Tuesday, December 30, 2014

The Reformasi '98 and the Arab Spring: A Comparative Study of Popular Uprisings in Indonesia and Tunisia

Asian Politics & Policy
Volume 6, Issue 2, pages 199–215, April 2014

Ahmad Najib Burhani†
  1. Ahmad Najib Burhani is a researcher at the Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Jakarta. He received his PhD in Religious Studies from the University of California-Santa Barbara, USA. His academic interests include “minority religions in Islam,” “Islamic movements in Southeast Asia,” and “cosmopolitan sufism.”
 Keywords:
  • Ennahda party;
  • political Islam;
  • politik aliran;
  • Rachid Ghannouchi;
  • secularism
Abstract
By comparing popular uprisings in Indonesia and Tunisia, this article intends to answer the questions: What kind of condition made the Islamists successfully take over the state in Tunisia, while they failed to do so in Indonesia? What are the similarities and differences between the uprisings in these two countries? This article argues that the historical and sociopolitical position of Islamists during the authoritarian regimes determined the fate of Islamist parties after the uprisings. The role of Ennahda party as a symbol of opposition has contributed to its rise after the Tunisian Spring, while the involvement of Islamists in the regime during the last years of Suharto's rule contributed to the decline of Islamist parties in Indonesia. However, the strongest argument for the decline of Islamist parties in Indonesia is the fading away of political streams. Furthermore, the role of Muslim scholars in desacralizing Islamist parties in Indonesia has significantly challenged and undermined the identification of Islam with Islamist parties.

http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/aspp.12113/abstract


Review to the article:
A Study of Islamist Politics in Indonesia and Tunisia
24th April 2014 Posted by nyucenterfordialogues 3 notes

Here is a great comparative study by Ahmad Najib Burhani of the models of Islamist politics in Indonesia – the most populous Muslim country in the world – and Tunisia – the birthplace of the “Arab Spring.”

Burhani explores the gains made by Islamist groups following the 1998 uprising in Indonesia and the 2010 uprising in Tunisia. In Indonesia, Islamist politics are no longer synonymous with Islamist parties. Although initially, in 1955, in the first democratic election in Indonesia following its independence, Muslims were urged to vote only for Islamist parties, the country has since developed a more nuanced understanding of Islam and politics. Burhani makes the argument that Islamist civil society organizations, like Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama (NU), have become the main forces behind Islamist politics in Indonesia, while the Islamist political parties have lost support.

In Tunisia, on the other hand, Ennahda, an allegedly moderate Islamist political party, wields virtually all of the Islamist political force. Ennahda won a plurality in the 2011 parliamentary elections (89 out of 217 seats) and used its gains to hold the Prime Minister’s office from then until January 2014. Although the Ennahda government was replaced with a coalition government in January, the party is still a major player in the Tunisian political field. It’s true that extremist Salafi group Ansar Al-Sharia makes the press with some its more high-profile tactics, but to most Tunisians, it is clear that the only Islamist group with any real sway is Ennahda. Yet, even Ennahda’s leader, Rachid Al-Ghannouchi, has made statements supporting a less politicized role for Islamism. Burhani points to a 2013 quote by Ghannouchi: “We do not need to impose Islam because it is the people’s religion and not the elite’s, and Islam has not endured for so long because of states’ influence, but rather due to the large acceptance it enjoys among its adherents, in fact the state has often been a burden on religion.”

Is it possible, as the Indonesian model seems to indicate, for Muslims, particularly “Islamists,” to support a secular political system? Should Ennahda take its leader’s advice and seek to keep Islam out of the formal governance structure? If so, perhaps Ennahda should consider empowering Islamist civil society organizations, rather than attempting to impose an Islamist order on the political system.

In Egypt, too, although the moment might be too late, it might be best for Islamists to reinforce the civil society aspect of the Muslim Brotherhood, instead of pushing for an explicit political role for the Freedom and Justice Party (FJP). Had Morsi and the FJP not demanded Islamist policies during their year in power, maybe the tragedies in Egypt last summer could have been avoided. Maybe, for once, Egypt could have had an option that was neither an Islamist dictatorship nor a military coup.

http://nyucenterfordialogues.tumblr.com/post/83717502080/a-study-of-islamist-politics-in-indonesia-and

Also: http://blog.minaret.org/?p=11511&cpage=1#comment-1250767

Saturday, December 27, 2014

Trensains: Pesantren Alternatif Muhammadiyah

(Menyongsong Musyawarah Ittihadul Ma’ahid al-Muhammadiyah 14-16 September 2012 di Kaliurang)


Agus Purwanto*)

