Monday, March 18, 2013

Potret Ulama Bersahaja



Potret Ulama Bersahaja

Judul Buku: Soal Jawab Yang Ringan-Ringan
Penulis: AR Fakhruddin
Penerbit: Suara Muhammadiyah, Yogyakarta
Cetakan: Tahun 2012
Tebal: xx + 287 halaman

Oleh M. Husnaini
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya


Dimuat di Matan, Edisi Februari, 2013
Mendakwahkan Islam yang mudah dicerna lintas kalangan, terutama kalangan awam, jelas bukan upaya sederhana. Dibutuhkan penguasaan materi mendalam sekaligus cara penyampaian elegan. Ada muballig yang fasih melafalkan dalil-dalil agama, tetapi gagal membahasakannya dengan sederhana. Belakangan muncul muballig-muballig yang bisa menyajikan dakwah Islam dengan “meriah”, tetapi materinya justru tidak bertenaga.

Kiai Haji Abdul Rozak Fakhruddin tampaknya mampu melampaui semua kendala di atas. Buku ini merekam jelas bagaimana Pak AR—begitu ia akrab disapa—menghadirkan Islam yang mudah dicerna. Ulama yang mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah 1968-1990 ini memang dikenal sebagai ulama yang sederhana. Kenyataan itu sudah menjadi trade mark sejak Pak AR meniti karir sebagai muballig di pelosok Sumatera Selatan hingga dipercaya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah selama 22 tahun.

Kepribadiannya yang sejuk dan bersahaja membuat dakwahnya mudah diterima. Ketika ditugasi mengisi pengajian di RRI Nusantara II Yogyakarta setiap Selasa dan Sabtu—embrio naskah buku ini—tidak sedikit pemirsa non-Muslim yang tertarik dengan uraian-uraiannya tentang Islam. Seperti sosoknya, dakwah Pak AR memang jauh dari kesan garang, apalagi mudah menyalahkan.

Judul Soal Jawab Yang Ringan-Ringan jangan dipahami bahwa buku ini hanya berisi masalah-masalah ringan. Pemberian judul demikian lebih menggambarkan cara Pak AR dalam membantu umat memecahkan persoalan agama tanpa menambah beban hidup mereka. Tidak disertakannya dalil juga karena Pak AR sangat memahami realita masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, yang tingkat keberagamaannya umumnya masih pemula.

Bagi Pak AR, dakwah harus bil hikmah dan biqadri uqulihim (sesuai kadar akal umat). Karena itu, yang pemahaman agamanya menengah atau bahkan sudah pakar, silahkan merujuk dalil-dalil sendiri dalam al-Quran, hadis, dan kitab-kitab karya ulama, semacam Bulughul Maram, Riyadhus Shalihin, Fiqhus Sunnah, Zadul Ma’ad, dan lainnya.

Yang pasti, sebagai ulama besar, Pak AR tidak lantas bersikap ekstrem dan arogan. Perhatikan penggalan kalimat berikut: “Buku ini saya dasarkan atas al-Quran dan hadis shahih. Oleh karenanya, apabila terdapat kekeliruan supaya dibenarkan dengan dasar hadis yang shahih pula …di samping itu, saya tidak berani menetapkan sesuatu dengan hukum tertentu, misalnya wajib, sunnah, dan sebagainya. Tentang hal itu saya serahkan sepenuhnya kepada pembaca” (hal 3).

Sungguh sikap ulama sejati yang jauh dari sikap tinggi hati. Dan itu bukan lips service semata. Menelusuri lembar demi lembar halaman buku ini, saya tidak menemukan satupun kalimat yang menghakimi orang meluncur dari lisan Pak AR, seperti bid’ah, sesat, atau kafir. Pemilihan diksi katanya lembut, susunan kalimatnya enak didengar.

Misalnya, saat menjawab persoalan-persoalan yang “rawan” juga tidak membuat merah telinga. Ketika menanggapi pertanyaan seputar hukum memuliakan kuburan orang tua dengan membangun batu nisan, Pak AR memulai jawaban, “Sesungguhnya saya merasa berat hati menjawab pertanyaan di atas. Rasa berat hati saya itu karena nanti akan dikatakan: Wah kiranya yang tahu tentang agama, tentang hadis, seolah hanya Pak AR saja”…” (hal 45).

Juga ketika menanggapi hukum sedekahan dan tahlilan untuk orang meninggal. Pak AR menulis, “…kalau boleh saya berkata yang sebenarnya, mengadakan sedekahan ketika orang meninggal, kemudian berturut-turut pada hari ketiganya, ketujuhnya, keempat puluhnya, keseratusnya, dan keseribunya, itu bukan berasal dari agama Islam. Jelasnya, Allah tidak memerintahkan, begitu pula Rasulullah SAW…” (hal 55).

