Tuesday, April 30, 2013

The Missing Link: Explaining the Political Mobilisation of Islam in Indonesia

Journal of Contemporary Asia

DOI:10.1080/00472336.2012.634640
Jacqueline Hicksa*
pages 39-66

Abstract

Why has an increase in personal piety among Indonesia's Muslims not translated into electoral gains for Islamic political parties? To help explain this conundrum, this article focuses on the role of Indonesia's mass Islamic social organisations, Nahdlatul Ulama (NU) and Muhammadiyah. Using a political economy lens, it argues that control over state resources and the provision of social welfare facilities have helped political parties maintain power over the years and that NU and Muhammadiyah have at times played important mediating roles in this process. Extending this analysis into Indonesia's contemporary politics, it then proposes that since 2004 in particular, the health and education facilities provided by NU and Muhammadiyah are becoming less important to ordinary people in relation to the services provided by the state. It concludes that this trend has weakened the ability of these organisations to channel public support to political parties/candidates and is one reason why Islamic parties have not been able to capitalise on increased religiosity in the social sphere.

Key Words


Saturday, April 27, 2013

Ketika Muhammadiyah Melirik Tasawuf

Jurnal Media Inovasi. No. 1. TH. XII/2002. pp. 28-29.
Oleh Ahmad Najib Burhani
Selama ini banyak berkembang persepsi bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang antitasawuf. Ia tampak sebagai lembaga yang lebih menekankan pada persoalan fiqh (hukum); pembangunan amal usaha yang berupa sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan sejenisnya; dan kurang peduli dengan masalah perkembangan ruhani para pengikutnya. Orgaisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan ini dianggap kering ibadah, miskin ulama atau kyai, dan terlalu memuja dunia.
    
Apakah seluruh persepsi ini betul? Memang, beberapa tokoh Muhammadiyah memperlihatkan sikap yang “garang” terhadap tasawuf. Haidar Naser, misalnya, dalam beberapa kesempatan seperti Halal bi-Halal DPP IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) di UHAMKA mengatakan, “Ketika kita masih butuh rasionalisme, mengapa beberapa aktivis Muhammadiyah justru terlibat dalam gerakan antirasional seperti pada tasawuf atau spiritualitas?” Baginya, tasawuf adalah vis-a-vis rasionalisme.

Berbeda dari Haidar, Amin Abdullah yang merupakan Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah justru mencoba menawarkan satu pendekatan yang selama ini asing dalam tradisi tarjih, yaitu pendekatan ‘irfany dan burhany, suatu pendekatan yang dekat dengan gaya tasawuf. Gagasan Amin Abdullah ini mendapat respon negatif dari tokoh-tokoh sepuh Muhammadiyah. Bahkan ada reaksi keras yang meminta agar buku-buku yang pernah ditulis Amin ditarik dari peredaran dan diharamkan bagi warga Muhammadiyah. 

Dukungan terhadap Amin justru datang dari kalangan muda Muhammadiyah. Mereka mencoba untuk memulai mengimplementasikan ide-ide Amin itu dalam kegiatannya. Salah satu cabang IMM, contohnya, beberapa kali mengadakan diskusi tentang Ibn ‘Arabi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menggelar diskusi tentang Spiritualitas dan Problem Masyarakat Urban, beberapa aktivis muda Muhammadiyah tekun menggeluti wacana tasawuf, dan dalam obrolan keseharian tema tasawuf sudah seperti makanan wajib.

Akar Tasawuf di Muhammadiyah
Banyak persepsi yang keliru, termasuk di kalangan Muhammadiyah sendiri, yang menganggap organisasi ini tak memiliki “darah” tasawuf, atau lebih ekstrem lagi “LSM gajah” ini adalah gerakan antitasawuf. Penolakan terhadap TBC (taklid, bid’ah, dan c(k)hurafat) sering dianggap sebagai “surat perintah” untuk menentang tasawuf. Dalam hal ini, tasawuf dipahami sebagai gerakan yang identik dengan perilaku syirik, memuja kuburan, klenik, horor, takhayul, pelanggaran syari’at, penolakan dunia dan hidup seperti kere, dan sejenisnya.

Persepsi di atas semakin berkembang ketika Muhammadiyah dianggap identik dengan Wahabisme di Arab Saudi yang secara keras menyatakan penolakan terhadap tasawuf. Wahabi, yang agak mirip dengan Taliban di Afghanistan, pernah melakukan penggusuran terhadap kuburan-kuburan di Mekah dan Madinah, bahkan kubur Rasulullah pun hampir-hampir ikut “dibolduser”. Menurut Alwi Shihab, perbedaan paling menonjol antara Wahabisme dan Muhammadiyah adalah sikap keduanya terhadap tasawuf. Pandangan-pandangan keagamaan Ahmad Dahlan menunjukkan sikap lunak, bahkan bersahabat terhadap tasawuf. Hal inilah yang mengantar Mitsuo Nakamura, peneliti pergerakan Muhammadiyah, menunjukkan elemen-elemen tasawuf dalam ajaran Muhammadiyah.