Suara Muhammadiyah, no 18, tahun ke-97, September 2012
Butir amanat muktamar Muhammadiyah ke-45 (2005) di bidang pendidikan, iptek dan litbang menyebutkan:”Membangun kekuatan Muhammadiyah dalam bidang pendidikan dan pengembangan sumber daya insani, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan eksplorasi aspek-aspek kehidupan yang bercirikan Islam sehingga menjadi alternatif kemajuan dan keunggulan di tingkat nasional atau regional”. (Tanfidz KeputusanMuktamar Muhamadiyah ke-45 di Malang, 2005:61).
Muhammadiyah merupakan gerakan Islam yang dikenal dengan trademark pendidikan. Ribuan sekolah sejak PAUD sampai dengan Perguruan Tinggi Muhammadiyah berdiri dari Sabang sampai Merauke. Bukan hanya itu, di setiap kota yang ada sekolah Muhammadiyahnya hampir selalu ada lembaga pendidikan Muhammadiyah yang menjadi terbaik atau favorit. Muhammadiyah pun terus berupaya meningkatkan kualitas terlebih di tengah perubahan yang sangat cepat.
Muhammadiyah dan Pesantren
Amanat muktamar di depan adalah wujud dari sikap antisipatif Muhammadiyah terhadap dinamika perubahan masyarakat. Bagaimanapun kemajuan modernitas bagai mata uang dengan dua sisi, yakni sisi kemajuan material dan sisi degradasi moral. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sedemikian pesat, tetapi pada saat yang sama liberalnya pergaulan membuat para orang tua mencemaskan keadaan putra-putrinya. Di tengah situasi seperti ini sekolah berasrama (boarding school) mulai dilirik masyarakat.
Pondok pesantren atau pesantren saja adalah lembaga pendidikan berasrama yang khas Indonesia dan mengkhususkan diri pada kajian Islam. Pesantren telah ada di Indonesia sejak ratusan tahun lalu sehingga lembaga pendidikan berasrama bukanlah hal baru. Motivasi awal kehadiran pesantren adalah kaderisasi ulama syariah. Memang, para ulama terkemuka di Indonesia lahir dari dunia pesantren.
Mengingat motivasi dan peran tersebut maka Muhammadiyah sebagai gerakan Islam meniscayakan kehadiran pesantren. Muallimin-muallimat Yogjakarta adalah pesantren andalan Muhammadiyah bagi kaderisasi ulama tersebut. Saat ini, sekretaris Itmam (Ittihadul Ma’ahid al-Muhammadiyah, Persatuan Pondok Pesantren Muhammadiyah) mencatat terdapat 102 pesantren Muhammadiyah di seluruh Indonesia.
Muhammadiyah makin merasakan urgensi kehadiran pesantren sebagai lembaga kaderisasi ulama maupun sebagai tuntutan masyarakat. Meskipun demikian, tidak mudah bagi Muhammadiyah untuk mendirikan pesantren karena ciri khas dari pesantren yang berbeda dari lembaga pendidikan umum yang banyak didirikan oleh Muhammadiyah. Pertanyaannya, pesantren model apa yang khas dan dapat direalisasi Muhammadiyah.
Tahun 2009 pondok modern Muhammadiyah yakni Muhammadiyah Boarding School (MBS) berdiri di Klaten. Misi utama MBS adalah mempersiapkan para santri untuk mendalami ilmu syariah di timur tengah. Singkat kata, MBS membidani lahirnya ulama syariah. Meskipun demikian, MBS juga memberi jalan bagi para santri yang ingin melanjutkan studi pada bidang umum seperti kedokteran.
Pesantren Imam Syuhodo Sukoharjo dan pesantren Darul Ihsan Sragen juga berstatus pesantren modern tetapi berbeda dari MBS pada penekanan muatan ajar. Dua pesantren terakhir menekankan pada materi sekolah umum khususnya IPA dan masih terlibat dalam event olimpiade berbagai bidang ilmu. Tipe pesantren modern seperti MBS, Imam Syuhodo dan Darul Ihsan cuku banyak di masyarakat dan bukan t khas Muhammadiyah. Saat ini, ada tipe pesantren yang sedang ngetren tapi belum banyak di Muhammadiyah yaitu pesantren penghafal al-Quran.
Islam vs Sains
Awal tahun 1960an Hossen Nasr intelektual muslim yang tinggal di Amerika memperkenalkan wacana sains Islam dan terus berkembang sampai saat ini. Di Barat, wacana sains Islam berkembang sejalan dengan wacana pergulatan antara agama dan sains. Ian Barbour doktor di bidang teologi dan fisika melakukan analisa dan mendapatkan empat pola hubungan antara gama dan sains. Keempat hubungan tersebut adalah konflik, independensi, dialog dan integrasi antara agama dan sains.
Nasr juga Ismail al-Faruqi, Naquib al-Attas, dan Ziaudin Sardar serta Osman Bakar memandang bahwa ketegangan antara agama khususnya Islam dan sains modern merupakan keniscayaan. Sebabnya, sejak diambil alih Eropa dari pangkuan Islam, sains dikembangkan secara reduksionis dan mengesampingkan transendensi metafisisnya. Karenanya, upaya mengembalikan sains dalam bingkai ilahiah merupakan tugas besar ilmuwan muslim saat ini dan mendatang.
