Thursday, July 1, 2010

Terobosan Kiai Dahlan

Republika, 02 Jul 2010
Editorial

Terobosan. Bahasa keren-nya transformasi. Istilah itu yang selalu terbayang setiap teringat nama Kiai Achmad Dahlan. Membuat yang jauh lebih dekat. Membikin tertembus yang terhalang. Menjadikan suatu keadaan berubah secara mendasar dalam waktu yang relatif singkat. Itu terjadi sekitar 100 tahun lalu.

Saat itu, kemakmuran Belanda tengah melesat. Keadaan yang membuat negara kecil itu tak kalah pamor dengan para tetangganya yang lebih besar, seperti Inggris dan Prancis. Apalagi, dibandingkan Spanyol yang justru sedang surut. Kemakmuran itu terbangun dari akumulasi kapital di tanah jajahannya ini. Hindia Belanda.

Perkebunan yang digarap lewat program tanam paksa pasca-Perang Diponegoro dan Perang Paderi telah memberikan kemakmuran luar biasa. Dawam Raharjo menyebutkan, jika akumulasi modal itu ditanamkan untuk industrialisasi di sini, Nusantaca akan menjadi kawasan paling maju di dunia. Lebih dari Amerika Serikat atau bangsa lain manapun. Tahun 1901, Raja Thailand berkunjung ke Jawa untuk belajar industri pertanian.

Alih-alih anak negeri ini mendapat berkah dari kemakmuran itu, yang terjadi justru sebaliknya. Kemiskinan adalah potret utama bangsa ini. Ditambah kebodohan dan satu lagi, kemalasan, menjadikan bangsa ini sempurna sebagai bangsa terjajah. Keadaan itu mengusik hati kiai muda Yogya yang baru pulang mesantren di Makkah. Ia sangat yakin, bangsa dan umat harus berubah. Perubahan yang diperlukan adalah perubahan mentalitas yang berakar pada kesadaran beragama, kesadaran berbangsa, serta kesadaran sosial.

Meluruskan arah kiblat di Masjid Agung Yogya yang menggemparkan hanya salahsatu sarana Kiai Dahlan untuk membuka kesadaran beragama. Beragama tak cukup dengan taklid dan dogma. Beragama perlu Iandasan kesadaran rasional. Peradaban Barat selama berabad-abad gelap akibat cengkeraman dogmatis lembaga keagamaan. Renaisans membebaskannya dengan kesadaran rasional hingga Barat mencapai kemajuan seperti sekarang. Kiai Dahlan membangun Renaisans serupa bagi umat dan bangsanya.

Sekolah, rumah sakit, panti asuhan, hingga rumah miskin adalah jejak Renaisans dari Kiai Dahlan. Begitu pula, para kadernya yang menyebar di seluruh wilayah Nusantara. Jejak-jejak tersebut tak terbentuk begitu saja. Sangat banyak tantangan hingga larangan pemerintah penjajah yang harus dihadapi. Baru tahun 1912, Kiai Dahlan boleh resmi mengorganisasikan gerakannya. Saat itu, politik etis Belanda menguat. Mereka merasa bersalah telah menjajah secara keterlaluan. Mereka ingin menjajah secara lebih manusiawi. Iklim politik diperlonggar, kegiatan kelompok keagamaan diizinkan. Bukan hanya Muhammadiyah, melainkan juga Katolik yang sebelumnya terlarang karena Hindia Belanda ini sudah dipatok sebagai wilayah misi Protestan.

Terobosan Kiai Dahlan berbuah pada kebangkitan bangsa dan umat. Indonesia merdeka. Muhammadiyah ada di mana-mana. Tapi, Renaisans umat dan bangsa belum selesai. Potret kemiskinan, kebodohan, serta moral rendah masih mendominasi wajah bangsa ini. Keadaan yang akan memaksa para kader Muhammadiyah memilih. Cukup puas mengelus-elus organisasi warisan Kiai Dahlan atau akan kembali mengobarkan semangat terobosannya?

Saya percaya para pewaris Kiai Dahlanakan memilih jalan kedua Menggali dan mengobarkan jiwa terobosan Pak Kiai. Walaupun dengan jalan terjal. Termasuk dengan membongkar total organisasi. Ormas sudah harus ditinggalkan, diganti lembaga dakwah, pendidikan, dan sosial modern. Indonesia sekarang dan masa depan tak lagi perlu ormas. Negara-negara maju dan makmur tidak punya ormas, tetapi lembaga profesional. Landasannya bukan lagi massa, melainkan ukuran kinerja yang jelas. Bila Muhammadiyah seperti itu, sekolahnya yang berserak diangkat untuk sekelas Al-Hikmah, Penabur, atau Insan Cendekia yang lebih maju. Muhammadiyah juga akan mampu membuat sekolah bermutu gratis seperti yang sudah mulai dikembangkan lembaga lain.

"Bangsa dan umat ini perlu berubah secara mendasar untuk maju." Keyakinan itu yang menjadi Iandasan sikap dan gerak Kiai Dahlan. Keyakinan itu semestinya dimiliki seluruh umat dan bangsa ini agar dapat mengejar ketertinggalan dibandingkan bangsa dan umat lain. Tentu juga oleh Muhammadiyah yang saat ini masih berupa ormas dengan struktur dan kepengurusan nggedabyah. Muhammadiyah perlu menjadi ormas pelopor berani dan mampu mengubah diri menjadi lembaga modern. Lembaga yang ramping, efektif, berspirit tinggi, dengan ukuran kinerja jelas. Muhammadiyah seperti itulah, bukan Muhammadiyah kopong seperti sekarang, yang dibangun Kiai Dahlan.

Sejarah menunggu apakah Din Syamsuddin dan para tokoh Muhammadiyah lain memang mempunyai integritas dan kapasitas setfagai pewaris Kiai Dahlan, yang mampu membuat terobosan bagi umat dan bangsa. Muktamar Muhammadiyah sekarang menjadi cermlnnya.

No comments:

Post a Comment