Maka pelajaran penting yang dapat diambil dari buku ini adalah seorang muballig, guru, ustad, bahkan kiai harus mampu mengatasi persoalan keseharian umat dengan sikap bijaksana, bahasa yang sederhana, tidak menggurui, apalagi menghakimi dan serba menyalahkan. Sikap terakhir ini jelas tidak akan menyelesaikan masalah. Justru ia akan menambah beban masalah, dan bahkan menghancurkan ukhuwah islamiyah di kalangan umat.

Tentang kekurangan dalam buku ini, seperti adanya kesalahan ketik atau penempatan daftar isi yang kurang pas, tentu tidak bisa dijadikan ukuran untuk menakar kualitas buku ini. Sepanjang mau membaca isinya secara utuh dan tidak meloncat-loncat, akan didapatkan pemahaman yang utuh. Sepantasnya para aktivis dakwah, terutama aktivis Muhammadiyah, membaca buku ini untuk memperkaya diri sehingga bisa mendakwahkan Islam secara mudah dan bersahaja.

Friday, March 15, 2013

Defining Indonesian Islam: An Examination of the Construction of National Islamic Identity of Traditionalist and Modernist Muslims

Burhani, Ahmad Najib. 2013. “Defining Indonesian Islam: An Examination of the Construction of National Islamic Identity of Traditionalist and Modernist Muslims” in Islam in Indonesia: Contrasting Images and Interpretations, edited by Jajat Burhanuddin and C. van Dijk, pp. 25-48 (Amsterdam: Amsterdam University Press and ICAS). Also available at Amazon and IIAS.  

