Tuesday, January 12, 2010

Memahami Islam Dalam Muhammadiyah (Bagian 5-Habis)

Selasa, 01 Mei 2007
Oleh Dr. H. Haedar Nashir, M.Si.

Muhammadiyah sejak berdirinya menggelorakan ”kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah” (ruju‘ ila al-Quran wa al-Sunnah). Upaya untuk mendalami dan mengamalkan Islam dengan benar seperti melalui ”tujuh falsafah ajaran” dan ”17 kelompok ayat Al-Quran” yang diajarkannya kepada para muridnya merupakan bukti kuat dari semangat kembali pada ajaran Islam yang autentik. Kyai Dahlan meluruskan arah kiblat, mengajarkan Al-Maun, dan berbagai pemikirannya tentang tajdid bukti kuat pula bahwa paham Islam yang diajarkan Kyai Dahlan bukan hanya semata pemurnian, tetapi juga pembaruan. Menurut Nurcholish Madjid, Kyai Dahlan adalah sosok pencari kebenaran sejati yang mampu menangkap pesan Al-Quran (melalui tafsir Al-Manar) dalam konteks zaman.

Menurut Kyai Hadjid (ibid: 35), ajaran atau falsafah/pemikiran Kyai Dahlan berangkat dari semangat dasar untuk menjalankan/mengamalkan ajaran-ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasul. Karena itu, sejak awal, Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Hai Ahmad Dahlan konsisten untuk mengajak dan mempraktikkan ”kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah”. Di belakang hari, karakter gerakan Islam seperti inilah yang sering disebut sebagai gerakan tajdid fil-Islam atau gerakan revivalisme Islam, modernisme Islam, dan reformisme Islam. Itulah format dari Islam yang murni dan berorientasi pada berkemajuan. Di satu pihak esensi ajaran Islam yang ditampilkan Muhammadiyah aseli dan jelas sumber serta kebenarannya, di pihak lain dapat menjadi ”way of life” bagi kehidupan manusia sepanjang masa. Karena itu gerakannya untuk kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah selain autentik juga dinamis.

Gerakan untuk ”kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah” merupakan karakter dari gerakan-gerakan tajdid yang bersifat pemurnian (purrifikasi) seperti dipelopori Ibn Tamiyiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridla, Jamalauddin al-Afghani, dan para pelopor gerakan pembaruan lain di dunia Islam. Idiom ”raja’a” (kembali) memiliki konotasi pada ”marja‘” (tempat kembali), yang secara esensial berarti merujuk ke tempat asal. Dalam kenyataannya juga tidak terlepas dari kesadaran untuk kembali pada ajaran Islam yang murni setelah mengalami ”pencemaran” atau penyimpangan tertentu, yang menjauhkan Islam dari ”tempat asalnya”, yakni sumber ajaran yang aseli yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah yang shahih.

Gerakan pemurnian tersebut memiliki konteks kesejarahan yang khas, yakni ketika Islam memang tercemar dari berbagai unsur luar yang bersifat ”TBC” (tahayul, bid’ah, dan khurafat” atau secara khusus mengalami pencemaran aqidah sehingga memerlukan pemurnian (tandhif al-‘aqidah al-Islamiyyah). Hal itu terjadi pada rentang para pembaru itu hidup, yakni era Islam abad pertengahan ketika mengalami kemunduran pasca kejatuhan Baghdad 1258 M, setelah kehadiran bangsa Mongol dan masuknya pengaruh Persia ke dalam kehidupan kaum muslimin. Jadi ada suasana pencemaran yang memerlukan pemurnian kembali. Dalam periode ini ada semangat untuk membangun kembali dunia Islam yang ideal sebagaimana cita-cita utama Islam untuk membangun kehidupan ”baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur”, suatu cita ideal masyarakat Islam yang diidam-idamkan.

Kenapa Muhammadiyah mengusung gerakan ”kembali pada Al-Quran dan Sunnah Rasul” ? K.H. Ahmad Azhar Basyir (1987: 11) memberikan keterangan sebagai berikut: ”Karena Muhammadiyah yakin seyakin-yakinnya bahwa Al-Quran dan Sunnah Rasul itulah sumber asli dari ajaran-ajaran Islam. Al-Quran menyajikan ajaran-ajaran tentang ”kebenaran mutlak” yang bersifat terbuka. Al-Quran memberikan kesempatan kepada siapapun juga sepanjang masa, untuk menguji kebenarannya sebagai firman Allah, bukan karangan Muhammad, sebagaimana dituduhkan....Al-Quran mengecam sikap hidup apriori, baik apriori menerima tanpa kesadaran maupun apriori menolak tanpa pertimbangan akal-fikiran yang matang....Al-Quran datang dari Allah. Allah sendiri yang berjanji untuk selalu memeliharanya. Al-Quran sejak diturunkan sampai akhir zaman nanti akan tetap terpelihara keaseliannya, sesuai dengan janji Allah sendiri.”.

Dalam butir Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH) butir ketiga dijelaskan secara gamblang bahwa ”Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan a. Al-Quran: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW; b. Sunnah Rasul: Penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad; dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.”. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksanannya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang aqidah, akhlak, ibadah, dan mu’amalat dunyawiyah. Dengan esensi ajaran dan sumber ajaran Islam yang demikian maka Muhammadiyah menjadikan Islam sebagai agama Allah yang mengandung hidayah dan rahmat-Nya untuk keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup umat manusia di dunia dan di akhirat.

Menurut K.H. Azhar Basyir (1993: 276-277.), Muhammadiyah dalam memahami ajaran Islam dilakukan secara menyeluruh. Aspek-aspek ajaran Islam, yaitu aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalat dunyawiah atau kemasyarakatan, kendati dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya (al-Islâm kullun lâ yatajazzâ’). Dalam memahami Islam, akal dipergunakan sejauh yang dapat dijangkau. Hal-hal yang dirasa di luar jangkauan akal, diambil tawaqquf dan tafwidh. Memaksakan takwil terhadap hal-hal yang dirasakan di luar jangkauan akal dipandang sebagai menundukkan nash terhadap akal. Aspek akidah yang lebih banyak didasarkan atas nash, dipergunakan takwil sepanjang didukung oleh qarinah-qarinah yang dapat diterima. Aspek akhlak mutlak berdasarkan nash, akhlak situasional tidak dapat diterima. ‘Ibadah mahdhah berdasarkan atas pedoman nash. Sedangkan aspek mu‘amalat jika diperoleh dalil-dalil yang qath‘iy dilaksanakan sesuai dengan ajaran nash, tetapi jika diperoleh dari nash-nash zhanniy maka dilakukan penafsiran. Asas maslahah dapat menjadi landasan penafsiran. Sikap hati-hati diambil terhadap hal-hal yang masih belum diperoleh kejelasan guna menjaga keselamatan beragama.

Dengan perspektif Islam dalam pandangan Muhammadiyah dan cara memahami Islam yang luas sebagaimana diuraikan dalam rangkaian tulisan ini maka segenap wara Muhammadiyah, lebih-lebih pimpinannya dituntut untuk memahami Islam secara komprehensif, mendalam, dan luas baik yang berdimensi ‘aqidah, ibadah, akhlak, dan mu‘amalat dunyawiah maupun yang bersifat pemurnian dan pembaruan; sehingga melahirkan cakrawala Islam yang serba melintasi untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sekaligus menyebarkan Islam sebagai rahmatan lil-‘âlamin.

Memahami Islam Dalam Muhammadiyah (Bagian 4)

Rabu, 18 April 2007
Oleh Dr. H. Haedar Nashir, M.Si.

Agama dalam pandangan Muhammadiyah bukan hanya masalah ritual semata, juga bukan bersifat pemurniah belaka, sebagaimana sering dipersepsikan secara sempit oleh sebagian kalangan, tetapi bersifat multiaspek yang menyeluruh. Pemahaman yang sempit dan terbatas, kendati peralatan ilmu untuk memahaminya serba mencukupi, akan melahirkan citra Islam yang parsial. Jika hal itu terjadi, maka Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bergerak di ranah dakwah dan tajdid pun, akan dicitrakan sebagai gerakan yang juga parsial, yang kehilangan ruh gerakannya yang aseli sebagai gerakan pembaruan Islam (gerakan purifikasi dan dinamisasi) di Indonesia sebagaimana dipelopori pendirinya, Kyai Haji Ahmad Dahlan, sekitar satu abad yang silam.

Mengenai paham agama Islam juga cukup mendasar juga dapat dirujuk pada tafsir Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang tercantum dalam ”Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah” hasil Majelis Tanwir tahun 1951. Dalam menafsirkan kalimat ”radlitu bi Allah rabba wa bil al-Islami dina wa bi Muhammad shalla Allah ‘alaihi wassalam nabiyya wa rasula”, ditafsirkan ke dalam lima pokok ”penegasan”. Kelima pokok pernyataan penegasan menganai Muqaddimah tersebut ialah (1) Tauhid, (2) Hidup Bermasyarakat, (3) Hidup Beragama, (4) Hidup Berorganisasi (Bersyarikat), dan (5) Negara Indah Tuhan Mengampuni. Substansi inilah yang digali dari matan dan rumusan lengkap ”Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah” yang digagas Ki Bagus Hadikusuma tahun 1946, yang terdiri atas enam pernyataan fundamental mengenai Muhammadiyah, yang dikenal pula sebagai ideologi Muhammadiyah, yakni: (1) Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah; (2)Hidup manusia bermasyarakat; (3) Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan keyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat; (4) Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ihsan kepada kemanusiaan; (5) ‘Ittiba kepada langkah perjuangan Nabi Muhammad s.a.w.; (6) Melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi.

Dalam Buku Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah (Tahun 1954) mengenai ”Hidup Beragama” (Penegasan Ketiga), secara substansial terdapapat penjelasan yang luas dan mendalam mengenai paham agama dalam muhammadiyah sebagaimana kutipan lengkap berikut ini:
”Agama Islam adalah agama Allah yang dibawa oleh sekalian Nabi, sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad s.a.w. dan diajarkan kepada umatnya masing-masing untuk mendapatkan hidup bahagia Dunia dan Akhirat.”

”Menurut keyakinan seorang Muslim, Islamlah agama yang benar. Ini bukanlah lantaran sempit faham, tetapi lantaran kembali kepada pokok arti Kalimat ISLAM itu sendiri. Didalamnya terkandung daya upaya Insan mencari Rahasia ‘alam. Daya upaya Insan mencari Hakikat. Telah beribu tahun Insan hidup didunia. Sejak akalnya mulai tumbuh akal itu telah bertanya-tanya tentang ”Apa”, ”Dari mana?”, ”Hendak kemana?”, ”Sebab apa?”. Kesudahan perjalananya –belumlah bertemu. Dan hendak mencari Zat dan Hakikat, yang di depannya hanya bekas dan Hakikat. Kesudahannya sadarlah akan kelemahan-diri di hadapan. Kebesaran Hakikat, lalu menyerahlah. Itulah Islam (penyerahan diri).

Bertambah tinggi kecerdasan akal, bertambah tinggi usaha berfikir, bertambah dekatlah orang kepada Penyerahan diri, kepada Islam. Maka akal tidak boleh dibekukan, supaya keni’matan ke-Islaman itu jangan tidak dirasai.

Islam mengajarkan bahwasanya tujuan dari segala Nabi dan Rasul Utusan Tuhan adalah satu, yaitu untuk membimbing Pri-Kemanusiaan didalam menuju jalan kepada Tuhan, dan menuntun masyarakat manusia supaya bersatu dalam Kesatuan Hukum.

Nabi-nabi sejak Adam sampai Nabi Muhammad, adalah Nabi Islam. Nuh sebagai pembawa syari‘at pertama, adalah Nabi Islam, sebab itu dialah Nabi ikutanku. Ibrahim ‘alaihi Salam, yang mula-mula memakai nama Islam itu adalah Nabiku. Musa pemerdekaBani Israil dari tindakan sewenang-wenang Fir‘aun adalah Nabiku. Isa Al-Masih putra Maryam, Nabi yang menyiarkan kasih sayang dalam ‘alam, adalah Nabiku. Muhammad Rasulullah s.a.w. penutup segala Nabi dan Rasul, adalah Nabiku. “Tidak kami perbedakan di antara seorang juapun daripada pesuruh-pesuruhnya.