International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Virginia Amerika dan cabang terkemukanya di Kuala Lumpur adalah lembaga bagi realisasi upaya tersebut. Salah satu program IIIT adalah memberi beasiswa mahasiswa pascasarjana bidang sains Islam di International Institute of Islamic Thought and Civilizations (ISTAC) di International Islamic University Malaysia (IIUM) Kuala Lumpur. ISTAC sendiri awalnya adalah lembaga independen yang didirikan awal 1980an oleh Naquib al-Attas bagi upaya unifikasi Islam dan sains, yang kemudian digabung menjadi program pascasarjana pemikiran Islam IIUM.  
Di Indonesia, gerakan ini mulai dilakukan dengan menata ulang IAIN menjadi UIN dan memasukkan fakultas sains dan teknologi di dalam UIN. Dua UIN paling aktif dalam upaya integrasi Islam dan sains adalah UIN Malang dan Yogjakarta. Beberapa cendekiawan secara independen juga terlibat dalam diskursus ini.
Pesantren Baru
 Sejak buku Ayat-Ayat Semesta (AAS) tahun 2008 penulis terlibat aktif sosialisasi wacana interaksi antara Islam dan sains dari kampus ke kampus, pesantren dan majelis-majelis ta’lim. Setelah empat tahun sosialisasi muncul gagasan trensains, pesantren sains, institusionalisasi AAS atau pun sains Islam.
Trensains mempunyai profil lulusan: i) lancar berkomunikasi dengan bahasa Inggris dan ii) bahasa Arab, iii) jago IPA dan matematika serta iv) paham diskursus pergulatan Islam dan sains. Transains berorientasi melahirkan ilmuwan, insinyur dan dokter yang basis al-Quran dan filsafat yang kokoh. Moto trensains, Generasi Pecinta al-Quran dan Sains.
Kemampuan bahasa Inggris dan Arab merupakan ciri umum pesantren modern. Karena orientasi alumni adalah studi lanjut baik di dalam maupun luar negeri maka diupayakan ketika lulus telah mempunyai skor TOEFL. Pemenuhan profil jago IPA dan matematika selain diterapkan dalam proses selama pendidikan juga diterapkan sejak saringan calon santri. Singkat kata, para calon santri harus mempunyai nalar matematika dan IPA yang kuat. Sampai di sini, trensains masih sama dengan pesantren modern yang telah ada.
Profil keempat paham wacana interaksi agama khususnya Islam dan sains menandai sekaligus membedakan trensains dari pesantren yang telah ada selama ini. Di pesantren modern biasa materi al-Islam, dan sains (biologi, fisika, kimia) juga diberikan tetapi tanpa dibahas hubungan dinamis keduanya. Materi untuk pemahaman topik ini adalah al-Quran dan hadits, logika, filsafat, sains, agama dan sains.
 Materi al-Quran diurai dalam seluk-beluk, pengantar tafsir, tafsir ilmiy, tafsir bil ilmiy dan eksplorasi pada ayat-ayat kauniyah. Materi hadits juga demikian, pengantar studi hadits, jenis dan fungsi hadits, serta eksplorasi hadits-hadits terkait alam dan fenomenanya. Hafalan al-Quran dan hadits dipilihkan bagian kauniyah dan yang terkait.
Materi logika dijabarkan dalam pengantar, jenis dan asas pemikiran. Sedangkan materi filsafat dijabarkan dalam pengertian, sifat dan fungsi serta sejarah kelahiran filsafat, filsafat Islam dan filsafat Barat modern. Kelahiran filsafat untuk memberi pemahaman mengenai proses penalaran sederhana dan terbentuknya teori-teori primitip. Filsafat Barat modern untuk memahami sifat dasar ilmu pengetahuan saat ini.  
Materi sains djabarkan dalam pengertian, sifat, topik tertentu dan sejarah sains sejak jaman Mesir kuno sampai sekarang. Riwayat singkat tokoh filsafat ilmu dan ilmuwan diberikan. Bidang sains yang erat dengan wacana islamisasi sains hanya ada dua yaitu astronomi, biologi dan fisika. Topik di biologi yang harus diberikan adalah asal-usul kehidupan, teori evolusi dan genetika. Sedangkan topik di fisika dan astronomi adalah teori atom, jagat raya dan kelahirannya. Teori relativitas dan kuantum diberikan dalam bentuk semi populer.
Buku The Bible, The Qur’an and Science karya Maurice Bucaille Perancis dan al-‘Ijaz al-‘Ilmiy fi as-Sunnah an-Nabawiyah karya Zaghlu an-Najar Mesir dapat dijadikan sebagai rujukan utama bagi tema kaitan antara al-Quran-Hadits dan sains. The Origin of Species karya Charles Darwin, The First Three Minutes karya Steven Weinberg, Brief History of Time dan The Grand Designer karya Stephen Hawking dapat dijadikan pegangan topik sains. Masih banyak lagi buku asing maupun yang ditulis oleh penulis dalam negeri yang dapat diperoleh di toko-toko buku. Materi-materi di depan tentu harus disesuaikan dengan tingkatan trensains, apakah tingkat SMA atau mahasiswa.
Untuk tahap awal, trensains akan direalisasi di Kesamben Mojoagung Jombang dan pesantren darul Ihsan Sragen. Trensains di Jombang bekerjasama dengan KH Shalahudin Wahid. Program dimulai dari awal, telah tersedia tanah sepuluh hektar dan proses pembangunan gedung dimulai September 2012 dan diupayakan telah menerima santri tahun ajaran 2012/2013. Trensains Darul Ihsan Sragen dilakukan dengan memodifikasi pesantren yang telah berjalan. Kedua trensains ini setingkat SMA. Muhammadiyah sangat mungkin untuk merealisasi trensains, baik level SMA maupun universitas.

