Friday, April 30, 2010

Khittah Perjuangan Pemuda Muhammadiyah


I. Pendahuluan

Secara etimologis, kata khittah berasal dari derivasi bahasa Arab- خِـطةً - يَخُطﱡ – خَطﱠ yang berarti rencana, jalan, atau garis (Kamus Al-Munawwir). Dengan demikian, khittah perjuangan dapat diartikan sebagai rencana, jalan, atau garis perjuangan Pemuda Muhammadiyah dalam mewujudkan misi dan cita-cita gerakannya.

Khittah perjuangan Pemuda Muhammadiyah berisi pokok-pokok pikiran yang diharapkan dapat menjadi garis perjuangan gerakan Pemuda Muhammadiyah ke depan. Di dalam rumusan Khittah Perjuangan ini terkandung aspek pembaruan sekaligus kesinambungan. Aspek pembaruan diarahkan pada upaya peneguhan eksistensi Pemuda Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang mampu menyelesaikan problematika umat Islam, khususnya mereka yang bernaung di bawah panji-panji persyarikatan Muhammadiyah. Sementara aspek kesinambungan merupakan upaya mempertahankan capaian-capaian positif yang selama ini dilakukan oleh Pemuda Muhammadiyah.

Khittah Perjuangan Pemuda Muhammadiyah diharapkan bukan hanya sekedar retorika yang kaya wacana tetapi miskin kerja nyata. Melalui khittah, gerakan Pemuda Muhammadiyah diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pemulihan krisis yang telah lama menghimpit sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara. Sudah saatnya Pemuda Muhammadiyah bangkit sebagai kekuatan terdepan di dalam merespon dan menyikapi dinamika zaman. Pemuda Muhammadiyah harus tekun, rajin, dan cerdas dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi hari esok. Dalam konteks ini, firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 18 berikut ini perlu menjadi pijakan dalam setiap gerak dan langkah Pemuda Muhammadiyah :

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok; dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Secara objektif, perumusan khittah perjuangan Pemuda Muhammadiyah didorong oleh faktor internal dan eksternal organisasi. Faktor internal merujuk pada evaluasi dan otokritik terhadap kiprah organisasi di dalam melayani umat Islam dan masyarakat lain pada umumnya.

Sedangkan faktor eksternal merujuk pada fenomena perubahan dunia yang menuntut setiap orang untuk terlibat aktif dalam mewarnai perkembangan peradaban. Kompetisi dan persaingan dalam seluruh aspek kehidupan harus dihadapi, bukan dihindari.

Sejalan dengan itu, motto perjuangan Pemuda Muhammadiyah “FASTABIQUL KHAIRAT” harus kembali menjadi spirit dan landasan gerak bagi setiap aktivitas dan kreativitas yang dilakukan oleh kader-kader Pemuda Muhammadiyah di semua level kepemimpinan. Dengan semangat ini, Pemuda Muhammadiyah harus tampil sebagai pelopor dalam mewujudkan pencerahan peradaban dan pembebasan umat dari keterkungkungan kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan. Semua itu harus menjadi cita-cita umat yang semestinya diperjuangkan secara kolektif tanpa memandang perbedaan suku, ras, tingkat pendidikan, bahkan agama.

II. Doktrin Perjuangan

Pemuda Muhammadiyah melandasi kiprah perjuangannya pada cita-cita Muhammadiyah untuk menciptakan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sehingga seluruh gerakan Pemuda Muhammadiyah diarahkan pada upaya akselerasi pencapaian tujuan tersebut. Dengan demikian, dimensi keagamaan, keilmuan, dan kemasyarakatan yang menjadi inspirasi perjuangan Muhammadiyah selama ini harus dijadikan ruh pergerakan Pemuda Muhammadiyah.

Pada tataran praktis, Pemuda Muhammadiyah meneguhkan doktrin perjuangannya melalui upaya:

Pertama, mempertegas komitmen dan jati dirinya pada pemberdayaan umat di seluruh sektor kehidupan.

Kedua, melakukan rekruitmen kader-kader berkualitas secara proaktif di tengah-tengah masyarakat dengan cara melibatkan mereka pada setiap pelaksanaan program-program kerja Pemuda Muhammadiyah.

Ketiga, meningkatkan kapasitas dan kualitas para kader melalui jenjang pendidikan kader yang terencana secara sistematis dan berkesinambungan.

III. Dimensi-dimensi Perjuangan

A. Dimensi Keagamaan

Pada dimensi keagamaan, Pemuda Muhammadiyah diharapkan dapat berperan aktif dalam menggiring umat ke posisi arus tengah Islam (ummatan wa syatha). Dengan posisi ini, umat Islam tidak terjebak dalam skenario yang dimainkan oleh pihak lain yang kerapkali bertujuan untuk memecah belah umat Islam. Sudah saatnya umat Islam dikembalikan pada satu cita-cita, yaitu membebaskan manusia dari setiap patologi sosial dan penyakit peradaban yang selama ini merasuki alam pikiran manusia modern. Untuk itu, seluruh kader Pemuda Muhammadiyah harus menebar pesona Islam di setiap waktu dan tempat dengan cara melaksanakan ajaran Islam secara total sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 208 yang berbunyi:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara total, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.

Untuk melaksanakan ajaran Islam secara total, Pemuda Muhammadiyah diharapkan dapat mengaktifkan kembali gerakan dakwah jama’ah dengan menjadikan masjid sebagai pusat informasi dan komunikasi antar aktivis. Dakwah jama’ah diperlukan bukan hanya untuk meningkatkan ukhuwah Islamiyah di kalangan aktivis pemuda, tetapi lebih dari itu da’wah jama’ah juga diharapkan mampu melindungi persyarikatan Muhammadiyah dari upaya “penyusupan” yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu di kalangan umat Islam yang memiliki kiprah dan ideologi yang berbeda dengan Muhammadiyah.

Selain itu, Pemuda Muhammadiyah harus memperluas jaringan dakwahnya ke seluruh masyarakat hingga menyentuh berbagai suku, ras, budaya dan adat istiadat yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Jalan yang dapat ditempuh adalah dengan menghidupkan gerakan dakwah kultural yang juga berfungsi sebagai sebagai salah satu sarana perekrutan kader-kader persyarikatan.

Dalam tatanan kehidupan beragama di tengah komunitas umat Islam, Pemuda Muhammadiyah harus mampu menampilkan dirinya sebagai teladan dalam menjembatani sekaligus memediasi setiap perbedaan pandangan, penafsiran, dan praktek keagamaan yang terjadi di kalangan umat Islam.

Pemuda Muhammadiyah harus mampu merajut dan merekatkan ukhuwah Islamiyah dengan cara mengajak semua pihak untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah secara bersama-sama.

Seiring dengan itu, Pemuda Muhammadiyah dituntut agar selalu menjadi inspirator dan motivator dalam mengembangkan dakwah Islam yang humanis, terbuka, dan mencerahkan. Pemuda Muhammadiyah menolak secara tegas segala tindak kekerasan atas nama agama dalam memperjuangkan dan menegakkan agama Islam. Agama Islam harus disampaikan dengan cara damai, santun, dan beradab agar Islam benar-benar tampil sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).

Terkait dengan heterogenitas agama di Indonesia, Pemuda Muhammadiyah harus membuka diri untuk selalu melakukan dialog antar umat beragama. Cara yang paling efektif untuk dilakukan adalah menjalin kerjasama lintas agama dalam kerja-kerja kemanusiaan. Pemuda Muhammadiyah dapat memulai gerakan ini dengan menciptakan musuh bersama (common enemy) agama-agama berupa kebodohan, kemiskinan, krisis lingkungan, bencana alam, penyakit menular, narkotika, dan lain-lain.
B. Dimensi sosial

Pada dimensi sosial, Pemuda Muhammadiyah diharapkan dapat menjadi garda terdepan dalam merajut kohesivitas sosial dengan seluruh komponen bangsa. Dengan kohesivitas sosial yang baik, seluruh anak bangsa akan dapat bekerja sama dalam membangun masa depan Indonesia yang lebih menjanjikan. Kohesivitas sosial hanya dapat diwujudkan jika keadilan dapat ditegakkan pada seluruh sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, Pemuda Muhammadiyah harus berani melawan setiap ketidakadilan yang terjadi baik yang dilakukan secara personal maupun yang diorganisir secara struktural. Pemuda Muhammadiyah berpandangan bahwa bangsa ini hanya dapat berdiri dengan kokoh atas dasar prinsip-prinsip keadilan sebagaimana telah diperintahkan Allah dalam surat Al-Nisaa’ ayat 58 yang berbunyi:

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.

Dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, Pemuda Muhammadiyah mendasarkan pokok perjuangannya kepada empat macam persoalan mendasar. Pertama, rendahnya kualitas dan tidak meratanya akses pendidikan bagi semua anak bangsa. Berkenaan dengan hal ini, Pemuda Muhammadiyah dituntut untuk melakukan terobosan-terobosan baru dalam memperjuangkan kualitas dan kuantitas lembaga-lembaga pendidikan. Di samping itu, Pemuda Muhammadiyah juga dituntut untuk selalu mengikuti, mengkritisi, sekaligus memberikan masukan konstruktif pada setiap produk regulasi pendidikan yang ditetapkan pemerintah.

Kedua, rendahnya kualitas pelayanan kesehatan masyarakat. Untuk menjawab masalah ini, Pemuda Muhammadiyah dituntut agar selalu berperan aktif dalam memperjuangkan peningkatan kuantitas dan kualitas sarana pelayanan kesehatan, peningkatan kuantitas anggaran pembiayaan kesehatan, dan sosialisasi pola dan gaya hidup sehat.

Ketiga, tingginya angka pengangguran dan maraknya tindak kriminalitas. Menyikapi masalah ini, Pemuda Muhammadiyah diharapkan dapat berpartispasi aktif dalam menciptakan lapangan kerja dan mendukung setiap usaha semua pihak yang diarahkan pada upaya perbaikan taraf hidup rakyat.

Keempat, rendahnya moral dan akhlak anak bangsa. Terkait masalah ini, Pemuda Muhammadiyah harus memprakarsai berbagai macam program yang berorientasi pada upaya revitalisasi akhlak dan moral bangsa. Upaya ini dapat dilakukan dengan cara menghidupkan kembali ajaran agama sebagai basis utama pertahanan akhlak dan moral. Selain itu, kearifan-kearifan lokal yang dijadikan sebagai panutan di masa lalu dapat dijadikan tawaran alternatif dalam mengimbangi moralitas sekuler, hedonis, dan materialis akibat perkembangan informasi dan teknologi serta arus globalisasi yang tidak terkendali.

C. Dimensi Ekonomi

Dimensi eknomi merupakan elan vital yang harus menjadi fokus perhatian utama Pemuda Muhammadiyah. Secara umum, tingkat ekonomi umat Islam masih berada di bawah tingkat ekonomi umat beragama lain. Fakta empiris menunjukkan bahwa saat ini umat Islam cenderung dijadikan sebagai sasaran market paling empuk dari negara-negara produsen. Umat Islam sama sekali tidak mampu bersaing dalam pasar global yang semakin hari semakin kompetitif. Padahal, ajaran Islam mengharuskan umat Islam untuk tidak hanya memperhatikan persoalan-persoalan ukhrawi semata, tetapi juga harus memperhatikan persoalan-persoalan duniawi sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Qashas ayat 77 yang berbunyi:

Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Melalui refleksi yang cukup dalam terhadap ayat tersebut, Pemuda Muhammadiyah merasa terpanggil untuk segera mencari solusi dalam memberdayakan ekonomi umat Islam. Langkah awal yang dapat dilakukan adalah mengembangkan sistem ekonomi syariah pada seluruh dimensi ekonomi umat sebagai antitesis terhadap sistem ekonomi kapitalis yang selama ini “menjajah” umat Islam. Pengembangan ekonomi syariah dapat dilakukan dengan mengembangkan usaha kecil dan menengah (UKM) melalui pemberdayaan lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) baik formal seperti bank, asuransi, zakat, infaq, shadaqah, dan koperasi maupun informal seperti pendirian lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berorientasi pada pemberdayaan ekonomi umat pada sektor pertanian, perikanan, dan unit-unit ekonomi kerakyatan lainnya.

