Saturday, December 17, 2016

Beda Jamiyah dengan Jamaah

Koran Sindo, 15 Des 2016.

Ma'mun Murod Al-Barbasy
Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ,
Pemerhati Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama

MENJELANG Aksi Damai Jilid II 4 November 2016, yang kemudian dikenal dengan Aksi Damai 411, dua ormas besar di Indonesia: Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) secara organisatoris (jamiyah) mengeluarkan imbauan yang hampir senada, agar warga (jamaah) yang mengikuti aksi tersebut tidak membawa atribut organisasi. Imbauan ini juga berlaku untuk Aksi Superdamai Jilid III pada 2 Desember 2016.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengimbau agar jamaah-nya tidak membawa atribut Muhammadiyah dalam aksi itu, karena mereka (aksi) selaku warga negara. Meski demikian, Mas Haedar menyatakan bahwa Aksi Damai 411 merupakan wujud penyampaian aspirasi dalam berdemokrasi. 

Bahkan Mas Haedar meminta agar pemerintah dan Polri sensitif dalam merespons aspirasi umat dalam menangani kasus penistaan agama seperti yang dituntutkan. Jika terkesan menunda, mengulur, atau seolah mengambangkan, justru akan menambah persoalan makin meluas (30/10/2016).

Ketua Tanfidziyah PBNU KH Said Aqil Siradj juga melarang simbol-simbol NU dipakai dalam Aksi Damai 411. Kalau ada simbol-simbol NU, dikhawatirkan ada pihak ketiga yang memanfaatkannya. PBNU tak ingin simbol NU dipakai untuk tujuan di luar kepentingan jamiyah NU. 

Kiai Said juga meminta semua warga NU tidak ikut-ikutan memperkeruh suasana dengan provokasi dan hasutan. Karenanya, Kiai Said meminta warga NU tidak ikutan (unjuk rasa). Kalaupun ada yang terpaksa ikut, Kiai Said berharap tidak ada simbol-simbol NU yang dipakai (28/10/2016).

Jamaah Tak Patuh Lagi pada Jamiyah
Meski sama-sama mengeluarkan imbauan terkait tidak bolehnya menggunakan simbol jamiyah, dalam menyikapi Aksi Damai 411 tampak ada perbedaan antara Muhammadiyah dan NU. Sikap Muhammadiyah tampak lebih lunak, bahkan cenderung ”mendukung” Aksi Damai 411. Dalam pandangan Muhammadiyah, Aksi Damai 411 semata hanya menyikapi penistaan terhadap Alquran yang dilakukan oleh Ahok. Tak ada kaitannya dengan masalah toleransi dan kebinekaan, apalagi terkait persoalan Pancasila dan NKRI.

Berbeda dengan itu, sikap NU terlihat lebih kaku dan menampakkan ketaksetujuan. NU tidak sekadar mengimbau jamaah-nya tidak menggunakan simbol-simbol NU, tapi juga memintanya tidak ikut aksi. Ada nada ”penggembosan”, bahkan nada ini semakin terlihat dalam menyikapi Aksi Superdamai 212. PBNU, misalnya, sampai harus mengeluarkan fatwa soal ketidaksahan salat Jumat di jalanan. Padahal, PBNU tentu tahu bahwa masalah salat Jumat di jalanan itu persoalan ikhtilaf di antara para ulama mazhab.

Lalu bagaimana jamaah Muhammadiyah dan NU menyikapi imbauan jamiyah-nya? Dalam Aksi Damai 411, praktis jamaah Muhammadiyah tidak mematuhi imbauan jamiyah-nya. Ketakpatuhan ini sepertinya karena jamaah melihat sikap lunak PP Muhammadiyah. 

Meski mengimbau jamaah-nya tidak memakai simbol-simbol Muhammadiyah, PP Muhammadiyah seperti melakukan pembiaran ketika kantor PP Muhammadiyah dijadikan sebagai posko aksi. Ketika mendapati Kantor PW Muhammadiyah Jakarta di Kramat Raya dijadikan Posko Pusat Keberangkatan peserta Aksi Damai 411 dari perwakilan jamaah Muhammadiyah se-Indonesia pun PP Muhammadiyah tak bereaksi.

