Saturday, May 31, 2014

A Snapshot of Muhammadiyah: Social Change and Shifting Markers of Identity and Values

Publication Title: Working Paper Series 
Publisher: Asia Research Institute, National University of Singapore 
Series: WPS 221 
Publication Date: May/2014 
Author/Speaker: Dr BUSH Robin 
Keywords: Muhammadiyah, Islam in Indonesia, Nahdlatul Ulama, modernist Islam 

Abstract / Description: 

Historically Muhammadiyah has played a crucial role as vanguard of modernist Islam within Indonesia; more contemporarily Muhammadiyah members have dominated segments of the state bureaucracy, wielding considerable policy influence in key sectors. Given its importance, relatively little solid data is available on this influential organization – and even less is known about how its own social identity may be changing over time. Recognizing this, The Asia Foundation and LSI (Lembaga Survey Indonesia) partnered to conduct a nation-wide quantitative survey, followed by in-depth Focus Group Discussions (FGDs) aimed at gathering both quantitative and qualitative data on a range of issues related to how Muhammadiyah members perceive their own group’s identity, and how it may be changing. I propose to present the results of this survey, in particular focusing on four key areas: a) consumption of social services- particularly health and education, b) the role of religious leaders within Muhammadiyah, c) relationship between NU and Muhammadiyah, and d) views on democracy, gender, and pluralism. The survey results indicate both continuity and change, and present a portrait of an organization that is adapting in different ways to its rapidly changing political and social environment. Abstract / Description: Historically Muhammadiyah has played a crucial role as vanguard of modernist Islam within Indonesia; more contemporarily Muhammadiyah members have dominated segments of the state bureaucracy, wielding considerable policy influence in key sectors. Given its importance, relatively little solid data is available on this influential organization – and even less is known about how its own social identity may be changing over time. Recognizing this, The Asia Foundation and LSI (Lembaga Survey Indonesia) partnered to conduct a nation-wide quantitative survey, followed by in-depth Focus Group Discussions (FGDs) aimed at gathering both quantitative and qualitative data on a range of issues related to how Muhammadiyah members perceive their own group’s identity, and how it may be changing. I propose to present the results of this survey, in particular focusing on four key areas: a) consumption of social services- particularly health and education, b) the role of religious leaders within Muhammadiyah, c) relationship between NU and Muhammadiyah, and d) views on democracy, gender, and pluralism. The survey results indicate both continuity and change, and present a portrait of an organization that is adapting in different ways to its rapidly changing political and social environment.

File Download: Click here to read

Friday, May 30, 2014

Muhammadiyah dalam Pilpres

REPUBLIKA,  30 Mei 2014

Edy Purwo Saputro
Dosen di FEB Universitas Muhammadiyah Solo
                                                     
Pilpres merupakan salah satu potensi demokrasi untuk menentukan kepemimpin an bagi kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, sebagai salah satu organi sasi masyarakat di republik ini maka sikap Muhammadiyah menjadi salah satu barometer terhadap proses demokrasi melalui pilpres. Terkait hal ini, sikap Muhammadiyah sangat jelas yaitu tidak berpolitik, tidak mendukung salah satu kandidat atau netral. Paling tidak, ini dipertegas Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin pada sidang Tanwir di Samarinda 23-25 Mei 2014 dan juga pada acara Tablig Akbar Hari Ber-Muhammadiyah se-Jawa Tengah, Milad Aisyiyah 1 Abad, serta Muktamar IMM ke-16 di Stadion Manahan Solo 27 Mei 2014.

Komitmen netral tersebut berlaku menyeluruh mulai dari pimpinan pusat sampai ke tingkat ranting di semua daerah. Oleh karena itu, komitmen netral ini menjadi moda Muham madiyah untuk tidak mengambil peran di semua kampanye dan atau kegiatan perpolitikan lainnya. Bahkan, pada saat pileg juga ada regulasi yang jelas,siapa pun kader Muhammadiyah yang menjadi caleg harus merelakan diri untuk mundur dari atribut Muhammadiyah. Penekanan ini sekaligus memperjelas arah pergerakan Muhammadiyah untuk tetap fokus sebagai persyarikatan yang mengacu pada gerakan sosial, bukan orientasi politik.