Sejalan dengan itu, Pemuda Muhammadiyah juga dituntut untuk mendidik kader-kadernya agar siap diterjunkan ke dunia usaha sebagai pejuang-pejuang ekonomi umat di tengah-tengah masyarakat. Dalam konteks ini, potensi jaringan Pemuda Muhammadiyah secara nasional perlu dikembangkan sehingga memiliki daya saing yang cukup tangguh dalam menggerakkan perekenomian umat. Potensi lain yang dapat dikembangkan adalah pemberdayaan institusi-institusi Islam seperti mesjid, sekolah-sekolah Islam, majlis ta’lim, dan Islamic center sebagai pusat perekonomian umat.

D. Dimensi Politik

Pemuda Muhammadiyah berpandangan bahwa agama Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu’amalat dunyawiyah yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan perseorangan maupun kolektif. Oleh karena itu, Pemuda Muhammadiyah menilai bahwa politik dan berpolitik bukanlah hal yang dilarang oleh agama. Dan Pemuda Muhammadiyah bukanlah organisasi apolitik. Bahkan sebaliknya, Pemuda Muhammadiyah menjadikan politik sebagai salah satu sarana dakwah yang paling efektif dalam membumikan kehendak Tuhan di muka bumi. Namun demikian, Pemuda Muhammadiyah meyakini bahwa kekuasaan politik merupakan ujian yang diberikan oleh Allah kepada manusia sebagaimana firman-Nya dalam surat al-An’am ayat 165 yang berbunyi:

Artinya : Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di muka bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Oleh karena kekuasaan politik merupakan bagian dari ujian Allah, maka Pemuda Muhammadiyah harus mengarahkan perjuangan politiknya bagi kepentingan Islam dan umat Islam. Untuk mewujudkan hal tersebut, Pemuda Muhammadiyah dituntut melakukan langkah-langkah sistematis dan strategis melalui empat strategi dan lapangan perjuangan politik yaitu: Pertama, melalui kegiatan-kegiatan politik yang berorientasi pada perjuangan kekuasaan/kenegaraan (real politics, politik praktis) sebagaimana dilakukan oleh partai-partai politik atau kekuatan-kekuatan politik formal di tingkat kelembagaan negara.

Kedua, melalui kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau pemberdayaan masyarakat maupun kegiatan-kegiatan politik tidak langsung (high politics) yang bersifat mempengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan moral (moral force) untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di tingkat masyarakat dan negara.

Ketiga, mengelola fragmentasi potensi dan kekuatan politik secara baik dan benar agar seluruh kepentingan umat Islam dapat terakomodasi secara maksimal. Bila usaha untuk mempersatukan partai-partai politik Islam di bawah satu bendera sulit dilakukan, maka hal yang paling mungkin dilakukan adalah mempersatukan politisi Islam di lembaga-lembaga legislatif mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah. Meskipun kenderaan politik berbeda, namun tujuan dan orientasinya haruslah tetap sama.

Keempat, pembumian nilai-nilai keislaman di jalur kultural (cultural approach). Melalui lahan ini, Pemuda Muhammadiyah memiliki peluang yang cukup besar untuk meningkatkan energi sumber daya umat sebagai basis penguatan civil society. Target akhir yang ingin dicapai adalah agar Pemuda Muhammadiyah dapat menyalurkan aspirasi politiknya secara maksimal dalam menjaga kelangsungan agama sekaligus menata kehidupan dunia (hirasat al-din wa siyasat al-dunya).

E. Dimensi Kebudayaan dan Peradaban

Melalui kalkulasi sederhana, Pemuda Muhammadiyah memandang bahwa peradaban Barat lebih maju dari peradaban Islam, antara lain dibuktikan dengan perkembangan ekonomi, teknologi, dan stabilitas kehidupan sosial-politik yang dicapai Barat. Dengan menggunakan ukuran-ukuran yang bersifat fisik material, fenomena kebangkitan peradaban Barat merupakan keniscayaan.

Namun bila dikaji lebih dalam, kemajuan sains dan teknologi yang menjadi basis fundamental bangunan peradaban Barat justru telah menelantarkan dunia di ambang pintu krisis global yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Krisis global yang dihadapi umat manusia di planet ini telah menyentuh hampir seluruh dimensi kehidupan seperti bidang kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, ekologi, dan hubungan sosial. Krisis juga melanda dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual. Anehnya, peradaban Barat ini dijadikan sebagai cermin yang harus diikuti oleh semua negara, termasuk negara-negara Islam. Inilah yang menyebabkan rapuhnya fondasi peradaban dunia secara global.

Kerapuhan fondasi peradaban Barat itu merupakan peluang besar bagi Pemuda Muhammadiyah untuk membangun peradaban alternatif yang berdimensi moral dan spiritual. Agenda utama yang harus dikedepankan antara lain membangun kesadaran eksistensial manusia yang tidak terpisahkan dari Tuhan. Keyakinan terhadap kehadiran

Tuhan dalam seluruh dimensi kehidupan akan memberikan kekuatan sekaligus kedamaian dalam hati setiap manusia yang menjadi aktor pendukung setiap kebudayaan.

Bertolak dari realitas obyektif di atas, Pemuda Muhammadiyah dituntut untuk mewujudkan peradaban Islam masa depan dengan melakukan upaya-upaya rekonstruktif melalui upaya pembumian wahyu melalui kontekstualisasi ajaran Islam. Kontekstualisasi ajaran Islam tentu saja harus dibarengi dengan upaya eksplorasi ilmu pengetahuan (scientific exploration). Di samping itu, Pemuda Muhammadiyah juga harus mengambil peran dalam upaya mencari penemuan-penemuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan (scientific discovery). Dengan ilmu pengetahuan yang berorientasi ilahiyah-lah, tatanan kebudayaan dan peradaban dunia dapat diwujudkan secara baik.

I. Penutup

Khittah perjuangan ini harus dapat mencerminkan kemandirian Pemuda Muhammadiyah dalam menjalankan fungsinya sebagai organisasi modern yang berorientasi masa depan. Selain itu, Khittah perjuangan ini harus menjadi variabel pengubah kultur atau budaya berorganisasi kader-kader Pemuda Muhammadiyah ke arah yang lebih baik. Agar kultur dan budaya hasanah merekat dalam setiap nadi gerakan Pemuda Muhammadiyah, maka diperlukan upaya pembumian semangat saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran dan saling berlomba untuk menuju cinta dan kasih sayang Allah.

Ya Ilahi anta Maqshudana, wa ridhaka mathlubana.

Retrieved from: http://ammmerden.wordpress.com/pcpm/khittah-perjuangan-pemuda-muhammadiyah/

Related Articles >>

Sejarah Pemuda Muhammadiyah

Sejarah Pemuda Muhammadiyah


Perhatian K.H. Ahmad Dahlan kepada para Pemuda sangat istimewa. Pemuda pemuda Kauman yang terkenal bandel, oleh Kyai didekatinya dengan baik. Mereka berhasil dikumpulkan dan dihimpun dalam satu perkumpulan dan diberi nama “SISWO PROYO”. Mereka diberi pendidikan agama dan budi pekerti serta ketrampilan.

Sekitar tahun 1918 KH. Ahmad Dahlan pergi bertabligh ke Solo. Ketika beliau lewat di muka istana Mangkunegaran Solo, Beliau sempat melihat para Pemuda pemudi remaja berbaris dengan tertib dan rapi. Pakaian mereka seragam bertopi dan dilehernya melihat saputangan yang seragam pula.Mereka kelihatan gagah dan selalu gembira riang.

Sesampainya di Yogyakarta, Kyai menceritakan apa yang baru saja dilihatnya di Solo kepada para murid-muridnya. Seorang menteri Guru Bapak Romodirdjo yang ikut KH. Ahmad Dahlan menjelaskan bahwa para pemuda itu ialah Pedvinder Mangkunegaran. Pedvinder adalah Organisasi anak anak yang mengikuti gerakan kepanduan. Mereka dilatih baris berbaris seperti militer, dilatih hidup sederhana, diberi pendidikan budipekerti dan diberi bimbingan untuk suka memberi pertolongan kepada orang lain.

Dengan cepat K.H.Ahmad Dahlan menjawab. Kalau begitu anak anak kita (Muhammadiyah) perlu diberi pendidikan semacam itu. Sikap Kyai yang senang terhadap cara baru itu mendapat sambutan para murid-muridnya dengan penuh semangat.

Salah satu murid K.H. Ahmad Dahlan yaitu Sarbini seorang guru SD. Muhammadiyah kebetulan pernah menjadi serdadu Belanda, dia mahir baris berbaris, mahir meniup terompet dan memukul tambur (genderang) serta pandai pula menggunakan senjata api. maka oleh Kyai, Pemuda Sarbini ditunjuk untuk melatih para Pemuda-pemuda Muhammadiyah. Sebagian Pemuda-pemudi tersebut ada yang mahir dalam mengadakan berbagai permainan dan olahraga. Maka jadilah para Pemuda Muhammadiyah terkumpul dalam satu organisasi kepanduan dengan pakaian seragam. Mereka berlatih dengan semangat dan penuh kegembiraan. Sejak saat itu berdirilah “Padvinder Muhammadiyah

Agar Padvinder Muhammadiyah lebih teratur maka dibentuklah pengurus yang terdiri :

Ketua : H. Muhtar

Wakil Ketua : R.H. Hadjid

Sekretaris : Somodirdjo

Keuangan : Abdul Hamid BKN.

Organisasi : Siradj Dahlan

Komandan : Sarbini Damiri

Pada waktu mulai berdirinya, Padvinder Muhammadiyah dalam latihan latihan masih menggunakan aba-aba bahasa Belanda, seperti yang digunakan oleh serdadu Belanda. Dalam perkembangannya setelah Padvinder Muhammadiyah lebih teratur maka aba-aba dalam latihan digunakan bahasa sendiri. Dengan cara ini maka tertanamlah semangat cinta tanah air.

Semua perlengkapan dan seragam ditentukan dan disesuaikan dengan jiwa dan semangat Muhammadiyah.

Warna baju : Coklat

Warna celana : Biru

Kedua warna tersebut yaitu coklat dan biru melambangkan warna tanah dan air. Hal ini dimaksudkan agar para Padvinder Muhammadiyah memiliki semangat cinta tanah air yaitu Indonesia.

Warna kacu leher : Hijau dengan di beri simbul matahari Muhammadiyah berwarna putih ditiap tiap sudutnya dituliskan H.W. singkatan dari Hizbul Wathan yang artinya cinta tanah air. Warna hijau pada kacu leher melambangkan kesuburan tanah air Indonesia. Secara resmi nama Padvinder Muhammadiyah diganti menjadi Hizbul Wathan yang berarti prajurit tanah air atau cinta tanah air.

Pelajaran kepanduan lebih disempurnakan disesuaikan dengan jiwa Muhamamdiyah. Pelajaran-pelajaran H.W. disamping baris berbaris yang sudah menggunakan aba-aba dengan bahasa daerah (Jawa) yang kemudian menggunakan bahasa Melayu (Indonesia) maka pelajaran H.W. lebih ditekankan kepada memperdalam ibadah dan akhlaq Islam, ditambah dengan seni bela diri, PPPK.


Simbul H.W. juga ditentukan yaitu berupa kuncup bunga dengan tulisan :

“FASTABIQUL KHAIRAT”
artinya : Berlomba-lombalah dalam kebaikan, yang ditulis pada pita dibawahnya.

lagu Mars H.W. juga dibuatnya. Lagu tersebut mampu berkembang dengan pesatnya keseluruh tanah air. Dimana-mana orang mengenal Pandu H.W. Pandu yang bukan H.W. pun orang menyebutnya Pandu H.W. Sampai terjadi disuatu kota pandu cina juga disebut Pandu H.W. Begitulah gambaran terkenalnya H.W. pada waktu itu. Karena pesatnya H.W. maka Pimpinan Pusat Muhammadiyah dianggap perlu membentuk bagian khusus yang mengurusi H.W. disebut dengan Majlis H.W. secara resmi Bagian atau Majlis H.W. dibentuk pada tahun 1924.

