Muktamar Seabad Muhammadiyah, 3-8 Juli 2010
Oleh Abd. Sidiq Notonegoro
BUKAN faktor kebetulan bila Muktamar Ke-46 Muhammadiyah ini dilangsungkan di Jogjakarta. Ini sangat berkaitan dengan usia Muhammadiyah yang mencapai seabad. Perhitungan seabad itu didasarkan pada penanggalan Hijriah. Muhammadiyah lahir di Kauman (Jogjakarta) pada 8 Zulhijah 1330 Hijriah.
Jika dipertemukan dengan momentum penyelenggaraan muktamar ke-46 ini, usia Muhammadiyah sesungguhnya telah mencapai bilangan 1 abad 6 bulan. Sebab, 8 Zulhijah 1430 Hijriah jatuh pada 25 November 2009.
Dijadikannya Jogjakarta sebagai tempat muktamar ke-46 ini secara tersirat memberikan pesan agar etos perjuangan KH Ahmad Dahlan -sebagai founding father Muhammadiyah- dan jejak perjuangannya tidak gampang dihapus para ahli warisnya sebagai karya pemikiran serta perjuangan yang brilian.
Sebaliknya, semangat tersebut harus menjadi warisan yang mengkristal dalam sanubari setiap anggota dan atau kader Muhammadiyah. Terlebih bila kita sudi menilik kembali semangat muktamar kali ini yang bertema Muktamar Satu Abad Muhammadiyah: Gerak Melintas Zaman, Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama, sudah cukup jelas hendak dibawa ke mana cita-cita Muhammadiyah tersebut.
Tema itu, selain mencerminkan kebanggaan Muhammadiyah yang sejak 1912 hingga kini masih setia mendampingi masyarakat bangsa Indonesia dalam melintasi zaman (mulai zaman perjuangan kemerdekaan, zaman pergerakan nasional, zaman kemerdekaan, zaman pembangunan, hingga zaman reformasi), juga mencerminkan cita-cita atau harapan ideal untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai bagian dari peradaban utama manusia. Muhammadiyah tidak sekadar mendampingi, tapi juga membimbing, mendidik, mengarahkan, serta berupaya menjadikannya sebagai masyarakat utama.
Dalam hal ini, peradaban utama yang dicita-citakan Muhammadiyah, sebagaimana dinyatakan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (Sekum PP) Muhammadiyah Haedar Nashir, adalah terdapatnya keseimbangan dalam kebudayaan masyarakat atau bangsa antara kemajuan rohaniah, intelektual, moral, dan material serta aspek-aspek kebudayaan lain sehingga terjadi kehidupan yang harmonis tapi tetap dinamis. Hanya, menurut catatan Nashir, itu semua masih dalam spektrum idealitas yan sangat membutuhkan kerja-kerja intelektual yang lebih unggul.
Selain masalah tema muktamar, hal yang tidak lazim diabaikan adalah ditetapkannya Jogjakarta sebagai tempat muktamar seabad ini dalam konteks historis. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa Muhammadiyah lahir di Jogjakarta pada 8 Zulhijah 1330 Hijriah/18 November 1912. Hal lain lagi adalah menghidupkan kembali semangat pembaruan (tajdid) KH Ahmad Dahlan yang kian hari kian luntur.
Lebih ironis, tidak sedikit warga -bahkan sebagian elite pimpinan- Muhammadiyah yang kehilangan rasa bangga sebagai warga Muhammadiyah. Mereka lebih bangga dicap sebagai kelompok lain, meski tidak jarang kelompok lain itu sedikit banyak merugikan Muhammadiyah.
Kembali Menuju Tajdid Pemikiran
Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang ada sekarang sangat banyak dan tersebar hampir di seluruh pelosok Nusantara. Jumlah warga dan kader Muhammadiyah juga telah mencapai puluhan juta jiwa. Itu merupakan aset yang sangat potensial untuk menopang pergerakan Muhammadiyah pada masa depan.
Lembaga pendidikan Muhammadiyah sangat berpeluang mereproduksi kader-kader intelek yang mampu menyumbangkan buah pemikirannya bagi dunia Islam. Semangat pembaruan dan modernisasi gerakan Islam di Indonesia hampir bisa dipastikan berada dalam kendali Muhammadiyah.
Persoalannya, memasuki era reformasi -yang digelindingkan kader Muhammadiyah Amien Rais-, Muhammadiyah justru kehilangan kesempatan untuk mengambil peran. Lima tahun pertama pascareformasi, Muhammadiyah dalam kepemimpinan Buya Syafi'i Ma'arif masih menampakkan sinar terangnya untuk menjadi kawah candradimuka intelektual Islam di Indonesia.
Dalam struktur organisasi Muhammadiyah, bila sebelumnya Majelis Tarjih hanya dikerangkeng dalam persoalan fikih dalam pengertian mikro, kini perannya mulai dikembangkan. Majelis Tarjih kemudian berganti nama menjadi Majelis Tarjih dan Pemikiran Islam yang memiliki tugas tambahan. Yaitu, membantu Pimpinan Persyarikatan dalam mempersiapkan dan meningkatkan kualitas ulama dan mengarahkan perbedaan pendapat/paham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat. Ada harapan, dengan berubah nama tersebut, dinamika pemikiran Islam berkembang pesat di Muhammadiyah.
Harapan tersebut hampir menjadi kenyataan. Munculnya Abdul Munir Mulkhan, Amin Abdullah, Haedar Nashir, Moeslim Abdurrahman, dan Muhadjir Effendi mampu menggerakkan dinamika pemikiran Islam di Muhammadiyah yang hampir padam. Harapan itu semakin mendekati kenyataan dengan munculnya kader-kader muda Muhammadiyah yang juga memiliki gairah dalam dunia pemikiran Islam. Mereka itu tidak muncul begitu saja, tapi merupakan dampak dari kultur yang sudah dibiakkan para intelektual muslim tersebut.
Anak-anak muda yang saat itu pemikiran-pemikirannya cukup menghidupkan panggung intelektual Islam di Indonesia, antara lain, Zakiyuddin Baidhawy, Abdul Rahim Ghazali, Sukidi, Ahmad Nadjib Burhani, serta Piet Khaidir. Pemikiran anak-anak muda itu menjadi buah bibir dalam ranah nasional.
Benih yang baru tumbuh tersebut kemudian tak terawat dengan baik. Sejak Muktamar Ke-45 Muhammadiyah di Malang pada 2005, mereka kurang mendapat perhatian. Untungnya, secara kultural, anak-anak muda tersebut masih menjalin komunikasi intensif melalui wadah yang dibentuk dengan nama Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).
Karena itu, Muktamar Seabad Muhammadiyah ini merupakan muktamar pertaruhan dalam menyongsong masa depan. Sebagai gerakan pembaru Islam di Indonesia, Muhammadiyah patut menjadi kawah candradimuka lahirnya pemikir-pemikir besar dalam bidang sosial, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
Bila para muktamirin berpikir picik dengan hanya meributkan perbedaan paham dalam soal penafsiran agama, sehingga energi intelektual menguap musnah, tema besar tersebut tidak lebih dari sebuah pepesan kosong yang tidak berarti. (*)
Abd. Sidiq Notonegoro, aktivis PW Pemuda Muhammadiyah Jatim
No comments:
Post a Comment