A journalistic report from Newsweek magazine in September 1996 about Islam in Indonesia was entitled ‘Islam with a Smiling Face’. The title is indicative of the image of Islam in the archipelago, which differs from Islam elsewhere in the Muslim world. In general, according to this report, Islam in Indonesia is peaceful, moderate, and shows a positive attitude towards democracy, modernity, plurality, and human rights. This conclusion is echoed by Azyumardi Azra (2010) who emphasises that Islam in Indonesia is different from that in the Middle East due to its distinctive traits, such as its tolerance and moderate views and the fact that it provides a ‘middle way’ (umma wasaṭ) between secularism and Islamism. Such an assessment obviously represents a contemporary positive meaning of the distinctiveness of Islam in Indonesia. Although certain Muslims from other parts of the world possibly object to this exclusive claim, the particularity of Islam in Indonesia in general has been recognised by many scholars.
Early American scholarship on Islam in Indonesia was aware of its distinctiveness. However, in contrast to the current connotation, which generally tends to have a positive meaning, these scholars perceived the distinctiveness of Indonesian Islam in a negative way, particularly in comparison to normative Islam and Islam in its heartland. Indonesian Islam in this context tended to be seen as incomplete or corrupted. Clifford Geertz (1960), for instance, shows his reluctance to categorise the nominal Muslims in Java, who constitute the majority, as Muslims. Instead of calling Islam in Java ‘Javanese Islam', he preferred the term  ‘Religion of Java’, as is reflected in the title of his classical book. Geertz is not alone in perceiving the particularity of Islam in Indonesia in this negative sense. C.L.M. Penders and several other scholars perceive that the majority of Indonesian people could be barely considered Muslims based on the degree of correspondence with, following the terminology from Ernest Gellner (1981), High Islam. Penders recalls that in the beginning, the Javanese and peoples in the Indonesian Archipelago attached themselves to Islam at only one stage higher than a pro forma. And in its progress, Islam was never able to replace traditional Javanese civilisation in its totality. In fact, Islam was only a thin and easily flaking veneer on top of a solid body of traditional beliefs, which consist of a mixture of animism and Hinduism/Buddhism. The core of Javanese ideas and practices remained non-Islamic. The canon law of Islam (sharī‘a) never supplanted adat-law (Penders 1977:236-7).
What can be inferred from these two contrasting perspectives of the same subject? Is the smiling Islam the same as the corrupted Islam? Is the puritan Islam identical to terrorist Islam? From an international security perspective, as a result of the impact of 9/11, Islam seems to be considered benevolent and good when it can stay away from Middle Eastern culture and influences and keeps its distance from scriptural Islam. The closer people are to Islam, the more dangerous they become. The less Islamic a society is, the better it is in terms of the human relationship. However, from an Islamist perspective, which is also the perspective held by Orientalist scholarship, this kind of Islam is not really Islam. Following this argumentation, people often come to the misleading conclusion that Islam in Indonesia is perceived as a benign, peaceful, and friendly Islam because it is impure or corrupted. Another conclusion is that what makes Islam in Indonesia distinct is the fact that it is not authentic.
There are several scholars who attempt to examine the concept of Indonesian Islam as a specific term for the Islam of Indonesia. Michael Laffan (2006), for instance, traces its history back, particularly, to the nineteenth and early twentieth century when the Indonesian Muslim community in Cairo and Mecca were commonly called Jawi Islam, although he admits that the term has been used since the thirteenth century. From his observations, he concludes that Jawi Islam does not constitute a specific form of Islam in terms of identity and authenticity. Jawi Islam simply refers to those who studied in Mecca or Cairo who accidentally came from Southeast Asia and seemed to have an inferior outlook on religiosity and Islamic knowledge compared to those from the rest of Muslim world, including Malaysia (Laffan 2006:18-21). Just like Jawi Islam, the phrase Indonesian Islam does not refer to any specific form of Islam, but rather to the Islam in Indonesia that has been least influenced by foreign cultures. ‘The further back in time we go, the truer, more authentically ‘Indonesian’, the Islam is assumed to be [...] The further back in time we go, the more Indonesia itself fades from view, and the less it is recognizably Islamic at all, being replaced by our scholarly regional conception of Southeast Asia with its inherently polycentric and variegated mandalas’ (Laffan 2006:13).
Different from Laffan, Martin van Bruinessen (1999) explains, although only in passing, that the contemporary demand for the construction of Indonesian Islam is initiated by the pembaruan (renewal) movement, and in particular by some intellectually sophisticated Muslims in Indonesia as a response to globalisation. They consider ‘“Indonesian-ness” as a legitimate dimension of their own Muslim identities’ (Van Bruinessen 1999:170). Unfortunately, Van Bruinessen does not elaborate this concept any further. He only mentions that the acceptance of the Pancasila is a significant element of authentic Indonesian Islam, since it highlights an Indonesian Islamic identity that differs from that in the Middle East. It seems that Van Bruinessen’s intention is to recount that the acceptance of the Pancasila has been used as a symbol of the Islam of Indonesia in order to free itself from a Centrum-periphery dichotomy, which places Indonesia primarily as the recipient of influences from other Muslim countries, particularly centres of Islam such as Mecca and Egypt.
This contribution delineates the construction of Indonesian Islam and analyses the above mentioned contrasting interpretations by taking the position that although there are several points of similarity, the concept of Indonesian Islam has a different meaning in Indonesian traditionalist and modernist Muslim circles. For traditionalist Muslims, the concept reflects the efforts to define what is authentic in Indonesian Islam and is linked with avoiding a blind imitation of foreign influences. Different from the concept of Jawi Islam, Indonesian Islam has consciously been used in this way to refer to a nationally-distinct Islam. In modernist circles, Indonesian Islam is mainly used to solve the problems of the relation between religion and state. To elaborate this position, the author will examine the embryos of the concept by analysing the unification between Islam and Indonesia as proposed by two of the most influential Islamic thinkers in Indonesia: Abdurrahman Wahid, with a traditionalist background, and Nurcholish Madjid, with a modernist one. Although these two scholars do not use the term Indonesian Islam to designate a distinctive form of Islam in Indonesia, through their conceptual thoughts, such as pribumisasi of Islam (indigenisation of Islam) and the idea of integrating Indonesianess and Islamness, they pioneered what is now popularly proclaimed as Indonesian Islam.

Tuesday, March 12, 2013

Kontekstualisasi Gerakan Tajdid



Oleh M. Husnaini
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya

Dimuat di Suara Muhammadiyah, 16-31 Desember 2011
Di tengah perubahan zaman yang demikian cepat, tantangan yang dihadapi Muhammadiyah tidak semakin mudah. Sejak berdiri satu abad silam, Muhammadiyah telah mengukuhkan jati dirinya sebagai gerakan Islam yang melaksanakan dakwah dan tajdid. Dakwah dilakukan dengan mendirikan sistem organisasi yang dinamis dan berkemajuan, dengan berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah. Tajdid dilakukan dengan dua cara, yaitu pemurnian (purifikasi) dan pembaruan atau pengembangan (dinamisasi).

Wujud nyata dari gerakan itu sudah tercermin dalam kepeloporan Muhammadiyah dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam modern, Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), panti asuhan, dan mendobrak segala praktik dan pemikiran Islam yang jumud. Namun demikian, sejalan dengan tema yang diusung dalam Muktamar Satu Abad: Gerak Melintasi Zaman, Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama, diperlukan perangkat-perangkat konseptual, epistemologi, serta metodologi konteksual dan multiperspektif agar gerakan tajdid Muhammadiyah dapat masuk ke percaturan dunia kontemporer sembari tetap kokoh dalam jati dirinya yang genuine.