Segala Kitab Allah, Shuhuf Ibrahim dan Musa, Thaurat Musa, Zabur Daud, Injil Isa, dan Furqan Muhammad, aku akui kebenarannya. Semuanya adalah pelita bagi ‘Alam Insani dalam menuju Ridla Tuhannya. Kebahagiaan Ruhani dan Jasmani, Kelepasan dari bahaya Dunia dan Akhirat.

Umat manusia adalah satu, dan aku sebagai seorang Muslim adalah seorang anggauta dari Pri-Kemanusiaan itu. Seorang Muslim tidak mempertajam pertentangan diantara Timur dan Barat, ”Bagi Allahlah Timur dan bagi Allahlah Barat. Kemana juapun engkau menghadap, maka disanalah wajah Allah. Dan Allah itu Maha esa dan Allah itu Maha Mengetahui.”.

Ummat manusia didalam menuju Agama itu dengan sendirinya terbagi dua. Ada Ummat yang telah memperkenankan seruan. Itulah Ummatul Ijabah. Dan yang kedua masih ditunggu pengakuannya, bahwa ”Tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah Pesuruh Allah”. Ini dinamakan Ummatul Da‘wah. Kepada mereka yang belum mengaku, tidak dilakukan paksaan.

Adapun terhadap kepada sesama Ummatul Ijabah, selama mereka masih mengakui ”Tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah Pesuruh Allah” tidaklah dia boleh dikeluarkan dari golongan Jama‘ah Islamiyah. Sebab, meskipun berbagai faham yang timbul dalam Islam, karena Islam memberi Kemerdekaan berfikir bagi Ummatnya, namun mereka masih dikatakan oleh Nabi s.a.w. ”Ummat-Ku”.

Lantaran itu maka seorang Muhammadiyah tidaklah mengkafirkan saudara sesama Islam. Golongan dapat berlain-lain, memahamkan agama mungkin berbagai-bagai ragam, namun tujuan hanya satu, yaitu mencari kebenaran.

Sebab itu pula, maka tiadalah perintah yang diutamakan, hanyalah perintah Allah dan tiadalah contoh yang patut diikut, hanyalah contoh yang dibentangkan oleh Rasul Allah, Muhammad s.a.w. Dan tiadalah boleh mengikuti sesama manusia dengan membuta tuli, atau taklid. Melainkan harus berusaha senantiasa mempertinggi nilai Pribadi dan akal sendiri, sehingga dapat memahamkan sendiri akan Agama itu. ”Kalau benar hasil faham itu, mendapatlah dua pahala. Pahala memahamkan dan pahala kebenaran pendapat; dan kalau salah, mendapat juga satu pahala, yaitu pahala kesungguhan menyelidiki, dan tidak berdosa kalau salah pendapat”. Karena tiadalah kesalahan pendapat yang disengaja.

Harus pula diakui bagaimana besar jasa dan usaha angkatan yang terdahulu, yang dinamai Assalafush Shalihin dalam memikirkan seluk-beluk agama, dan mengeluarkan sari patinya. Naka kembang bersinarlah agama Islam, karena kemerdekaan berfikir. Dan setelah itu muramlah cahanyanya, karena kemerdekaan berfikir itu tidak ada lagi. Maka kita berkeyakinan, bahwasanya kembalinya kemegahan dan kebesaran Islam, sangatlah tergantung kepada kembalinya kemerdekaan berfikir, dan kesungguh-sungguhan menggali dan mengorek hikmah agama dari segala seginya. Maka hasil usaha orang yang terdahulu, yang timbul dalam ‘alam Islam, semuanya juga dipandang sebagai alat-alat dan petunjuk didalam menuju pokok agama Islam, yaitu sabda Tuhan dan Sunnah Rasul s.a.w.

Yang menjadi tujuan akhir dari setiap pribadi dan masyarakat, ialah kebahagiaan dunia dan akhirat, kesehatan jasmani dan ruhani, keseimbangan kemajuan lahir dan bathin, jiwa dan akal. Dan jalan satu-satunya untuk mencapai itu ialah dengan Agama Islam.

Pandangan atau paham agama yang demikian mendasar dan luas tersebut menunjukkan pemikiran yang komprehensif dan berorientasi tajdid dari Muhammadiyah di masa lalu, yang menjadi basis bagi gerakan Muhammadiyah untuk kurun berikutnya. Pemikiran tajdid tersebut baik yang berdimensi pemurnian maupun pembaruan, sehingga keduanya merupakan pilar penting dalam pandangan dan pengamalan ajaran Islam di lingkungan Muhammadiyah. Dengan pemurnian Muhammadiyah merujuk dan menampilkan Islam yang sesuai dengan pesan autentik Wahyu Allah dan Sunnah Nabi yang sahih (maqbulah), sehingga beragama jelas sumber ajarannya dan tidak terkontaminasi dengan pandangan dan praktik yang bersifat bid’ah atau tambahan-tambahan manusia. Sebaliknya, dengan tajdid yang bersifat pembaruan, maka aspek ajaran Islam yang murni itu sekaligus memiliki fungsi dalam kehidupan sehingga Islam menjadi agama kehidupan. Lebih jauh lagi, dengan tajdid yang bersifat pembaruan, maka Islam sebagai ajaran sekaligus dapat menjawab tantangan-tantangan baru dalam setiap babakan kehidupan, sehingga agama ini benar-benar menjadi rahmatan lil-’alamin: ”tidaklah Kami mengutusmu Muhammad, kecuali sebagai rahmat untuk semesta alam” (QS. Al-Anbiya: 107). Muhammadiyah menampilkan Islam sebagai agama Langit yang membumi untuk semesta kehidupan.

Memahami Islam Dalam Muhammadiyah (Bagian 3)

Haedar Nashir

Agama dalam pandangan Muhammadiyah bukan hanya masalah ritual semata, juga bukan bersifat pemurniah belaka, sebagaimana sering dipersepsikan secara sempit oleh sebagian kalangan, tetapi bersifat multiaspek yang menyeluruh. Pemahaman yang sempit dan terbatas, kendati peralatan ilmu untuk memahaminya serba mencukupi, akan melahirkan citra Islam yang parsial. Jika hal itu terjadi, maka Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bergerak di ranah dakwah dan tajdid pun, akan dicitrakan sebagai gerakan yang juga parsial, yang kehilangan ruh gerakannya yang aseli sebagai gerakan pembaruan Islam (gerakan purifikasi dan dinamisasi) di Indonesia sebagaimana dipelopori pendirinya, Kyai Haji Ahmad Dahlan, sekitar satu abad yang silam.

Mengenai paham agama Islam juga cukup mendasar juga dapat dirujuk pada tafsir Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang tercantum dalam ”Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah” hasil Majelis Tanwir tahun 1951. Dalam menafsirkan kalimat ”radlitu bi Allah rabba wa bil al-Islami dina wa bi Muhammad shalla Allah ‘alaihi wassalam nabiyya wa rasula”, ditafsirkan ke dalam lima pokok ”penegasan”. Kelima pokok pernyataan penegasan menganai Muqaddimah tersebut ialah (1) Tauhid, (2) Hidup Bermasyarakat, (3) Hidup Beragama, (4) Hidup Berorganisasi (Bersyarikat), dan (5) Negara Indah Tuhan Mengampuni. Substansi inilah yang digali dari matan dan rumusan lengkap ”Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah” yang digagas Ki Bagus Hadikusuma tahun 1946, yang terdiri atas enam pernyataan fundamental mengenai Muhammadiyah, yang dikenal pula sebagai ideologi Muhammadiyah, yakni: (1) Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah; (2)Hidup manusia bermasyarakat; (3) Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan keyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat; (4) Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ihsan kepada kemanusiaan; (5) ‘Ittiba kepada langkah perjuangan Nabi Muhammad s.a.w.; (6) Melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi.

Dalam Buku Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah (Tahun 1954) mengenai ”Hidup Beragama” (Penegasan Ketiga), secara substansial terdapapat penjelasan yang luas dan mendalam mengenai paham agama dalam muhammadiyah sebagaimana kutipan lengkap berikut ini:
”Agama Islam adalah agama Allah yang dibawa oleh sekalian Nabi, sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad s.a.w. dan diajarkan kepada umatnya masing-masing untuk mendapatkan hidup bahagia Dunia dan Akhirat.”

”Menurut keyakinan seorang Muslim, Islamlah agama yang benar. Ini bukanlah lantaran sempit faham, tetapi lantaran kembali kepada pokok arti Kalimat ISLAM itu sendiri. Didalamnya terkandung daya upaya Insan mencari Rahasia ‘alam. Daya upaya Insan mencari Hakikat. Telah beribu tahun Insan hidup didunia. Sejak akalnya mulai tumbuh akal itu telah bertanya-tanya tentang ”Apa”, ”Dari mana?”, ”Hendak kemana?”, ”Sebab apa?”. Kesudahan perjalananya –belumlah bertemu. Dan hendak mencari Zat dan Hakikat, yang di depannya hanya bekas dan Hakikat. Kesudahannya sadarlah akan kelemahan-diri di hadapan. Kebesaran Hakikat, lalu menyerahlah. Itulah Islam (penyerahan diri).

Bertambah tinggi kecerdasan akal, bertambah tinggi usaha berfikir, bertambah dekatlah orang kepada Penyerahan diri, kepada Islam. Maka akal tidak boleh dibekukan, supaya keni’matan ke-Islaman itu jangan tidak dirasai.

Islam mengajarkan bahwasanya tujuan dari segala Nabi dan Rasul Utusan Tuhan adalah satu, yaitu untuk membimbing Pri-Kemanusiaan didalam menuju jalan kepada Tuhan, dan menuntun masyarakat manusia supaya bersatu dalam Kesatuan Hukum.

Nabi-nabi sejak Adam sampai Nabi Muhammad, adalah Nabi Islam. Nuh sebagai pembawa syari‘at pertama, adalah Nabi Islam, sebab itu dialah Nabi ikutanku. Ibrahim ‘alaihi Salam, yang mula-mula memakai nama Islam itu adalah Nabiku. Musa pemerdekaBani Israil dari tindakan sewenang-wenang Fir‘aun adalah Nabiku. Isa Al-Masih putra Maryam, Nabi yang menyiarkan kasih sayang dalam ‘alam, adalah Nabiku. Muhammad Rasulullah s.a.w. penutup segala Nabi dan Rasul, adalah Nabiku. “Tidak kami perbedakan di antara seorang juapun daripada pesuruh-pesuruhnya.

Segala Kitab Allah, Shuhuf Ibrahim dan Musa, Thaurat Musa, Zabur Daud, Injil Isa, dan Furqan Muhammad, aku akui kebenarannya. Semuanya adalah pelita bagi ‘Alam Insani dalam menuju Ridla Tuhannya. Kebahagiaan Ruhani dan Jasmani, Kelepasan dari bahaya Dunia dan Akhirat.

Umat manusia adalah satu, dan aku sebagai seorang Muslim adalah seorang anggauta dari Pri-Kemanusiaan itu. Seorang Muslim tidak mempertajam pertentangan diantara Timur dan Barat, ”Bagi Allahlah Timur dan bagi Allahlah Barat. Kemana juapun engkau menghadap, maka disanalah wajah Allah. Dan Allah itu Maha esa dan Allah itu Maha Mengetahui.”.

Ummat manusia didalam menuju Agama itu dengan sendirinya terbagi dua. Ada Ummat yang telah memperkenankan seruan. Itulah Ummatul Ijabah. Dan yang kedua masih ditunggu pengakuannya, bahwa ”Tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah Pesuruh Allah”. Ini dinamakan Ummatul Da‘wah. Kepada mereka yang belum mengaku, tidak dilakukan paksaan.

Adapun terhadap kepada sesama Ummatul Ijabah, selama mereka masih mengakui ”Tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah Pesuruh Allah” tidaklah dia boleh dikeluarkan dari golongan Jama‘ah Islamiyah. Sebab, meskipun berbagai faham yang timbul dalam Islam, karena Islam memberi Kemerdekaan berfikir bagi Ummatnya, namun mereka masih dikatakan oleh Nabi s.a.w. ”Ummat-Ku”.