Kemudian pada Muktamar Muhammadiyah ke-20 di Makassar. dibentuk pula Muhammadiyah Bagian Pemuda dibentuk untuk menampung Pemuda Pemuda yang aktif di Muhammadiyah tapi kurang tertarik dengan H.W. Banyak para asuhan H.W. ketika meletus perang Kemerdekaan menerjunkan diri kedalam militer memanggul senjata melawan Belanda yang berusaha menjajah kembali bangsa Indonesia. Panglima Besar TNI yang pertama ialah seorang anak hasil didikan H.W. dan seorang pemimpin H.W. di Banyumas.

Pada tanggal 10 Maret 1961 Presiden Soekarno memanggil para Pandu pandu Indonesia yang jumlahnya tidak kurang dari 60 pandu. Presiden menyampaikan amanatnya bahwa adanya banyak perkumpulan pandu pandu di Indonesia tidak mencerminkan adanya persatuan bangsa Indonesia. Oleh karena itu pandu pandu harus bersedia meleburkan diri dalam satu wadah Kepanduan saja yaitu yang diberi nama Pramuka (Praja Muda Karana). Kemauan Presiden tidak bisa di tolak lagi. Dengan rasa berat hati para Pimpinan Pandu-pandu yang terpaksa menerima yang menjadi kehendak Presiden Soekarno.

Maka pada tanggal 28 Syawal tahun 1380 H, bertepatan dengan tanggal 15 Maret 1961 para pandu-pandu yang ada membubarkan diri dan meleburkan diri dalam satu wadah Kepaduan yaitu Pramuka yang sekarang ada. Pada tanggal tersebut sungguh suatu peristiwa yang bersejarah dan mengharukan bagi pandu pandu di Indonesia. Bendera pandu-pandu diturunkan dan diganti dengan pandu Pramuka dengan gambar Tunas Kelapa.

Retrieved from: http://ammmerden.wordpress.com/pcpm/sejarah-pemuda-muhammadiyah/ (May 17, 2010)

---------------------------------------------------------

Sejarah Organisasi

Awal berdirinya Pemuda Muhammadiyah secara kronologis dapat dikaitkan denga keberadaan Siswo Proyo Priyo (SPP), suatu gerakan yang sejak awal diharapkan KH. Ahmad Dahlan dapat melakukan kegiatan pembinaan terhadap remaja/pemuda Islam. Dalam perkembangannya SPP mengalami kemajuan yang pesat, hingga pada Konggres Muhammadiyah ke-21 di Makasar pada tahun 1932 diputuskan berdirinya Muhammadiyah Bagian Pemuda, yang merupakan bagian dari organisasi dalam Muhammadiyah yang secara khusus mengasuh dan mendidik para pemuda keluarga Muhammadiyah. Keputusan Muhammadiyah tersebut mendapat sambutan luar biasa dari kalangan pemuda keluarga Muhammadiyah, sehingga dalam waktu relatif singkat Muhammadiyah Bagian Pemuda telah terbentuk di hampir semua ranting dan cabang Muhammadiyah. Dengan demikian pembinaan Pemuda Muhammadiyah menjadi tanggung jawab pimpinan Muhammadiyah di masing-masing level. Misalnya, di tingkat Pimpinan Pusat Muhammadiyah tanggung jawab mengasuh, mendidik dan membimbing Pemuda Muhammadiyah diserahkan kepada Majelis Pemuda, yaitu lembaga yang menjadi kepanjangan tangan dan pembantu Pimpinan Pusat yang memimpin gerakan pemuda.

Selanjutnya dengan persetujuan Majelis Tanwir, Muhammadiyah Bagian Pemuda dijadikan suatu ortom yang mempunyai kewenangan mengurusi rumah tangga organisasinya sendiri. Akhirnya pada 26 Dzulhijjah 1350 H bertepatan dengan 2 Mei 1932 secara resmi Pemuda Muhammadiyah berdiri sebagai ortom.

Dinamika Gerakan

Kendati secara resmi baru berdiri pada 2 Mei 1932, Pemuda Muhammadiyah tidak bisa dipisahkan dari pertumbuhan awal Muhammadiyah. Di daerah-daerah di Jawa Timur, berdirinya Muhammadiyah sering didahului oleh kegiatan-kegiatan yang dipelopori oleh kalangan pemuda. Pada awal pertumbuhan Muhammadiyah di berbagai daerah, cabang dan ranting mengadakan kegiatan-kegiatan di bidang kepemudaan dan kepanduan. Cabang-cabang dan ranting mengadakan HW yang menjadi wadah pembinaan anak-anak muda Muhammadiyah. Usaha-usaha pendirian HW dilakukan oleh cabang dan ranting sejak awal pertumbuhan Muhammadiyah.

Pertumbuhan Pemuda Muhammadiyah pada dekade 1930-an tergolong dinamis, dan paruh kedua dekade itu setiap cabang memiliki bagian Pemuda Muhammadiyah. Terbukti dengan pelaksanaan konferensi-konferensi daerah yang diikuti oleh pimpinan Pemuda Muhammadiyah cabang dan ranting. Pada 1937, dilaksanakan konferensi Pemuda Muhammadiyah di berbagai daerah.

Retrieved from: http://pdpmgresik.wordpress.com/anggaran-dasar/

Related Articles >>

Khittah perjuangan Pemuda Muhammadiyah

Thursday, April 29, 2010

Sejarah IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah)


Latar belakang berdirinya IPM tidak terlepas dari latar belakang berdirniya Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah Islam Amal Ma’ruf Nahi Munkar dan sebagai kensekuensi dari banyaknya sekolah yang merupakan amal usaha Muhammadiyah untuk membina dan mendidik kader.

Di samping itu situasi dan kondisi politik di Indonesia pada era rahun 1956-an, dimana pada masa ini merupakan masa kejayaan PKI dan masa Orde lama. Muhammadiyah menghadapi tantangan yang sangat berat dari berbagai pihak. Sehingga karena itulah dirasakan perlu adanya dukungan terutama untuk menegakkan dan menjalankan misi Muhammadiyah. Oleh karena itu kehadiran Ikatan Pelajar Muhammadiyah sebagai organisasi para pelajar yang terpanggil pada misi Muhammadiyah dan ingin tampil sebagai pelopor, pelangsung dam penyempurna perjuangan Muhammadiyah.

Upaya dan keinginan pelajar Muhammadiyah untuk mendirikan organisasi pelajar Muhammadiyah telah dirintis sejak tahun 1919. Akan tetapi selalu saja mendapat halangan dan rintangan dari berbagai pihak, termasuk oleh Muhammadiyah sendiri. Aktivitas pelajar Muhammadiyah untuk membentuk kader organisasi Muhammadiyah di kalangan pelajar akhirnya mendapat titik –titik terang dan mulai menunjukkan keberhasilannya, yaitu ketika pada tahun 1958, Konferensi Pemuda Muhammdiyah di garut menempatkan organisasi pelajar Muhammmadiyah di bawah pengawasan Pemuda Muhammadiyah.

Keputusan Konferensi Pemuda Muhammadiyah di Garut tersebut diperkuat pada Muktamar Pemuda Muhammadiyah II yang berlangsung pada tanggal 24-28 Juli 1960 di Yogyakarta yakni dengan memutuskan untuk membentuk IPM (Keputusan II/ no.4).

Keputusan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
Muktamar meminta kepada PP Muhammdiyah Majelis Pendidikan bagian Pendidikan dan pengajaran supaya memberi kesempatan dan mengerahkan Kompetensi Pembentukan IPM kepada Pemuda Muhammadiyah.
Muktamar mengamanahkan kepada PP Pemuda Muhammadiyah untuk menyusun konsepsi Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan untuk segera dilaksanakan setelah mencapai persesuaian pendapat dengan PP Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Pegajaran.

Setelah ada kesepakatan antara PP Pemuda Muhammadiyah dan PP Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Pengajaran pada tangggal 15 Juni 1961 ditandatanganilah peraturan bersama tentang organisasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah.

Rencana pendirian IPM tersebut dimatangkan lagi di dalam Konferensi Pemuda Muhammadiyah di Surakarta tanggal 18-20 Juli 1961 dan secara nasional melalui forum tersebut IPM dapat berdiri dengan Ketua Umum Herman Helmi farid Ma’ruf, Sekretaris Umum Muhammmad Wirsyam Hasan.

Ditetapkan pula pada tangggal 5 Shafar 1381 bertepatan tanggal 18 Juli 1961 M sebagai hari kelahiran Ikatan Pelajar Muhammadiyah.

Retrieved from: http://www.pemudiy.co.cc/2010/04/sejarah-ipm-ikatan-pelajar-muhammadiyah.html (April 29, 2010)

Wednesday, April 28, 2010

Reposisi Politik Alokatif Muhammadiyah

Okezone.com
Marpuji Ali
Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah
Bermula dari gerakan Islam, Muhammadiyah saat ini telah menjelma menjadi kekuatan dakwah, ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial budaya, dan politik yang konkret. Mukti Ali menyebut sebagai gerakan dzuu wujuuh.
Dikatakan konkret karena Muhammadiyah benar-benar memiliki amal usaha nyata di bidang-bidang itu, kecuali dalam ranah politik yang minus partai politik (baca: tidak memiliki amal usaha politik). Dengan kata lain, saluran politik Muhammadiyah tidak diartikulasikan dalam wujud pendirian partai politik. Meskipun demikian, harus segera ditambahkan bahwa ada sebagian elite pimpinan Muhammadiyah yang terlibat dan melibatkan diri dalam aktivitas kepartaian.

Misalnya: Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah saat ini adalah mantan ketua Litbang Golkar dan Amien Rais mengundurkan diri dari Ketua PP Muhammadiyah untuk terjun ke kancah politik praktis dengan mendirikan PAN. Secara normatif, konstruksi ideal relasi Muhammadiyah dan politik sudah cukup terang. Khitah 1971 hasil Muktamar Muhammadiyah Ke-38 di Ujungpandang masih berlaku dan menjadi pegangan kuat warga Muhammadiyah dalam berpolitik hingga saat ini.

Khitah 1971 menandaskan bahwa “Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam bidang kehidupan manusia dan masyarakat dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari suatu partai politik atau organisasi apapun”. Diktum itu sangat jelas, Muhammadiyah tidak menghimpitkan diri dan berhimpitan dengan partai politik manapun.

Kalau Muhammadiyah tidak memiliki artikulasi partai politik, pertanyaannya adalah, bagaimana wujud dakwah politik Muhammadiyah untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara? Pertanyaan selanjutnya, sudah efektifkah pilihan strategi politik yang dilakukan Muhammadiyah selama ini? Ada dua sebutan untuk menamai artikulasi dakwah politik Muhammadiyah, yaitu: high politics yang diperkenalkan Amien Rais, untuk membedakannya dengan low politics sebagaimana dilakukan oleh partai-partai politik (Maarif, UQ/1995) dan allocative politics, untuk membedakan dengan constitutional politics, model Din Syamsuddin (Din Syamsuddin,1990).

Keduanya menunjukkan idealisme politik Muhammadiyah, yaitu politik adiluhung yang berpayung amal saleh sebagai terjemahan dari semangat dakwah amar ma’ruf nahi munkar untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya bukan untuk menempati kekuasaan di legislatif ataupun eksekutif sebagaimana dilakukan partai politik. Secara teoritis, konsep politik alokatif yang diperkenalkan Din Syamsuddin dipinjam dari David Easton.

Politik alokatif adalah kegiatan politik untuk mengalokasikan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat untuk dikontribusikan ke dalam proses politik yang sedang berlangsung. Dalam konteks Muhammadiyah, politik alokatif adalah mengambil bentuk pengalokasian prinsip-prinsip Islam untuk dikontribusikan ke dalam proses politik pembangunan (baca: politik kebangsaan) berdasarkan Pancasila (Din Syamsuddin, 1990). Di tingkat normatif, sampai saat ini pilihan politik alokatif menjadi sebuah keniscayaan bagi persyarikatan.