Komitmen

Fokus terhadap gerakan sosial bagi Muhammadiyah bukan berarti mengebiri hak-hak di dunia perpolitikan. Oleh karena itu, dalam Tanwir Muhammadiyah di Samarinda 23-25 Mei 2014, Pimpinan Pusat Muhammadiyah berharap agar hal ini menjadi gerakan awal kembali ke khitah sehingga tanwir tidak dimanfaatkan untuk kepentingan politik karena bersamaan dengan pilpres.

Jika dicermati sebenarnya memang sangat tipis untuk membedakan politik praktis yang dilakukan sejumlah organisasi berbasis keagamaan dengan sikap netralitas yang menjadi muara terhadap modernitas kehidupan berdemokrasi. Di satu sisi, memang ada beberapa organisasi berbasis keagamaan yang secara jelas menyatakan sikap mendukung kandidat tertentu pada pilpres mendatang. Bahkan, ada beberapa tokoh organisasi nya menjadi tim sukses pemenangan pilpres. Di sisi lain, sikap Muhammadiyah cenderung berbeda dan tidak dibe narkan ada warga dan atau simpatisan Muhammadiyah yang mendukung arah politik dari masing-masing kandidat dalam pilpres mendatang. Oleh karena itu, sikap ini memberikan pengaruh positif dari kedua kandidat untuk tidak sowan ke sejumlah tokoh Muhammadiyah.

Yang menarik dari sikap politik Muhammadiyah terkait pilpres adalah pernyataan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam pembukaan tan wir di Samarinda bahwa per gerakan Muhammadiyah tidak bisa lepas dari kehidupan demokrasi ka rena ritme demokrasi secara tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan sosial di masyarakat, sementara Muhammadiyah berada di lingkup tujuan sosial dalam kehidupan keseharian.

Oleh karena itu, dinamika kehidupan demokrasi, termasuk pilpres, menjadi bagian ritme kehidupan pergerakan Muhammadiyah. Artinya, jika tidak ada kesadaran kolektif terhadap kondisi ini maka tentu sangat rawan bagi Muhammadiyah untuk terlibat dalam politik praktis. Meski demikian, sebagai organi sasi keagamaan yang memiliki amal usaha tersebar di berbagai daerah dan memiliki basis umat terbesar maka Muhammadiyah berkepentingan untuk menyuarakan kepada warganya dan tentu juga bagi masyarakat untuk selektif memilih pemimpin.

Peran sosialKiprah Muhammadiyah yang kali ini sudah berusia 102 tahun tentu diharapkan mampu memberikan kontribusi positif, tidak hanya bagi warganya, tapi juga masyarakat melalui berbagai gerakan sosial yang dilakukannya. Oleh karena itu, memberikan edukasi terkait pemilihan kepemimpinan menjadi sangat penting.

Meski demikian, hal ini tidaklah harus terlibat secara langsung dalam politik praktis, apalagi sampai melakukan gerakan untuk mendukung salah satu kandidat dalam pilpres mendatang. Artinya, penegasan Pimpinan Pusat Muhammadiyah menjadi acuan bagi semua warganya dan juga tokoh-tokoh ormas atau parpol untuk menghargai sikap ini. Paling tidak, penegasan ini untuk menghindari sikap-sikap politik tertentu yang berusaha untuk memancing keterlibatan tokoh-tokoh di Muhammadiyah atau Muhammadiyah itu sendiri.

Secara riil diakui pascaseabad pergerakan Muhammadiyah justru mengingatkan bahwa Muhammadiyah memang harus melakukan reorientasi ke semua amal usaha agar kiprah ke depan Muhammadiyah bisa makin konkret. Hal ini bukan tidak beralasan sebab bagaimanapun juga keberadaan Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia memiliki tanggung jawab moral-spiritual yang tidak kecil. Bahkan, di era otda ini, dengan amal usaha yang tersebar, kiprah Muhammadiyah sangatlah diharapkan mampu memicu dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran umat dan masyarakat secara berkelanjutan.