Beberapa PW dan banyak PD Muhammadiyah bahkan mengoordinasikan jamaah-nya yang akan mengikuti Aksi Damai 411. Jamaah Muhammadiyah juga membentuk kesatuan aksi yang diberi nama Kokam (Komando Kawal Al-Maidah), nama yang dilekatkan kepada Kokam yang berada di bawah naungan Pemuda Muhammadiyah.

Selama berlangsungnya aksi, simbol-simbol Muhammadiyah seperti bendera Muhammadiyah dan organisasi otonom juga berkibar di jalan. Beberapa elite Muhammadiyah tingkat pusat, wilayah, dan daerah turun langsung, ikut Aksi Damai 411.

Begitu juga warga nahdliyin, mereka tidak patuh menjalankan imbauan PBNU untuk tidak mengikuti Aksi Damai 411. Kalau selama ini NU sering mengklaim sebagai ormas terbesar di Indonesia dengan jumlah anggota mencapai puluhan juta, yang salah satu klaimnya biasanya didasarkan pada kebiasaan praktik ritual keagamaan yang mereka lakukan, maka hampir pasti peserta terbesar Aksi Damai 411 adalah warga nahdliyin.

Muhasabah bagi Muhammadiyah dan NU
Ketakpatuhan jamaah Muhammadiyah dan NU terhadap imbauan jamiyah-nya patut menjadi perenungan (muhasabah) bagi Muhammadiyah dan NU. Perenungan yang penting dilakukan setidaknya pada dua hal. 

Pertama, 
terkait positioning Muhammadiyah dan NU. Selama ini Muhammadiyah dan NU kerap menyebut diri atau diposisikan sebagai representasi muslim Indonesia. Muhammadiyah dan NU selama ini diidentikkan sebagai organisasi yang mempunyai watak kemasyarakatan moderat (tawasuth), toleran (tasamuh), dan seimbang (tawazun). Secara konseptual, tentu watak ini sejalan dengan prinsip Islam, namun dalam praktiknya justru cenderung lebih dekat pada mentalitas yang sekadar ”mencari aman”. 

Kedua, semakin berjaraknya jamiyah dengan jamaah. Ini juga perlu jadi perenungan. Sekadar contoh, ketika beredar berita bahwa Ahok akan datang ke Muhammadiyah untuk menjelaskan masalah terkait Al-Maidah 51, kontan rencana ini mendapat penolakan keras dari jamaah Muhammadiyah. Rencana pertemuan ini akhirnya dibatalkan sepihak oleh Ahok. 

Kesediaan PP Muhammadiyah menerima Ahok tentu dimaksudkan untuk menjaga jarak, atau bahkan kedekatan yang sama dengan semua kandidat dalam Pilkada DKI Jakarta. Namun, menerima Ahok di kala hati umat Islam tengah terluka karena ulahnya yang menista Alquran, justru dinilai sebagai tidak nyambungnya jamiyah dengan jamaah.Begitu juga NU. Hadirnya sebagian besar nahdliyin pada Aksi Damai 411 di kala PBNU mengimbau untuk tidak mengikuti aksi tersebut, bisa dimaknai sebagai semakin berjaraknya jamiyah NU dengan jamaah-nya. Bahwa kebanyakan mereka yang hadir tidak membawa simbol-simbol NU juga hendaknya tidak dimaknai sebagai bentuk kapatuhan terhadap imbauan PBNU. Sebaliknya, mesti dipahami sebagai bentuk kemasabodohan jamaah NU terhadap jamiyah-nya. 

Realitas saat ini, di level akar rumput sekalipun, tingkat ketergantungan jamaah NU terhadap jamiyah-nya tidak lagi seperti ketika awal-awal NU lahir hingga 1980-an, di mana kata sami’na wa atha’na (kami dengar, kami taat) selalu mewarnai relasi jamaah dengan jamiyah-nya. Jamaah nyaris tanpa reserve mendengar dan taat terhadap apa pun yang dititahkan jamiyah atau para kiainya. 