*) Penulis, Anggota MTT PP 2010-2015, Pengajar Pascasarjana Fisika ITS, Visiting Fellow ISTAC-IIUM. Penulis buku BestSeller Ayat-Ayat Semesta

http://purwanto-laftifa.blogspot.com/2013/08/trensains-pesantren-alternatif.html

Sunday, December 14, 2014

Rationality and Enlightenment: A Comparison of Educational Reforms Promoted by Gülen Movement and Muhammadiyah



1. Introduction

I have been working on Islamic social movements in Indonesia over almost four decades now. Since the 1990’s, I have also extended my geographic coverage to other parts of the Islamic world mostly through Malay speaking peoples’ networks. However, it was only three years ago (2008) on my second trip to Turkey that I learned the existence of the GM. A Turkish Japanese couple organized a group tour, and my wife and I joined it. The couple has been supporters of the movement and trying to spread its network in Japan. In Turkey, my wife and I were introduced to the leaders of the Journalists and Writers Association, and visited a couple of Gülen -inspired centers in the eastern part of Turkey. Through that trip, we came to know for the first time the fact that GM in the form of ‘Turkish schools’ was extending to Indonesia, too, and also to other parts of Southeast Asia. Then, on a later occasion in Indonesia, we had a chance to visit Kharisma School in the out skirt of Jakarta, even though it was a very brief visit. Those visits made us curious of the GM very much and we started to learn more about it through its publications and website information. Then, the above-mentioned couple organized again a group trip to Turkey the last summer.  My wife and I were exposed again more of Gülen-inspired activities now going on in the country. 
Thus far, as you see, my knowledge and understanding on the GM has been very limited. But the movement is attractive enough for me as a researcher on Islamic movements to make me venture into a comparison with the Muhammadiyah movement in Indonesia, which I have been familiar with for many decades.
As pointed out by Barton, the two robust Islamic social movements in Indonesia, Nahdlatul ‘Ulama’ (NU hereafter) and Muhammadiyah, have many parallels to GM. However, I will focus my attention mostly on Muhammadiyah partly because its education system is perhaps the most extensive in the Islamic world and comparable to GM as Barton pointed out, and partly because I am more familiar with Muhammadiyah than with NU. Nevertheless, I will mention NU as well when it becomes relevant to my discussion.
Today, Muhammadiyah has grown to be the largest private school system in Indonesia with more than 10,000 educational institutions --- ranging from playgroups and kindergartens to colleges and universities. It also operates more than 450 institutions of medical services including hospitals, clinics, delivery houses; more than 450 social welfare institutions including orphanages, elders houses, the poor houses; and more than 550 economic mutual help associations including microfinance unions and cooperatives.[2] The movement is now widely recognized as the second largest Islamic faith-based civil society organization in Indonesia with roughly thirty million members and supporters, alongside its ‘rival’, i.e. the traditionalist Islamic organization, NU, which claims forty million members and supporters.

Monday, December 8, 2014

The Contested State of Sufism in Islamic Modernism: The Case of the Muhammadiyah Movement in Twentieth-Century Indonesia

Journal of Sufi studies 3 (2014): 183–219, doi 10.1163/22105956-12341269

The Contested State of Sufism in Islamic Modernism: The Case of the Muhammadiyah Movement in Twentieth-Century Indonesia
Herman L. Beck
Tilburg University (The Netherlands)

AbstractThe Muhammadiyah in Indonesia is commonly known not to be very sympathetic towards mysticism in terms of its manifestations in mystical religious fraternities and pantheistic identity mysticism. Although its stance versus these religious phenomena seems to be very clear, many of its members are struggling to determine their attitude towards the issue. The continuing uncertainty about its legitimacy is evident from the questions Muhammadiyah members send to the Suara Muhammadiyah regarding this topic. In this article I focus on the Muhammadiyah’s ‘official’ vision through its first hundred years of existence. My thesis is that its rigidness in rejecting ‘mystical and spiritual’ manifestations is not only caused by its fear of unbelief and heresy, but also closely related to the political and social circumstances in which it is confronted with these ‘mystical and spiritual’ manifestations in the first place.

Keywords: aliran kepercayaan – Indonesia – Islamic modernism – kebatinan – Muhammadiyah – mysticism – polemic – religious diversity – Sufism – tarekats

Conclusions
In answering the three questions formulated at the beginning of this contribution, it should be concluded that Hardjono Kusumodiprodjo’s opinion regarding the Muhammadiyah’s rejection of Sufism and ‘tarekat’ teaching requires some nuance. Throughout its history, the Muhammadiyah has accepted Sufism in its ‘ihsan form’ but Sufism and ‘tarekat’ teaching containing ‘heretical’ aspects were always repudiated. Kusumodiprodjo presented a rather biased view on the Muhammadiyah’s stance towards mysticism, Sufism, and tarekats. However, it cannot be argued that a kind of ‘officially’ defined Muhammadiyah position vis-à-vis mysticism, Sufism, and tarekats ever existed. The Muhammadiyah’s attitude to mysticism, Sufism, and tarekats could change depending on the contemporary social and political context, the ‘spiritual’ needs of the Indonesian Muslims, and the ‘denominational spirit’ of the Central Board in charge. This Central Board is elected once every five years and is supposed to represent, more-or-less, the mind ofthe majority of the members of the Muhammadiyah. It is important to take into account that, within such a huge organization like the Muhammadiyah, the existence of different denominational and political currents is unavoidable.137 Understandably, the Muhammadiyah’s policy was subject to fluctuation. Indeed, after its 43rd Muktamar in 1995, a ‘spiritual spring’ seems to have dawned with the election of a so-called ‘progressive’ Central Board. However, whether this ‘spiritual spring’ will continue is questionable because a ‘conservative turn’ seems to have taken place again since the election of the new Central Board in 2005.138 In any case, whoever wants to make a guess at the Muhammadiyah’s future attitude towards Sufism and tarekats would be wise to keep in mind the lesson the Muhammadiyah’s history teaches us: as long as Sufism is sharia-abiding and promotes morality it will be tolerated by the Muhammadiyah, but as soon as it becomes heterodox and heteroprax it will be challenged.