Gagasan untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik tampaknya belum memperoleh tempat yang memadai dan sulit diterima oleh akal sehat di internal keluarga besar Muhammadiyah. Mempertimbangkan kecenderungan tersebut di atas, maka tulisan ini akan mencurahkan perhatian pada bagaimana memperkuat daya tawar Muhammadiyah sebagai salah satu kekuatan masyarakat sipil dalam menjalankan politik alokatif.

Ibarat sebuah mobil, elite/pimpinan Muhammadiyah adalah sopirnya. Ia harus mahir dan lincah mengendarai; tahu persis kapan harus menginjak gas dan kapan pula harus menginjak rem sehingga kendaraan dapat melaju dengan kecepatan tinggi, tetapi tetap memperhitungkan keselamatan penumpangnya. Kondisi kendaraan dan situasi jalan juga harus menjadi dasar pertimbangan pengemudi dalam menjalankan kendaraannya.

Senafas dengan ilustrasi tersebut, supaya memiliki daya tawar yang memadai, pengemudi (elite pimpinan) Muhammadiyah juga harus lincah dalam melakukan diplomasi dan lobi sehingga nilai-nilai Islam yang akan dialokasikan itu dapat dipahami dan diterima oleh pemegang tampuk kekuasaan. Selanjutnya, pemegang otoritas kekuasaan itulah yang akan mengeksekusinya dalam bentuk tindakan politik. Untuk mendiskusikan penguatan politik alokatif ini akan lebih terang bila didahului dengan perbincangan tentang persentuhan Muhammadiyah dan politik.

Pergumulan Muhammadiyah di Gelanggang Politik

Pergumulan Muhammadiyah di gelanggang politik sungguh unik. Dikatakan unik karena meskipun corak hubungan Muhammadiyah dan politik bersifat fluktuatif, Muhammadiyah dalam sejarahnya belum pernah bermetamorfosa menjadi partai politik. KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, membangun komunikasi yang intensif dengan kekuatan-kekuatan politik saat itu, yaitu Budi Utomo dan Syarikat Islam.

Meskipun memiliki kedekatan dengan elite kedua kekuatan politik itu, tetapi KH Ahmad Dahlan tidak berminat untuk berada di puncak pimpinannya. Kedekatan itu untuk mempermudah saluran-saluran (alokasi nilai-nilai) dakwah di kedua kekuatan politik tersebut. Pengutamaan pendekatan dakwah dengan cara damai, bersifat kultural, juga sangat menonjol ketika berhadapan dengan penganut agama lain.

Meskipun ada tesis yang menyebutkan bahwa Muhammadiyah hadir untuk membendung gelombang kristenisasi yang semakin agresif (Alwi Shihab, 1998), upaya itu tidak dilakukan dengan cara kekerasan. Terdapat begitu banyak fakta bahwa KH Ahmad Dahlan bersahabat baik dengan pastor dan pendeta bahkan tidak sungkan mengajak peserta didiknya untuk berkunjung ke gereja.

Kiai Dahlan sadar betul bahwa kunci kemajuan sedang berada di tangan mereka. Oleh karena itu, untuk memajukan umat Islam, tidak ada kata lain kecuali harus meminjam senjatanya, yaitu perkakas ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Maka tidak aneh bila amal usaha pertama yang dirintis adalah pondok modern dan atau sekolah. Muhammadiyah juga memilih bersikap akomodatif terhadap penjajah Belanda.

Salah satu bentuk artikulasi akomodatif adalah dengan mau menerima subsidi pendidikan untuk sekolah-sekolah Muhammadiyah yang dinilai berkualitas unggul oleh Belanda. Sikap Muhammadiyah ini tak pelak lagi ditentang keras oleh organisasi pergerakan kebangsaan lain. Mereka menilai sikap Muhammadiyah terlalu lunak dengan penjajah Belanda. Penilaian itu berangsur-angsur pudar tatkala Muhammadiyah juga menentang keras kebijakan Belanda untuk menertibkan sekolah liar/swasta pada tahun 1932 (H Aqib Suminto, 1996).

Dari peristiwa ini kita belajar bahwa fasilitas/bantuan yang diterima dari penguasa tidak sertamerta menghalangi untuk bersikap kritis Muhammadiyah kepada pemerintah Belanda. Sebab, fasilitas/bantuan itu diterima secara proporsional (hanya sekolah yang berstandar) bukan untuk membeli loyalitas. Kritik yang diutarakan juga proporsional karena kebijakan itu mengganggu pertumbuhan dan perkembangan sekolah swasta berideologi kebangsaan yang memang sedang tumbuh subur bak cendawan di musim penghujan pada dekade ketiga abad kedua puluh..

Sikap dan strategi yang ditempuh Muhammadiyah itu membuktikan bahwa meskipun bukan partai politik, ternyata memiliki dampak politik yang signifikan. Sebab, menurut kajian Alfian (1989), dengan cara begitu Muhammadiyah mampu mempersiapkan infrastruktur pendidikan, sosial, kesehatan, dan keagamaan alternatif. Sebuah haluan yang berseberangan dengan politik penjajah yang berusaha mempertahankan wilayah jajahannya. Infrastruktur alternatif yang ditawarkan Muhammadiyah mampu mengemansipasikan bangsa Indonesia.

Buah dari pilihan strategi itu, umat Islam lebih siap menyongsong dan mengisi kemerdekaan karena telah tersedia produksi sumber daya manusia yang siap tampil menjadi kelompok elite politik yang berpengaruh. Baru pada era kepemimpinan Mas Mansur (1936–1942) Muhammadiyah mengalami gelombang pasang politik. Ahmad Syafii Maarif (1995) berpendapat, “Mas Mansur adalah pendiri kedua Muhammadiyah dalam arti telah memberi warna politik kepada gerakan Islam ini.” Penilaian Buya nampaknya tidak berlebihan.

Sebab, Mas Mansur adalah seorang bidan yang penting dalam MIAI dan PII (Partai Islam Indonesia). Hal ini terjadi karena di samping dorongan internal perserikatan, juga tuntutan keadaan kekuatan partai politik melemah, namun situasi politik meningkat (MT Arifin, 1990). MT Arifin menambahkan bahwa pada era kepemimpinan Mas Mansur berhasil meletakkan konvensi partisipasi politik Muhammadiyah, yaitu mempertahankan Muhammadiyah sebagai organisasi yang bergerak di bidang kemasyarakatan namun mengembangkan pula visi dan tindakan politik melalui lembaga-lembaga lain yang didasarkan atas kesambungan ideologis.

Konvensi politik inilah yang kemudian diformulasikan dengan bahasa keilmuan sebagai politik alokatif oleh Din Syamsuddin ataupun high politics dalam pandangan Amien Rais. Formulasi politik alokatif Muhammadiyah tersebut ternyata juga diartikulasikan dengan nuansa yang berlainan oleh elite pimpinan Muhammadiyah.

Bentuk artikulasi politik alokatif dalam konteks kenegaraan perlu dibaca secara jernih dan objektif. Pembacaan terhadap gerak politik alokatif Muhammadiyah bisa menjadi cermin sekaligus bahan evaluasi untuk menilai sejauh mana efektivitasnya dalam mengalokasikan nilai-nilai/moral Islam kepada para pemegang otoritas kekuasaan.(*)
Melalui kajian intensif dan ekstensif, Syarifuddin Jurdi (2010) berhasil menemukan corak atau ciri khas kepemimpinan Muhammadiyah dalam setiap periode.
Corak kepemimpinan itu terbentuk bukan hanya karena faktor watak pribadi pemimpin persyarikatan bersangkutan, tetapi juga didorong oleh situasi politik nasional yang berkembang. Meminjam bahasa almarhum Yasri Suleman, yang tengah merampungkan disertasi tentang kepemimpinan Muhammadiyah tetapi dipanggil Sang Khalik sebelum menyelesaikan tugas akhirnya itu, bahwa “Muhammadiyah melahirkan pimpinan sesuai dengan kebutuhan zamannya.”

Tesis Yasri Sulaiman nampaknya sangat relevan untuk memahami siklus kepemimpinan di Muhammadiyah. Pada era kepemimpinan AR Fachruddin (1968–1990) orientasi politiknya bersifat moderat dan akomodatif terhadap pemerintah. Untuk mengalokasikan nilai-nilai Islam (baca: aspirasi politiknya) kepada penguasa (Presiden Soeharto), AR Fachruddin melakukannya dengan jalan bertemu langsung, bertatap muka, mengutamakan dialog, dan menghindari kritik terbuka.

Konon, tidak jarang dalam dialog dengan Presiden Soeharto, AR Fachruddin menggunakan bahasa Jawa krama inggil sehingga semakin mendekatkan, sekaligus mencairkan pembicaraan. Dengan cara demikian, maka diplomasi dan lobi Muhammadiyah memiliki peluang yang besar untuk didengarkan dan diterima penguasa. Langgam kepemimpinan AR Fachruddin yang bercorak moderat-akomodatif, kemudian berubah haluan 180 derajat ketika Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Amien Rais (1994–1998).

Amien Rais bersikap kritis konstruktif terhadap pemerintah dan menyuarakan kritik secara terbuka terkait ketimpangan politik dan ekonomi. Bahkan, wacana suksesi kepemimpinan nasional yang digulirkannya kemudian terus menggelinding bagaikan bola salju sehingga membuat rezim yang berkuasa kerepotan. Perubahan gaya kepemimpinan itu bisa dipahami mengingat pada era AR Fachruddin rezim Soeharto sedang dalam posisi yang amat kuat, begitu berkuasa.

Di sebelah berbeda, ketika Amien Rais memimpin persyarikatan, rezim Soeharto sudah melemah karena ideologi pembangunan (ekonomi) yang menjadi haluan utamanya mulai mengalami anomali dan runtuh oleh gelombang krisis multidimensional. Tentu saja pembawaan AR Fachruddin sebagai ulama, dan watak Amien Rais sebagai sosok cendekiawan ikut memberi nuansa dalam gaya kepemimpinannya.

Era kepemimpinan Ahmad Syafii Maarif (1998–2005) merefleksikan keinginan kuat untuk mempertahankan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bercorak sosial keagamaan dan berwatak inklusif. Pembawaan Buya yang dingin dan intelektualis, lebih sering menyuarakan gagasannya melalui tulisan ketimbang perkataan, seolah menjadi obor bagi persyarikatan dan bangsa Indonesia yang tengah mengalami kegalauan akibat euforia kebebasan.

Di dalam tubuh persyarikatan sendiri muncul keinginan kuat dari sebagian elite agar Muhammadiyah melibatkan diri dalam kancah politik praktis. Bukan hanya itu, infiltrasi ideologi Islam lain semakin terasa hentakannya. Dalam situasi demikian, ada keinginan kuat dari ormas dan partai Islam untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta dan melakukan daya upaya untuk memformalkan syariat Islam. Naluri politik kebangsaan Muhammadiyah muncul, Buya Syafii termasuk berada di barisan depan untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Terakhir, periode kepemimpinan Din Syamsuddin (2005–2010) yang masih berlangsung agaknya sulit ditebak. Namun, dari rekam jejaknya selama lima tahun terakhir sketsanya agak cukup jelas. Dari segi pola kepemimpinan, Din Syamsuddin lebih dekat dengan gaya Amien Rais (saat memimpin persyarikatan), yaitu bersikap lugas dan berani bersuara kritiskonstruktif secara terbuka kepada pemerintah.

Dengan gaya kepemimpinan seperti itu, maka Muhammadiyah seolah-olah menjadi kekuatan oposisi sehingga mengalami kesulitan untuk berdialog dan melakukan lobi kepada pemerintah melalui cara-cara konvensional. Di tengah kebuntuan komunikasi itu, pengalokasian nilai atau aspirasi politik dilakukan dengan jalan berbeda. Sebagai contoh, barangkali dapat kita saksikan saat “Gerakan Indonesia Bersih” melakukan konsolidasi di gedung dakwah Muhammadiyah sebelum terjun di lapangan. Cara ini nampaknya sebuah tradisi baru dalam Muhammadiyah.