Lantaran itu maka seorang Muhammadiyah tidaklah mengkafirkan saudara sesama Islam. Golongan dapat berlain-lain, memahamkan agama mungkin berbagai-bagai ragam, namun tujuan hanya satu, yaitu mencari kebenaran.

Sebab itu pula, maka tiadalah perintah yang diutamakan, hanyalah perintah Allah dan tiadalah contoh yang patut diikut, hanyalah contoh yang dibentangkan oleh Rasul Allah, Muhammad s.a.w. Dan tiadalah boleh mengikuti sesama manusia dengan membuta tuli, atau taklid. Melainkan harus berusaha senantiasa mempertinggi nilai Pribadi dan akal sendiri, sehingga dapat memahamkan sendiri akan Agama itu. ”Kalau benar hasil faham itu, mendapatlah dua pahala. Pahala memahamkan dan pahala kebenaran pendapat; dan kalau salah, mendapat juga satu pahala, yaitu pahala kesungguhan menyelidiki, dan tidak berdosa kalau salah pendapat”. Karena tiadalah kesalahan pendapat yang disengaja.

Harus pula diakui bagaimana besar jasa dan usaha angkatan yang terdahulu, yang dinamai Assalafush Shalihin dalam memikirkan seluk-beluk agama, dan mengeluarkan sari patinya. Naka kembang bersinarlah agama Islam, karena kemerdekaan berfikir. Dan setelah itu muramlah cahanyanya, karena kemerdekaan berfikir itu tidak ada lagi. Maka kita berkeyakinan, bahwasanya kembalinya kemegahan dan kebesaran Islam, sangatlah tergantung kepada kembalinya kemerdekaan berfikir, dan kesungguh-sungguhan menggali dan mengorek hikmah agama dari segala seginya. Maka hasil usaha orang yang terdahulu, yang timbul dalam ‘alam Islam, semuanya juga dipandang sebagai alat-alat dan petunjuk didalam menuju pokok agama Islam, yaitu sabda Tuhan dan Sunnah Rasul s.a.w.

Yang menjadi tujuan akhir dari setiap pribadi dan masyarakat, ialah kebahagiaan dunia dan akhirat, kesehatan jasmani dan ruhani, keseimbangan kemajuan lahir dan bathin, jiwa dan akal. Dan jalan satu-satunya untuk mencapai itu ialah dengan Agama Islam.

Pandangan atau paham agama yang demikian mendasar dan luas tersebut menunjukkan pemikiran yang komprehensif dan berorientasi tajdid dari Muhammadiyah di masa lalu, yang menjadi basis bagi gerakan Muhammadiyah untuk kurun berikutnya. Pemikiran tajdid tersebut baik yang berdimensi pemurnian maupun pembaruan, sehingga keduanya merupakan pilar penting dalam pandangan dan pengamalan ajaran Islam di lingkungan Muhammadiyah. Dengan pemurnian Muhammadiyah merujuk dan menampilkan Islam yang sesuai dengan pesan autentik Wahyu Allah dan Sunnah Nabi yang sahih (maqbulah), sehingga beragama jelas sumber ajarannya dan tidak terkontaminasi dengan pandangan dan praktik yang bersifat bid’ah atau tambahan-tambahan manusia. Sebaliknya, dengan tajdid yang bersifat pembaruan, maka aspek ajaran Islam yang murni itu sekaligus memiliki fungsi dalam kehidupan sehingga Islam menjadi agama kehidupan. Lebih jauh lagi, dengan tajdid yang bersifat pembaruan, maka Islam sebagai ajaran sekaligus dapat menjawab tantangan-tantangan baru dalam setiap babakan kehidupan, sehingga agama ini benar-benar menjadi rahmatan lil-’alamin: ”tidaklah Kami mengutusmu Muhammad, kecuali sebagai rahmat untuk semesta alam” (QS. Al-Anbiya: 107). Muhammadiyah menampilkan Islam sebagai agama Langit yang membumi untuk semesta kehidupan. <>

Memahami Islam Dalam Muhammadiyah (Bagian 2)

Sabtu, 17 Maret 2007
Oleh Dr. H. Haedar Nashir, M.Si.

Dalam pandangan Muhammadiyah, bahwa Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata karena Allah, agama semua Nabi, agama yang sesuai dengan fitrah manusia, agama yang menjadi petunjuk bagi manusia, agama yang mengatur hubungan dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama, dan agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Islam satu-satunya agama yang diridhai Allah dan agama yang sempurna. Dengan beragama Islam maka setiap muslim memiliki dasar/landasan hidup tauhid kepada Allah, fungsi/peran dalam kehidupan berupa ibadah, menjalankan kekhalifahan, dan bertujuan untuk meraih ridha serta karunia Allah SWT. Islam yang mulia dan utama itu akan menjadi kenyataan dalam kehidupan di dunia apabila benar-benar diimani, dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh pemeluknya (orang Islam, umat Islam) secara total atau kaffah dan penuh ketundukan atau penyerahan diri. Dengan pengamalan Islam yang sepenuh hati dan sungguh-sungguh itu, maka terbentuk manusia muslimin yang memiliki sifat-sifat utama: kepribadian muslim, kepribadian mukmin, kepribadian muhsin dalam arti berakhlak mulia, dan kepribadian muttaqin (Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah/PHIWM, bab Pandangan Islam Tentang Kehidupan).

Pandangan Islam tentang kehidupan menunjukkan keluasan mengenai aktualisasi ajaran Islam, sekaligus kesadaran dan tuntutan untuk membumikan ajaran Islam tersebut dalam dunia kehidupan umat manusia untuk menciptakan rahmatan lil-‘alamin. Dalam konteks inilah Muhammadiyah memandang dunia bukan saja sebagai ajang untuk membumikan ajaran Islam, sekaligus memberi ruang untuk berijtihad dalam rangka mengurus urusan dunia berdasarkan pesan ajaran Islam. Dalam kaitan inilah maka Muhammadiyah pun memiliki pandangan yang mendasar mengenai konsep dunia (ma hiya al-dunyâ). Menurut Muhammaiyah, bahwa ”Yang dimaksud dengan ”urusan dunia” dalam Sabda Rasulullah saw.: ”Kamu lebih mengerti urusan duniamu” ialah segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi; yaitu perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia (Kitab Masalah Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang al-Dunýâ).

Selain pandangan mengenai agama dan dunia, dalam al-Masail al-Khams juga dikemukakan juga mengenai konsep ibadah, sabilullah, dan qiyas atau ijtihad, yang menyisyaratkan tentang lima masalah mendasar yang terkait dengan pandangan Muhammadiyah mengenai hal-hal penting bagi manusia. Muhamadiyah berpandangan bahwa ”’Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan jalan menta’ati segala perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diidzinkan Allah. ‘Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus: a. Yang umum ialah segala ‘amalan yang diidzinkan Allah. B. Yang khusus ialah apa yang ditetapkan Allah akan perincian-perinsiannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu.” (Kitab Masalah Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang ‘Ibadah).

Adapun mengenai ”apa itu sabilullah” Muhammadiyah berpandangan bahwa ”Sabilullah ialah jalan yang menyampaikan kepada keridlaan Allah, berupa segala ‘amalan yang diidzinkan Allah untuk memuliakan kalimat-kalimat-(agama-agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya.” (Kitab Masalah Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang Sabilillah) . Dengan pandangan mengenai sabilullah tersebut Muhammadiyah selain menunjukkan kesatuan mengenai jalan dunia dan akhirat yang harus satu napas, juga memandang tentang pentingnya setiap muslim untuk berbuat sesuai dengan dan menuju pada jalan Allah. Sabilullah tidak lepas dari ibadah, bahkan keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh tentang kesadaran berbuat bagi setiap muslim.

Dalam Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM) dikatakan bahwa Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan (a) Al-Quran: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad S.A.W.; (b) Sunnah Rasul: penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad S.A.W.; dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam (MKCH butir ke-3). Pandangan tersebut menunjukkan dua dimensi yang terkait dengan sumber dan sekaligus cara memahami ajaran Islam dalam Muhammadiyah. Bahwa kembali pada sumber ajaran Islam yang murni, yakni Al-Quran dan Sunnah yang shakhih, disertai dengan penggunaan akal pikiran yang sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Di sini Muhammadiyah menggunakan dalil naqli sekaligus aqli sesuai dengan prinsip-prinsip manhaj Tarjih. Karena itu Muhammadiyah tidak anti akal pikiran, bahkan menempatkannya secara proporsional.

Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang: (a) ‘Aqidah; Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam; (b) Akhlaq; Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia; (c) ‘Ibadah; Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ‘ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah S.A.W. tanpa tambahan dan perubahan dari manusia; (d) Mu’amalah dunyawiyat; Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu’amalah dunyawiyat (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ‘ibadah kepada Allah S.W.T. (MKCH, butir ke-4).

Muhammadiyah berpandangan bahwa Al-Quran dan Sunnah Rasul sebagai penjelasannya adalah pokok dasar hukum/ajaran Islam yang mengandung ajaran yang benar, sedangkan akal-pikiran atau al-Ra’yu adalah alat untuk: a. mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul; b. mengetahui maksud-maksud yang tercakup dalam pengertian Al-Quran dan Sunah Rasul. Bahwa pintu ijtihad senantiasa terbuka. Bahwa dalam beraama hendaklah berdasarkan pengertian yang benar, dengan ijtihad atau ‘ittiba’. Bahwa dalam menetapkan tuntunan yang berhubungan dengan masalah agama, baik bagi kehidupan perseorangan ataupun bagi kehidupan gerakan, adalah dengan dasar-dasar seperti tersebut di atas, dilakukan dalam musyawarah oleh para ahlinya, dengan cara yang sudah lazim disebut ”Tarjih”, ialah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat.

Bahwa dasar muthlaq untuk berhukum dalam agama Islam adalah Al-Quran dan Al-Hadits. Bahwa di mana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ‘ibadah mahdhah padahal untuk alasan atasnya tiada terdapat nash sharih dalam Al-Quran dan Sunnah shahihah, maka dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan istimbath dari nash yang ada melalui persamaan ‘illat, sebagaimana telah dilakukan oleh ‘ulama salaf dan Khalaf (Kitab Masalah Lima, Al-Masail Al-Khams tentang Qiyas).

Dengan dasar dan cara memahami agama yang seperti itu, Muhammadiyah berpendirian bahwa ajaran Islam merupakan ”kesatuan ajaran” yang tidak boleh dipisah-pisahkan dan meliputi ‘aqidah, akhlak, ‘ibadah, dan mu’amalat.; yang semuanya bertumpu dan untuk mencerminkan kepercayaan ”Tauhid” dalam hidup dan kehidupan manusia, dalam wujud dan bentuk hidup dan kehidupan yang semata-mata beribadah kepada Allah dalam arti luas dan penuh (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Keputusan2 PP Muhammadiyah., hal. 8-10.).

Muhammadiyah dalam memaknai tajdid mengandung dua pengertian, yakni pemurnian (purifikasi) dan pembaruan (dinamisasi) (Keputusan Munas Tarjih). Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, bersumber pada Al-Quran dan Sunnah (AD Muhammadiyah, 2005). Salah satu dari enam prioritas program Muhammadiyah periode 2005-2010 ialah pengembangan tajdid di bidang tarjih dan pemikiran Islam secara intensif dengan menguatkan kembali rumusan-rumusan teologis seperti tauhid sosial, serta gagasan operasional seperti dakwah jamaah, dengan tetap memperhatikan prinsip dasar organisasi dan nilai Islam yang hidup dan menggerakkan (Keputusan Muktamar ke-45 di Malang tahun 2005).

Memahami Islam Dalam Muhammadiyah (Bagian 1)

[Kamis, 01 Maret 200]

Oleh Dr. H. Haedar Nashir, M.Si.

