Friday, July 2, 2010

Nakhoda bagi Kapal Muhammadiyah

Kompas, Jumat, 2 Juli 2010 | 03:25 WIB

Oleh H Maizar Dt Tantamo

Bermula dari komunitas pengajian ”Sidratul Muntaha” di Kampung Kauman, Yogyakarta, hampir seabad lalu Muhammadiyah lahir, berkembang, dan meluas, baik populasi pengikutnya maupun kegiatan amal usahanya.

Ibarat bahtera yang mengarungi samudra, kelaikan kapal dan kepiawaian sang nakhoda- lah yang selama ini membuat Muhammadiyah dapat bertahan di tengah gelombang dan badai.

Organisasi keagamaan ini berdiri dalam situasi amat sulit pada 8 Zulhijah 1330 Hijriah, atau 18 November 1912, ketika kekuasaan kolonial Belanda mencengkeram kuat bumi Nusantara. Kondisi politik sangat tak kondusif bagi tumbuhnya pergerakan keagamaan berdasarkan ideologi yang bertolak belakang dengan pemerintah kolonial.

Semangat pemurnian dan pembaruan yang dibawa pendirinya—KH Ahmad Dahlan—juga kontradiktif dengan kondisi umat Islam yang ketika itu terbenam dalam kejumudan, terbiasa melakukan amalan mistik dan sinkretisme. Penolakan terhadap pembaruan justru datang dari lingkungan umat Islam sendiri. Namun, Muhammadiyah kini adalah satu dari dua organisasi besar keagamaan di Indonesia, di samping Nahdlatul Ulama (NU).

Sesungguhnya, kunci keberhasilan Muhammadiyah dalam melewati masa sulit di awal kelahirannya dan kemudian berkembang adalah semangat pembaruan yang dikobarkan Ahmad Dahlan, yakni ajaran Islam yang berlandaskan Alquran dan hadis. Peran sosial Muhammadiyah adalah kunci sukses lain. Di balik itu semua, peranan pimpinan menjadi satu faktor penentu.

Untuk ”kapal” Muhammadiyah, nakhoda piawai tak hanya sekadar terampil menjaga kemudi dan memahami seluk-beluk perangkat kapal. Dia juga harus pandai membaca arah angin, mampu membangun motivasi dan menjaga kerja sama awak kapal, mempunyai karisma dan aura yang membuat penumpang tetap tenang tatkala laut bergelombang. Nakhoda bukan sekadar manajer. Dia harus menjadi pengayom yang bijaksana.

Ahmad Dahlan adalah nakhoda yang memiliki semua itu. Dia selamat pada masa kekuasaan Belanda. Kepada umat yang terjerumus pada perbuatan bidah dan khurafat, ia tampil sebagai penyeru dengan penuh hikmah dan bijaksana karena dia menghayati suasana batin yang menerpa umat. Model kepemimpinan inilah yang jadi acuan pimpinan berikutnya. Sejarah membuktikan, Muhammadiyah berhasil melewati zaman yang penuh gejolak. Muhammadiyah lahir pada masa pemerintah kolonial Belanda menerapkan politik etis, dan mampu tumbuh di era penjajahan Jepang yang bengis. Di masa kemerdekaan, Muhammadiyah tetap berkembang, baik di bawah pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru. Salah seorang pemimpin, Amien Rais, kemudian dikenal sebagai pembawa obor Reformasi.

Dalam perjalanan hampir seabad, ada masa pasang dan surut. Di samping faktor di luar organisasi, kepemimpinan memengaruhi maju mundurnya organisasi, apalagi ia kini sudah jadi kapal besar yang membawa penumpang dengan perangkat yang sedemikian besar. Kompetensi, talenta, dan kearifan jadi suatu keniscayaan bagi pemimpinnya.

Pemimpin sewajarnya menghayati betul kultur komunitas yang dia pimpin. Figur pemimpin yang lahir dan dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah, yang sudah terbiasa hidup bersahaja dan mau turun ke bawah, lebih berpotensi membawa kemajuan bagi persyarikatan. Dia hendaknya akomodatif dan mampu bergaul dekat dengan berbagai kalangan—termasuk pemerintah —tanpa harus mengorbankan prinsip dan akidah.

Kepemimpinan ke depan

Peristiwa dalam Muktamar Muhammadiyah di Ujung Pandang (Makassar) hampir 40 tahun lalu perlu dipahami kembali. Muktamar memilih Buya Malik Ahmad sebagai ketua, tetapi dia tidak bersedia dengan alasan demi keselamatan Muhammadiyah. ”Agar kegiatan yang diprogramkan persyarikatan bisa berjalan lancar, Muhammadiyah perlu menjalin hubungan baik dengan pemerintah. Akan tetapi, karena saya pribadi hubungannya kurang harmonis dengan pemerintah (Soeharto), maka sebaiknya saya jangan ditempatkan jadi orang nomor satu, biarlah yang lain,” demikian dikatakan.

Ambisi pribadi dikalahkan pertimbangan kepentingan organisasi. Maka, Buya AR Fachruddin, yang dikenal sangat bersahaja, merakyat, dan diterima banyak kalangan, termasuk pemerintah, tampil kembali sebagai ketua. Beliau akhirnya jadi pemegang rekor terlama memimpin, 22 tahun (1968-1990).

Dengan semangat itulah hendaknya kepemimpinan Muhammadiyah diteruskan. Masyarakat dewasa ini tengah berada dalam keadaan tidak mudah. Korupsi kini meluas, dan jadi penyakit utama yang membuat negara dan bangsa susah bangkit dari ketertinggalan. Penegakan hukum jadi masalah besar. Kemiskinan masih tinggi. Kesehatan masyarakat belum menggembirakan. Angka putus sekolah masih tinggi dan berdampak pada mutu sumber daya manusia yang harus menghadapi persaingan global. Kemajuan teknologi informasi tak sekadar membawa manfaat positif, tetapi juga dampak negatif.

Dalam konteks itulah selayaknya semangat pembaruan Muhammadiyah diaktualisasikan. Sebaiknya, peran sosial—antara lain pendidikan, layanan kesehatan, penyaluran zakat—Muhammadiyah diabdikan, ditunjukkan lebih dari yang sudah-sudah. Demokrasi perlu rasa kebersamaan tulus, menghormati pluralisme dalam kesetiakawanan. Tanpa mengorbankan prinsip dan akidah, adalah masanya kini ”kapal” Muhammadiyah membawa masyarakat mengarungi samudra kehidupan dalam zaman yang tantangannya sudah sangat berbeda. ”Kapal” itu kini memerlukan nakhoda yang memiliki nilai lebih dalam hal kompetensi, talenta, dan kearifan.

H Maizar Dt Tantamo Ketua Majelis Wakaf dan Zakat, Infak, dan Sedekah; Pimpinan Pusat Muhammadiyah

No comments:

Post a Comment