Oleh karena itu, netralitas dalam pilpres menjadi modal besar bagi Muhammadiyah untuk tetap fokus sebagai gerakan sosial keagamaan, bukan terjun dalam politik praktis. ●

Thursday, May 29, 2014

Kegamangan Politik Warga Muhammadiyah

Jawa Pos, 27 Mei 2014
Djoko Susilo


AKHIR pekan lalu, antara 23-25 Mei, Muhammadiyah menggelar sidang tanwir (rapat kerja nasional) di Samarinda, Kaltim. Sebenarnya, sidang tanwir itu merupakan acara tahunan, tetapi kali ini menjadi istimewa karena merupakan tahun politik yang penting. Dua calon presiden (capres), yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto, hadir dalam acara yang didatangi elite pimpinan Muhammadiyah se-Indonesia tersebut.
Menurut Prof Dr M. Amien Rais, mantan ketua umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, dalam wawancaranya dengan sebuah TV nasional, sambutan terhadap kehadiran capres Jokowi hanya ”suam-suam kuku”. Sebaliknya, sambutan atas kehadiran capres Prabowo sangat gegap gempita, bahkan diselingi gema takbir segala. Salah satu keberhasilan Prabowo memikat peserta tanwir adalah ceramahnya yang selaras dengan tema yang sedang digandrungi kalangan Muhammadiyah saat ini: Indonesia yang Berkemajuan.

Namun, sebagaimana sudah diduga, pernyataan resmi sidang tanwir yang dibacakan Agung Danarto, sekretaris umum PP Muhammadiyah, organisasi Islam modernis ini menyatakan netral dalam pilpres nanti. Warga Muhammadiyah dipersilakan memberikan suara sesuai dengan keputusan dan pilihan hati nurani masing-masing. Namun, dalam konferensi pers penutupan acara tanwir tersebut, ada pernyataan yang unik dari Din Syamsuddin, ketua umum, yang menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak berafiliasi dengan parpol mana pun dan koalisi apa pun. Meski tidak tersurat, sudah jelas pernyataan Din ini ditujukan kepada PAN yang aktivisnya banyak dari kalangan Muhammadiyah.

Pernyataan resmi sidang tanwir ataupun keterangan pers Din ini sekali lagi menunjukkan kegamangan sikap politik kalangan elite Muhammadiyah. Sebab, ketika tanwir memutuskan netral, pada waktu yang sama Saleh P. Daulay (ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah) tegas menyatakan bahwa Pemuda Muhammadiyah memberikan dukungan kepada Prabowo-Hatta Rajasa. Sikap ”mbalelo” kalangan muda Muhammadiyah terhadap induknya ini bukan tanpa sebab. Sudah lama sikap politik Muhammadiyah di bawah Din sering konfrontatif terhadap pemerintahan Presiden SBY dan kepada Ketua Umum PAN Hatta Rajasa yang kebetulan adalah besan presiden. Ini tidak selaras dengan konsep netralitas yang selama ini dianut ormas Islam terbesar kedua di Indonesia tersebut.

Netralitas Muhammadiyah bukanlah hal yang baru. Di masa yang sulit pada zaman Orde Baru, KH A.R. Fachruddin pun selalu menyatakan netral politik. Presiden Soeharto menghargai pilihan politik itu dan tetap menjaga hubungan harmonis antara pemerintah dan Muhammadiyah. Ketika sekolah-sekolah Muhammadiyah digencet Mendikbud Daoed Joesoef, Pak AR –sapaan KH A.R. Fachruddin– tidak melawan dengan konfrontasi, tetapi memilih sowan ke Pak Harto dan membicarakan masalahnya dengan tuntas. Dengan pendekatan yang ”luwes” dan ”njawani” ini, Muhammadiyah tetap mendapat tempat di kalangan pemerintah.

Din Syamsuddin memang bukan orang Jawa. Jadi, kita tidak bisa berharap banyak dia punya sikap yang ”njawani” seperti Pak AR. Namun, sesungguhnya ada nostalgia di sebagian kalangan warga Muhammadiyah agar ketua umum punya sikap yang luwes. Pak AR hendaknya menjadi teladan bagi PP Muhammadiyah. Wajar jika saat ini sudah muncul gerakan ”jangan salah pilih” ketua umum Muhammadiyah dalam muktamar tahun depan. Warga sangat merindukan sosok yang teduh dan kalem seperti Pak AR. Semua warga Muhammadiyah juga tahu bahwa Pak AR hidup sederhana, ke mana-mana naik sepeda motor Yamaha butut. Untuk menambah penghasilan pensiunnya, Pak AR terpaksa berjualan bensin secara eceran di depan rumah dinas Muhammadiyah di Jl Cik Di Tiro. Saat ini rasanya sudah tidak ada anggota PP Muhammadiyah yang naik motor butut seperti Pak AR.