Mengefektifkan Praktik Politik Alokatif

Berdasarkan paparan artikulasi politik alokatif tersebut di atas, ditemukan beragam bentuk pola kepemimpinan dan itu amat bergantung pada gaya yang melekat pada diri ketua/ketua umum. Berbeda dengan indikator keberhasilan partai politik yang bisa dilihat secara kasatmata, yaitu seberapa banyak wakilnya yang menduduki kursi di lembaga eksekutif dan legislatif. Ukuran keberhasilan politik alokatif agak sulit diukur karena berkaitan dengan pengalokasian nilai atau moral, yaitu seberapa jauh kepentingannya terakomodasikan dalam proses pengambilan keputusan politik (M Rusli Karim,1992).

Muhammadiyah akan efektif mengartikulasikan kepentingannya dalam proses pengambilan sikap politik apabila mampu merealisasikan fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) Kemampuan persyarikatan dalam menangani masalah intern dan ekstern; (2) Pengalaman sejarah masa lalu; (3) Tersedianya pemimpin yang memiliki kemampuan bernegosiasi dan beradaptasi dengan pihak luar; (4) Adanya program yang realistis dan jelas arah/sasarannya yang relevan dengan tuntutan masyarakat; (5) Kepemimpinan yang solid/kompak dan fleksibel; (6) Kemampuan melakukan antisipasi terhadap tren perkembangan politik, ekonomi, dan sosial budaya; (7) Dukungan dari anggota dan suprastruktur politik (M.Rusli Karim,1992).

Untuk menjalankan fungsi tersebut secara optimal, tidak ada pilihan lain, pertama-tama Muhammadiyah harus mempunyai “dapur pemikiran” yang bertugas memberi masukan dan memasok data-data faktual yang sedang menjadi tren global. Sumber daya manusia di perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) bisa memerankan tugas tersebut. Dengan cara demikian, akan menambah rasa percaya diri pimpinan Muhammadiyah dalam bernegosiasi.

Pada saat bersamaan, para pengambil keputusan politik juga akan lebih mempercayai aspirasi yang ditawarkan Muhammadiyah karena didukung dengan data yang akurat dan faktual. Kedua, mengingat proses desentralisasi kekuasaan semakin nyata, kepala daerah memiliki otoritas kekuasaan yang jauh lebih besar dari pada pemerintah pusat, maka Muhammadiyah tidak bisa lagi mengandalkan kekuatan diplomasi hanya di tingkat Pimpinan Pusat (PP).

Muhammadiyah harus mampu menyiapkan kader-kader di tingkat daerah (lokal) yang handal untuk berkomunikasi dan berdialog secara langsung dengan pemegang kekuasaan daerah setempat. Hal ini bisa dilakukan dengan jalan merintis “sekolah kepemimpinan” ataupun “kursus pengaderan politik” yang materinya berkaitan dengan persoalan tersebut. Perlu digarisbawahi bahwa untuk mengefektifkan peran politik alokatif Muhammadiyah di masa depan kebutuhan terhadap “dapur pemikiran” sebagai pemasok ide dan “kursus kepemimpinan” sebagai produsen pemimpin yang tangguh berdiplomasi tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Dengan kata lain, Muhammadiyah sudah tidak bisa lagi mengandalkan pada ketokohan ketua/ketua umum melalui “one man show” dalam melakukan lobbying, tetapi harus mengedepankan rancangan atau desain yang matang sehingga kekuatan kolektif yang lebih menonjol. Dengan cara demikian, maka siapa pun ketua/ketua umumnya harus menyesuaikan diri kebutuhan Muhammadiyah, bukan Muhammadiyah terbawa larut ataupun menyesuaikan diri dengan gaya kepemimpinan ketua/ketua umumnya. Nashrun minallah, wafathun karim.(*)
Retrieved from:http://news.okezone.com/read/2010/04/27/58/326693/58/reposisi-politik-alokatif-muhammadiyah-1
Selasa, 27 April 2010 - 10:40 wib
http://news.okezone.com/read/2010/04/28/58/327092/reposisi-politik-alokatif-muhammadiyah-2
Rabu, 28 April 2010 - 10:10 wib

Saturday, April 24, 2010

Reformist Muslims in Yogyakarta Village: The Islamic Transformation of Contemporary Socio-religious Life

Kim, Hyung-Jun. 2007. Reformist Muslims in Yogyakarta Village: the Islamic transformation of contemporary socio-religious life. Canberra: ANU E Press.

  • Paperback: 295 pages
  • Publisher: Australian National University (1996)
  • Language: English
  • ISBN-10: 1920942343
  • ISBN-13: 978-1920942342
Abstract

This study examines the religious life of reformist Muslims in a Yogyakarta village. The foci of this discussion are on Muslim villagers' construction, with the help of the reformist paradigm, of the image of the 'good Muslim' and 'Muslim-ness', on their efforts to incorporate an (reformist) Islamic framework to question taken-for-granted practices and ideas, on the position of traditional practices and ideas and their relation to reformist Islam, and on the interplay of villagers who show a strong commitment to reformist Islam with those who do not. Another topic which is investigated in this study is the interactions between Muslim and Christian villagers and the impacts of Christian presence on the process by which Muslims define themselves, their neighbours, their religion and their religious community.

After examining the recent socio-economic developments in a Yogyakarta village in Chapter two, this study deals with the development of reformist Islam, the process whereby a group of reformist villagers has been formed and its impact on the religious life of Muslim villagers in Chapter three. The formation of this group precipitated a differentiation of Muslim villagers in terms of their religious outlook and of their participation in religious activities, and has accelerated the diversification of the meaning of 'Muslim-ness'.

Chapter four looks at the notion of 'Muslim-ness', or of 'being a Muslim' supported by the reformist villagers and the interactions between villagers who show a strong commitment to reformist Islam and those who do not. The analysis shows that the profession of faith (sahadat) or circumcision, which was once considered to be a sufficient condition to make someone a Muslim, is no longer regarded so by the reformist villagers. Instead, they put absolute emphasis on the fulfilment of faith, such as carrying out daily prayer and the fast, as the central part of the notion of ‘Muslim-ness’. The different religious understandings and practices among Muslim villagers have not become a basis of social conflict. No villagers try to involve themselves in the religious life of others, are willing to instruct other people and to make explicit the controversial aspect of others' religious behaviour in public. These attitudes help to create a social environment where the norm of harmony is maintained.

From Chapter five to Chapter eight, the focus is placed on several changes which have taken place as Islamic development has accelerated. Chapter five examines the way traditional rituals are interpreted by Muslim villagers and the emergence of a new Islamic tradition. It shows that the process by which an Islamic tradition emerges from a syncretic background is not simply one of imposing a certain criterion on traditional practices and ending them, but of questioning their relevance, abandoning what cannot be accommodated, reinterpreting what can be made harmonious with reformist Islam and recontextualising them in Islamic terms.

In Chapter six, traditional belief in supernatural beings, supernatural power, and related practices are examined. The reformist villagers try to challenge and reformulate the nature of supernatural beings by equating them with the Islamic concept of the malevolent jinn and by condemning villagers' contact with them as syirik, or the negation of the Oneness of Allah.

Chapters seven and eight deal with the impact of the presence of Christians on the religious life of Muslims. The study shows that their presence has prompted the formation of a clear boundary based on religious identity and of the idea of 'in-group' and 'out-group', and that the importance of religious identity has begun to extend into non-religious domains. The alleged threat of Christians have also prompted the reformist villagers to defend the umat Islam, and their specific mode of attacking Christianity has instated the concept of akal (reason) not only as a way to expose the absurdity of Christian theology but as a way to evaluate their own religious practices and ideas.

Indonesia's Salafist Sufis

Indonesia's Salafist Sufis1


JULIA DAY HOWELLa1
a1 Griffith Asia Institute, Griffith University, Nathan, Queensland 4111, Australia Email: j.howell@griffith.edu.au

Abstract

Islam's devotional and mystical tradition, Sufism (tasawwuf), is commonly cast as antithetical to Salafi Islam. Self-identified ‘Salafis’, with their ideological roots in anti-liberal strands of twentieth-century modernist Islam, do commonly view Sufis as heretics propagating practices wrongly introduced into Islam centuries after the time of the pious ancestors (the Salaf). Yet reformist zeal that fixes on the singular importance of the Salaf (particularly the Prophet Muhammad and his principal companions) as models for correct piety can also be found amongst Sufis. This paper calls attention to the Salafist colouration of Sufism in two areas of popular culture: television preaching and the popular religious ‘how-to’ books and DVDs that make the preachers’ messages available for purchase. It reprises the teachings of two of the best known Indonesian Muslim televangelists, ‘Hamka’ (b. 1908, d. 1981) and M. Arifin Ilham (b. 1969), both of whom also happen to be champions of Sufism, and analyses the different rhetorical uses each has made of references to the ‘Salaf’ and the notion of ‘Salafist’ Islam.

Footnotes

1 The assistance of the Australian Research Council, which supported the research on which this paper is based with a Discovery grant, is acknowledged with appreciation. The author warmly thanks Ahmad Najib Burhani, who assisted with the interviews referenced in the text, as well as colleagues who kindly devoted their time to critiquing the text: Muhamad Ali, Harry Aveling, Michael Feener, Anthony Johns, Akh Muzakki, Merle Ricklefs and the journal's reviewers. Naturally, the responsibility for any remaining errors and shortcomings is entirely the author's.

Citation:

JULIA DAY HOWELL Indonesia's Salafist Sufis. Modern Asian Studies, Published online by Cambridge University Press 23 Dec 2009 doi:10.1017/S0026749X09990278

Thursday, April 22, 2010

Muhammadiyah dan Sufisme

Retrieved from: http://www.ahmadmuttaqin.com/2009/08/06/muhammadiyah-dan-sufisme/

Di beberapa kesempatan, professor saya selalu bilang Sufisme tidak bakal mati. Meski puritanisme yang berkongsi dengan modernisme selalu berusaha memarginalkannya, ia selalu bisa hadir menerobos celah-celah kepenatan duniawi maupun ritual keagamaan yang terlalu formal dan “kering”. Kelenturannya beradaptasi dengan berbagai kondisi dan daya tahannya melintasi sekat-sekat aliran, kelompok, kelas sosial bahkan juga zaman merupakan nilai lebih mystical experience dalam Islam itu.

Muhammadiyah yang selama ini identik dengan organisasi Muslim kaum modernis berulang kali dinilai sebagai salah satu yang anti, atau setidaknya kurang ramah dan tidak apresiatif terhadap Sufisme (Howell 2001, 2004, 2007, 2008). Tampaknya, penilain ini berdasar pada: (1) Citra Modern Muhammadiyah, sementara kaum modern itu sendiri selalu melihat mystical experience bagian dari barrier yang menghambat kemajuan. Lebih kejam lagi, modernisme melekatkan mistisisme dengan keterbelakangan [backwards]. Penilaian Muhammadiyah sebagai gerakan yang mempelopori rasionalisasi pragmatik dalam Islam serta mengedepankan akal dan intelek sebagaimana diungkap Geerzt (1960) dan Peacok (1978) telah menempatkan Muhammadiyah itu by definition anti tasawuf yang dianggap expresi tradisionalisme; (2) karakter puritan Muhammadiyah yang anti TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat) serta pendapat sebagian ulama yang memandang tasawuf adalah expresi keberagaam yang kurang autentik dalam Islam sebab rujukannya sulit ditemukan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah secara langsung; dan (3) tidak satupun “organisasi” kaum Sufi atau Tarikat yang bernaung di bawah Muhammadiyah. Hal ini berbeda dengan, misalnya, Nahdhatul Ulama yang secara organisatoris “memayungi” kelompok-kelompok tarikat yang dinilai muktabar (diakui keabsahannya).

