Friday, January 1, 2010

Ahmad Rasyid Sutan Mansur: Mengembangkan Muhammadiyah di Sumbar

Ahmad Rasyid Sutan Mansur
Mengembangkan Muhammadiyah di Sumbar

Muhammadiyah selama ini dikenal punya basis yang kuat di Propinsi Sumatera Barat. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari kiprah salah seorang tokohnya yang bernama Ahmad Rasyid Sutan Mansur, atau yang lebih kondang dengan nama AR Sutan Mansur.

Tokoh ini lahir di Maninjau, Sumatera Barat, 15 Desember 1895. Di tempat kelahirannya itu pula, Sutan Mansur pertama kali memperoleh pendidikan agama meski masih secara tradisional di dalam lingkungan keluarganya yang memang amat religius.

Selain mendapatkan gemblengan agama, dia juga mendapatkan pendidikan formal. Adapun pendidikan formal didapat sejak tahun 1902 saat menimba ilmu di Tweede Class School (sekolah kelas dua), juga di Maninjau, hingga tahun 1909.

Kemudian atas rekomendasi dari controlleur Maninjau, Sutan Mansur melanjutkan pendidikan ke Kweekschool (sekolah guru) di kota Bukitinggi. Akan tetapi karena sejak awal Sutan Mansur sudah berkeinginan bersekolah di Mesir, maka dia memutuskan untuk belajar ilmu agama terlebih dahulu kepada H Abdul Karim Amrullah, ayahanda Buya Hamka.

Pada saat perkumpulan Sumatera Thawalib dibentuk pada Februari 1918 di Padang Panjang, oleh beberapa sejawat, Sutan Mansur sudah dipandang mampu berperan sebagai guru. Oleh karenanya, Sumatera Thawalib langsung mengutusnya menjadi guru di Kuala Simpang, Aceh, selama dua tahun.

Pindak ke Pulau Jawa
Tahun 1920, dia pindah ke Pekalongan ketika cita-citanya untuk menempuh pendidikan di Mesir tidak tercapai. Namun kekecewaannya tidak berlangsung lama, sebab pada tahun 1922 Sutan Mansur bertemu dengan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Tokoh kharismatik ini datang ke Pekalongan guna mengadakan tabligh Muhammadiyah.

Peristiwa tersebut ternyata mengubah perjalanan hidupnya kemudian. Dia begitu terkesan dengan kefasihan KH Ahmad Dahlan dalam menjelaskan berbagai persoalan agama. Kepribadiannya yang lembut, bersahaja, serta rendah hati semakin menumbuhkan simpati dari banyak orang, termasuk dirinya.

Dari ulama itulah, Sutan Mansur banyak menimba pengetahuan mengenai Muhammadiyah. Maka pada tahun yang sama, dia masuk menjadi anggota organisasi kemasyarakatan ini dan sekaligus berkenalan dengan sejumlah tokoh Muhammadiyah semisal KH AR Fakhruddin dan KH Mas Mansur. Dan kembali Sutan Mansur makin mengenal Islam tidak hanya dari aspek hukumnya, melainkan juga aspek sosial kemasyarakatan, dan ekonomi dari dua tokoh tadi.

Tahun 1923 dia menjadi guru serta mubaligh Muhammadiyah. Muridnya terdiri dari pelbagai kalangan, antara lain bangsawan Jawa (R Ranuwihardjo, R Tjitrosoewarno, dan R Oesman Poedjooetomo), keturunan Arab, serta orang Minang perantauan yang menetap di Pekalongan dan sekitarnya. Dua tahun kemudian dia kembali ke daerah kelahirannya sebagai mubaligh Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera.

Mengembangkan Muhammadiyah
Sejatinya, sebelum Sutan Mansur, pikiran-pikiran dari Muhammadiyah sudah lebih dulu disebarluaskan oleh H Abdul Karim Amrullah, bahkan beberapa cabang Muhammadiyah sudah berdiri di Maninjau dan Padang Panjang. Dengan kata lain, H Abdul Karim Amrullah telah membuka jalan bagi Sutan Mansur untuk lebih mengembangkan Muhammadiyah di Sumatera Barat. Dan penyebaran gerakan ini justru semakin pesat setelah dia mendapat dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dan sejumlah alim ulama 'kaum muda'.