Kontekstualisasi gerakan tajdid semakin niscaya, ketika Muhammadiyah menjadi sebuah gerakan Islam yang memang punya jati diri khusus dan berbeda dari organisasi Islam manapun di dunia. Sebagai gerakan pemurnian, Muhammadiyah berbeda dari gerakan Islam semisal Wahhabi atau Ikhwan al-Muslimin. Modernisme Islam Muhammadiyah juga tidak sama dan sebangun dengan gerakan Islam modernis semacam Persatuan Islam (Persis).

Muhammadiyah bukanlah gerakan Islam bercorak salafiah dan lebih menonjolkan aspek pemurnian an-sich, apalagi sampai menempuh jalur kekerasan. Menurut Prof. Deliar Noer (1996), gerakan Muhammadiyah bersifat toleran. Hal ini bisa dipahami. Sebab, KH. Ahmad Dahlan, dalam pandangan Prof. Robert W Hefner (2001) adalah seorang pemikir Islam moderat, yang berani mengambil modernitas Barat demi kemajuan umat dan dunia Islam.

Tidak heran, Prof. Nurcholish Madjid (1983) pernah menyatakan, Kiai Dahlan adalah sosok pencari kebenaran sejati, yang secara cerdas mampu menangkap makna tersirat tafsir al-Manar, sehingga langkah tajdidnya bersifat break-through (terobosan). Dalam konteks ini, Dr. Haedar Nashir (2006) menegaskan, gerakan Muhammadiyah tidak sekadar meneguhkan dan memurnikan paham agama semata, tetapi juga mampu memajukan kehidupan umat Islam pada khususnya dan umat manusia pada umumnya. Dengan kata lain, Muhammadiyah telah menghadirkan Islam yang murni dan berkemajuan.

Pernyataan-pernyataan tadi bukan isapan jempol. Senyatanya, memang terdapat dialektika pemikiran yang tidak pernah berhenti dalam tubuh Muhammadiyah. Sebagai gerakan Islam yang murni dan berkemajuan, di satu sisi Muhammadiyah terus berupaya mempertahankan keotentikan Islam sesuai al-Quran dan as-Sunnah, lalu mengembangkan ijtihad dan tajdid yang senapas dengan dinamika zaman di sisi lain. Muhammadiyah memang tidak anti-ijtihad, selama itu sesuai dengan jiwa Islam.

Lima Agenda
Di tengah kemajuan teknologi informasi yang membuat manusia hidup dalam an integrated digital network seperti sekarang, paling tidak, ada lima agenda tajdid yang strategis dan patut segera diupayakan. Pertama, tajdid dalam bidang akidah. Yang dimaksud pembaruan akidah di sini tentu bukan memodifikasi akidah Islam, tetapi melenyapkan segala gejala dan praktik syirik. Tidak disangkal, pada manusia modern, syirik kerap tampil dalam kemasan modern pula.

Materialisme, misalnya, adalah syirik dalam kemasan modern. Saat ini, ada kecenderungan seolah-olah materi (iptek, harta, tahta) adalah means everything, sehingga menjadi ukuran keberhasilan dan kegagalan. Oleh pelaku syirik modern, segala yang tampak dan nyata itu diberhalakan, senantiasa dikejar, seraya mengesampingkan nilai-nilai ketuhanan. Inilah yang harus diperbarui, dikikis habis sampai ke akar-akarnya.

Kedua, tajdid dalam bidang teologi. Yang dimaksud teologi di sini bukan ilmu teologi gaya lama, seperti membahas secara bertele-tele dua puluh sifat Allah, dimanakah kedudukan seorang muslim yang melakukan dosa besar, kemakhlukan dan keazalian al-Quran, dan semacamnya. Semua itu bukan berarti tidak penting. Namun, yang lebih penting lagi adalah bagaimana hubungan antara ketuhanan dan kemanusiaan. Jadi, teologi tidak boleh sekadar didiskusikan secara njelimet dan tidak jelas ujung-pangkalnya, tetapi harus dibumikan. Ajaran Islam harus menjadi resep mujarab atas problem kehidupan nyata manusia, berupa eksploitasi, penindasan, dan kemiskinan.