Selain tiga alasan tersebut, para peneliti gerakan modern dalam Islam juga mengalami kesulitan menemukan istilah tasawuf maupun tarikat dalam berbagai dokumen resmi Muhammadiyah. Pertanyaannya kemudian, mengapa Muhammadiyah menghindari kata-kata tasawuf atau tarikat? Dugaan saya, karena Muhammadiyah itu terlanjur mendapat cap modernis, pembaharu, juga pemurni, maka ia atau para pimpinanannya merasa canggung untuk mengakomodasi tasawuf, bahkan sebagai istilah sekalipun, yang autentitas-nya masih dipertanyakan. Tengok misalnya tokoh kharismatik Muhammadiyah, Buya Hamka, yang menulis buku Tasawuf Modern. Kata “modern” perlu ditambahkan di belakang tasawuf agar nilai-nilai bathini dan ‘irfani penyeimbang logika itu bisa diterima oleh masyarakat yang “modern”. Selain itu, sebagaimana ditegaskan dalam pengantar buku tersebut, Hamka berusaha mengembalikan tasawuf pada makna-nya yang asli: “membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi; menekankan [menyingkirkan] segala kelobaan dan kerakusan memerangi syahwat yang berlibih dari keperluan untuk kesentosaan diri” (1988: 5).

Bila tasawuf itu dimaknai dimensi batin expresi keberagaaman seorang Muslim, maka kata atau ungkapan yang equivalen dengan tasawuf yang sering muncul dalam dokumenn dan forum-forum Muhammadiyah adalah “ihsan” (dalam Kepribadian Muhammadiyah), “spiritual” (dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah butir 2), serta “spiritualitas” (dalam Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam).

Muhammadiyah lebih memilih kata ihsan, sebab kata itulah yang secara explisit bisa dijumpai di salah satu hadits Nabi SAW yang mengupas Iman, Islam, dan Ihsan. Ihsan dalam hadist tersebut berarti An-ta’budullaaha kaannaka taraahu, fain-lam taraahu fa-innahu Yaraaka [engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, jikapun engkau tidak melihatnya maka sesungguhnya Dia melihatmu]. Konsep ihsan inilah yang lebih banyak dielaborasi oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah. Ungkapan Ihsan kepada kemanusian dalam Kepribadian Muhammadiyah yang dipararelkan dengan ibdah kepada Allah menunjukkan pentingnya menjaga keseimbangan hablu minallah dengan hablu minannaas. Dalam konteks “bertasawuf” ajaran zuhud, qonaah, sabar, tawakal dalam Muhammadiyah tidak bersifat pasif dan asketis yang hanya memuaskan dahaga spiritual individual namun harus juga berdimensi sosial. Sedangkan istilah spiritual digunakan dalam MKCH menegaskan bahwa Islam itu “menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi”.

Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Aceh tahun 1995, Muhammadiyah mulai mengintrodusir program “spiritualisasi syariah” (Mulkhan 2003). Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam juga mengenalkan pendekatan ‘irfani sebagai salah satu metodologi pengembangan pemikiran, melengkapi 2 pendekatan yang sudah lazim: Bayani (deductive, berdasar explanasi text wahyu) dan Burhani (induktif, berdasar bukti-bukti empiris dan rasio). Pendekatan ‘irfani adalah “pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin, dzawq, qalb, wijdan, bashrah dan intuisi”. Dalam tradisi Syiah, ‘rfani itu ‘jalan’ Sufi.

Jauh sebelum rumusan-rumusan organisasi di atas disusun, Kyai Dahlan telah menggunakan istilah-istilah berkonotasi sufistik seperti “hati suci”, “Islam Sejati”, “akal suci” dan “Qur’an Suci” dalam pidatonya pada konggres Islam tahun 1921 di Cirebon dan Konggres Muhammadiyah bulan Februari 1922. Ungkapan-ungkapan yang “bernuansa bathinaih” di atas dalam penilain Munir Mulkhan (2003) merupakan “gagasan sufistik” pendiri Muhammadiyah itu.

Dalam keseharian, warga Muhammadiyah ternyata tidak alergi terhadap dimensi experiental dalam Islam ini. Riset lapangan Nakamura di Kota Gede awal tahun 1970an menemukan unsur-unsur Sufi di kalangan aktivis dan pimpinan Muhammadiyah setempat seperti praktik dzikir dan wirid, tuntunan pentingnya mengendalikan hawa nafsu dan mengedepankan nafsu muthmainah, serta usaha membentuk pribadi yang ikhlash dan ber-akhlak terpuji (Nakamura, 1980). Saat ini pun banyak warga Muhammadiyah yang merindukan hal-hal yang bernuansa inner experience. Hal ini bisa dibaca dari tingginya permintaan baik secara personal maupun atas nama Amal Usaha Muhammadiyah terhadap training-training yang mengesplorasi pengalaman spiritual (ESQ, HI, Pelatihan Sholat Khusuk, dll).

Ketika pasar spiritualitas Indonesia baru naik daun dan muncul dalam berbagai penerbitan, musik, forum-forum neo-Sufisme dan majelis-majleis zikir, Muhammadiyah juga tidak sepenuhnya absent. Salah satu tokoh zikir akbar yang sering tampil di TV bahkan secara ‘geneologis’ berasal dari keluarga dan pernah sekolah di sekolah Muhammadiyah. Ketua umum PP Muhammadiyah sempat beberapa kali mengikuti zikir akbar, meski belakangan muncul ‘protes’ dari pihak-pihak yang sangat puritan. Namun perlu dicatat, generasi-generasi post-puritan yang tidak kaku dan akrab dengan wacana-wacana post modernisme dan post-tradisionalisme mulai bemunculan dalam Muhammadiyah. Generasi post-puritanisme ini cenderung tidak canggung bergumul dengan dimensi esoteris dalam Islam.

Lantas, benarkah Muhammadiyah anti Sufisme? Bisa ya bisa tidak. Saya cenderung mengatakan Muhammadiyan tidak anti Tasawuf/Sufisme tapi menolak tarikat. Tasawuf tidak sama dengan tarikat. Tasawuf adalah “isi-nya” sedangkan tarikat itu “wadahnya”; tasawuf itu kualitas yang ingin dicapai sementara tarikat (thariqah) itu jalan untuk mencapai-nya. Lalu, apa hubungannya antara wadah dengan isi, atau kualitas dengan jalan? Sebagian kalangan berpendapat keduanya menyatu dan tidak bisa dipisahkan, karena itu untuk menjadi sufi harus melalui tarekat. Yang lain berargumen tarikat bukan satu-satunya jalan meraih kualitas sufistik. Lagi pula organisasi tarikat itu sendiri muncul jauh setelah Rasulullah wafat.

Sampai sini, klaim yang menyebut Muhammadiyah itu “kering” dan anti atau bahkan memusuhi Sufisme perlu ditinjau ulang. Hanya karena tidak aktif mempopulerkan istilah tasawuf dan tidak memberi ruang tarikat bukan berarti organisasi yang hampir satu abad usianya itu menolak dimensi esoteris dalam Islam itu. Muhammadiyah, saya kira, hanya ingin ke-ber-Islaman warganya berlangsung secara imbang.

Wednesday, April 21, 2010

Tasawuf di Kalangan Muhammadiyah

Oleh: Ibnu Djarir

DI kalangan umat Islam di Indonesia masih sering timbul pertanyaan,
apakah warga Muhammadiyah mengamalkan tasawuf? Pertanyaan itu timbul
karena istilah tasawuf dalam Persyarikatan Muhammadiyah kurang
populer.

Demikian juga tariqat, Muhammadiyah secara organisatoris tidak
mempunyai afiliasi dengan tariqat mana pun.

Persyarikatan bisa juga dikatakan sebagai tariqat, dalam arti sebagai
satu organisasi yang mempunyai cara tertentu dalam memahami ajaran
Islam.

Persyarikatan sering disoroti orang luar sebagai organisasi Islam yang
"kering spiritual''. Ada anggapan dari orang luar, Muhammadiyah
sebagai ormas Islam yang berbasis masyarakat kota lebih menyukai cara-
cara beribadah yang praktis-praktis saja atau seolah-olah mencari yang
ringan-ringan saja.

Misalnya dikatakan, sehabis salat fardu tidak diikuti dengan wirid
atau zikir panjang, melainkan hanya doa pendek dengan suara lirih.
Salat tarawih mencukupkan delapan rakaat ditambah tiga rakaat witir.
Tidak ada kebiasaan istighotsah dan mujahadah secara massal dan lain-
lain.

Kenyataannya tidak sebagaimana anggapan tersebut, sebab Muhammadiyah
bukan mencari yang praktis-praktis atau yang ringan-ringan saja,
melainkan semata-mata ingin melaksanakan amal ibadah yang mempunyai
landasan hukum agama yang kuat sesuai dengan tuntunan Rasul.

Misalnya mengenai wirid setelah salat fardu dan salat tarawih, ingin
meniru apa yang dulu diamalkan oleh Rasulullah. Mengenai pendalaman
amalan spiritual, juga ingin mengamalkan apa yang dulu dicontohkan
Rasulullah. Misalnya dengan mengamalkan ibadah-ibadah sunah seperti
salat tahajud, puasa sunah, salat sunah rawatib, membaca doa dan
wirid, iktikaf di masjid, tadarus Alquran, memiliki al-akhlaqul
karimah, dan lain-lain.

Istighotsah di kalangan warga Muhammadiyah dilakukan secara
individual. Jadi, pengamalan ibadah di kalangan umat Islam di
Indonesia itu lebih banyak kesamaannya. Bila terdapat perbedaan dalam
cara pelaksanaannya, itu karena perbedaan cara pemahaman dari tiap-
tiap golongan.

Spiritual Islami

Aktualisasi spiritualitas Islam ialah upaya mewujudkan kehidupan
islami, dengan menekankan pada penyempurnaan pengamalan ibadah,
kesucian rohani, dan kesalihan moral atau al-akhlaqul karimah.

Di kalangan warga Muhammadiyah terdapat orang-orang yang dalam
mengapresiasi makna ibadah dan zikir sebagai didefinisikan dalam buku
Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, bukan pada ritual formal seperti
duduk di masjid sambil memutar-mutar tasbih, melainkan lebih
menekankan gerak amal saleh dalam bentuk kiprah kreatif dalam
kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat.

Pemahaman seperti itu kemudian termanifestasikan dalam bentuk
kekurangakraban dengan wirid-wirid, zikir, dan tahlil secara verbal
(qauli), dan lebih mengutamakan zikir qalbi dan fi'li (operasional)
sehingga orang luar memandang mereka kering spiritual.

Karena itu, persyarikatan perlu memberikan penjelasan kepada orang
luar tentang pemahaman Muhammadiyah mengenai spiritualitas islami
untuk menghilangkan kesalahpahaman orang luar terhadap Muhammadiyah.

Di samping itu, persyarikatan perlu mengimbau semua warganya agar
meningkatkan pengamalan spiritualitas islami dalam rangka pengukuhan
akidah, penyempurnaan ibadah, dan keluhuran akhlak.

Aktualisasi spiritualitas islami itu juga berbarengan dengan kehendak
mengembangkan pemikiran tajdid (pembaharuan dan pemurnian ajaran
Islam). Hal itu dimaksudkan agar segala amalan ibadah dilakukan dengan
cara yang benar sesuai dengan petunjuk Alquran dan hadis, bebas dari
syirik, bid'ah, khurafat, dan takhayul.

Tasawuf Modern

Meskipun PP Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih belum pernah membahas
secara khusus tentang ajaran tasawuf, seorang tokoh yang namanya cukup
terkenal, Prof Dr Hamka, telah memperkenalkan istilah tasawuf modern
untuk memberikan nama pada ajaran tasawuf yang menurutnya sesuai
dengan paham Muhammadiyah. Dia menulis beberapa buku tentang tasawuf,
di antaranya berjudul Tasawuf Mo dern.

Para pemuka Muhammadiyah yang lain pada umumnya menekankan, semua
warga suka menjalankan ibadah-ibadah sunah, di samping ibadah wajib,
dan memiliki akhlaqul karimah. Istilah akhlaqul karimah ini mencakup
serangkaian sifat-sifat utama seperti: taqwa, zuhud, sabar, faqr,
qana'ah, tawakal, ikhlas, syukur, rida, wara', tawadhu', raja', tobat,
dan lain-lain sebagaimana dicontohkan Rasulullah.

Jadi, mereka tidak menggunakan istilah tasawuf tetapi menganjurkan
warganya memiliki sifat-sifat utama sebagaimana yang didambakan para
penganut tasawuf.