Sejak kelahirannya Muhammadiyah memposisikan dan memerankan diri sebagai gerakan Islam, yakni gerakan untuk menyebarluaskan dan memajukan hal-ihwal agama Islam di Indonesia. Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya bahkan sering dikategorikan sebagai bagian dari matarantai gerakan Islam pembaruan di dunia Islam seperti dipelopori oleh Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha dalam gerbong modernisme Islam abad ke-20. Maka tak diragukan lagi eksistensi dan esensi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, bukan gerakan sosial-kemasyarakatan semata. Gerakan kemasyarakatannya hanyalah bagian atau fungsi transformasi dari gerakan Islam, bukan sesuatu yang berdiri sendiri apalagi terlepas dari gerakan Islam.

Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan bahwa Muhammadiyah merupakan Gerakan Islam, berasas Islam, bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, yang gerakannya melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, dengan maksud dan tujuan menjunjungtinggi Agama Islam sehinga terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Rumusan tersebut merupakan formulasi dari esensi dan eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bersifat pemurnian dan pembaruan di bawah tema utama kembali pada Al-Quran dan Sunnah yang shahihah atau maqbullah, dengan mengembangkan atau membuka pintu ijtihad untuk kemajuan umat dan kehidupan manusia.

Sebagai Gerakan Islam sebagaimana disebutkan itu, Muhammadiyah berdasarkan pada dan memiliki paham tentang Islam yang menjadi dasar dan orientasi gerakannya. Pada awalnya paham tentang Islam melekat dengan pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan yang menjadi pendirinya, bahkan menurut H.M. Djindar Tamimy, kelahiran Muhammadiyah justeru karena paham agama (Islam), yang menjadi jiwa, landasan, dan arah bagi kelahiran dan pertumbuhan Muhammadiyah. Berikut pandangan H.M. Djindar Tamimy, tokoh dan ideolog Muhammadiyah, mengenai keberadaan Muhammadiyah dan paham agama Islam: ”Ber-Muhammadiyah itu, harus dimulai dari dan selanjutnya harus tetap bersandar kepada pengertian/faham dan keyakinan agama, yang meliputi: a. Memahami sungguh-sungguh ajaran Agama Islam dengan tepat. b. Menyadari sungguh-sungguh bahwa untuk melaksanakan dan menerapkan ajaran Agama Islam dalam arti yang sebenar-benarnya, tidak akan dapat tanpa ”ber-Organisasi” dengan disertai ”jihad bil amwal wal anfus”.” (HM Djindar Tamimy, 1978: 3).

Rujukan paham agama Islam dalam Muhammadiyah selain melekat dengan paham Kyai Dahlan tentang Islam yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah secara ideal-teologis, secara institusinoal atau kelembagaan telah ditetapkan dalam pemikiran-pemikiran resmi Persyarikatan melalui Majelis Tarjih dan keputusan-keputuaan Muktamar atau lainnya sepanjang perjalanan Muhammadiyah. Pemikiran-pemikiran Kyai Dahlan secara tertulis berupa pokok-pokok saja seperti dalam buku ”Tujuh Falsafah Ajaran Kyai Dahlan” dan ”Tujuhbelas Ayat Al-Quran” yang ditulis K.H. R. Hadjid, selain dari gagasan-gagasan lepas yang membingkai pendirian Muhammadiyah waktu itu. Pemikiran pendiri Muhammadiyah tersebut sebenarnya perlu dditelusuri dan diformulasikan ulang, karena merupakan tonggak dari berdiri dan keberadaan Muhammadiyah generasi awal, yang membedakan dan menjadi ciri khas Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dibandingkan dengan gerakan-gerakan Islam lainnya.

Adapun pemikiran-pemikiran formal dalam Muhammadiyah yang berkaitan dengan paham agama Islam, antara lain dapat dirujuk pada berbagai keputusan Majelis Tarjih lebih khusus lagi hasil Muktamar atau Munas Tarjih. Pemikiran-pemikiran yang telah baku seperti ”Dua Belas Langkah Muhammadiyah” dari KH. Mas Mansur, Kitab Masalah Lima (al-Masâil al-Khamsah) tahun 1954-1955, Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah hasil Tanwir tahun 1951 di Yogykarata, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah hasil Tanwir Ponorogo tahun 1969, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIM) hasil Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta, dan hasil-hasil Munas Tarjih Muhammadiyah yang berkaitan dengan masalah-masalah paham agama dalam Muhammadiyah. Prinsip-prinsip pemahaman agama dalam Muhammadiyah tersistematisasi dalam Manhaj Tarjih, bukan pemahaman orang-perorang. Sedangkan pengembangan tajdid diperlukan untuk kemajuan hidup dalam satu kesatuan antara tarjih dan pemikiran Islam atau antara pemurnian dan dinamisasi sebagaimana prinsip pemahaman Islam dalam Muhammadiyah.

Muhammadiyah memandang dan meyakini bahwa ajaran Islam merupakan satu matarantai sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, yang keseluruhannya berdasarkan Wahyu Allah dan dibawa oleh para Nabi serta Rasul Allah. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad S.A.W., sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi (Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah/MKCHM butir ke-2). Dari pandangan tersebut maka Muhammadiyah meletakkan Islam sebagai ajaran dari Allah yang selain satu juga bersifat menyejarah dengan dibawa dan didakwahkannya oleh para Nabi dan Rasul Allah dalam perjalanan sejarah umat manusia, sehingga kehadiran agama Samawi ini memang untuk rahmatan lil-‘alamin. Itulah agama Langit untuk kehidupan manusia.

Dalam pandangan Muhammadiyah bahwa ”Agama adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantara para Nabi-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat”. Adapun Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad S.A.W. ialah ”apa yang diturunkan Allah di dalam Qurân dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan, serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat. Agama adalah apa yang disyari‘atkan Allah dengan perantaraan Nab-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat. (Kitab Masalah Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang al-Dîn). Hal yang menraik dari paham agama menurut Muhammadiyah tersebut selain sumber ajarannya yang otentik (aseli) karena berasal dari Allah dan dibawa oleh para Nabi-nya, juga menyangkut aspek ajarannya. Bahwa ajaran Islam selain mengandung perintah-perintah (al-awâmir) dan larangan-larangan (al-nawâhi), juga mengandung petunjuk-petunjuk (al-irsyâdat).

Mengenai konsep ”irsyadat”, KH. Ahmad Azhar Basyir, memberi keterangan sebagai berikut: ”Tentang apa yang dimaksud dengan irsyadat dalam defenisi al-Din tersebut, selain al-awamir dan al-nawahi, dapat dikaitkan kepada apa yang didialogkan antara Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ketika Nabi Ibrahim menerima perintah untuk menyembelih putranya itu, di situ terdapat terdapat irsyadat bagaimana orangtua harus dekat dengan anak dalam hal melaksanakan kewajiban agama yang menyangkut pribadi anak. Juga dialog antara Nabi Musa dengan ”abdu min ibadina” sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, yang umumnya disebut dialog Musa dengan Hidir, di situ ada irsyadat. Sehingga kecuali al-awamir (perintah-perintah) dan al-nawahi (larangan-larangan), dalam kisah para Nabi itu terdapat banyak sekali irsyadat. Dalam mengungkap hukum alam dan nikmat Allah berupa manfaat tumbuh-tumbuhan dan binatang ternak sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, juga merupakan irsyadat Jadi banyak sekali dalam berbagai macam kegiatan hidup itu terdapat irsyadat. ” (KH. Azhar Basyir, dalam Haedar Nashir, ed., 1992: 97).

Pandangan tentang ”irsyadat” sebagaimana disebutkan KH Azhar Basyir tersebut, selain yang tersirat juga yang tersurat dalam Al-Quran, termasuk dalam kisah para Nabi, yang mengandung arti dimensi-dimensi ajaran dalam Al-Quran maupun Sunnah Nabi di samping atau selain yang mengandung aspek perintah-perintah dan larangan-larangan. Al-Quran dinyatakan Allah juga sebagai ”tibyan li-kulli syai” (penjelas segaka sesuatu), sebagai ”al-dzikr”, ”al-furqan”, ”al-huda”, dan sebagainya, yang menunjukkan keluasan dimensi ajaran Islam. Dengan demikian tampak sekali Muhammadiyah tidak meletakkan Islam semata-mata sebagai ”syariat” dalam makna hukum perintah dan larangan belaka, sebagaimana logika ”al-ahkam al-khamsah” mengenai wajib, haram, sunnat, makruh, dan mubah. Memasukkan dimensi ”irsyarat” tersebut menjadi sangat penting, karena masuk ke dimensi-dimensi makna dan arah bagi kehidupan, selain perintah dan larangan, sehingga ajaran Islam itu tidak sempit dan hanya menonjolkan satu aspek saja. Dimensi ilmu pengetahuan, pemikiran, intelektual, alam semesta, dan berbagai aspek kehidupan memperoleh rujukan dan petunjuk dalam ajaran Islam, sehingga Islam itu sangatlah luas tidak sekadar syari’at hukum perintah dan larangan semata. Pandangan Islam yang komprehensif atau menyeluruh tersebut diperkuat oleh Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah mengenai aspek ajaran Islam yang menyangkut aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalat-dunyawiyah.

Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah

Oleh: DR HAEDAR NASHIR

Sidang Tanwir Muhammadiyah yang berlangsung tanggal 26–29 April 2007 di Yogyakarta beberapa hari lalu memiliki makna penting bagi gerakan Islam yang didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan ini.

Perhatian yang besar dari banyak pihak termasuk kawan-kawan media massa begitu rupa tingginya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika membuka Tanwir bahkan memberikan harapan khusus agar Muhammadiyah mengembangkan tradisi kewirausahaan sebagaimana pernah jaya di masa lalu. Muhammadiyah memang perlu memperkuat kembali banyak lini gerakannya agar mampu memainkan peranan yang lebih signifikan dalam memajukan kehidupan bangsa dan menyebarkan risalah dakwahnya di alam semesta. Muhammadiyah dalam usianya jelang satu abad diakui telah mengukir sejumlah kisah sukses dalam gerakannya.

Kehadirannya sebagai gerakan pembaruan Islam telah menorehkan alam pikiran modern di kalangan umat Islam. Amal usahanya di bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial bahkan sangat menonjol dan telah memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi masyarakat luas. Kiprahnya dalam pergerakan nasional bersama komponen bangsa lainnya hingga negeri ini merdeka sangatlah berharga sehingga menjadikannya sebagai kekuatan nasional yang penting dan strategis. Muhammadiyah sebagaimana Nahdlatul Ulama bahkan telah tumbuh menjadi sayap Islam yang bercorak kultural, yang masing-masing berbasis sosial kokoh di perkotaan dan pedesaan.

Kini dalam usianya yang ke-98 Muhammadiyah menghadapi tantangan yang tidak ringan. Sebagaimana gerakan-gerakan yang tumbuh menjadi besar selalu mengalami beban di dalam dirinya, ditambah beban dari luar yang selalu hadir penuh dinamika. Sebagai gerakan Islam arus-tengah (moderat) yang kehadirannya cukup terbuka dan inklusif, Muhammadiyah laksana ”melting pot” yang di dalamnya tumbuh beragam orang yang ingin berkiprah untuk ”membesarkannya”. Namun risikonya, tidak jarang rumah besar Muhammadiyah yang terbuka ini membawa konsekuensi bagi tumbuhnya beragam kepentingan yang tidak selamanya koheren atau sinergi dengan kepentingan dan misi gerakan Islam ini.

Muhammadiyah yang besar itu dalam batas tertentu seolah menjadi pasar tempat lalu lalangnya banyak kepentingan praktis hingga pragmatis. Orang masuk ke dalam Muhammadiyah bukan karena misi atau idealismenya, tetapi karena amal usahanya atau karena kepentingan mobilitas politik tertentu. Fenomena ”pasar” tersebut hingga batas tertentu wajar adanya, tetapi menjadi suatu kerugian karena Muhammadiyah tidak dapat memobilisasi potensinya secara optimal dan total untuk kepentingan misi dan idealisme gerakan. Orang-orang yang berada di dalamnya menjadi demikian longgar.

