Ribuan peserta dari berbagai daerah memadati Kota Gudeg. Selain memilih pucuk pimpinan organisasi untuk periode lima tahun berikutnya, muktamar membahas berbagai masalah internal keorganisasian, keindonesiaan dan keumatan, berikut peluang dan tantangannya pada masa mendatang.
Sudah barang tentu banyak ucapan selamat diberikan kepada Muhammadiyah dengan berbagai ekspresi yang berbeda-beda, sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya. Salah satunya dalam bentuk pemikiran seperti yang terhimpun dalam buku Satu Abad Muhammadiyah; Mengkaji Ulang Arah Pembaruan yang ditulis Dawam Rahardjo dan para penulis muda ini.
Buku ini bermula dari obrolan sederhana antara dua pemikir yang berbeda generasi, Dawam Rahardjo dan Moh. Shofan tentang perkembangan pemikiran Islam Indonesia, khususnya di lingkungan NU dan Muhammadiyah. Pada kesempatan itu, Shofan usul agar Dawam menuliskan pemikirannya soal Muhammadiyah, khususnya untuk menyambut perhelatan muktamar ke-46 dan momentum seabad Muhammadiyah.
Dawam kemudian mewujudkan pemikirannya dengan judul tulisan, Mengkaji Ulang Muhammadiyah sebagai Organisasi Islam Berorientasi Pembaruan. Tak pelak tulisan Dawam mendapat ruang publisitas dan ditanggapi anak-anak muda yang berasal dari beragam elemen -meski pada awalnya berharap agar anak-anak muda Muhammadiyah sendiri yang menanggapi. Secara keseluruhan, tulisan yang terhimpun dalam buku ini bermuara pada satu kesimpulan bahwa Muhammadiyah di usianya yang seabad telah mengalami disorientasi dari organisasi pembaruan menuju organisasi konservatif. Meskipun, ada sebagian penulis dalam buku ini yang masih malu-malu mengatakannya.
Seabad bisa dipahami sebagai periode abad kedua untuk Muhammadiyah. Suatu periode yang diharapkan bisa melampaui periode-periode sebelumnya yang telah melewati beragam dinamika zaman yang penuh perjuangan -baik di era perjuangan kemerdekaan pada masa kolonial, era setelah kemerdekaan pada masa Orde Lama dan Orde Baru, maupun era reformasi hingga kini. Fase terakhir ini bisa dibilang sebagai fase paling menentukan masa depan Muhammadiyah.
Atas dasar itu, para penulis mengusulkan agar dalam menghadapi pergantian abad menuju fase baru ini, Muhammadiyah diharapkan untuk merumuskan ulang orientasi dakwah dan tajdid yang telah menjadi fokus gerakannya selama ini. Dengan demikian, Muhammadiyah akan mampu melintasi zaman dengan penuh kesiapan dan rasa percaya diri untuk menghadirkan risalah Islam sebagai rahmatan lil-alamin.
Dalam tulisannya, Dawam melancarkan kritik kepada Muhammadiyah, paling tidak pada dua hal. Yakni, misi praksis Muhammadiyah dan misi teologisnya. Secara praksis, Muhammadiyah menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan. Di usianya yang seabad ini, Muhammadiyah tercatat memiliki belasan ribu sekolah TK-SMA, 167 perguruan tinggi, ratusan panti sosial, dan ribuan amal usaha lainnya, termasuk yang berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi rakyat di berbagai daerah.
Namun, menurut Dawam, tidak ada suatu konsep pendidikan distingtif di Muhammadiyah. Tidak ada konsep mengenai sistem pendidikan yang dikatakan sebagai konsep yang dianut oleh Muhammadiyah. Yang ada hanya wujud fisik atau suatu proyek sosial biasa yang dilakukan oleh banyak organisasi keagamaan dan Muhammadiyah salah satu di antaranya. Bahkan, Muhammadiyah hanyalah mengikuti, jika tidak boleh dibilang meniru, kegiatan-kegiatan yang sebelumnya dilakukan oleh misionaris Kristen (hlm. 8).
Dalam kritiknya itu, Dawam ingin menunjukkan bahwa konsep dan metodologi pendidikan yang selama ini dikembangkan Muhammadiyah salah satunya hanya dimotivasi untuk menandingi gerakan misionaris Kristen dalam mendirikan sekolah-sekolah umum yang berbasis klasikal. Artinya, yang dikembangkan Muhammadiyah tidak benar-benar murni milik Muhammadiyah sendiri, baik secara konseptual maupun metodologis. Muhammadiyah masih belum melakukan pembaruan sistem pendidikan yang integral sehingga pendidikan Islam masih bersifat dualitas antara pendidikan agama yang tradisional dan ilmu pengetahuan umum.
Secara teologis, menurut Dawam, Muhammadiyah mengalami konservatisisme yang akut, meski sejak awal organisasi ini menginjakkan kakinya pada pembaruan Muhammad Abduh. Tidak ada perhatian dari kalangan Muhammadiyah terhadap literatur-literatur para pemikir progresif-liberal kontemporer, misalnya, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abi Zaid, Abid Al-Jabiri, Mohamad Arkuon, dan Ashghar Ali Engineer. Hal itu menunjukkan betapa Muhammadiyah sudah mengalami krisis pemikiran progresif-liberal atau krisis epistemologis. Sejauh ini Muhammadiyah hanya mengembangkan metode ''bayani'' yang bertumpu pada kekuatan teks hingga akhirnya meninggalkan konteksnya.
Semboyan yang kerap didengungkan Muhammadiyah, ar-Rujû' ila al-Qur'ân wa as-Sunnah, kembali kepada Alquran dan sunah, telah menjadikan mereka kaum literalis atau tekstualis. Muhammadiyah lupa bahwa kembali pada ajaran Alquran dan sunah juga memiliki makna liberalnya, yaitu dengan cara menafsir kembali bunyi teks dengan tetap memperhatikan kebutuhan zaman. Hanya dengan cara demikian, Islam yang dikembangkan Muhammadiyah melalui konsep dakwah dan tajdidnya akan mendapat simpati publik dan sesuai dengan semangat khitah 1912 sebagai organisasi pembaruan.
Membaca buku ini, kita tidak sekadar disuguhi kritik tajam dari pemikiran Dawam Rahardjo. Lebih dari itu, kita akan mengetahui tanggapan dari kalangan anak muda terhadap tulisan Dawam itu. Yang pasti, kehadiran buku ini tidak perlu dipahami sebagai bentuk dari aktualisasi diri Dawam Rahardjo yang penuh dendam karena dia pernah dipecat dari Muhammadiyah. Sesungguhnya, Dawam tidak peduli ke mana Muhammadiyah akan diarahkan. Dia selama ini bersikap semata-mata karena tanggung jawab moral sebagai pemikir yang ingin menghantamkan gagasannya ke sana kemari dengan tetap berpijak pada data dan fakta yang ada. (*)
*) Mohamad Asrori Mulky , peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta
Judul Buku: Satu Abad Muhammadiyah; Mengkaji Ulang Arah Pembaruan
Penulis: M. Dawam Rahardjo dkk
Penerbit : Paramadina & LSAF
Cetakan : Pertama, Juni 2010
Tebal : xxxiv + 248 halaman
No comments:
Post a Comment