Anggapan Nakamura itu lebih jelas tergambar dalam ungkapan ulama yang bernama kecil Muhammad Darwisy yang bertendensikan tasawuf kepada pengikut-pengikutnya. Kata-kata mutiara sufi kenamaan Hasan Basri yang senantiasa mengingatkan manusia akan kematian dan hari pembalasan di kemudian hari bergema dalam ungkapan-ungkapan pendiri Muhammadiyah itu. Anjuran-anjuran sufi besar Al-Muhasiby yang menekankan bahaya penyakit riya (hiprokasi), dan Yahya ibn Muaz tentang peringatan kematian dapat ditemukan persamaannya dalam anjuran-anjuran tokoh dari Kauman Yogyakarta ini. Bahkan keengganan murid Syaikh Ahmad Khatib (1855-1916), ulama kelahiran Indonesia yang pernah menempati posisi tertinggi di Makkah, untuk melibatkan diri dalam pemikiran spekulatif teologis yang mengundang perdebatan adalah merupakan kelangsungan tradisi sufi-sufi besar Islam.(Alwi Shihab, 1998)

George Makdisi, seperti juga dikutip Alwi Shihab, dalam tulisannya  Ibn Taymiyyah: A Sufi of the Qadiriya Order menempuh langkah yang cukup jauh dalam membuktikan bahwa Ibn Taimiyah sebagai mentor dan figur inspiratif gerakan-gerakan modern Islam, termasuk Ahmad Dahlan, adalah anggota dan murid tarekat Qadiriah. Ibn Taimiyah, menurut Makdisi, menunjukkan sikap positif terhadap sekian banyak sufi besar Islam semacam Al-Junaid, Al-Tustari, Al-Fudhail, dan bahkan Al-Ghazali. Ibn Taimiyah sendiri, lanjut Makdisi, telah mengekspresikan tendensi tasawufnya dalam karya-karyanya yang menarik di bidang tasawuf --antara lain dalam kitabnya yang berjudul Al-Tuhfah al-’Iraqiyyahi fil-A’mal al-Qalbiyyah.

Demikian pula halnya dengan Ibnul Qayyim Al-Jawziyah, murid pinilih Ibn Taimiyyah yang juga menjadi salah satu rujukan Muhammadiyah, memiliki sikap yang sangat moderat terhadap tasawuf. Ibnul Qayyim Al-Jawziyah bahkan menulis tiga jilid tebal buku yang diberi judul Madarij as-Salikiin baina Iyyakana’budu wa Iyyaka Nastain. Ini merupakan syarah terbaik untuk buku klasik tasawuf yang menceritakan apa yang harus kita lakukan dalam perjalanan menuju Tuhan karya Abu Ismail Abdullah Al-Anshary yang berjudul Manazil al-Salikiin (station travellers atau spiritual travellers).

Muhammad Abduh, reformis pembaru Mesir yang banyak memberikan inspirasi kepada Muhammadiyah itu, adalah murid Syekh Darwisy, penganut Tarekat Syaziliyah. Rasyid Ridha dalam buku Tarikh al-Ustadz al-Imam al-Syaikh Muhammad ‘Abduh memaparkan bagaimana Abduh mengenang jasa gurunya itu sebagai orang yang melepaskannya dari penjara kebodohan dan ikatan taklid serta mengantarkannya pada satu cita-cita untuk mendapatkan pengetahuan dan disiplin jiwa yang sempurna.         

Mana yang Ditolak Muhammadiyah?
Seyyed Hossein Nasr menganggap tasawuf sebagai spirit of Islamic religion (jiwa dan semangat agama Islam). Tanpa tasawuf, Islam akan menjadi gersang, tidak subur, bahkan tidak hidup. Berbeda dari Nasr, Fazlur Rahman Menganggap tasawuf sebagai infiltrasi budaya luar yang menggerogoti Islam. Mana yang benar? Dari persoalan inilah kita akan berangkat untuk melihat mana tasawuf yang disetujui Muhammadiyah dan mana yang ditolak.

Tidak ada yang menolak jika dikatakan bahwa tujuan tasawuf adalah kesempurnaan akhlak. Tidak ada umat Islam yang menggugat aksioma bahwa tasawuf adalah moral education atau moral elaboration perfection. Meski ada sufi yang menganggap etika itu sebagai peringkat dasar dari tasawuf, dan kelas-kelas selanjutnya adalah union atau wahdah (persatuan atau pertemuan), ada juga love (cinta). Tapi semua tingkatan itu harus didasari oleh etika.

Selain pandangan di atas, ada beberapa sufi yang merasa tidak cukup dengan definisi dan tujuan tasawuf sebagai sekadar untuk kesempurnaan akhlak. Mereka menganggap tasawuf sebagai jalan hidup atau metode untuk mencapai ma'rifatullah, pengenalan Tuhan. Nah, dalam konteks inilah lantas masuk ke dalam tasawuf aliran-aliran filsafat Yunani, pemikiran dari Persia, dan ajaran-ajaran dari agama lain. Ajaran-ajaran ini oleh ahli syari’ah dianggap sebagai penyimpangan tasawuf dari doktrin Islam.