Dalam perkembangannya, sekarang jamaah NU tak lagi gampang untuk sami’na wa atha’na kepada jamiyah-nya, termasuk para kiainya. Saat ini kesadaran jamaah untuk sami’na wa atha’na praktis hanya dalam hal yang terkait dengan persoalan fikih. Bahkan fikih pun ranahnya begitu sempit, sebatas fikih ibadah(mahdzah) yang bersifat personal.

Terkait muamalah, terutama dalam soal politik, sosial dan kemasyarakatan, jamiyah NU atau pun kiai tak lagi menjadi sandaran atau tempat bertanya yang utama. Penyebab dominan pudarnya relasi ini karena ketaknyambungan antara jamiyah dan jamaah atau antara kiai dan jamaah. 

Dan ketaknyambungan ini penyebabnya lebih banyak karena perubahan perilaku kiai atau mereka yang tengah menduduki jabatan di NU. Di awal-awal berdirinya NU, posisi kiai benar-benar dekat dan menjadi pembela jamaah—Geertz (1960) menyebutnya sebagai makelar budaya (cultural brokers). 

Sekarang sebagian (elite) kiai sudah berubah menjadi makelar politik (political brokers), broker pilkada, pilgub, pilpres dan kerja-kerja lainnya yang sama sekali tak ada kaitan dengan tugas kekiaian. Kiai lebih suka bersikap abu-abu–tentu tak lupa mencari pembenaran fikih, termasuk pembenaran ke-tawasuth-an dan ke-tasamuh-an–di kala umat membutuhkan ketegasan sikapnya, terutama terkait masalah akidah, sosial, dan politik.

Dengan perubahan peran kiai ini, ke depan bisa jadi jamiyah NU tidak saja akan ditinggalkan jamaah-nya untuk sekadar bertanya terkait masalah sosial dan politik, tapi juga dalam masalah fikih ibadah sekalipun. Bisa jadi kiai tidak akan lagi menjadi tempat untuk bertanya. Wallahu a’lam. 

http://nasional.sindonews.com/read/1163202/18/beda-jamiyah-dengan-jamaah-1481798523


Wednesday, December 14, 2016

Sunday, November 27, 2016

SEA Muslim Youth Peace Mission including two Indonesians visiting Japan soon


                          Mitsuo Nakamura
        20 November, 2016
                                   Tokyo, Japan

TAMU = “Talk with Muslims”
TAMU (= acronym for “Talk with Muslims”) Project launched recently by the Japan Foundation is inviting 7 (seven) Muslim young men and women from Southeast Asian countries to Japan to engage in dialogue with Japanese young men and women. The project is aimed at countering the rise of Islamophobia in Japan by promote the understanding on Islam among the Japanese counterpart. They will present the moderate and peaceful nature of Islam as it is believed and practiced in Southeast Asia. Several scholars of Islamic studies of Japan, including Dr. Mitsuo Nakamura, Professor Emeritus of Chiba University and Dr. Ken Miichi, Associate Professor of Iwate Prefectural University, in collaboration with Prof. Dr. Azyumardi Azra CBE of UIN Jakarta, Dr. Ahmad Najib Burhani of LIPI/Muhammadiyah and Mr. Ahmad Suaedy of Ombudsman RI/Wahid Institute, from the Indonesian side, formulated the initial idea for the project last year. Their initiative was well received by Dr. Tadashi Ogawa, then Director of Jakarta Office of the Japan Foundation, and has become an officially instituted program supported by the government funding for the current fiscal year. The project is expected to last at least for five years until 2020.

“Seven Young Muslim Samurais” Visiting Japan
The first year’s “TAMU Project” invites to Japan seven young Muslim activists from Southeast Asia. They include two Indonesians (Ahmad Imam Mujadid Rais, Maarif Institute, and Rifqi Fairuz, Gusdrian Network), one Malaysian (Nurul Hafizah Binti Mohamad Ramli, International Islamic University), two Thais (Fadel Heeyama, Save the Children International, and Fitra Jewoh, Thai-European Business Association), and one each from the Philippines (Ruhollah al-Hussein J. Alonto, Institute of Bangsamoro Studies) and Singapore (Goh Muhammad Redhuan, Majlis Ugama Islam Singapore). The number of invitees is expected to increase in the coming years.