Sejauh ada kepentingan-kepentingan praktis atau pragmatis, sejauh itu pula mereka berkerumun dalam Muhammadiyah. Manakala kepentingan kegunaannya hilang, maka Muhammadiyah sekadar tempat mampir belaka. Pelemahan potensi Muhammadiyah datang pula dari tarikan politik, terutama partai politik, termasuk politik berbasis agama. Kecenderungan politik yang demikian sebenarnya wajar adanya dilihat dari kepentingan partai politik mana pun, baik karena alasan agama atau murni politik atau campuran keduanya. Partai politik mana pun selalu menghimpun dan memobilisasi dukungan demi capaian politiknya.

Mana ada partai politik yang tak mencari dukungan massa. Namun masalahnya, memang menjadi rumit manakala kepentingan politik bersilangan dengan agama dan lain-lainnya sehingga melahirkan cross cutting of interest yang semakin kompleks. Politik dan relasinya menjadi sarat beban. Muhammadiyah sendiri sebenarnya tidak terlalu memaksakan diri dalam menghadapi persoalan tersebut, apalagi secara berlebihan. Masalah tersebut ditempatkan sebagai sebuah dinamika yang dapat kembali normal dan menemukan keseimbangan baru, siapa tahu banyak pihak dapat saling mengambil hikmah.

Semangat ukhuwah dengan sesama komponen umat dan bangsa tetap harus diutamakan. Dibutuhkan sikap saling toleran serta menempatkan posisi masing-masing secara lebih matang dan dewasa dengan mengedepankan kemaslahatan umum. Persentuhan politik dan agama bukan lagi menyangkut boleh atau tidak boleh, kepentingan pragmatis atau idealisme, tetapi juga masuk ke wilayah relasi antarkelompok di tubuh sesama umat dan komponen bangsa, yang memerlukan rasionalitas sekaligus kearifan. Tidak semua maksud baik akan bermakna baik dan menghasilkan kebaikan bersama karena demikian kompleksnya realitas kehidupan yang dihadapi dengan segala macam ikutannya.

Karena itu, Muhammadiyah sendiri pasca-Tanwir di Yogyakarta itu akan lebih berkonsentrasi pada peneguhan dan pencerahan diri di tubuh gerakannya dengan orientasi kerja untuk sebesar-besarnya berkhidmat bagi kemajuan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan secara lebih optimal. Pada titik inilah maka sidang Tanwir Muhammadiyah mengambil langkah muhasabah dengan melakukan revitalisasi gerakan secara simultan.

Pertama, melakukan revitalisasi ideologis, yakni memperkokoh kembali setiap anggotanya akan idealisme, misi, usaha, cita-cita, khittah, dan kepentingan gerakan Muhammadiyah. Muhammadiyah juga melakukan revitalisasi organisasi ke seluruh lini dengan konsentrasi pada pemberdayaan cabang dan ranting yang berbasis pengajian serta gerakan jamaah dan dakwah jamaah. Revitalisasi juga ditekankan pada peningkatan kualitas usaha melalui amal usaha, program,dan kegiatan alternatif yang bersifat unggulan di berbagai bidangnya yang selama ini menjadi ciri khas gerakan Muhammadiyah, seperti pemberdayaan petani, revitalisasi pendidikan, intensifikasi lembaga-lembaga kesehatan, dan sebagainya.

Gerakan perempuan Muhammadiyah melalui Aisyiyah juga terus ditingkatkan hingga meluas ke segenap segmen sosial di akar rumput. Ditingkatkan pula kaderisasi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagaimana selama ini menjadi salah satu kelebihan Muhammadiyah. Sedangkan dalam tabligh atau dakwah khusus semakin diintensifkan langkah-langkah membimbing umat secara lebih terprogram, yang berorientasi pada penanaman nilai-nilai Islam berbasis pemurnian dan pembaruan.

Muhammadiyah juga perlu semakin kebal dari godaan politik sesaat dan kokoh dengan khitahnya,dengan asumsi berikanlah kesempatan kepada partai politik untuk berkiprah optimal dalam perjuangan kekuasaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lebih jauh lagi Muhammadiyah akan bekerja keras dalam peningkatan kualitas peran keutaman, kebangsaan, dan peran global dengan semangat menampilkan Islam yang berkemajuan (din al-hadarah) sekaligus menyebarkan risalah rahmatan lil-‘alamin. (*)

DR HAEDAR NASHIR
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Revitalisasi Ideologi Gerakan Muhammadiyah

Oleh Asep Purnama Bahtiar

Agenda penting yang bakal menjadi topik pembicaraan serius dalam Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta tanggal 25-29 April, salah satunya, mengenai "revitalisasi ideologi". Ini sangat beralasan karena beberapa tahun terakhir ini terdapat sejumlah aksi dan upaya untuk melakukan infiltrasi ideologi dan intervensi kepentingan organisasi atau partai Islam tertentu ke dalam Muhammadiyah. Di berbagai daerah kasus seperti itu terjadi, termasuk di Yogyakarta sendiri sebagai ibu kota Muhammadiyah, baik dalam struktur Persyarikatan dan organisasi otonomnya maupun di berbagai amal usaha Muhammadiyah (AUM).

Kasus-kasus infiltrasi dan intervensi yang terjadi di mana-mana itu merupakan masalah bersama yang harus disikapi secara tegas oleh seluruh jajaran pimpinan dan warga Muhammadiyah, termasuk oleh organisasi otonom dan orang-orang yang berkecimpung di AUM.

Persoalan dan tantangan tersebut juga menuntut tekad yang sungguh-sungguh dari seluruh jajaran Persyarikatan guna menjaga dan merawat organisasi serta mempertahankan ideologi gerakannya karena sikap ini merupakan syarat penting bagi kesinambungan dan kemajuan gerakan Muhammadiyah. Terkait dengan keharusan sikap tersebut, peringatan tegas dari Haedar Nashir (2006) relevan untuk dikutip di sini.

Menurut salah seorang Ketua PP Muhammadiyah ini, "Jika Muhammadiyah melakukan peneguhan terhadap ideologi gerakan bagi seluruh warga dan sistem organisasinya, maka bukan berarti sedang membangun ketertutupan dan berhadapan dengan pihak lain, lebih-lebih secara konfrontatif. Tetapi, yang sesungguhnya terjadi ialah Muhammadiyah sedang menata dan mengurus rumah tangganya sendiri agar kokoh dan tidak diganggu siapa pun yang membuat gerakannya lemah dan centang-perenang."

Dalam konteks seperti itulah sebuah organisasi dituntut untuk memiliki kemampuan konsolidasi internal dan akomodasi eksternal yang precise sehingga bisa tetap eksis dan dinamis.

Di samping itu ada kata kunci yang penting untuk ditindaklanjuti dalam ruang lingkup persoalan tersebut, yaitu tajdid. Dalam tradisi Muhammadiyah tajdid tidak bisa lepas dan selalu terkait dengan ikhtiar kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah (ar-ruju'ila al- Qur'an wa as-Sunnah) dan memanifestasikan dalam konteks kehidupan.

Seperti yang ditulis M Amin Abdullah (2000), paham keagamaan Muhammadiyah selalu mengaitkan dan mempertautkan dimensi ajaran kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan dimensi ijtihad dan tajdid dalam satu kesatuan yang utuh.

Tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah sesungguhnya selain untuk beragama secara autentik juga untuk membumikan Risalah Islamiyah atau merealisasikan ajaran-ajaran agama (dimensi normativitas) untuk kemaslahatan hidup umat manusia (dimensi historisitas).

Jadi, selalu ada pergulatan, pergumulan, dan dialog dalam gerakan tajdid Muhammadiyah. Karena itu, dalam tajdid selain ada aspek pemurnian paham dan keyakinan dalam beragama (tandhif; purifikasi), juga terdapat aspek kemajuan dan perubahan yang lebih baik (dinamisasi; transformasi).

Karena tajdid itu menuntut perubahan dan perbaikan yang lebih berbobot, maka dengan tajdid gerakan berarti Muhammadiyah melakukan self-impression dengan dua tekanan sekaligus, yaitu tajdid dan gerakan (harakah). Gerakan sendiri tidak mungkin diam atau berhenti karena maknanya adalah suatu proses, aktivitas, dan usaha untuk mendayagunakan seluruh potensi dan segenap sumber daya yang dimiliki secara sistemis dan sinergis untuk merealisasikan visi dan melaksanakan program organisasi.

Berikutnya kata kunci kedua yang juga harus diperhatikan dan diwujudkan bersama adalah revitalisasi. Secara leksikal, revitalisasi (revitalization) ialah proses dan upaya untuk membawa vitalitas dan daya kekuatan; atau usaha untuk eksis kembali setelah mengalami kemunduran.

Dalam konteks masalah yang tengah dihadapi Muhammadiyah akhir- akhir ini, maka revitalisasi ideologi gerakan menjadi urgen untuk dilaksanakan oleh segenap unsur Persyarikatan dan AUM.

Dalam "Rumusan Pokok-pokok Persoalan tentang Ideologi Keyakinan Hidup Muhammadiyah", HM Djindar Tamimi mengistilahkan revitalisasi ideologi ini dengan tajdid ideologi. Paling tidak ada dua poin dari latar pendahuluan pemikirannya yang relevan untuk dikutip sebagai komparasi dengan keadaan Muhammadiyah dewasa ini.

Pertama, almarhum KHA Dahlan mendirikan Muhammadiyah didorong oleh ide yang hidup dalam pribadinya, yang merupakan ideologi hidupnya, yang berdasar dan bersumber kepada ajaran-ajaran Islam. Kedua, pada akhir-akhir ini dalam kalangan Muhammadiyah banyak sudah orang yang tidak lagi mengetahui secara benar dan tepat akan ideologi hidup Muhammadiyah itu; akibatnya mereka tidak lagi dapat mengetahui norma yang digunakan untuk menilai benar salahnya hidup dan perjuangan Muhammadiyah. Sehingga, akhirnya dapat membawa perjuangan Muhammadiyah menjadi kabur, dan hal ini sangat merugikan. Rumusan dan keprihatinan yang diungkapkan secara tertulis oleh salah seorang ideolog Muhammadiyah tadi terjadi pada kurun waktu tahun 1960-an.

Sekarang, gejala dan fenomena kerapuhan ideologi di kalangan pimpinan dan para warga Muhammadiyah serta pengelola AUM juga tengah terjadi. Karena itulah tajdid ideologi atau revitalisasi ideologi- karena terjadinya krisis serta adanya ancaman dari paham dan ideologi lain-tidak bisa ditunda-tunda lagi.

Pesan KH Ahmad Dahlan, "Hendaklah kamu jangan sekali-kali menduakan pandangan Muhammadiyah dengan perkumpulan lain" harus dicamkan oleh seluruh jajaran Persyarikatan dan AUM, tanpa kecuali.

Muhammadiyah yang sedang menghadapi perubahan dan persoalan yang tidak ringan ini, menuntut sikap yang militan, loyal, kritis dan tegas dari pemimpin, kader, dan anggota Muhammadiyah serta AUM-nya untuk selalu melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dengan tajdid gerakan dan revitalisasi ideologi. Nashrun minal-Lahi wafathun qarib.

Asep Purnama Bahtiar Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Sekretaris MPK PP Muhammadiyah

Mencegah Muslim Konservatif

Jum'at, 04/05/2007

Oleh Ahmad Fuad Fanani

Fenomena keagamaan pada masyarakat Islam Indonesia saat ini tampak kembali menguat. Namun, kebangkitan itu lebih menonjolkan bentuk formalisasi keagamaan—seperti kewajiban memakai jilbab, busana muslim, tata cara hidup kaum Salafi,hingga penerapan peraturan daerah (perda) bernuansa syariat Islam—dibandingkan substansiasi Islam.

Jika pada 2003 hanya 7 daerah yang menerapkan perda model itu, saat ini jumlahnya sudah melonjak menjadi 53 atau lebih dari 10% dari seluruh daerah di Indonesia (Time, 5 Maret 2007).Umumnya, formalisasi keagamaan dan penerapan perda itu, dianggap jalan keluar dari krisis moral, ekonomi, politik, dan budaya yang menimpa Indonesia sejak 1997. Bahkan, bila ada seorang muslim yang tidak mendukung atau mengkritik model keberagamaan dan perda bernuansa syariat ini akan dianggap bukan muslim atau diragukan keislamannya.