Thursday, November 20, 2014

Refleksi Milad Ke-102 Muhammadiyah: Dari Purifikasi Agama ke Purifikasi Sosial

Jawa Pos, 18/11/14, 06:00 WIB

Biyanto

HARi ini, Selasa, 18 November 2014, Muhammadiyah genap berusia 102 tahun. Itu berarti usia Muhammadiyah telah melampaui satu abad. Dilihat dari usia, Muhammadiyah juga jauh lebih tua daripada negeri ini. Tentu banyak yang sudah dilakukan Muhammadiyah untuk membantu tugas pemerintah, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial.

Yang patut disyukuri, sejak didirikan Ahmad Dahlan pada 18 November 1912, hingga kini Muhammadiyah tetap berkhidmat untuk berjuang melalui jalur kultural. Tidak sekali pun Muhammadiyah tergoda menjadi partai politik (parpol). Padahal, godaan untuk menjadi parpol selalu ada. Itu berarti habitat Muhammadiyah yang sesungguhnya adalah bidang sosial keagamaan.
Jika menyimak konteks kelahiran Muhammadiyah, tampak sekali pada awalnya organisasi ini didirikan untuk melakukan purifikasi bidang keagamaan. Tujuannya adalah memurnikan akidah dan ibadah umat dari praktik takhayul, bidah, dan churrafat(TBC). Semangat yang digelorakan adalah mengembalikan praktik keagamaan sesuai dengan ajaran Alquran dan sunah Nabi Muhammad SAW (al-ruju’ ila Alquran wa al-Sunnah).

Setelah memasuki abad kedua, banyak pihak berharap jangkauan dakwah Muhammadiyah diperluas. Dakwah Muhammadiyah harus dikembangkan. Tidak sekadar melakukan purifikasi bidang keagamaan, tetapi juga purifikasi sosial. Dakwah memberantas TBC barangkali penting bagi aktivis Muhammadiyah. Tetapi, harus diingat, dakwah memberantas TBC membutuhkan pendekatan yang tepat.

Karena itu, mubalig Muhammadiyah harus mulai membiasakan penggunaan pendekatan kebudayaan. Pendekatan kebudayaan penting untuk mengurangi resistansi di kalangan umat yang masih akrab dengan tradisi lokal. Melalui pendekatan kebudayaan, jangkauan dakwah Muhammadiyah pasti lebih luas. Pendekatan kebudayaan juga menjadikan dakwah Muhammadiyah dapat diterima kelompok abangan dan tradisional.

Hasil penelitian Mitsuo Nakamura (1976) dapat menjadi pelajaran bagi aktivis Muhammadiyah. Nakamura, misalnya, menyatakan bahwa Muhammadiyah merupakan gejala perkotaan (urban phenomenon). Menurut Nakamura, dakwah Muhammadiyah sering kali hanya cocok untuk masyarakat kota, kelas menengah, dan kaum terdidik. Itu berarti aktivis Muhammadiyah harus selalu mengevaluasi metode dan kemasan materi dakwahnya. 

Seakan menyadari pentingnya pendekatan kebudayaan, Muhammadiyah menggulirkan wacana dakwah kultural. Metode dakwah kultural menekankan pentingnya berdakwah melalui beragam budaya seperti pendidikan, ekonomi, seni, budaya, dan olahraga. Tetapi, sangat disayangkan, metode dakwah kultural ternyata belum mendapat respons positif. Orientasi dakwah sebagian besar mubalig Muhammadiyah masih bertema pemberantasan TBC. Padahal, persoalan yang dihadapi umat telah berkembang begitu pesat. Tantangan Muhammadiyah masa kini juga berbeda dengan saat didirikan dulu.

Aktivis Muhammadiyah juga harus membaca ulang hasil penelitian James L. Peacock (1986). Penelitian Peacock menyimpulkan bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan keagamaan yang berorientasi untuk memurnikan ajaran Islam. Karena itu, Muhammadiyah memainkan peran yang penting sebagai gerakan purifikasi di bidang akidah dan ibadah. Kecenderungan dakwah untuk melakukan purifikasi agama juga disadari kalangan insider Muhammadiyah seperti Muslim Abdurrahman (Kang Muslim).

Bahkan, Kang Muslim tidak segan melakukan otokritik. Dalam pandangan Kang Muslim, dakwah Muhammadiyah dianggap kurang berempati terhadap seni dan budaya lokal. Padahal, semestinya seni dan budaya lokal termasuk dalam wilayah muamalah duniawiah. Perspektif Muhammadiyah terhadap seni dan budaya juga sangat tegas, yakni ibahah (boleh) sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Tetapi, selalu ada kecenderungan di kalangan aktivis Muhammadiyah untuk menafikan seni dan budaya lokal. Karena itulah, Kuntowijoyo (2001) menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan kebudayaan tanpa kebudayaan. Kredo Muhammadiyah untuk kembali kepada Alquran dan sunah serta kehati-hatiannya dalam menyikapi budaya kadang-kadang terdengar seperti gerakan anti kebudayaan. Padahal, seharusnya Muhammadiyah menampilkan diri sebagai gerakan kebudayaan baru tanpa kebudayaan lama.