Meski hidup sederhana, dalam hal memimpin Muhammadiyah, Pak AR sangat tegas, tapi fleksibel. Ketegasan sikap Pak AR itu yang membuat warga Muhammadiyah tidak pernah galau dan gamang dalam berpolitik. Sebaliknya kondisi saat ini, meski resminya netral, ada pimpinan Muhammadiyah yang bersikap anti-PAN, tetapi dalam waktu yang sama ikut membidani berdirinya Baitul Muslimin (Bamus), sayap Islam PDIP. Dengan demikian, layak seruan netral itu dipertanyakan. Yang kita harapkan adalah Muhammadiyah menerapkan semacam ”politik bebas dan aktif” mirip politik luar negeri RI. Dalam konsep ini, warga Muhammadiyah bisa berpartisipasi aktif dengan kekuatan politik mana pun sepanjang hal itu membawa kemaslahatan bagi umat dan persyarikatan.

Dengan politik Muhammadiyah yang bebas dan aktif, warga persyarikatan akan terbebas dari kegamangan dan kegalauan sikap. PP Muhammadiyah juga tidak perlu menghadapi ”pemberontakan” dari kalangan muda seperti sikap Pemuda Muhammadiyah yang mendukung Prabowo-Hatta. Sebab, mereka juga melihat ketidakadilan sikap dari sebagian pimpinan Muhammadiyah. Oleh karena itu, PP Muhammadiyah juga tidak perlu reaktif, misalnya, dengan menjatuhkan hukuman represif kepada PP Pemuda Muhammadiyah. Justru yang harus dipertanyakan adalah apakah pernyataan dukungan Pemuda Muhammadiyah itu merupakan sikap resmi organisasi atau sikap pribadi Saleh Daulay yang terpilih sebagai caleg DPR dari PAN. Jika bukan keputusan resmi hasil sidang pleno PP Pemuda Muhammadiyah, hal itu hanya layak disebut dukungan perorangan.

Sangat disayangkan jika warga Muhammadiyah sekarang ini, khususnya di kalangan pimpinan di semua jajaran, sudah mulai melupakan teladan para sesepuh yang telah mendahului. Sangat banyak pelajaran yang bisa diambil dari proses politik di masa lalu. Misalnya bagaimana R Moejadi Djojonegoro diangkat sebagai menteri sosial zaman Bung Karno tanpa mengusik Muhammadiyah. Bagaimana kisah KH Ahmad Badawi menahan godaan tawaran Soeharto untuk menjadikan Muhammadiyah ormaspol setelah geger 1965. Bagaimana pula Buya Hamka menghadapi geger ”fatwa Natal” ataupun KH A.R. Fachruddin yang menyelesaikan masalah ”asas tunggal” untuk Muhammadiyah.

Muhammadiyah yang sudah berusia satu abad lebih semestinya bisa memberikan pelajaran yang baik bagi kader-kadernya yang hidup di zaman sekarang. Tidak usah galau dan gamang dalam memilih dua pasangan capres-cawapres sekarang ini. Pilihlah pasangan yang akan memberikan kemaslahatan bagi umat, persyarikatan, bangsa, dan negara.

*) Mantan Ketua PP Pemuda Muhammadiyah (1998–2002) (thedjokosusilo@gmail.com)

Wednesday, May 28, 2014

The Gülen Movement, Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama: Progressive Islamic Thought, Religious Philanthropy and Civil Society in Turkey and Indonesia

Islam and Christian–Muslim Relations, DOI: 10.1080/09596410.2014.916124

Greg Barton
Faculty of Arts, School of Social Sciences, Monash University, Victoria, Australia

AbstractThis article looks at three Islamic movements, two (Nahdlatul Ulama (NU) and Muhammadiyah) almost exclusively contained within Indonesia and the third (the Gülen movement, known amongst those associated with it as the hizmet or “service”) originating in Turkey but now global in its extent. These movements are Islamically inspired and generally described as Islamic social movements, but much of their activity is concerned with the provision of social services, particularly education, and all three run extensive school systems. It is often insufficiently understood that these school systems are committed to teaching modern curricula in a secular fashion. Although these movements are very concerned with the development of character and the promotion of morality, and may be described as socially conservative, they are essentially progressive social movements, looking to the future with confidence and at plural society around them with an optimism that their understanding of Islam can thrive in modern society. The hizmet and NU share a similar traditional Sunni approach, strongly imbued with a Sufi sensibility, whereas Muhammadiyah is inspired by Islamic modernism. The hizmet, seen from an Indonesian perspective, combines the modern organizational competency of Muhammadiyah and the spirituality of the NU. All three movements share similarities with Western philanthropic religious movements committed to providing high-quality education.