Pascakegagalan perjuangan partaipartai Islam dalam menghidupkan kembali Piagam Jakarta, sepertinya mereka mengubah strategi gerakan. Jika sebelumnya lebih bersifat top down yang nantinya diharapkan akan berpengaruh ke daerah, nampaknya saat ini mereka lebih memilih menggarap daerah-daerah untuk menerapkan perda-perda syariat itu. Dan, keberhasilan beberapa daerah dalam menerapkan perda model ini,seperti di Bulukumba, Aceh, dan Padang, menginspirasi daerah lain untuk juga mengikutinya.

Pada kasus beberapa daerah, penerapan perda syariat Islam dianggap sebagai jalan keluar dari krisis, mengurangi kejahatan, meningkatkan perekonomian, dan menjadikan daerahnya lebih religius dan beriman. Bahkan di suatu daerah,disebutkan bahwa pascapenerapan perda syariat Islam, kejahatan menjadi jarang dan APBD-nya bisa melonjak drastis.

Euforia Gerakan Salafi

Sebetulnya, sebagai bangsa dengan mayoritas penduduk beragama Islam, penerimaan masyarakat terhadap syariat Islam tidak perlu diragukan lagi. - Mayoritas umat Islam menjalankan rukun Islam dan memegang teguh rukun Iman,serta mendasarkan hidupnya pada Alquran dan Hadits sebagai tuntunan kehidupan yang harus dipegang teguh. Namun, dalam formalisasi syariat Islam lewat institusi politik atau hukum,masih belum terjadi kesepakatan.

Soalnya, persoalan-persoalan yang dijadikan aturan dalam perda syariat itu lebih banyak yang bersifat moral dan seremonial. Kita contohkan di antaranya aturan larangan perjudian, larangan minum-minuman keras, larangan perempuan untuk keluar malam sendirian, kewajiban untuk melakukan salat Jumat, keharusan menguasai baca tulis Alquran bagi seluruh siswa, dan sebagainya. Sedangkan persoalan-persoalan serius yang menjadi tantangan kehidupan, seperti bagaimana Islam menjawab problem kemiskinan, bagaimana Islam memberantas korupsi,Islam memajukan perempuan dan pendidikan, serta bagaimana menciptakan pemerintahan yang bersih dan berkualitas, tidak tercakup dalam pasal-pasal perda syariat itu.

Gejala menguatnya konservatisme keagamaan dan fenomena kuatnya keinginan menjadikan syariat Islam sebagai solusi terhadap krisis ini, tampaknya dipicu kegeraman sebagian umat Islam terhadap lemahnya peran pemerintah dan aparat hukum. Mereka melihat, pemerintah yang telah berganti-ganti ternyata tidak menjadikan hidup lebih baik dan rakyat lebih sejahtera.Terbukti, korupsi masih terus terjadi, bencana menjadi menu tontonan tiap hari, para anggota DPR dan DPRD sibuk mencari untung sendiri, hukum masih pilih kasih dan tebang pilih,harga-harga pun melonjak tinggi.

Bahkan, adanya kejahatan yang terus terjadi dan aparat yang tidak lekas tegas menyelesaikan, menjadikan sekelompok orang Islam yang tergabung dalam organisasi kemasyarakatan (ormas) tertentu sering bertindak menjadi polisi sipil yang siap menggebuk dan mengamankan siapa saja yang dianggap bersalah. Dalam kondisi frustrasi yang berlebihan itu, banyak orang-orang yang mempercayai bahwa syariat Islam adalah obat mujarab yang bisa menyelesaikan semua masalah dan mengentaskan dari krisis multidimensional.

Dalam kondisi seperti itu, ide-ide purifikasi keagamaan dari kaum salafi menemukan momentum dan lahan yang subur untuk membumikan gagasan dan gerakannya.Tidak heran, jika banyak di antara pemuda dan pemudi yang pada masa sekolahnya sama sekali tidak terbiasa dengan tradisi keagamaan, lantas ketika masuk kuliah atau dunia kerja mendapatkan lingkungan yang mengenalkan ajaran Islam yang murni dan sesuai zaman Nabi, merasa seakan-akan lahir kembali dan menemukan apa yang selama ini dicarinya. Makanya, banyak lembaga-lembaga pesantren dan sekolah Islam yang didirikan oleh alumni Timur Tengah, banyak mengundang minat masyarakat.

Mereka menganggap bahwa masjid, sekolah, atau lembaga pendidikan, dan lembaga lain yang didirikan oleh pemerintah atau organisasi mainstream, seperti NU dan Muhammadiyah, kurang aktif berdakwah, tidak tegas keislamannya, dan terlalu berwacana.Walhasil, ideide keagamaan puritan seperti wahabisme tumbuh subur di kalangan Islam Indonesia.

Konservatisme keberagamaan muslim Indonesia ini semakin menemukan momentumnya ketika pada tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa pengajaran keagamaan yang dipengaruhi oleh pluralisme,liberalisme, dan sekulerisme pada dasarnya menyerang Islam,dan karenanya harus dilarang. Dengan demikian, kampanye sebagian tokoh Islam konservatif untuk menegakkan syariat Islam dan menyebarkan ajaran salafisme sebagai kebenaran tunggal, semakin berjaya, dan tidak ada pesaingnya.

Konsolidasi Muslim Progresif

Terlepas dari segala propagandanya yang menganggap bahwa konservatisme keagamaan dan Islam puritan yang paling cocok hidup di bumi Indonesia, sesungguhnya harus dilihat dengan jelas bahwa Islam Indonesia sangat berbeda dengan Islam di Timur Tengah.Islam di sini sejak dari masuknya sudah melakukan akulturasi dengan budaya lokal sehingga dapat dengan cepat diterima masyarakat Indonesia.

Selain itu, Islam di Timur Tengah yang menekankan pada semangat kebenaran tunggal dan menutup pintu dialog, kurang cocok dengan masyarakat Indonesia yang multietnis dan multireligi. Selama ini pun, banyak kekerasan, konflik, dan terorisme yang justru dilakukan oleh para tokoh Islam Timur Tengah seperti Osama bin Laden dengan jaringan Al-Qaedanya. Karenanya, Islam khas Indonesialah yang lebih menekankan pada dialog, keramahan, perlindungan terhadap minoritas, dan pengakuan terhadap keberagaman yang mestinya harus disemai agar tumbuh dengan subur di negeri ini.

Di samping itu, pada dasarnya mayoritas muslim Indonesia berpaham moderat. Artinya,mereka tidaklah terlalu condong ke kiri dengan menjadi liberal dan juga tidak terlalu condong ke kanan menjadi konservatif atau fundamentalis.Namun, kaum moderat ini sering menjadi mayoritas yang diam.Artinya,mereka tidak terlalu peduli dan meributkan pergesekan ini.Padahal,kejadian hari ini akan menentukan Islam di Indonesia pada 5 sampai 10 tahun mendatang. Jika para kaum konservatif dan fundamentalis muslim ini berhasil menerapkan perda Syariat Islam di mayoritas daerah, tidak mustahil suatu saat nanti konstitusi Indonesia akan diubah menjadi negara Islam.

Sangat mungkin pula orang-orang yang berlainan paham atau tidak mendukung gerakan Islam konservatif yang kerap bersekutu dengan kalangan Islam politik ini, akan diberangus atau diberlakukan secara diskriminatif sebagaimana terjadi di Iran, Afghanistan pada era Thaliban, serta di Sudan. Karenanya, pembajakan demokrasi dengan cara memperjuangkan ide yang tidak demokratis (tidak melindungi kaum minoritas ini) haruslah diwaspadai dan sebisa mungkin dieliminasi.

Akhirnya, saya sangat setuju dengan apa yang ditegaskan oleh Buya Syafii Ma’arif (2004), bahwa konservatisme atau fundamentalisme agama yang bernafsu memonopoli kebenaran atas nama Tuhan akan berakibat tidak jauh berbeda dengan sekularisme-ateistik yang telah talak tiga dengan apa yang bernama iman. Dengan kehidupan yang tanpa iman itu, seseorang akan gampang melakukan apa saja demi mencapai tujuannya meski ia melanggar prinsip dasar agama yang mengajarkan kebaikan dan mencegah kebenaran atau tidak sesuai dengan prinsip Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Menjadi tugas kita semua untuk menjaga Islam Indonesia dengan menjadi muslim yang progresif dengan menjunjung keadilan,pluralisme,kesetaraan gender, melindungi kaum minoritas, dan berani menentang kebijakan negara manapun yang diskriminatif. Wallahu a’lam bisshawab. (*)

Meneguhkan Khitah Perjuangan Muhammadiyah

Koran Tempo, [11 Maret 2009]

Benni Setiawan
MAHASISWA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA, YOGYAKARTA

Artikel Asep Purnama Bahtiar berjudul “Bandul Politik Muhammadiyah” (Koran Tempo, 6 Maret 2009) di awal tulisan begitu ideal. Namun, solusi yang diberikan di paragraf akhir terkesan malu-malu. Asep Purnama tidak berani menyatakan bahwa sudah saatnya Muhammadiyah menjauhi arena politik. Artikel ini akan berusaha mendudukkan peran kebangsaan Muhammadiyah dengan tidak ikut serta dalam hiruk-pikuk politik. Namun, artikel ini tidak berpretensi dapat menyelesaikan persoalan "gairah" politik Muhammadiyah yang ditahan sejak dulu.

Sejak awal doktrin persyarikatan Muhammadiyah, organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, adalah gerakan sosial kemasyarakatan amar ma'ruf nahi munkar dan tadjid. Namun, akhir-akhir ini beberapa warga persyarikatan mulai mengusik khitah perjuangan tersebut. Mereka mendirikan partai politik yang diklaim sebagai anak kandung Muhammadiyah karena lahir berdasarkan amanat Tanwir Muhammadiyah di Ponorogo pada 1969. Ada pula beberapa pimpinan wilayah Muhammadiyah (PWM) yang mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah melalui institusi besar Muhammadiyah, karena ada amanat atau surat keputusan dari musyawarah pimpinan wilayah luar biasa.

Padahal keputusan Tanwir Muhammadiyah di Ponorogo atau sering disebut Khitah Ponorogo, yang berisi tentang diperbolehkannya kader Muhammadiyah mendirikan parpol sebagai salah satu alat menyampaikan aspirasi, meminjam istilah Haedar Nashir (2000) sudah di-nasakh (dihapus) dengan Khitah Perjuangan Muhammadiyah tahun 1971 Ujung Pandang (Khitah Ujung Pandang). Khitah Ujung Pandang berbunyi "Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari suatu partai politik atau organisasi apa pun".

Dengan demikian, Muhammadiyah tidak perlu terlibat langsung sebagaimana saudara tua NU. Muhammadiyah tidak perlu melahirkan atau membidani sebuah parpol. Lebih dari itu, Muhammadiyah tidak perlu juga mengusulkan dan mencalonkan "kader terbaiknya" menjadi anggota legislatif ataupun Dewan Perwakilan Daerah, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa pimpinan wilayah Muhammadiyah di berbagai daerah. Dengan alasan "menyelamatkan" suara warga Muhammadiyah, PWM menginstruksikan warganya dengan surat keputusan melalui Musyawarah Pimpinan Wilayah Luar Biasa. SK tersebut sering kali digunakan sebagai "senjata andalan" untuk mendulang kemenangan (suara) seorang calon anggota DPD. Bahkan SK tersebut sering kali ada di sekolah-sekolah Muhammadiyah yang dititipkan peserta didik untuk orang tua/wali murid.

Ideologi politik
Merangseknya "ideologi politik" ke dalam tubuh Muhammadiyah tentunya perlu diwaspadai. Artinya, ideologi politik hanya akan mencerai-beraikan Muhammadiyah. Muhammadiyah akan kehilangan élan vitalnya dalam pembangunan bangsa dan negara. Muhammadiyah hanya akan disibukkan oleh ritual politik yang penuh intrik dan menghabiskan banyak biaya.

Keterlibatan Muhammadiyah dalam partai politik menjadi ancaman nyata persyarikatan yang hampir seabad ini. Muhammadiyah akan menjadi organisasi yang lemah dan tidak berdaya. Muhammadiyah akan banyak kehilangan aset. Hal ini karena aset Muhammadiyah dijual dengan harga murah oleh segelintir orang yang mengatasnamakan kader persyarikatan.

Sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah hanya akan dijadikan bancakan untuk memuaskan dahaga politikus yang ingin mencari hidup dari Muhammadiyah. Sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah tidak akan lagi melayani dan menjadi basis pencerahan dan pendidikan umat. Ia hanya akan menjadi lumbung penumpuk uang untuk menyokong agenda kampanye politik.

PKU Muhammadiyah pun tidak akan lepas dari sasaran tempat kelompok ideologi politik. PKU sebagai basis kesehatan umat hanya akan dipenuhi gambar-gambar calon legislator dari parpol tertentu. Ruang-ruang PKU tidak lagi mencerminkan layanan sosial umat, namun menjadi layanan sosial parpol. Maka, sudah saatnya warga persyarikatan Muhammadiyah kembali kepada khitah perjuangannya, yaitu gerakan sosial kemasyarakatan amar ma'ruf nahi munkar dan tadjid (pembaruan). Muhammadiyah tidak akan ditinggal oleh sejarah jika ia tetap pada khitah tersebut. Bahkan ia akan semakin kukuh dan mewarnai setiap gerak langkah sejarah bangsa.

Muhammadiyah seyogianya kembali membina dan membangun masyarakat. Hal ini karena, menurut M. Amien Rais (Suara Muhammadiyah, Nomor 04. 16-28 Februari 2009), membangun masyarakat lebih sulit daripada membangun negara. Membangun sebuah negara memang lewat pemegangan kekuasaan sebuah bangsa. Kekuasaan itu bisa diambil lewat proses demokrasi melalui pemilu, bisa juga lewat kudeta, bahkan bisa lewat pemberontakan. Nah, Muhammadiyah tidak percaya bahwa misi keislaman Muhammadiyah bisa dilaksanakan semata-mata lewat kekuasaan. Kekuasaan itu sesuatu yang sifatnya sangat rapuh. Kekuasaan itu datang dan pergi, jatuh dan bangun, bahkan kadang-kadang bisa lenyap secara tiba-tiba. Tetapi, kalau masyarakat itu jauh lebih lestari, itu karena masyarakat adalah kumpulan dari tiap individu yang membentuk sebuah bangsa dengan segala macam aspirasi, impian, dan cita-cita.

Lebih lanjut, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini menambahkan, Muhammadiyah tidak membidik negara Islam sama sekali, tetapi mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Artinya, melakukan transformasi mental, transformasi gagasan, transformasi cara kehidupan dan bersikap, serta transformasi etiket dan etika dalam kehidupan sebuah bangsa. Nah, kalau masyarakat itu lebih-kurang sudah landing kepada nilai-nilai Islam, sesungguhnya tujuan Muhammadiyah itu sudah terpenuhi, sekalipun kita juga paham bahwa melakukan transformasi kehidupan Islami di tengah masyarakat adalah sebuah perjuangan abadi. Intinya adalah, Muhammadiyah tidak akan berebut kekuasaan, tetapi Muhammadiyah berkhidmat di bidang pendidikan, kesehatan, pembangunan sumber daya manusia, mengarahkan kepemudaan, keputrian, kepanduan, dan lain-lain, tanpa melupakan kehidupan politik.

Pada akhirnya, sudah saatnya pimpinan Muhammadiyah sadar bahwa garis perjuangan Muhammadiyah bukanlah politik praktis. Bagi pimpinan persyarikatan yang ingin mencalonkan diri menjadi presiden, wakil presiden, anggota DPR, anggota DPD, sudah saatnya mereka pamit dari Muhammadiyah, sebagaimana amanat SK PP Nomor 160.

Meneguhkan Ideologi Muhammadiyah Lewat Pendidikan

Minggu, 02 April 2006

Dien Syamsuddin

Sesuai dengan tema perserikatan pasca muktamar Malang, revitalisasi, maka kita memandang perlu untuk melakukan revitalisasi dalam berbagai bidang, terutama pada bidang-bidang yang menjadi core activity muhammadiyah, seperti pendidikan. Otokritik yang kita terima selama ini menyatakan bahwa titik lemah dari gerakan Muhammadiyah yang termutakhir adalah dalam bidang pendidikan. Terutama menyangkut kualitas, termasuk juga tentang keterkaitan output dari lembaga pendidikan Muhammadiyah dengan Muhammadiyah itu sendiri. Memang belum ada survey tetapi disinyalir keterkaitan antara output lembaga pendidikan Muhammadiyah dengan Muhammadiyah baik sebagai organisasi, maupun kemuhammadiyahan sebagai nilai ideology itu sangat-sangat rendah.

Oleh karena itu, hal teserbut perlu menjadi pembicaraan bersama untuk kita cari jalan keluarnya. Khusus mata pelajaran al Islam dan Kemuhammadiyahan, ini memang dirancang oleh perumusnya dulu, sebagai ciri khas lembaga pendidikan Muhammadiyah. Ciri khas inilah yang membedakan sekolah Muhammadiyah dengan sekolah non-Muhammadiyah. Maka posisi dari mata pelajaran ini, Al Islam dan kemuhammadiyahan ini memang sangat-sangat sentral.Oleh karena itu sekali lagi mata pelajaran ini sangat sentral dan juga sebagai medium untuk menyebarkan paham keagamaan Muhammadiyah. Apalagi kita sekarang menghadapi masalah lemahnya penghayatan nilai-nilai ideologis yang menjadi anutan Muhammadiyah, sebab tidak hanya di sekolah-sekolah Muhammadiyah, termasuk juga di kalangan Pimpinan, dan juga anggota Muhammadiyah. Sekarang ini kita menghadapi ada tawaran-tawaran ideologi oleh sales-sales ideologi yang banyak berkeliaran. Terdapat fakta, ada pimpinan Muhammadiyah, yang terpengaruh pada pesona ideologi-ideologi itu yang kemudian mereka ikuti.

Kalau seandainya mereka keluar dari Muhammadiyah, saya melihatnya agak mendingan. Kita tinggal mencari anggota baru Muhammadiyah dari pangsa pasar lain. Tetapi ditengarai kelompok ini atau kader-kader Muhammadiyah ini tetap bertahan di dalam Muhammadiyah. Punya peran dan fungsi di amal usaha Muhammadiyah. Kalau hanya pada tingkat ini masih mendingan juga, kalau pasif. Tetapi mereka justru aktif dan proaktif, bahkan agresif, mungkin ada yang lebih tinggi lagi dari agresif, untuk menyebarkan paham keagamaan baru yang mereka yakini ke kalangan Muhammadiyah, termasuk ke kalangan peserta didik Muhammadiyah. Yang mana paham itu pada titik-titik tertentu, berbeda dengan Muhammadiyah.
Kalau terjadi dan berlangsung terus menerus, 5, 10, 15 tahun maka terjadilah kekeroposan dalam Muhammadiyah. Karena ada pengikisan oleh orang-orang lain. Contoh soal saya hadapi sendiri, menjelang Muktamar ada gebyar Muktamar dan milad di sebuah cabang Muhammadiyah di Jakarta, yang acaranya penuh dengan penampilan seni budaya oleh beberapa sekolah. Waktu sangat mepet, saya diminta menyampaikan tausyiah terakhir. Maka saya pilih di atas panggung untuk tidak menyampaikan tausyiah, tetapi saya adakan cerdas cermat dan saya sediakan hadiah, nanti kalau yang bisa jawab saya kasih 50 ribu perorang. Untuk SD pertanyaannya, kapankah dan siapakah pendiri Muhammadiyah, semua anak-anak SD angkat tangan, 5 orang maju ke panggung dan jawabannya semua benar. Untuk SMP, pertanyaannya adalah Apakah tujuan Muhammadiyah? yang angkat tangan juga banyak, 5 maju ke depan, di situ saya kaget, kelimanya menjawab hampir sama, saya kira bunyinya, tujuan Muhammadiyah, mendidik insan yang beriman, bertaqwa, dan berahlak mulia, bla.. bla.. Terus saya bilang, “Di sini apa ada guru kemuhammadiyahan atau Al Islam?” Seorang ibu naik ke panggung. Ibu guru ini menyatakan jawaban itu salah, itu tujuan pendidikan Muhammadiyah, Sedangkan tujuan Muhammadiyah itu, ....bla-bla panjang sekali sampai ada kata keadailan, kesejahteraan, dan lainnya. Saya semakin kaget lagi dengan jawaban ibu guru yang mengajarkan kemuhammadiyahan itu.

Pimpinan Cabang yang sangat mengikuti perkembangan di kompleks itu, mengatakan pada saya, “Pak Dien memang di sini guru-guru kita, tidak hanya dalam mata pelajaran yang lain juga di dalam al Islam dan kemuhammadiyahan banyak yang punya kecenderungan lain, orientasi lain, afiliasi lain. Waktu kampanye dulu saat ada polling tentang partai dan capres itu mereka sering meminjam handphone-nya anak-anak kemudian mengirim SMS untuk calon tertentu”.
Gejala semacam ini terjadi di mana-mana, termasuk juga di DIY ini dan hampir di seluruh Indonesia. Bagaimana kita menyikapi? Inilah yang penting kita lakukan ke depan. Maka saya sangat tertarik dengan acara ini karena para pesertanya adalah guru-guru al-Islam di sekolah Muhammadiyah. Saya juga akan mengusulkan acara semacam ini agar terus dilakukan. Kita perlu mengambil langkah segera yang sistematis, elegan, dan tidak perlu ada kesan konfrontasi. Tetapi lebih bagus kita lakukan langkah nyata untuk memagari agar Muhammadiyah, termasuk peserta didik Muhammadiyah agar dapat memahami nilai-nilai kemuhammadiyahan. *)

Disarikan dari ceramah tanggal 5 Pebruari 2006, dalam Workshop Pendidikan al-Islam di SMP-SMU Muhammadiyah, yang diselenggarakan oleh JIMM Yogyakarta
(ies)

Meneguhkan Dan Menyebarluaskan Kembali Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam

Minggu, 02 April 2006

Oleh Haedar Nashir

Muhammadiyah sejak berdiri tahun 1912 telah menentukan jatidiriya sebagai gerakan Islam yang melaksanakan dakwah dan tajdid. Dakwah dilakukan untuk menyuruh pada yang ma’ruf (al-amr bi al-ma’ruf) dan mencegah dari yang munkar (al-nahyu ‘an al-munkar), sebagaimana tersurat dalam Al-Quran Surat Ali Imran 104. Gerakan Muhammadiyah bahkan memiliki karakter sebagai tajdid sebagaimana dipelopori pendirinya, Kyai Haji Ahmad Dahlan sang mujaddid. Lngkah-langkah dakwah dan tajdid Muhammadiyah tersebut tercermin dalam kepeloporan mendirikan sekolah Islam modern, pelayanan kesehatan dan kesejahteraan dengan mendirikan PKU (Penolong Kesengsaraan Oemoem, kini Pembina Kesejahteraan Umat), penyantunan anak-anak yatim dan miskin melalui gerakan Al-Ma’un, dan mendobrak praktik dan pemikiran Islam yang jumud (statis, beku) dengan ijtihad.

Gerakan Muhammadiyah yang berkarakter dakwah dan tajid tersebut dilakukan melalui sistem organisasi (jami’yyah) dan bersifat ekspansi (penyebaran, perluasan). Kata-kata ”waltakum minkum ummatun” dalam Ali Imran 104 yang sering disebut sebagai ”ayat Muhammadiyah”, merupakan pemaknaan baru mengenai kepentingan menggerakkan Islam melalui oranisasi atau persyarikatan. Sedangkan dimensi perluasan tersurat sebagaimana tujuan awal Muhammadiyah, ”menyebarluaskan ajaran Kanjeng Nabi Muhammad ke seluruh wilayah karesidenan Yogyakarta”, dan sejak 1914 bahkan untuk seluruh Indonesia. Di situlah watak dinamis sekaligus karakter Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan (harakat al-Islamiyyah).