Terkait dengan harapan agar orientasi dakwah persyarikatan bergeser dari purifikasi ibadah ke purifikasi sosial, Muhammadiyah telah banyak melangkah. Materi dakwah Muhammadiyah tidak hanya berkaitan dengan persoalan akidah dan ibadah. Dakwah Muhammadiyah kini juga merambah berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, kesehatan, dan pelayanan sosial.

Bahkan, di bidang politik Muhammadiyah telah mengembangkan dakwah melalui politik adiluhung (high politic). Muhammadiyah juga telah memelopori berbagai kegiatan dalam rangka jihad konstitusi. Hal itu ditunjukkan melalui kepeloporan Muhammadiyah saat mengajukan judicial review terhadap UU Migas, UU Rumah Sakit, dan UU Minerba. Dakwah di bidang politik dan jihad konstitusi merupakan wujud pengembangan purifikasi dalam kehidupan berbangsa.   

Di bidang sosial Muhammadiyah juga terlibat dalam penanganan problem prostitusi. Hal itu ditunjukkan melalui kiprah pejuang kemanusiaan sekaligus aktivis Muhammadiyah di Kecamatan Krembangan, Surabaya. Mereka telah bersinergi dengan pemerintah kota untuk membebaskan Surabaya dari prostitusi.

Tidak hanya dengan lisan, dakwah Muhammadiyah juga menggunakan pendekatan kebudayaan. Misalnya, aktivis Muhammadiyah Krembangan secara sukarela urunan untuk membeli rumah-rumah bordil. Tujuannya adalah mempersempit ruang gerak bisnis prostitusi.

Muhammadiyah Krembangan juga memberikan bantuan modal usaha dan pelatihan keterampilan bagi PSK. Bahkan, hingga kini beberapa mantan PSK masih mendapat pendampingan agar tidak kembali ke dunia hitam. Teladan Muhammadiyah Krembangan harus menjadi inspirasi model dakwah dalam rangka purifikasi kehidupan sosial.

Akhirnya, semoga perayaan hari kelahiran (milad) ke-102 menjadi momentum untuk mengembangkan dakwah Muhammadiyah dari purifikasi agama ke purifikasi sosial. Itu berarti matahari Muhammadiyah harus menyinari seluruh bidang kehidupan. Jika itu dapat diwujudkan, kehadiran Muhammadiyah akan senantiasa dirindukan umat. (*)

http://www.jawapos.com/baca/artikel/9282/Refleksi-Milad-Ke-102-Muhammadiyah

Tuesday, November 18, 2014

Muhammadiyah must boost democratic values

Muhammadiyah must boost
democratic values

Muhammadiyah successfully passed a test of “political temptation” in the 2014 general elections. The nation’s second-largest Islamic organization, which on Nov. 18 commemorated its 102nd anniversary, declined to endorse any of the political parties or presidential candidates.

While some figures from other Islamic organizations joined teams supporting specific candidates, central board members preferred to remain neutral.

Board members also did not complain when no Muhammadiyah cadres were included in President Joko “Jokowi” Widodo’s Cabinet. Certainly, disappointment was expressed, particularly by Muhammadiyah’s youth wing.

However, Muhammadiyah leaders and its members generally accepted the Cabinet formation as the prerogative of the President.    

The neutrality indicates that Muhammadiyah is consistent in staying out of politics, preferring to join campaigns concerning clean governance, accountability and social justice.  As former chairman Syafii Ma’arif (1998-2005) stated, if Muhammadiyah voiced public support for a candidate it would be based on strictly moral considerations.

The success of Muhammadiyah in the post-New Order era is not measured by how many cadres are appointed as ministers, but by the extent to which the movement campaigns for principle values of humanity, freedom, peace and good governance.

Muhammadiyah has played an important role in fighting for those values, both institutionally and interpersonally.

The current political situation requires Muhammadiyah to think more seriously about how to make Islam a means of strengthening democracy, human rights and national identity. Claims that Muhammadiyah figures represent modernist Islamic thought are false if the organization ignores crucial issues arising in the post-New Order era that threaten religious plurality, religious freedom and freedom of expression.

In the past decade, Indonesia has witnessed the rise of “public religion” — a term which scholars refer to as religions that seek to interfere in the public sphere. After the collapse of the New Order, many new Islamic organizations were established. Many of them saw democracy as a new opportunity for Islamizing state and society.

Many of these public religions and their representative organizations threatened principles of democracy. There have been many instances of public religions seeking to punish groups perceived to have deviated from, for example, “true” Islam.

For instance, from 2008 to 2012, the persecution of Ahmadiyah followers increased. The punishment was not only done by attacks on mosques, but also by chasing Ahmadiyah away from their homes.

This period also witnessed stronger campaigning against freedom in interpreting Islam.  Interpretations that differed from certain understandings of Islam began to be regarded as heretical.