Program: Talks with Japanese Youth
During the ten days stay in Japan, 21-30 November, the TAMU participants are first going to be briefed in Tokyo on Japanese society and religion and Japan’s relationship with Islam and the Islamic World. Then, they will visit Sophia UniversityCatholic college established by Jesuits in 1913to attend a meeting for exchange with Japanese scholars of Islamic studies hosted by Prof. Midori Kawashima. They will also visit Chuo University (one of the leading private universities in Tokyo since 1920) for dialogue with students hosted by Prof. Hisanori Kato, as well as Toyo Eiwa Jogakuin Senior High School (Protestant girls school established by Canadian Methodist missionary in 1884) for school tour and exchange with students, hosted by Prof. Tsuyoshi Kato. On Friday, 25 November, the TAMU participants will join the noon prayers at Tokyo Camii Mosque (Turkish Culture Center) and have talks with fellow Muslims living in Japan.

Visiting the Region hit by Great Earthquake & Tsunami
The latter half of the program will be conducted in the Iwate Prefecture hosted by Dr. Miichi. The participants will visit the town of Otsuchi for viewing local cultural performance and its role for community development. They will also observe the activities of “Collabo School”, run by NPO KATARIA helping school children and students suffered from the disaster of “Great Eastern Japan Earthquake” and Tsunami in 2011. After visiting historical sights in Kamaishi City and Morioka City, they will have a meeting with students at Iwate Prefectural University.
Back in Tokyo, the last day of stay will be spent for a meeting with young journalists for discussion on the reportage in Japan about the Islamic World. This will also wrap up the first TAMU program.

Countering Islamophobia
My personal rationale for the TAMU project is as follows:
A series of recent atrocities committed by the so-called ISIS and its affiliates upon Japanese citizens overseas have shocked the Japanese public. Most of TV programs, press reports and journal articles, and instant publications on the ISIS in Japan have started to disseminate a massive amount of negative images and impressions on Islam, inducing the rising of Islamophobia. At the same time, however, the violent incidents have stimulated a great deal of genuine curiosity on Islam and Muslims, too. In other words, ironically, the current situation presents a chance for the Japanese public to learn about the reality of Islam without biases and prejudices. The curiosity seems especially high among the Japanese youth.

Muslims’ Favorite Feelings towards Japan
On the Muslim side, especially those Muslims in ASEAN countries, they have had favorable feelings towards Japan and Japanese people in general. Among others, Muslim youths are quite enthusiastic about Japanese technology and pop-culture like Anime, Manga and popular music. Many of those Muslims who have ever visited in Japan for study, work or business admire Japanese people’s positive characters like cleanliness, discipline, diligence, honesty, kindness and orderliness. Some even say that Japan is an Islamic society where Islamic values are prevailing without Islam!  The rapid increase of tourists from Southeast Asia to Japan thanks to the growth of the middle classes in the region are also enhancing the opportunities for mutual understanding between the Japanese people and the Muslims from Southeast Asia. To accommodate them, Japanese tourist businesses are busily adjusting themselves now by providing halal foods and other services specific for Muslims. (Ex. major international airports like Narita now have “prayer rooms”.)

Disseminate “True Image and Reality” of Islam
Considering such a situation, there seems to arise an opportunity for Southeast Asian Muslims to disseminate the true image and reality of Islam to a wide audience in Japan in order to counter the rise of Islamophobia. It is assumed that the Japanese public, especially the young people, are willing to get acquainted with Muslim counterparts from ASEAN countries at the personal level.  According to my understanding, this is the background against which the Japan Foundation has launched the TAMU (=“Talk with Muslims”) project this fall in cooperation with civil society organizations and academia in both ASEAN and Japanese sides. (“Tamu” in Indonesian and Malaysian languages means “guest/s”.)

People to People Diplomacy
Such an approach pursued by civil society organizations and academia, being different from and along side security approach employed by the government, will be contributing in the long run to the formation of a pre-condition – elimination of Islamophobia = freedom from the fear of Islam – necessary for the formation of rational public opinion and prudent diplomacy in countering violent extremism.