Keywords: Turkey, Indonesia, traditional Islam, modernist Islam, Sufi, Fethullah Gülen, hizmet; Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, progressive Islamic movements, Western religious philanthropy

http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/.U4sMTHbLNpA#.U4sNTnbLNpA

Thursday, May 22, 2014

Sikap Politik Muhammadiyah

Kompas, Kamis, 22 Mei 2014


Oleh: Zuly Qodir

"Muhammadiyah tidak berafiliasi dengan capres dari partai politik mana pun menjelang Pemilu Presiden 9 Juli mendatang," demikian diungkapkan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin (16/5/2014).

Pernyataan Din harus dibaca dengan jernih dan cermat menjelang Pilpres 9 Juli 2014. Sekurang-kurangnya terdapat dua pandangan yang dapat saya sampaikan terkait dengan sikap politik Muhammadiyah.

Pertama, Muhammadiyah me- nempatkan posisi semua parpol yang mengusung capres-cawapres sama saja. Mereka tak punya hubungan langsung dengan organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia  setelah Nahdlatul Ulama tersebut. Dengan memosisikan diri netral, Muhammadiyah dapat dikatakan sebagai king maker suara umat Islam Indonesia yang jumlahnya besar.

Suara Muhammadiyah sendiri, menurut survei Saiful Mujani (2009), mencapai 25 juta penduduk Indonesia. Cukup signifikan menjadi idola kalangan parpol melirik organisasi modernis Islam ini. Dengan posisi seperti itu, Muhammadiyah tak mengeksklusifkan parpol mana pun yang mengusung capres/cawapres meski sebagian orang Muhammadiyah tentu kecewa (karena sebagian politisi dari warga Muhammadiyah berharap mendukung salah satu parpol pengusung pasangan capres-cawapres pada Pilpres 9 Juli).

Rupanya terdapat parpol yang merasa "sangat dekat" bahkan jadi bagian integral Muhammadiyah sehingga selalu berusaha dengan banyak cara mengatakan bahwa inilah partai Muhammadiyah sehingga layak mendapat dukungan resmi Muhammadiyah dalam pileg dan pilpres. Parpol lain dianggap tak punya kede- katan istimewa dengan Muhammadiyah sehingga tak berhak mendapat dukungan dari Muhammadiyah.

Sikap politik seperti itu (dengan membaca secara jernih dan cermat pernyataan Ketua Umum Muhammadiyah) merupakan perilaku politik berlebihan. Muhammadiyah bukanlah organisasi politik praktis yang bergerak dalam gerakan dukung mendukung capres-cawapres dalam pilpres yang diselenggarakan di Indonesia sejak era Reformasi. Benar bahwa warga Muhammadiyah, bahkan sebagian elite Muhammadiyah, menjadi pengurus partai tertentu. Itu tak serta- merta menjadikan Muhammadiyah bagian dari parpol yang mencalonkan pasangan capres- cawapresnya.

Hal yang dapat dibenarkan adalah bahwa pilihan politik warga Muhammadiyah diserahkan kepada pribadi-pribadi yang memiliki kedekatan emosional dengan pasangan capres-cawapres tanpa harus menyebutkan bahwa itulah pasangan capres-cawapres resmi dari Muhammadiyah. Kesalahpahaman semacam ini harus disampaikan kepada publik dan warga Muhammadiyah karena jika tidak dilakukan, akan membuat antarsesama warga Muhammadiyah saling menelikung, saling menuduh, memfitnah, dan mendeskreditkan jika tak memilih pasangan calon yang dikehendaki politisi Muhammadiyah yang aktif di parpol tertentu.
Politik tinggi

Kedua, politik tinggi Muhammadiyah, yakni politik kebangsa- an. Perilaku politik Muhammadiyah bukanlah perilaku politik dukung mendukung pasangan capres-cawapres pada Pilpres 9 Juli. Politik kebangsaan merupa- kan karakteristik politik Muhammadiyah yang telah dikembangkan sejak berdirinya Muhammadiyah dengan mendirikan amal usaha dalam bidang pendidikan, kesehatan, serta penyantunan anak yatim dan kaum duafa.