As a result, Islamic liberal thinkers have experienced physical and psychological intimidation. Restrictions on Christians establishing churches have also been imposed.

The most recent case is the negative campaigning against a non-Muslim, acting Jakarta governor Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, against his upcoming installment as Jakarta governor.  Sectarian issues dominate the discourse of these public religions.

The emergence of public religions is acceptable as long as they support and strengthen principles of democracy and the nation-state. They should enhance, or at least not disrupt, religious freedom, freedom of expression and religious plurality. It is better if public religions empower and enlighten society and help ensure government accountability.

Therefore, as one of the two biggest Islamic organizations, along with the Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah should move to counter these sectarian voices in the public sphere.

The main point addressed here concerns who is regarded as having an authoritative voice for Islam. If Muhammadiyah does not actively argue against those public religions’ views, Muslims and non-Muslims alike will think they have the most authoritative voice for Islam.

This does not mean that Muhammadiyah has not played a public role. One significant example came in 2000 — 2002 when it rejected efforts to amend the preamble of the Constitution to include a clause mandating that Muslims follow sharia.

Another instance was its campaign for clean governance and against “rotten” politicians. Using a religious approach, Muhammadiyah helped socialize anti-corruption spirit among Muslims.

Muhammadiyah encouraged its Friday sermon preachers and other religious leaders to deliver the message of clean governance.

However, escalating sectarian discourse in the public sphere requires Muhammadiyah to work harder. Its leaders and activists must be more systematic in transforming the movement, and other Islamic movements, into “civil religions” — that is, those that do not fight for religious identity or sectarian issues, but for the common good.

This civil religion enables Muslims to help transform religious teachings into values applicable to society at large.

A civil religion, as the philosopher Jean-Jacques Rousseau noted, is a “secularized religion” concerned with improving modern social and political life.  In this light, instead of strengthening sectarian identities, religions should encourage adherents to appreciate diversity and strengthen national identity.

Such a concept of civil religion does not weaken or undermine Muslims’ devotion to their religion. Instead, the civil religion enables Muslims to imbue religion with new meaning in a modern context.

__________________          

The writer is PhD student in religious studies at the University of Leeds in the UK and a lecturer of Islamic studies at the University of Muhammadiyah Jakarta (UMJ).
Paper Edition | Page: 7
 
http://www.thejakartapost.com/news/2014/11/18/muhammadiyah-must-boost-democratic-values.html

Thursday, November 13, 2014

Absennya Muhammadiyah dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK

Koran SINDO, Kamis,  13 November 2014  −  12:13 WIB

Absennya Muhammadiyah
 
AHMAD NAJIB BURHANI
Peneliti LIPI dan Maarif InstituteMengapa seolah-olah pemerintahan Jokowi-JK mengabaikan Muhammadiyah dalam menyusun Kabinet Kerja 2014- 2019?

Apakah tidak ada profesional dari organisasi yang berdiri sejak 1912 ini yang layak untuk masuk dalam kabinet, termasuk di bidang kesehatan, pendidikan, dan pelayanan sosial, bidang-bidang yang telah ditekuni oleh organisasi ini selama lebih dari satu abad? Apakah pengabaian ini terjadi sebagai akibat sampingan dari survei PPIM tahun 2011 lalu, yang merilis bahwa jumlah warga Muhammadiyah di Indonesia jauh lebih kecil dari klaimnya selama ini?

Ataukah ini terjadi karena pilihan sebagian anggota organisasi ini dan partai yang berbasiskan organisasi ini pada masa kampanye presiden? Banyak pertanyaan yang berkaitan dengan absennya kader inti Muhammadiyah dalam Kabinet Kerja Jokowi- JK.

Pertanyaan-pertanyaan itu semakin deras setelah melihat ada enam kader NU (Nahdlatul Ulama) yang masuk dalam kabinet, yaitu M Hanif Dhakiri (Menteri Ketenagakerjaan), Marwan Jafar (Menteri PDT dan Transmigrasi), Imam Nahrawi (Menteri Pemuda dan Olahraga), Khofifah Indar Parawansa (Menteri Sosial), M Nasir (Menteri Ristek dan Dikti), dan Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama).

Memang ada beberapa menteri yang memiliki latar belakang Muhammadiyah seperti Siti Nurbaja (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan) atau konon direkomendasikan oleh Muhammadiyah seperti Nila F Moeloek (Menteri Kesehatan). Namun, tidak ada kader inti Muhammadiyah yang menjadi menteri.

Maksud dari kader inti di sini adalah mereka mendapat pengaderan di Muhammadiyah dan aktif dalam organisasi ini dalam masa yang cukup panjang. Sering dikatakan, beberapa menteri dari NU itu diangkat bukan karena latar belakang ke-NU-annya, melainkan karena mereka berangkat atau diusulkan oleh PKB atau PPP. Satusatunya yang tidak berangkat dari partai atau profesional adalah Khofifah Indar Parawansa yang dalam masa kampanye presiden merupakan anggota tim inti dan juru bicara Jokowi-JK.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah tidak ada orang Muhammadiyah dalam tim inti pemenangan Jokowi-JK? Ada beberapa nama dari Muhammadiyah yang masuk tim inti Jokowi-JK, seperti Rizal Sukma, Abdul Munir Mulkhan, dan Malik Fadjar. Bahkan berbeda dari Said Aqil Siradj, ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yang secara tegas memberikan dukungan kepada Prabowo-Hatta, Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin berusaha bersikap netral selama kampanye.