Japan’s Unique Position in Relation to Islamic World
Japan has been occupying a unique position in its relationship vis-à-vis the Muslim World. It has NOT been involved directly in the military operations of the Western Powers. Perhaps, this is one of the most important elements in Japan’s diplomacy, making its neutrality credible.
In spite of recent controversial legislature, latest polls indicate that the majority of Japanese people want to maintain its pacifist Constitution, i.e. the avoidance of military engagements overseas. It is my personal wish that the TAMU project aimed at mitigating Islamophobia will also be contributing to the continuation and confirmation of Japan’s pacifist diplomacy.

From “Guests” to “Partners”
The TAMU project is expected to continue for a number of years to accumulate a “critical mass” of the participants from both Muslim and non-Muslim sides to nourish mutual understandings and to work together in countering the growth of Islamophobia in Japan. It is, therefore, hoped that the TAMU = “inviting guests” project will be developing eventually into the creation of a number of “partners” instead of mere “guests” in their efforts to counter Islamophobia. It is also hoped that the project will be not merely inviting Muslim youths to Japan but also developing to an exchange program, providing opportunities for the Japanese youth to visit Muslim communities in Southeast to learn the reality of Muslim lives firsthand via their own eyes.

My Personal Responsibility
I feel it my personal responsibility as an academic who has been engaged in many years in the study of Islamic social movements in Southeast Asia, like Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama in Indonesia, to join the collective efforts of my Japanese colleagues to counter Islamophobia via TAMU Project in Japan. I wish further understanding and cooperation from my Southeast Asian, especially Indonesian, colleagues for the TAMU Project run by the Japan Foundation.

                                                        (End)

Monday, November 21, 2016

Tulang Punggung Prof. Syafi'i Ma'arif

 Kolumnis: Zen RS 
14 November, 2016

Setelah beradu argumen soal komunisme di sesi perkuliahan, saya mensejajari langkah Prof. Syafi'i Ma'arif yang sedang berjalan menuju ruangan dosen. 

"Saya mau ke tempatnya Nursam. Mau nagih royalti buku," katanya dengan langkah bergegas.

Nursam adalah pemilik Penerbit Ombak, penerbit di Yogyakarta yang getol menerbitkan buku-buku sejarah. Memoar yang ditulis sendiri oleh Prof. Syafi'i, yang ia beri judul Titik-Titik Kisar di Perjalananku, diterbitkan oleh Ombak. Judul itu dipilih karena, sepengakuannya di depan kelas, terinspirasi dari judul memoar Ali Sastroamidjojo, Tonggak-Tonggak di Perjalananku.

"Saya tak pernah mau menerima tawaran menjadi komisaris BUMN. Tapi royalti buku itu lain. Walau hanya sejuta dua juta harus ditagih. Itu kebahagiaan terbesar seorang penulis," tambahnya dengan nada yang begitu yakin.

Saya mencoba sedikit berbasa-basi dengan menawarkan diri membawa segepok makalah mahasiswa, di dalamnya ada makalah saya tentang Iwan Simatupang. Ya, basa-basi. Saya tahu ia akan menampik. Saya pernah melihat sendiri seorang mahasiswa yang ingin membantunya membawakan tas berisi tumpukan kertas (isinya mungkin makalah) ditolak. Ia berkata: "Anda pikir saya sudah terlalu tua sampai tidak kuat untuk membawa tas?"  

Saat itu ia baru saja mengajar Filsafat Sejarah di ruang kelas yang sempit, pengap, yang lebih mirip gudang. Kelas itu berada di sebuah gedung yang terpisah dari kompleks utama Fakultas Ilmu Sosial. Kami biasa menyebutnya sebagai "Gedung Merah". Anak-anak Ilmu Sejarah biasa berkuliah di sana, terasing dari kebanyakan jurusan yang lain.

Sesi kuliah itu diwarnai perdebatan kecil tentang komunisme. Prof. Syafi'i menganggap komunisme sudah usang. Ia cukup sering mengatakan (saya ingat benar diksinya): komunisme sudah berada di tiang gantung sejarah. Saya membantahnya. Saat itu Prof. Syafi'i, seperti banyak orang lain, mencampur-adukkan komunisme dan marxisme sebagai ideologi dengan praktiknya sebagai partai, terutama di Sovyet.  