Di samping itu, selaku mubaligh tingkat pusat Muhammadiyah (1926-1929) dia ditugaskan mengadakan tabligh keliling ke Medan, Aceh, Kalimantan (Banjarmasin, Amuntai dan Kuala Kapuas), Mentawai serta beberapa bagian Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Aktivitasnya juga melatih pemuda-pemudi dalam lembaga Kulliyatul Muballigin yang didirikannya untuk menjadi kader Muhammadiyah.

Adapun metode yang digunakan untuk latihan itu adalah mujadalah (kelompok diskusi). Murid-muridnya antara lain Duski Samad (adik kandungnya sendiri), Abdul Malik Ahmad (penulis tafsir Alquran), Zein Jambek, Marzuki Yatim (mantan Ketua KNI Sumatera Barat), Hamka, Fatimah Latif, Khadijah Idrus, Fatimah Jalil, dan Jawanis.

Pada tahun 1930 diselenggarakan Kongres ke-19 Muhammadiyah di Minangkabau. Salah satu keputusannya adalah perlunya jabatan konsul Muhammadiyah di setiap karesidenan. Maka berdasarkan Konferensi Daerah di Payakumbuh tahun 1931, dipilihlah Sutan Mansur sebagai konsul Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Barat hingga 1944. Kemudian atas usul konsul Aceh, konsul-konsul seluruh Sumatera setuju untuk mengangkat Sutan Mansur selaku imam Muhammadiyah Sumatera.

Ketika berlangsung Kongres Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto tahun 1953, dia terpilih sebagai Ketua Pusat Pimpinan (PP) Muhammadiyah. Tiga tahun berikutnya yakni pada Kongres ke-33 di Palembang, dia terpilih kembali sebagai ketua PP Muhammadiyah. Lantas pada kongres ke-35 tahun 1962 di Yogyakarta, Sutan Mansur diangkat sebagai Penasehat PP Muhammadiyah sampai 1980.

Tercatat selama masa kepemimpinannya dua periode (1953-1959) dia berhasil merumuskan khittah (garis perjuangan) Muhammadiyah. Antara lain mencakup usaha-usaha menanamkan dan mempertebal jiwa tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyuk dan tawadlu, mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, menggerakkan organisasi dengan penuh tanggung jawab, memberikan contoh dan suri tauladan kepada umat, konsolidasi administrasi, mempertinggi kualitas sumber daya manusia, serta membentuk kader handal.

Selain aktif di organisasi, dia pun dikenal sebagai penulis yang produktif. Buku-bukunya antara lain Pokok-pokok Pergerakan Muhammadiyah, Penerangan Azas Muhammadiyah, Hidup di Tengah Kawan dan Lawan, Tauhid, Ruh Islam, dan Ruh Jihad. Buku-buku tersebut sampai saat ini masih menjadi pegangan bagi anggota Muhammadiyah.

Dalam bidang fikih, Sutan Mansur dikenal sangat toleran. Dia misalnya tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan pendapat dalam masalah furu'iyyah (hukum agama yang tidak pokok). Hasil Putusan Tarjih Muhammadiyah dipandangnya hanya sebagai sikap organisasi Muhammadiyah terhadap suatu masalah agama, itu pun sepanjang belum ditemukan pendapat yang lebih kuat. Karenanya HPT menurut dia tidak mengikat anggota Muhammadiyah.

Sumbangsihnya dalam mengembangkan Muhammadiyah di Sumatera Barat menjadikanya mendapat julukan 'Bintang Barat Muhammadiyah', setelah KH Mas Mansyur dipandang sebagai 'Bintang Timur Muhammadiyah'. Dia pun dipandang selaku tokoh utama Muhammadiyah dari generasi pertama, setelah KH Ahmad Dahlan, KH AR Fakhruddin, KH Ibrahim, KH Abdul Mu'thi, KH Mukhtar Bukhari, serta KH Mas Mansyur.

Sumber : http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=195877&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=185

No comments:

Post a Comment