Menurut Hamka, istilah tasawuf modern adalah tasawuf murni yang
relevan untuk diterapkan pada zaman modern. Orang yang menjalankan
tasawuf murni mestilah memegang teguh akidah yang benar (tauhid yang
bersih), melaksanakan ibadah dengan tekun, menghiasi dirinya dengan
al-akhlaqul karimah, serta melakukan pergaulan dalam kehidupan sosial
sehari-hari sesuai dengan Alquran dan hadis.

Ia tidak tenggelam dalam khalwat atau menjauhi kehidupan duniawi, tapi
bergaul secara wajar dalam kehidupan sosial.

Akhlak dan Tasawuf

Ajaran Islam meliputi tiga bagian pokok, yaitu akidah (kepercayaan
atau keimanan), syariah (hukum-hukum agama, meliputi ibadah dan
muamalah), dan akhlak (moral atau budi pekerti). Atau, tiga bagian
pokok itu ialah iman, Islam, dan ikhsan.

Iman adalah sebagaimana tercermin dalam rukun iman yang keenam. Islam
adalah sebagaimana yang kita kenal dengan rukun Islam yang kelima.
Ikhsan adalah sikap batin, kita merasa selalu dalam pengawasan Allah,
sehingga kita harus berbuat sebaik-baiknya.

Istilah tasawuf belum dikenal pada zaman Nabi Muhammad SAW. Istilah
tersebut baru dikenal pada abad ke-2 Hijriah, dengan kemunculan
seorang zahid yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi yang digelari sebagai
seorang sufi.

Maka sebelum abad ke-2 H itu umat Islam belum mengenal klasifikasi
ajaran Islam, Islam yang bernama tasawuf. Mereka merasa sudah puas dan
tenang hatinya jika sudah dapat mengamalkan akidah, syariah, dan
akhlak; atau mengamalkan iman, Islam, dan ihsan. Sedangkan cita-cita
tertinggi sesuai dengan ajaran Alquran dan hadis adalah menjadi orang
yang bertakwa.

Sepeninggal Rasulullah, sahabat, dan tabiin, terdapat ulama yang
mengembangkan ikhsan lebih lanjut melalui ajaran tasawuf. Jadi, baik
tasawuf maupun al-akhlaqul karimah berinduk pada ihsan.

KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, pada masa hayatnya sangat
menganjurkan segenap warga untuk mengamalkan al-akhlaqul karimah. Di
antara sifat-sifatnya yang menonjol ialah zuhud, yakni tidak tergila-
gila atau serakah untuk mengejar harta, bahkan harta beliau banyak
dikorbankan untuk membaiayai kegiatan amal usaha Persyarikatan,
seperti lembaga pendidikan, kesehatan, penyantunan fakir miskin,
dakwah, dan lain-lain.

Dengan demikian KH Ahmad Dahlan telah berhasil menjelmakan spirit
(roh) dan nilai-nilai substansial tasawuf menjadi etos kerja warga
Muhammadiyah dalam melaksanakan kegiatan sosial keagamaan. (18c)

-Drs H Ibnu Djarir, Wakil Ketua Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Jawa
Tengah

Retrieved from:
Bersumber dari : http://www.suaramerdeka.com/harian/0110/06/kha2.htm

Tuesday, April 20, 2010

Tasawuf di Kalangan Intelektual Muhammadiyah Kota Semarang

Tisnowijaya, A. Aya'roni. 2008. "Tasawuf di Kalangan Intelektual Muhammadiyah Kota Semarang." MA Thesis. IAIN Walisongo Semarang.

Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimanakah persepsi dan
implementasi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap ajaran tasawuf.
Tujuan umum yang akan dicapai adalah untuk mengungkap, mengetahui dan
mendeskripsikan persepsi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap tasawuf,
serta mengungkapkan implementasi dari persepsi tersebut. Jenis penelitian ini adalah
kualitatif dengan menggunakan pendekatan naturalistik.

Muhammadiyah secara formal memang menolak tasawuf, karena tasawuf, menurut
Muhammadiyah, seringkali diselewengkan menjadi tarekat dengan praktik-praktik ritual yang sangat ketat. Di Muhammadiyah tidak ada tawash-shulan, yasinan, tahlilan atau manaqiban seperti yang dipunyai NU, tetapi bukan berarti bahwa amalan-amalan tasawuf dan dzikir tidak dilakukan warga Muhammadiyah. Amalan-amalan tasawuf dapat diterima oleh mereka sepanjang menjadi praktik individual, dengan tujuan untuk meningkatkan akhlaq terpuji. Muhammadiyah juga sangat menganjurkan para anggotanya untuk memperbanyak shalat sunnat, dzikir dan wirid, serta mengedepankan sikap ikhlas dalam beraktivitas. Sampai saat ini sikap hidup yang demikian masih terus dijalankan oleh tokoh dan warga Muhammadiyah.

Hasil penelusuran terhadap landasan dasar Muhammadiyah tidak dijumpai adanya konsep
tasawuf secara formal seperti yang umum dilakukan dikalangan NU, yang ada hanyalah
tasawuf substantive atau nilai-nilai tasawuf yang sesuai dengan ajaran dasar Al-Qur’an
dan Sunnah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum terdapat tiga sikap di kalangan intelektual Muhammadiyah terkait dengan eksistensi tasawuf yaitu menolak secara total, terbuka terhadap keberadaan tasawuf dan sikap yag terakhir adalah akomodatif. Pertama, kelompok yang menolak secara total. Kelompok ini beranggapan bahwa beribadah adalah suatu konsep yang sudah paten dan tidak boleh direkayasa dan mengada-ada. Apabila kedua hal ini yang dilakukan maka beribadah akan menjadi kacau. Dalam perspektif Muhammadiyah, landasan utama yang mendasari setiap ibadah manusia adalah Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga apabila di dalam Al-Qur’an dan Sunnah tidak ada konsep tertentu tentang suatu ibadah, tasawuf misalnya, secara otomatis maka hal tersebut tidak boleh dilakukan.

Kedua, bersikap terbuka terhadap tasawuf. Kelompok ini beranggapan bahwa di Muhammadiyah, konsep tasawuf secara formal tidak dikenal, yang ada hanyalah dzikir. Dzikir ada dalam Muhammadiyah bukan dipahami sebagai salah satu elemen dari tasawuf melainkan memang dzikir diajarkan dalam Islam. Dzikir dalam Muhammadiyah adalah konsep dzikir yang diajarkan oleh Rosulullah. Ketiga, akomodatif terhadap tasawuf. Kelompok ini beranggapan tasawuf tidak sering ditemui di dalam Muhammadiyah. Konsep yang digunakan oleh Muhammadiyah untuk terminology spiritualitas ini lebih sering disebut dengan istilah “akal dan hati suci” sebagaimana yang diungkapkan oleh Munir Mulkhan atau “irfan” dalam istilah Amin Abdullah. Tasawuf dalam Muhamadiyah menurut kelompok ketiga ini adalah “Spiritualitas yang Syariahistik”.

Monday, April 19, 2010

Menanti Tajdid Spiritual

Retrieved from: http://www.ahmadmuttaqin.com/2010/04/10/tajdid-spiritua/#more-563

Di beberapa kegiatan resmi organisasi dan forum-forum pengajian sering muncul pertanyaan peserta tentang sikap Muhammadiyah terhadap Tasawuf. Dalam sebuah pelatihan kader se-Sumatera beberapa waktu yang lalu, pertanyaan ini menyeruak ketika narasumber menyampaikan materi Paham Agama dalam Muhammadiyah, Dinamika Gerakan Pembaharuan dan Pemikiran dalam Islam, serta Perbedaan Identitas Muhammadiyah dengan Gerakan-Gerakan Islam lainnya. Beberapa penanya tidak sekedar mencari pejelasan sikap resmi organisasi terhadap Sufism beserta segala apseknya namun juga menekankan bahwa dimensi esoteris itu diperlukan dalam beragama agar tidak terjebak pada formalisasi ritual. Dalam bahasa studi agama, having religion saja tidak cukup, perlu ditingkatkan menjadi being religious agar tidak terjebak pada dataran simbolik.

Tasawuf, Akhlaq & Ihsan

Terhadap pertanyaan warga Muhammadiyah tentang Tasawwuf, jawaban narasumber ternyata tidak tegas mengatakan bahwa Muhammadiyah itu anti tasawuf atau menyebut Sufisme itu haram. Narasuber Paham Agama dalam Muhammadiyah bahkan mengatakan bahwa Muhammadiyah tidak bisa menyalahkan tasawuf begitu saja. Menurutnya, Muhammadiyah juga mengambil tasawuf dalam bentuknya yang lain. Mengingat inti dan tujuan tasawuf adalah akhlaq al-karimah, maka muhammadiyah lebih mengelaborasinya ke akhlaq karimah tersebut, bukan pada thariqah (tarikat) yang existensinya sendiri sangat variatif. Bukankah sebagian tarikat dinilai muktabarah (valid, authentic, diterima eksistensinya sebab tidak bertentangan dengan syariah) dan sebagian yang lain dikategorikan ghairu muktabar (dinilai menyimbang dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip syari’ah)?

Terhadap pertanyaan peserta bahwa Muhammadiyah cenderung anti tasawuf, nara sumber Dinamika Gerakan Pembaharuan dan Pemikiran dalam Islam mengaku bahwa ia bisa memahami bila selama ini Muhammadiyah itu terkesan alergi terhadap tasawuf, sebab ormas yang berdiri sejak 1912 itu selama ini lebih menekankan aspek ritual-ibadah. ”Namun demikian”, lanjut narasumber tersebut, ”kita tidak bisa begitu saja menyalahkan orang yang mengamalkan tasawuf. Bila sebagian besar orang Muhammadiyah merasa cukup dan ’puas’ mendekatkan diri kepada Allah melalui pintu ibadah, para pelaku tasawuf mengangap masih kurang. Karena itu mereka mengelaborasi ’jalan lain’ yang lebih mengolah aspek rasa melalui tasawuf.” Olah rasa dalam beribadah semacam ini pada dasarnya sejalan dengan konsep ihsan.

Penyebutan tasawuf itu equivalen dengan ihsan juga pernah diungkap oleh Allahu yarham K.H. Ahmad Azhar basyir, M.A (mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah). Ketika pak Haedar masih di Badan Pendidikan Kader (kini Dr. H. Haedar Nashir, M.Si, salah satu Ketua PP Muhammadiyah) pernah menanyakan pada pak Azhar, ”bila Muhammadiyah itu menolak tasawuf, lalu alternatifnya apa?” Pak Azhar menjawab, bila merujuk pada hadits shahih tentang ma huwa al-Islam, maa- huwa al-Iman, wa maa huwa al-Ihsan, maka tasawuf itu adalah ihsan. Dalam hadits terebut disebutkan ihsan adalah ”ka-annaka taraahu fainlam taraahu fainnahu yaraaka” (engkau merasa melihat Tuhan, bila pun tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa Allah melihat engkau).

Tajdid yang Terabaikan

Muhammadiyah selama ini telah berhasil melembagakan Islam dalam kontek ibadah mahdhah melalui tuntutan ibadah sesuai Rasulullah dalam Himpunan Putusa Tarjih (HPT) dan tuntunan bermuamalah sesuai dengan Qur’an dan Sunnah dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) lalu diimplementasikan dalam Amal Usaha bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi. Muhammadiyah juga berhasil mengelaborasi prinsip-prinsip Iman dalam produk Paham Agama dalam Muhammadiyah, Khittah Perjuangan, Muqaddimah Anggaran Dasar, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup, Kepribadian Muhammadiyah, dll. Pertanyaannya kemudian, mengapa aspek Ihsan cenderung terabaikan proses pelembagaan dan implementasinya? Mana tafsir gerakan Muhammadiyah terhadap prinsip Ihsan ini? Ketimpangan inikah yang menyebabkan Muhammadiyah selalu dinilai ”kering” dan miskin spiritualitas? Inikah yang mendorong warga Muhammadiyah di berbagai lapisan selalu menanyakan pada pimpinan di atasnya tentang tasawuf dalam Muhammadiyah?

