Kompas, Senin, 5 Juli 2010 | 04:31 WIB
Fajar Riza Ul Haq
”Dalam lingkar syahadat, Bawa Islam penuh rahmat, Ke Yogya kita kembali, Abad ke-2 kita mulai.”
Muktamar kali ini mengangkat tema ”Gerak Melintasi Gerak Zaman, Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama”. Rangkaian tema ini membersitkan optimisme bahwa Muhammadiyah akan tetap mengusung gagasan-gagasan kemanusiaan revolutif dengan berakar pada tonggak iman yang kokoh.
Pencapaian usia satu abad merupakan hal yang sangat monumental dalam sejarah gerakan Islam di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Muhammadiyah telah menghadirkan pengaruh luar biasa dalam perkembangan budaya masyarakat Indonesia, seperti terlihat pada pengarusutamaan praktik shalat Idul Fitri di lapangan, memopulerkan pendidikan Islam modern yang integratif, dan kepeloporan gerakan emansipasi kaum perempuan di Tanah Air jauh sebelum wacana jender menyeruak (Nashir, 2010). Inilah sosok Muhammadiyah yang dicatat sejarah sebagai refleksi pembumian gagasan- gagasan pembaruan Islam di masa lalu.
Lalu bagaimana membaca nasib Muhammadiyah di masa depan? Ziauddin Sardar mendefinisikan masa depan adalah masa kini (1986:234). Dalam perspektif futurolog Muslim kelahiran Inggris ini, wajah Muhammadiyah di masa depan akan sangat berkorelasi dengan orientasi dan proyeksi- proyeksi institusional yang dirumuskan pada masa sekarang dalam konteks tantangan kesejarahannya. Dengan demikian, sudah seharusnya Muktamar 1 Abad Muhammadiyah menjadi episentrum titik balik spirit gerakan; kembali kepada jati dirinya sebagai gerakan pencerahan, pencerdasan, dan kemanusiaan. Inilah api pembaruan Islam Ahmad Dahlan.
Namun, realitas Muhammadiyah masa kini belum sepenuhnya memberikan ruang-ruang institusional bagi keberlangsungan pembaruan Islam. Salah satu gejala terpenting pada persoalan ini adalah semakin menyempitnya ruang toleransi dan apresiasi terhadap kerja-kerja pengembangan pemikiran Islam. Meskipun secara organisasional Muhammadiyah belum sepenuhnya terjatuh pada semangat anti-pemikiran, tetapi tekstualisme dan konservatifisme Islam semakin mendominasi langgam gerakannya.
Adalah sangat mengejutkan ketika tidak sedikit pengurus daerah bahkan elite Muhammadiyah berkeberatan dengan penambahan kalimat ”pemikiran Islam” pada Majelis Tarjih dan penggunaan kosakata ”pembaruan Islam” karena dinilai melegitimasi liberalisme. Pada upaya menyegarkan kembali spirit pembaruan Islam, inilah tantangan mendasar yang harus dijawab oleh kepemimpinan Muhammadiyah mendatang.
Oleh karena itu, guliran wacana Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu dan menghidupkan kembali budaya kemerdekaan berpikir dalam bermuhammadiyah seperti yang disuarakan Buya Syafii Maarif adalah antitesis kecenderungan gerakan puritanisasi ranah-ranah sosial dan kebudayaan. Padahal, dalam doktrin gerakan Muhammadiyah, upaya-upaya pemurnian hanya berlaku pada ranah-ranah teologis, tidak untuk domain sosial kemasyarakatan. Hanya melalui pelembagaan tradisi keilmuan semacam inilah imaji peradaban utama yang didengung-dengungkan Muhammadiyah akan bisa mendekat karena pada dasarnya sebuah peradaban tidak akan bisa terbangun tanpa kehadiran tradisi keilmuan yang kokoh dan budaya kemerdekaan berpikir.
Jika tidak ingin menyaksikan kapal besar pembaruan Islam di Indonesia ini semakin kehilangan arah, maka tidak ada pilihan lain kecuali kepemimpinan baru Muhammadiyah harus berkomitmen terhadap keberlangsungan etos pembaruan Islam pada semua sektor kehidupan sekaligus memperluas ruang jelajah dakwahnya.
Munculnya kader-kader terpilih Persyarikatan Muhammadiyah yang berjiwa pembaru di arena muktamar sangat diharapkan untuk mengisi cetak biru masa depan Muhammadiyah. Dengan demikian, pesan moral dari lantunan ”Ke Yogya kita kembali” adalah seruan kembali pada akar-akar pembaruan Islam yang mencerahkan dan memerdekakan.
No comments:
Post a Comment