Muhammadiyah memang pernah menjadi "bagian dari Masyumi", tetapi segera siuman dan bertobat sehingga tak pernah jadi bagian dari parpol mana pun. Banyaknya warga Muhammadiyah di berbagai parpol menunjukkan kedewasaan politisi warga Muhammadiyah. Politisi yang berlatar Muhammadiyah tak memiliki klaim tunggal sebagai ”putra mahkota” Muhammadiyah yang harus diusung dan didukung secara resmi oleh persyarikatan Muhammadiyah.

Dengan demikian, kekecewaan sebagian politisi asal Muhammadiyah dapat dikatakan sebagai sikap dan perilaku politik tidak dewasa. Bahkan, dapat dikatakan sebagai sikap dan perilaku politik sektarian dan eksklusif sehingga merasa harus mendapat dukungan resmi dari persyarikatan Muhammadiyah. Maka, dalam konteks politik tinggi yang beradab, santun, dan bervisi, warga Muhammadiyah tak dibenarkan melakukan kampanye hitam terhadap capres-cawapres yang diusung parpol mana pun, termasuk yang dianggap tidak menjadi bagian dari Muhammadiyah.

Kita harus memosisikan Muhammadiyah benar-benar sebagai penyangga kekuatan civil Islam Indonesia yang harus didorong dan mendukung perkembangan masyarakat Islam yang toleran, humanis, dan inklusif, bukan karakteristik Islam Indonesia yang penuh kekerasan dan ancaman sehingga menakutkan sebagian umat Islam minoritas dan umat agama lain yang jumlahnya juga minoritas. Muhammadiyah harus terus didorong menciptakan dan mengampanyekan Islam moderat sebagai genre Islam Indonesia.

Karena itu, sikap politik Muhammadiyah yang disampaikan Din harus dipahami sebagai bagian penting Muhammadiyah dalam menjaga khitah Muhammadiyah yang sejak awal tak diagen- dakan jadi "gerakan politik praktis" dan sebagai parpol. Namun, Muhammadiyah adalah persyarikatan Islam yang mengemban amanah Islam rahmatan lil alamin dan membangun komunitas masyarakat baldatun thayibatun warabun ghofur.

Sikap netral yang disampaikan Din sekaligus sebagai ”sikap netral yang politis”. Hal ini karena Muhammadiyah memiliki posisi sangat penting sebagai bagian dari gerakan civil Islam Indonesia yang selalu berupaya mengampanyekan perilaku politik beradab. Perilaku politik beradab Muhammadiyah tak hanya mengejar keuntungan material dan kekuasaan, tetapi juga terjadinya perubahan pola pikir dan perilaku santun beretika dalam menjalankan tindakan politik praktis.

Dengan memperhatikan sikap politik Muhammadiyah seperti disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah, maka tidak bisa dibenarkan jika pada suatu saat nanti jajaran elite parpol dengan serta-merta ”memaksakan diri” agar para pengurus Muhammadiyah mulai dari tingkat ranting, cabang, daerah, wilayah, sampai pusat, mendukung salah satu pasangan capres-cawapres. Yang benar adalah jika ada warga Muhammadiyah mendukung salah satu pasangan capres-cawapres. Itu sikap pribadi, bukan sikap organisasi (persyarikatan).

Kita harus menjaga perilaku politik Muhammadiyah yang sudah terang benderang sejak era Reformasi, yakni tidak mendukung secara resmi pasangan capres-cawapres sekalipun sebagian warga persyarikatan menjadi aktivis parpol, bahkan tim sukses salah satu pasangan capres-cawapres pada Pilpres 9 Juli.

Kita harus bersikap bijaksana kepada persyarikatan Muhammadiyah yang ”netral” dalam pilpres mendatang karena sikap politik Muhammadiyah tersebut bukan berarti warga persyarikatan Muhammadiyah tidak boleh berpolitik praktis dan mendukung pasangan capres-cawapres yang dikehendaki.

Pernyataan sikap politik Muhammadiyah yang disampaikan Ketua Umum Muhammadiyah juga dapat kita jadikan pembelajaran bagi warga persyarikatan Muhammadiyah agar berpolitik secara dewasa, tidak sektarian, tetapi inklusif dan beradab sehingga dalam 10-20 tahun mendatang warga Muhammadiyah tidak menjadi politisi rabun ayam dan berpikiran cetek.

Zuly Qodir
Sosiolog Fisipol UMY; Peneliti Senior Maarif Institute Jakarta