Saya mengikuti tiga perkuliahan Prof. Syafi'i. Pertama, mata kuliah filsafat sejarah. Kedua, sejarah pemikiran modern. Ketiga, bahasa Inggris. Bahasa Inggris? Ya, pelajaran bahasa Inggris.

Saya ingat, pada satu sesi perkuliahan, Prof. Syafi'i kesal dengan para mahasiswa yang dianggap berkemampuan buruk dalam bahasa Inggris. Saat itu ia membagikan copy sebuah artikel yang membahas gagasan Giambatista Vico, filsuf dari Italia. Dengan suara yang sedikit meninggi, ia berkata: "Mau jadi sejarawan kok bahasa asingnya kacau. Semester depan saya sendiri yang akan ngajar Bahasa Inggris. Kalian kalau mau ikut silakan masuk."

Ia memenuhi janjinya. Semester berikutnya ia mengajar bahasa Inggris. Mengajar hal yang sangat dasar. Saya sudah lulus mata kuliah bahasa Inggris, tapi selalu menyempatkan diri hadir karena dia yang mengajar. Ia bahkan sempat mengajar tentang "to be".

Semua itu terjadi saat ia masih menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, salah satu ormas keagamaan terbesar di Indonesia. Ini posisi yang prestisius, strategis, membuatnya leluasa bergerak dan bertemu siapa saja. Ia sudah menjadi tokoh nasional. Kesibukannya luar biasa. Pergi ke berbagai daerah, hingga ke luar negeri. 

Namun komitmennya kepada tugas mengajar tak pernah hilang. Jangankan menjadi pemimpin organisasi sebesar PP Muhammadiyah, menjadi seorang rektor pun kadang sudah cukup membuat seseorang menjadi ogah-ogahan mengajar S-1. Maunya mengajar pasca-sarjana. Tapi tidak dengan Prof. Syafi'i. Bahkan mau-maunya ia meluangkan waktu untuk mengajar bahasa Inggris! Ia kesal dengan kemampuan bahasa Inggris para mahasiswa, dan ia sendiri yang kemudian mengajar. Tidak memerintahkan siapa pun.

Komitmen sebagai pengajar itu juga terlihat dalam menilai makalah-makalah yang dikumpulkan mahasiswa. Saya pernah mengalami makalah saya dikomentari dengan tulisan tangan. Makalah yang mengulas buku "Sosialisme Indonesia dan Syarat-Syarat Pelaksanaannya" karya D.N. Aidit dikomentari di halaman terakhir. Saya sudah lupa komentar persisnya. Tapi seingat saya Prof. Syafi’i mengomentari makalah saya yang, katanya, tidak cukup kritis menilai pikiran-pikiran Aidit dan tidak berani menguji pikiran-pikiran itu dalam praksis politik Aidit sebagai Ketua CC PKI.

Ia memang punya kecenderungan anti-komunis. Dan ia tidak pernah menyembunyikan kecenderungan itu. Kami pernah berdebat sampai akhirnya saya tahu ini soal titik pijak ideologis. Namun ia tak pernah mengharamkan mahasiswanya membaca dan mempelajari marxisme dan komunisme. Ia bahkan mendorong mahasiswanya untuk membaca tema itu. Salah satu sesi perkuliahan filsafat sejarah diisi dengan mendiskusikan teks Manifesto Komunis. 

"Bagi saya sudah jelas, komunisme sudah bangkrut. Tapi kalian harus membacanya karena bagaimana mau setuju atau tidak setuju kalau tidak pernah dipelajari?" katanya. 

Itulah sebabnya ia menawarkan diri menjadi pembimbing skripsi saat saya mengajukan rencana mengerjakan tugas akhir dengan tema "sosialisme ala Aidit", yang kira-kira ingin menguji pikiran-pikiran Aidit yang dibukukan dalam Sosialisme Indonesia dan Syarat-Syarat Pelaksanaannya  dalam praksis politik PKI. Ia memberikan nomer kontak Rewang, salah satu anggota politbiro CC PKI yang saat itu masih hidup.

Agaknya, di tengah kesibukan yang super sebagai Ketua PP Muhammadiyah, yang tidak bisa tidak memungkinkannya ada di tengah pusaran politik, ia tetap memeriksa makalah-makalah mahasiswa S-1. Seberantakan apa pun, seacak-acak apa pun, makalah-makalah itu ia periksa dengan telaten.

