia tersebut masuk ke gelanggang politik praktis, mereka tidak akan menjadi homo politicus yang mengejar kekuasaan demi kekuasaan semata.

Dengan kata lain, mereka akan mampu menolak proses dehumanisasi dalam dirinya. Mereka akan memandang kekuasaan politik sebagai amanat untuk menyejahterakan rakyat.
Amien menyebut salah satu rahasia kelestarian dan kestabilan Muhammadiyah terletak pada kepiawaiannya menghindari politik praktis. Pengalaman menunjukkan, bila kepentingan politik sudah masuk ke dalam tubuh sebuah organisasi nonpolitik, maka organisasi tersebut menjadi rawan konflik dan perpecahan.

Hingga saat ini Muhammadiyah sebagai gerakan kultural terlihat konsisten menghindari politik praktis. Masalahnya, ternyata godaan politik terhadap kader-kader Muhammadiyah sulit dibendung. Seperti kader bangsa Indonesia lainnya, kader Muhammadiyah juga banyak yang siap menjadi pemimpin bangsa, termasuk Din Syamsuddin dan sebelumnya Amien Rais untuk menjadi presiden.

Melihat aturan Muhammadiyah tentang politik bagi anggota, sebenarnya sudah ada sejak lama. Seperti Keputusan Muktamar 40 di Surabaya 1978 yang berbunyi: 1) Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu partai politik atau organisasi apa pun, 2) Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain sepanjang tidak menyimpang dari anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah

Berdasarkan aturan di atas dapat dipahami bahwa Muhammadiyah memberi kebebasan kepada anggota dan kadernya memasuki atau tidak memasuki organisasi lain sepanjang tidak bertentangan dengan Muhammadiyah. Masalahnya, bagaimana jika kader Muhammadiyah memegang jabatan rangkap seperti menjadi pengurus di PMB atau partai lainnya?
Perlu diingat, ketika Amien Rais memimpin Partai Amanat Nasional dan ikut bertarung menjadi calon presiden, ia tidak lagi menjadi ketua PP Muhammadiyah. Artinya, Amien Rais tidak memiliki jabatan rangkap ketika itu.

Bagaimana dengan Din Syamsuddin yang dinilai dekat dengan PMB yang notabene adalah wilayah politik praktis walaupun ia tidak duduk di PMB? Perlukah ada regulasi dari PP Muhammadiyah atas perilaku politiknya?

Ikhtisar:
- Muhammadiyah terlihat konsisten menghindari politik praktis.
- Masalah muncul karena ada godaan politik terhadap kader-kader Muhammadiyah.
(-)