Memang secara personal sejumlah tokoh dan anak muda Muhammadiyah telah aktif mengkaji Sufisme dan spiritualitas, seperti HAMKA, Simuh, Abdul Munir Mulkhan, M. Damami, dan Najib Burhani; namun Muhammadiyah secara organisasatoris relatif diam. Diamnya organisasi pembaharu ini dalam mengelaborasi tasawuf bertolak belakang dengan predikat gerakan tajdid yang selama ini disandang. Dalam bidang Muamalah Muhammadiyah telah tampil sebagai teladan gerakan. Kritik pada dikhotomi pendidikan diikuti dengan pendirian sekolah-sekolah yang memberikan pelajaran agama dan pengetahuan umum sekaligus, kritik pada ketidakberdayaan umat dalam bidang kesehetan dan kesejahteraan diikuti dengan pendirian PKO dan panti-panti asuhan. Lalu mengapa kritik terhadap praktik spiritualitas yang berbau TBC (Tachayul-Bid’ah-Churafat) tidak diikuti dengan penyediaan saluran alternatif yang bernuansa olah spiritual namun secara syariah diterima?

Menurut hemat saya, keengganan Muhammadiyah menyediakan guidance dan saluran tasawuf bagi warganya di tengah pasar spiritualitas modern yang terus menguat akhir-akhir ini sama dengan membiarkan warganya untuk ”memulung” praktik olah batin dan rasa dari pasar global spiritualitas yang keontetikannya masih samar-samar. Coba tanya di sekitar anda, berapa banyak warga Muhammadiyah yang gandrung dengan lagu-lagu religius karya Hadad Alwi dan Opick, aktif mengikuti zikir masal, zikir penyembuhan, wisata religius, Yoga, Reiki, ESQ training, Pelatihan Sholat Khusuk, dan kegiatan olah spiritual sejenis baik dengan alasan mencari ketenangan, rezeki lancar, maupun kesehatan?

Ketidakpedualian Muhammadiyah pada isu-isu spiritualitas secara serius ini juga mengokohkan watak puritanismenya. Padahal, sebagaimana sejarah yang tejadi di berbagai gerakan keagamaan, kelompok puritan cenderung gagal menjadi mainstream. Akankah Muhammadiyah terus mengabaikan hasrat warganya terhadap dimensi spiritual ini? Wallahu a’lam.

Sunday, April 18, 2010

Pergumulan Tokoh Muhammadiyah Menuju Sufi: Catatan Pemikiran

by Abdurrahim Nur

ISBN9793429003 / 9789793429007 / 979-3429-00-3
PublisherHikmah Press
CountryIndonesia
Languagein
EditionHardcover

Muhammadiyah Jatim Luncurkan Buku Pemikiran Ustadz Abdurrahim Nur
Surabaya, Pelita

Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim, untuk yang kedua kalinya meluncurkan sebuah buku yang berjudul "Pergumulan Tokoh Muhammadiyah Menuju Sufi, Catatan Pemikiran Abdurrahim Nur di Surabaya" di Surabaya kemarin.

Peluncuran buku tersebut ditandai dengan diskusi yang menampilkan Pimpinan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, KH Yusuf Hasyim yang lebih dikenal dengan Pak Ud dan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim yang juga Rektor Unmuh Sidoarjo, Prof Dr Syafiq Mughni.

Semula panitia menjadwalkan untuk berdialog dengan Ketua MPR RI, Prof Dr HM Amien Rais MA namun Ketua Umum DPP PAN itu berhalangan hadir, sedangkan sambutan dari Muhammadiyah disampaikan oleh Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim, Prof Dr Fasich Apt.

Abdurrahim Nur yang dikenal luas dengan panggilan Ustadz Abdurrahim merupakan mantan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim 1987 - 2000, mantan Ketua DPW PAN Jatim 1998 - 1999 dan sekarang menjadi pengasuh Yayasan Nurul Azhar.

Syafiq dalam ceramahnya mengulas pandangan warga Muhammadiyah terhadap tasawuf, "Orang Muhammadiyah melihat tasawuf sebagai sesuatu yang asing, mereka apriori terhadap tasawuf termasuk ketika melihat buku tentang Ustadz Abdurrahim ini," katanya.

Padahal, ujar Syafiq, tasawuf itu tidak bisa lepas dari ajaran Islam, seper ti halnya ketika nabi sedang berdoa merupakan tasawuf. "Kehiduapan yang seimbang itu adalah seperti yang ditunjukkan Nabi Muhammad," katanya.

Pada waktu yang sama, dia menganalisa bahwa masyarakat umum maupun warga Muhammadiyah pada khususnya bisa dikategorikan dengan tiga kelompok.

Kelompok pertama, ujar Syafiq, agama yang "establish" yang dipengaruhi oleh pemikiran Timur Tengah. "Mereka Al Qur'annya jelas, hadistnya jelas, tokohnya jelas, mereka didominasi fiqih," katanya.

"Kelompok kedua adalah agama sebagai etika, kelompok ini berpandangan orang menjadi tidak penting, apakah dia memiliki aqidah atau tidak, yang penting seseorang itu bersih, tidak korup, menjaga amanah dan jujur. Mereka lebih dipengaruhi pemikiran barat," katanya.

Sedangan yang ketiga, ujar dia, menjadikan Islam sebagai "spiritual religion", yang penting dekat dengan Allah SWT, tidak peduli apapun yang terjadi di masyarakat.

"Kelompok ketiga ini lebih didominasi kelompok profesional dengan kondisi ekonomi yang mapan," katanya.

Sementara itu Pak Ud mengatakan upaya peluncuran buku di lingkungan Muhammadiyah merupakan tradisi baik yang perlu terus dijaga. "Senin (12/5) kami diundang Muhammadiyah untuk peluncuran pusat studi di Yogyakarta dan saya akan hadir," katanya.

Dia mengatakan apabila masyarakat Islam tidak mempunyai pusat studi maka jangan heran bila 50 tahun kedepan kalau seseorang ingin mengetahui tentang Keislaman harus belajar di luar negeri, seperti halnya sarjana Jawa yang ingin mempelajari Jawa Kawi yang harus ke Utrecht, Belanda. (dik/ant)

Retrieved from: http://www.hupelita.com/baca.php?id=12781

Saturday, April 17, 2010

A.R. Fakhruddin: The Face of Tasawuf in Muhammadiyah

By: Masyitoh
Lecturer at FAI and Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta, and now
serving as the rector of the UMJ (Jakarta Muhammadiyah University). E-mail: info@umj.co.id or masyitoh@umj.ac.id

Abstract

With emphasizing to truth Islam and refusal to taqlid, bid’ah and churafat, Muhammadiyah has appreciation to Islamic mysticism (read: akhlaki Islamic mysticism). Although Islamic mysticism is more individual necessity and the term has never been mentioned, but many of Muhammadiyah figures practice Islamic mysticism individually. It was began from founder of Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan and others figures, such as: Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Mas Mansyur, Buya Hamka, AR.Fakhruddin,etc. A.R Fakhruddin him self can be addressed as Kadda an yukuuna Suufiyan (near to be a Sufi), in this case Sufi Akhlaqi. It is caursed by all akhlakul karimah characteristics have already mixed up in his soul, such as: patient, thank God, Wara Zuhud, Qana’ah, Tawwakal, Ikhlas, Risha, etc. In the meantime, his spiritual life which fills more of his life and it is reflecting Islamic mysticism attitudes. A Sufi’s live can be reflected from his attitude and thought about: taubat, taqarrub, dzikullah, khusyu’, tawaddhu’, khauf, raja, muraqobah, and istiqamah, these maqam are common to be done in Islamic mysticism world.

Keyword : Muhammadiyah, mysticism, Sufi Akhlaqi, Spiritual and maqam.

Available at: http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=11561&idc=1

Judul :     A.R. Fakhruddin wajah tasawuf dalam Muhammadiyah
Pengarang :     Masyitoh
Sumber :     Millah : jurnal studi agama
Penerbit :     Universitas Islam Indonesia. Magister Studi Islam
Kode Panggil :     200.5 Mil
Tahun Terbit Artikel:     2008
Volume :     8
No :     1
Halaman :     169-190
Kata Kunci :     Mysticism; Islam; Muhammadiyah
Sari :    
Abstrak :     With emphasizing to truth Islam and refusal to taqlid, bidah and churafat, Muhammadiyah has appreciation to Islamic mysticism (read: akhlaki Islamic mysticism). Although Islamic mysticism is more individual necessity and the term has never been mentioned, but many of Muhammadiyah figures practice Islamic mysticism individually. It was began from founder of Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan and others figures, such as: Ki Bagus Hadikusumo, KH. Mas Mansyur, Buya Hamka, AR. Fakhruddin, etc. A.R Fakhruddin him self can be addressed as Kadda an yukuuna Suufiyan (near to be a Sufi), in this case Sufi Akhlaqi. It is caused fry all akhlakul karimah characteristics have already mixed up in his soul, such as: patient, thank God, Wara Zuhud, Qana'ah, Tawakkal, Ikhlas, Risha, etc. In the meantime, his spiritual life which fills more of his life and it is reflecting Islamic mysticism attitudes. A Sufi's live can be reflected from his attitude and thought about: taubat, taqarrub, dzikullah, khusyu, tawaddhu, khauf, raja, muraqobah, and istiqamah, these maqam are common to be done in Islamic mysticism world.

Friday, April 16, 2010

The Majlis Tarjih Muhammadiyah at The Time of Dutch Colonialism, 1927-1942 : A Studi for In telectual History

By Ummi Kulsum, T. H. Ibrahim Alfian, H. Ahmad Adaby Darban

HUMANIKA Berkala Penelitian Pascasarjana Ilmu-Ilmu Humaniora UGM, Vol 19, No 3 (2006)

Abstract

This thesis is studying the religious, social and cultural thoughts engendered by Majlis Tarjih Muhammadiyah. The institution is a board consists of a group of Islamic scholars who discuss and analyze the various conceptions and thoughts and decide on the most valid and in accordance with Quran and Hadis. The institution was established in 1927, when Muhammadiyah has grown into a big and widely spread organization in Indonesia. The Majlis Tarjih establishment was considered to be a strategic move in carrying out Muhammadiyah's endeavor, particularly in purifying the ritual practices from any form of heresy and divergence, and fostering religious revivalism in the whole aspect of live of the Muslim society. Since its naissance until the end of colonial government, Majlis Tarjih has produced many pronouncement, where it become the official references for the member of Muhammadiyah until this day.

The thesis aims to answer several questions; first, why Muhammadiyah found Majlis Tarjih as a vehicle to carry out religious purification. Second, how is the development of Majlis Tarjih in the era of colonialism until this day, and third, what fatwa and pronouncements produced by Majlis Tarjih and how they affect the Muhammadiyah's movement?

The method of this research is a historical method, with the following procedure: first, the collection of heuristic data on the Muhammadiyah and Majlis Tarjih early development. The next stage is sorting the data to find the most relevant and reliable data by employing source critic technique, then they were summarized and analyzed. The interpretation method on the data selected was using the hermeneutic approach. Finally, the study results a historiography explanation on the research's object, where it chronologically systemized based on the main theme of issues.

Based on the research, it could be concluded that viewed from its structure, Majlis Tarjih has a function in developing and disseminating Muhammadiyah's religious thought. Majlis Tarjih roles are developing Muhammadiyah's mission movement in the attempts of purifying religious thoughts and ritual, by putting the Quran and Hadis as a main reference. Despite this, Majlis Tarjih is also put forward new interpretation to quran and hadis by promoting ijtihad method in solving the current social problem.

In the colonial era, Majlis Tarjih discussion is always held in Muhammadiyah congress. In that time, Majlis Tarjih has successfully producing many pronouncements and religious thought in overcoming differences (khilafiah) of ritual practices. Ijtihad method was employed to solve the problems of muamalah, covering the social, economic, and political issues. The entire Majlis Tarjih product in the early period has a significant contribution to the religious and social lives of the Muhammadiyah community in particular, and Indonesia in general. The effects of Majlis Tarjih' pronouncements have become an ethical foundation in supporting the spirit of struggle of Indonesia society by performing ijtihad and tajdid. Finally, Majlis Tarjih is expected to continue giving contribution in the enduring social change in the future.

Keywords : Islam-Muhammadiyah-Tajdid-Majlis Tarjih