Pada 2001 atau 2002, Prof. Syafi’i mengeluarkan bertumpuk-tumpuk makalah mahasiswa dari dalam tasnya. Ia memperlihatkan coretan-coretan yang dibuatnya pada beberapa makalah. Lalu ia berkata: “Minggu lalu saya ke Amerika. Makalah kalian saya periksa di dalam pesawat. Jadi tolong jangan sia-siakan waktu saya dengan membuat makalah yang jelek.”

Baginya, tidak ada yang istimewa memeriksa tugas-tugas mahasiswa. Itu sudah menjadi kewajibannya sebagai dosen. Namun tindakan-tindakan kecil itu terasa istimewa di tengah iklim akademik yang sering tidak serius memperlakukan karya-karya mahasiswa. Sangat biasa seorang dosen tidak “mengapa-apakan” makalah mahasiswanya. Mahasiswa tidak tahu kesalahannya di mana, mengapa dan harus bagaimana memperbaikinya. Tahu-tahu nilai sudah keluar saja di akhir semester. Koreksi dosen paling banter terjadi saat mengerjakan tugas akhir (skripsi).

Tentu saja di tengah kesibukannya yang sangat padat, Prof. Syafi’i kadang tidak masuk di jam mengajar. Seingat saya, jika itu terjadi, ia akan mengganti di hari yang lain. Hari Sabtu cukup sering menjadi hari yang dipakai untuk mengganti perkuliahan yang dilewatkannya. Ia tidak pernah mengabsen mahasiswa, sehingga mahasiswa yang absensinya kurang dari 75% masih bisa tetap mengikuti ujian akhir, namun ia sendiri selalu memenuhi kuota 75% mengajar di tiap semester.

Jangankan jumlah kuota minimal mengajar atau memeriksa makalah, bahkan menggandakan materi kuliah pun ia lakukan sendiri. Salah satu ciri khas Prof. Syafii sebagai dosen adalah membagikan bahan bacaan untuk dibahas. Macam-macam yang dibagikan. Kadang tulisannya sendiri, kadang artikel orang lain, kadang petikan sebuah buku. Ia sendiri yang memilih, menyiapkan dan menggandakan. Saya pernah menyaksikan ia sedang berdiri di warung-warung fotocopy di seberang kampus sedang menggandakan bahan ajar untuk mahasiswanya.

Bukan hanya soal urusan membawa tas, saya pernah melihatnya turun dari mobil (seumur-umur di kampus, saya tak pernah melihat ia disopiri orang lain) dan membuka salah satu pintu gerbang, alih-alih memencet tombol klakson berkali-kali untuk memanggil satpam. Padahal ia bisa meminta tolong, atau memberi perintah, dari level satpam sampai rektor, sebab ia memang punya privilege yang luar biasa besar di kampus.

Di luar negeri mungkin biasa saja polah Prof. Syafi'i macam itu. Tapi dalam suasana feodalistik yang masih merajalela di mana-mana, jadi juragan sedikit saja maunya tas dibawakan orang lain, jadi rektor doang sudah emoh mengajar S-1, baru jadi dekan mengajar saja sudah doyan diwakilkan pada asisten dosen, jadi ngetop dikitsaja sudah nyuruh ini itu, maka apa yang dilakukan Prof. Syafi'i dalam statusnya sebagai dosen itu istimewa. 

Apa yang dapat ia kerjakan sendiri, akan ia kerjakan sendiri. Ia tak suka menyuruh-nyuruh, tak senang memerintah-merintah. Saya tak heran jika ia tak sudi diatur-atur, diperintah-perintah. 

Saya ingat kata-kata yang sering diucapkan Prof. Syafi’i tentang Tan Malaka, kata-kata yang saya tahu berasal dari Bung Hatta: “Tulang punggungnya terlalu keras untuk membungkuk di hadapan siapa pun.”

Saya kira Prof. Syafi’i sedang bicara tentang dirinya sendiri.  

*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi tirto.id.

https://tirto.id/tulang-punggung-prof-syafi039i-ma039arif-b4T3