Dari perjalanan awal Muhammadiyah tersebut maka jelas sekali karakter yang kuat dari Persyarikatan, yaitu sebagai Gerakan Islam yang menjalankan dakwah dan tajdid melalui sistem organisasi yang selalu dinamis dan berkemajuan. Muhammadiyah telah hadir sebagai gerakan yang menyebarluaskan Islam yang berkemajuan dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam yang kokoh berdasarkan Al-Quran dan Sunnah shahihah (maqbulah). Muhammadiyah melakukan gerakan ”ruju ila al-Quran wa al-Sunnah” (Kembali pada Al-Quran dan Al-Sunnah), bukan semata-mta untuk pemurnian belaka, tetapi sekaligus pembaruan dalam menjawab dan memandu kehidupan di tengah perkembangan zaman.


Dalam kaitan inilah maka jika disimpulkan terdapat empat hal pokok yang menjadi ciri kelahiran dan kehadiran Muhammadiyah, yaitu (1) Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam; (2) Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar. Dengan empat hal tersebu Muhammadiyah kemudian bergerak secara dinamik sebagai gerakan tajdid, yang melahirkan berbagai keberhasilan dalam memperbarui kehidupan umat dan bangsa. Kendati tidak selalu kontroversial, gerakan Muhammadiyah dalam perkembangan sejarahnya tetap konsisten sebagai gerakan tajdid yang sering pula disebut gerakan modernisme Islam.


Dengan gerak dawah dan tajdid yang dirintisnya, Muhammadiyah telah mempengaruhi dinamika dan kemajuan umat serta bangsa. Dalam kehidupan umat Islam, Muhammadiyah telah memelopori kebangunan kembali Islam di Indonesia, dengan memberantas keterbelakangan dan membawa pada kemajuan. Dalam kehidupan bangsa, selain berkiprah dalam setiap babakan sejarah perjuangan, selain memberi sumbangsih nyata dalam amal-amal kebajikan. Karena itu tidak berlebihan jika Muhammadiyah kemudian diberi predikat sebagai gerakan reformis atau modernis, suatu gerakan pembaruan yang memajukan bangsa dengan prinsip-prinsip keIslaman yang tetap kokoh.


Kini dalam usianya jelang satu abad, Muhammadiyah perlu melakukan muhasabah agar mampu meneguhkan kembali sekaligus memperluas gerakannya di tengah perkembangan kontemporer. Dirasakan di tubuh Muhammadiyah masih terdapat kekurangan yang memerlukan penguatan kembali, di antara masalah yang kini dialami antara lain: (1) Melemahnya spirit, ideologi/identitas, dan visi gerakan, (2) Penurunan kualitas Amal Usaha dan komitmennya pada misi Persyarikatan, (3) Kurang responsif terhadap masalah dan keadaan di sekitar (problem sosial dan kebangsaan), (4) Tarik-menarik paham pemikiran dan sikap keagamaan, (5)Melemahnya kekuatan Ranting sebagai basis gerakan. Karena itu diperlukan peneguhan kembali dan perluasan gerakan Muhammadiyah.


Beberapa langkah atau upaya peneguhan dan penyebarluasan kembali gerakan Muhammadiyah dapat dilakukan.

Pertama, memperdalam dan memperluas paham agama sesuai dengan manhaj tarjih dan prinsip-prinsip keyakinan Muhammadiyah. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul sejak Adam alaihissalam hingga Rasul akhir zaman Muhammad s.a.w. Islam merupakan hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, menjamin kesejahteraan/keselamatan hidup maeriil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Rasul, dengan menggunakan akal pikiran yang sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang komprehensif meliputi aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalat-dunyawiyah.


Kedua, meneguhkan kembali ideologi gerakan. Langkah ini menyangkut usaha menanamkan kembali pemahaman dan pemnghayatan atas nilai-nilai formal gerakan yang menjadi basis ideologis, antara lain Muqaddimah Anggaran Dasar, Kepribadian, Khittah, Matan keyakinan dan Cita-cita Hidup, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah. Pemikiran-pemikiran formal dalam Muhammadiyah tersebut sebenarnya sangat kaya dan luas dimensinya, namun belakangan kurang digali dan dipahami oleh warga Persyarikatan. Sebagai contoh bagaimana memahamkan kembali Muqaddimah AD Muhammadiyah sebagai kerangka pemikiran ideologi Muhammadiyah, yang substansinya terdiri atas enam hal fundamental yaitu (1) Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah; (2)Hidup manusia bermasyarakat; (3) Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan keyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat; (4) Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ihsan kpd kemanusiaan; (5) ‘Ittiba kepada langkah perjuangan Nabi Muhammad s.a.w.; (6) Melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi. Demikian pula tentang Matan Keyakinan, dan lain-lain. Pemikiran-pemikiran ideologis Muhammadiyah tersebut kini perlu ditanamkan kembali agar menjadi alam pikiran sekaligus pola orientasi gerakan yang kokoh. Pemikiran-pemikiran ideologis dan strategis tersebut seperti kurang dipahami oleh sebagian kalangan dalam Persyarikatan, sehingga terjadi pelonggaran atau peluruhan ideologis. Dalam suasaan peluruhan ideologis semacam itulah maka muncul gejala ”menduakan” atau ”mentigakan” Muhammadiyah. Ada sementara orang Muhammadiyah lebih tertarik dengan gerakan lain tetapi tetap ”berumah” dalam Muhammadiyah. Karenanya sungguh diperlukan meneguhkan kembali ideologi gerakan secara kuat dan cerdas. Gerakan Muhammadiyah harus dipelihara, dikembangkan, dan dihidupkan oleh mereka yang memahami Muhammadiyah luar-dalam agar tidak salah arah.

Ketiga, memperdalam dan memperluas wawasan dakwah dan tajdid. Bagaimana segenap warga, lebih-lebih pimpinan Muhammadiyah memahami kembali prinsip, strategi, peta, visi, dan aplikasi dakwah serta tajdid di tengah dinamika kehidupan umat, bangsa, dan dunia global yang penuh tantangan. Pemahaman wawasan dakwah dan tajdid akan mempengaruhi orientasi dan model akasi gerakan di berbagai tingkatan. Muhammadiyah sungguh memerlukan visi dakwah dan tajdid yang lebih menyeluruh agar tidak tertinggal dari pihak lain dan bahkan dapat menjadi kekuatan paling depan dalam memperbaiki, memperbarui, dan mengembangkan kehidupan.


Keempat, meneguhkan garis perjuangan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bergerak di bidang dakwah dan tajdid, serta tidak terlibat dalam politik praktis. Dengan tidak terlibat dalam politik praktis (real politics, low politics, politik kekuasaan) maka Muhammadiyah dapat bergerak leluasa ke segala penjuru dan golongan masyarakat untuk mengemban misi dakwah dan tajdid. Muhammadiyah juga dapat terhindar dari konflik yang daapt merusak sendi-sendi gerakannya. Namun, tidak berpolitik praktis, bukan berarti apatis terhadap keadaan, Muhammadiyah bahkan harus memainkan peran-peran moralnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Muhammadiyah tidak boleh manjadi sasaran empuk mobilisasi dan politisasi pihak luar, apalagi yang merugikan perjuangan Persyarikatan serta kemaslahatan umat dan bangsa.


Kelima, mengembangkan model-model kegiatan/aksi, termasuk amal usaha, yang semakin berkualitas, dirasakan langsung masyarakat, dan menyangkut denyut nadi umat serta masyarakat luas sebagaimana selama ini menjadi ciri khas Muhammadiyah. Muhammadiyah senantiasa beramal kebajikan dalam berbagai langkah sebagai wujud dari ikhtiar mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, serta membawa Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin. Kembangkan seluruh program dan kegiatan ke dunia nyata, sehingga kehadiran Muhammadiyah dapat dinikmati langsung oleh umat dan masyarakat luas. Gerakan aksi ini harus menyebarluas hingga ke akar rumput agar umat kita selain terjaga akidahnya juga dapat digerakkan ke arah kemajuan.


Keenam, menggerakkan/membangkitkan kembali etos jihad dan amal fi-sabilillah untuk tegaknya kehidupan ”baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”. Dengan menggerakkan jihad dan amal maka seluruh potensi Muhammadiyah dapat dibangkitkan. Muhammadiyah juga dapat didinamisasi sebagai sebuah gerakan, karena watak jihad dan amal memang bersifat dinamis. Jihad dan amal tidak statis. Dengan etos jihad dan amal dalam makna dan cakupan yang luas, bahkan Muhammadiyah dapat berkiprah lebih optimal di tengah denyut kehidupan umat, bangsa, dan dunia sesuai dengan misi dakwah dan tajdid yang diembannya
.
Ketujuh, meningkatkan kualitas sekaligus menjadikan amal usaha Muhammadiyah sebagai pelaksana misi dakwah serta tajdid Muhammadiyah di tingkat aksi nyata. Jangan biarkan amal usaha itu lepas dari komitmen dan kewajiban mengemban misi Persyarikatan. Jangan biarkan pula amal usaha itu hanya sekadar jadi lading bagi pencari nafkah dan mobilitas diri tanpa kaitan dengan komitmen perjuangan menjalankan misi dan kepentingan Muhammadiyah. Amal usaha itu milik Muhammadiyah, sedangkan Muhammadiyah merupakan gerakan Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Karena itu, amal usaha haruslah berada dalam sistem gerakan Muhammadiyah. Siapapun yang diberi amanat memimpin amal usaha Muhammadiyah, haruslah mengembangkannya sesuai dengan ruh, misi, dan kepentingan Persyarikatan. Jangan jadikan amal usaha terasing dari Persyarikatan, termasuk terasing dari kader Muhammadiyah. Amal usaha Muhammadiyah bukan ladang pencarian nafkah dan mobilisasi individual orang perorang yang tidak ada kepentingannya dengan misi Persyarikatan.

Kedelapan, mendinamisasi gerakan Organisasi Otonom Muhammadiyah sebagai pelopor, pelangsung, penyempurna gerakan. Organisasi Otonom Muhammadiyah yaitu Aisyiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, IMM, IRM, Tapak Suci Putra Muhammadiyah, dan Hizbul Wathan Muhammadiyah berfungsi sebagai kekuatan dan faktor efektivitas, efisiensi, dinamisasi, kaderisasi, dan pengembangan gerakan Muhammadiyah sesuai dengan fokus gerakannya. Karena itu diperlukan sinergi dan kerjasama secara terintegrasi. Organisasi Otonom juga dituntut untuk semakin terfokus pada gerakannya sehingga dapat menjadi pilar gerakan Muhammadiyah. Tidak kalah pentingny Organisasi Otonom Muhammadiyah harus menjadi kekuatan penyangga dan pewaris misi dan ideologi gerakan secara kuat dan militan. Di sinilah seluruh pimpinan Persyarikatan, termasuk pimpinan amal usaha, dituntut untuk memberi ruang sekaligus mengakomodasi kader dan kepentingan program organisasi otonom Muhammadiyah.


Khusus Aisyiyah sebagai organisasi otonom khusus, keberadaan dan peranannya sangatlah penting. Ciri dari ketajdidan Muhammadiyah antara lain karena melahirkan gerakan Islam perempuan yang bernama Aisyiyah. Aisyiyah termasuk pelopor kebangkitan kaum perempuan muslimah di negeri ini. Kini gerakan Aisyiyah bahkan sangat energik di tingkat bawah. Karena itu diperlukan revitalisasi gerakan Aisyiyah, sebagaimana hal serupa diperlukan oleh Muhammadiyah sebagai gerakan induknya. Dalam hal ini sebagai prioritas, Aisyiyah memerlukan pengembangan atau penguatan aspek visi atau wawasan. Aisyiyah juga memerlukan orientasi dan aksi gerakan yang semakin terfokus, sehingga menjadi pilar penting bagi Muhammadiyah. Demikian pula bagi organisasi otonom Muhammadiyah lainnya yaitu Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, IMM, IRM, Tapak Suci, dan Hizbul Wathan memerlukan revitalisasi, orientasi terfokus, dan militansi yang semakin kuat agar menjadi penggerak di bidangnya masing-masing secara saling sinergi dan terpadu dalam rumah besar gerakan Muhammadiyah.
Nasrun min Allah wa fathun qarib.