Konon Rizal Sukma yang merupakan direktur eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan ketua bidang hubungan luar negeri pimpinan pusat Muhammadiyah sudah masuk sebagai calon menteri luar negeri, namun namanya dicoret pada keputusan akhir.

Apakah ini karena dia dari CSIS yang dulu dikenal sebagai think tank Orde Baru, dekat dengan kalangan Kristen, dan dekat dengan konglomerat? Jawabannya tentu ada di Jokowi dan orangorang yang terlibat dalam keputusan akhir. Dugaan lain tentang absennya Muhammadiyah di kabinet Jokowi adalah karena Partai Amanat Nasional (PAN) yang dulu kelahirannya dibidani oleh Muhammadiyah memilih berkoalisi dengan Gerindra untuk mengusung Prabowo-Hatta sebagai calon presiden dan wakil presiden.

Dan dalam beberapa survei, warga Muhammadiyah lebih banyak yang mendukung Prabowo-Hatta dari pada Jokowi-JK. Ini barangkali dugaan terkuat mengapa tidak ada orang Muhammadiyah yang menjadi menteri. Pilihan politik PAN berdampak pada Muhammadiyah. Namun demikian, mengidentikkan Muhammadiyah dengan PAN tentu tak sepenuhnya tepat mengingat hubungan keduanya tak seperti dulu lagi.

Di samping itu, kini banyak pimpinan PAN yang bukan berasal dari Muhammadiyah termasuk ketua umumnya, Hatta Rajasa. Ada lagi yang menduga, meski kemungkinannya sangat kecil, bahwa tiadanya kader inti Muhammadiyah yang menjadi menteri adalah akibat sampingan dari survei yang dikembangkan oleh The Asia Foundation (TAF), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2010.

Dari survei yang di antaranya diterbitkan oleh Robin Bush (2014) dalam artikelnya yang berjudul “A snapshot of Muhammadiyah social change and shifting markers of identity and values “ itu, disebutkan bahwa jumlah responden yang menyatakan diri berafiliasi dengan NU berjumlah 49%, sementara yang berafiliasi dengan Muhammadiyah hanya 7,9%.

Angka ini kemudian sering dipakai untuk menarik kesimpulan bahwa warga Indonesia yang berafiliasi ke NU hampir mencapai 50%, sementara warga Indonesia yang Muhammadiyah tidak ada 10%. Kesimpulan ini kemudian dipakai sebagai alat untuk merevisi pandangan sebelumnya, yang didasarkan klaim masingmasing organisasi, bahwa beda antara jumlah warga Muhammadiyah dan NU itu hanya 10 juta orang.

Jika NU memiliki 40 juta anggota, Muhammadiyah memiliki 30 juta warga. Atau, jika 40% dari umat Islam Indonesia secara tradisi adalah warga NU, 30% orang Indonesia adalah Muhammadiyah. Sisanya adalah mengikuti organisasi lain.

Apa konsekuensi dari penelitian PPIM, TAF, dan LSI itu? Ternyata jumlah warga Muhammadiyah tidak sesignifikan yang selama ini dibayangkan. Karena itu, Muhammadiyah bisa diabaikan dalam pembentukan kabinet. Tidak ada keharusan mengangkat menteri dari organisasi yang jumlah warganya kurang dari 10% warga Indonesia ini.

Asumsi di atas, yang didasarkan pada jumlah kepala, tentu tak sejalan dengan kontribusi yang diberikan oleh Muhammadiyah kepada bangsa ini. Di Jawa Timur, misalnya, meski warga Muhammadiyah jauh lebih kecil dari NU, organisasi ini telah menyumbangkepada bangsadalam bentuk pendirian sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, pusat pelayanan sosial hampir di setiap kota dari propinsi itu.

Belum lagi jumlah sekolah, rumah sakit pusat pelayanan sosial yang diberikan oleh Muhammadiyah di provinsi- provinsi lain di Indonesia. Persoalan lain yang berkaitan dengansurvei itu adalah berkaitan dengan metode, kebenaran data, dan kesimpulan. Jika diasumsikan semuanya benar, kemudian pertanyaannya adalah berkaitan dengan perbedaan karakter warga dan organisasi.

NU lebih merupakan budaya, sementara Muhammadiyah adalah organisasi. Orang yang melaksanakan tradisi NU seperti selamatan dan tahlilan akan dengan mudah mengasosiasikan dirinya dengan NU. Sementara di Muhammadiyah, orang yang tidak menjadi pengurus organisasi atau pernah sekolah di Muhammadiyah kadang enggan mengidentifikasi diri sebagai bagian dari Muhammadiyah.

Jadi, meski orang terus menduga-duga tentang absennya Muhammadiyah di kabinet, satu hal yang saya yakin adalah bahwa Muhammadiyah akan terus mengabdi kepada negeri ini meski tak ada anggotanya yang menjadi menteri. Sementara dari pihak Jokowi-JK, keputusan tak memasukkan orang Muhammadiyah adalah sikap kurang mengapresiasi kontribusi organisasi ini untuk bangsa.

(bbg)

http://nasional.sindonews.com/read/923655/18/absennya-muhammadiyah-1415855594