Ketiga, tajdid dalam bidang ilmu pengetahuan. Prof. M. Amin Abdullah pernah menyatakan, umat Islam jangan sampai terkena expired knowledge. Karena itu, kita harus terus meng-update ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan Alvin Toffler (1980), bahwa dalam dunia modern ini ada tiga kekuatan: low level of power itu kekuatan fisik, midlevel of power itu kekuatan ekonomi, sementara high level of power adalah sains dan teknologi.

Jadi, sains dan teknologi adalah kekuatan paling ampuh. Sekarang ada istilah ulama pesantren dan ulama kampus. Dalam upaya meningkatkan sains dan teknologi, tidak ada salahnya mereka yang akrab dengan kitab kuning (al-kutub al-shafra) bekerja sama dengan mereka yang menguasai kitab putih (al-kutub al-baidha).

Keempat, tajdid dalam bidang manajemen organisasi. Kemajuan teknologi informasi telah menjadikan jarak spasial semakin menyempit. Begitu mudahnya orang mendapat informasi dari seluruh penjuru dunia, tanpa menunggu dalam waktu lama. Menurut David Hakken (1999), ruang maya (cyberspace) telah menjadi ruang bertatap pikiran antara komunitas dunia. Karena itu, dalam pemanfaatan ruang maya ini, Muhammadiyah jangan lagi tertinggal oleh organisasi Islam lain. Bukankah Muhammadiyah ini tidak sebatas berorientasi dalam lingkup nasional, tetapi juga internasional. Pemanfaatan ruang maya, selain untuk kepentingan internal, juga sangat berguna untuk melebarkan sayap dakwah ke seluruh warga dunia. Terlebih, sebagai organisasi Islam dengan amal usaha terbesar dan tersukses di dunia, kehadiran Muhammadiyah di ruang maya, jelas akan menjadi bumbu penyedap bagi kehidupan umat manusia di dunia.

Kelima, tajdid dalam bidang etos kerja. Islam ini adalah agama yang mengajarkan orientasi kerja (achievement-orientation). Paham fatalisme atau paham nasib tidak punya tempat dalam Islam. Yang harus disadari, sekarang ini kita telah memasuki era liberalisasi perdagangan antara negara-negara Asia Tenggara. Pada 2020, kita akan memasuki era liberalisasi perdagangan antara negara-negara Asia Pasifik (Indonesia, China, Jepang, Taiwan, Korea, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru). Kita benar-benar tidak ingin umat Islam ini rajin shalat lima waktu, berpuasa Ramadan, dan banyak mengaji al-Quran, tetapi disiplin, kerja keras, menghargai waktu, prestasi, dan kejujuran tidak menjadi way of life. Jika itu terjadi, jangan kaget jika nanti umat Islam hanya akan menjadi kuli internasional.

Pembaruan atas lima bidang tadi harus segera dilakukan. Muhammadiyah jangan sampai terjebak pada masalah-masalah kontroversial yang sebenarnya sepele, tetapi kerap melelahkan. Masih banyak agenda lebih besar, strategis, dan faktual ketimbang sibuk mengurus masalah-masalah periferal (pinggiran), apalagi sekadar ritualistik, yang bukan merupakan agenda utama pembaruan Islam menuju peradaban utama.

Monday, March 11, 2013

The Double-Edged Sword of Islamic Reform Movement: Muhammadiyah and the Dilemma of Tajdid within Indonesian Islam

Masdar Hilmy, (IAIN Sunan Ampel Surabaya) masdar.hilmy@gmail.com

Muhammadiyah is an organization that was, and still is, obsessed with how Muslims can achieve modern civilization through the adoption of modern science and technology. One of the motifs behind such an obsession is that Muslims should not left behind the West in advancing modern civilization. Muhammadiyah’s reform was translated at the praxis level by establishing “secular” schools which differ in nature from those of NU’s pesantren. It is thanks to tajdid, an instrumental reasoning, that Muhammadiyah can achieve such a remarkable achievement in Islamic reform. This reform movement, however, can be like a double-edged sword in that on one side Muhammadiyah can swing its reform pendulum into progressive interpretation of Islam. Its purificationist vision contained in the slogan “directly return to the Qur’an and Hadith” can nevertheless lead this organization to regressive interpretation of Islam. In case of the latter tendency, Muhammadiyah can risk its tajdid to be replaced by taklid, a version of religious interpretation dominated by uncritical imitation in understanding Islam. This paper seeks to analyze the extent to which the majority member of Muhammadiyah is struggling with the attempt to deal with the rise of conservative mode of interpretation within the body of this organization.

The 2nd Annual SEA Studies Symposium at the University of Oxford, 9-10 March 2013. http://projectsoutheastasia.com/academic-events/sea-symposium-2013/panels/panel-8