Ibnu Sabiin, Suhrawardi dan Al-Hallaj adalah orang-orang yang bukan saja menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk mencapai akhlak mulia, tetapi lebih untuk pengenalan Allah (ma'rifah). Bahkan sebagian sufi lain menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk menyatu dengan-Nya. Sehingga muncul istilah wahdatul wujud (panteisme), wahdatussyuhud dan sebagainya. Banyak ungkapan sufi model ini yang menjadi kontroversi. Abu Yazid Al-Busthami mengatakan, "Ana al-Haq”, saya ini adalah yang Haq (Tuhan); Al-Hallaj berkata, "saya dan Tuhan menyatu", Ibnu Sabi'in yang menyatakan bahwa  wujud ini hanya satu saja, yaitu wujud Tuhan, dan kita semua adalah bayang-bayang.

Banyak orang yang ikut-ikutan kepada ajaran mereka lantas membentuk tarekat yang tidak mengindahkan syari’at; seperti tidak perlu sembahyang, yang penting kita eling. Syariat hanya untuk orang awam. Orang yang sudah sampai ke tingkat tertentu, dia sudah tidak perlu shalat lagi. Tasawuf yang semacam itulah bagi Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan agaknya beberapa orang Muhammadiyah --yang dalam konteks ini seide dengan Fazlur Rahman-- adalah alien, sesuatu hal yang berada di luar garis-garis yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.

Betulkah tasawuf seperti yang ditampilkan Al-hallaj, Ibn ‘Arabi, dan sebagainya itu sebagai infiltrasi dari luar yang menggerogoti Islam dan karena itu diharamkan? Secara umum para peneliti membagi tasawuf menjadi dua, yaitu tasawuf agama (sunni) dan tasawuf filsafat yang sering kita terjemahkan sebagai teosophy. Teo tapi sophia; ada filsafatnya, tapi juga ada ketuhanannya. Tasawuf sunni melulu bersumber dari Qur'an dan Sunnah. Tokoh-tokoh tasawuf sunni adalah Hasan Bashri, Al-Muhasiby, dan Al-Ghazali. Sedangkan tokoh-tokoh tasawuf filsafat yaitu Ibn Arabi, Suhrawardi Al-Maqtul (dibunuh  pada umur 39 tahun, karena dianggap memperkenalkan banyak doktrin-doktrin di luar agama). Tokoh lain adalah Ibnu Sabi’in, Al-Qanawi, dan Al-Jilly. Dalam  sejarah tasawuf di Indonesia, dikenal Hamzah Fansuri, Siti Jenar dan Ar-Raniri.

Ketika Hossein Nashr menyatakan bahwa tasawuf adalah spirit dari agama, ia pasti menunjuk kepada akhlak. Sebagaimana halnya pada saat Fazlur Rahman mengatakan bahwa tasawuf itu menggerogoti Islam, ia tidak menunjuk pada akhlak, tapi menunjuk pada hal-hal yang sifatnya kebablasan dari tasawuf. Tasawuf yang diterima oleh semuanya adalah tasawuf agama. Tasawuf falsafi masih menjadi kontroversi.

Bila kita berpikir positif, sebetulnya para pelaku tasawuf falsafi itu mempunyai niat baik. Dengan tasawuf, mereka menggali cara untuk bisa mengenali Allah. Karena bagi mereka, tujuan tasawuf bukan semata akhlak, tapi lebih untuk mengenal Allah. Dalam rangka mengenal Allah inilah berbagai metode dilakukan, termasuk ilham, mukasyafah (membuka tirai gaib), dan sejenisnya. Ini adalah cara-cara yang tidak bisa didapat melalui ilmu pengetahuan. Dalam Islam ada ilmu ladunni, ilmu yang Allah berikan kepada orang-orang tertentu melalui intuisi, karena jiwa orang tersebut bersih. Pengalaman ini hanya bisa dirasakan dan tidak bisa diucapkan. Terkadang apabila dia ucapkan, orang akan keliru memahaminya. Ia adalah state of feeling yang tidak dapat diekspresikan. Kalau diekspresikan, sama halnya dengan yang terjadi pada Al-Hallaj, Siti Jenar, dan Suhrawardi.

Imam Ghazali pernah ditanya, bagaimana sebenarnya perasaan seorang yang menjalani pengalaman spiritual itu? Ia katakan, memang susah untuk disebutkan dan sulit diutarakan, sebagaimana halnya apabila anda bertanya, bagaimana rasanya jeruk. Tidak bisa mengutarakan manis kecutnya jeruk, sebelum si penanya merasakan sendiri. Begitulah kira-kira pengalaman spiritual itu.

Masalah tasawuf lain yang mendapat sorotan tajam dari Muhammadiyah dan yang membuat banyak aktivis organisasi merasa “ngeri” dengan dunia sufi adalah persoalan zuhud. Zuhud pada mulanya adalah berusaha untuk tidak diperbudak dunia. Ada yang menganggap karena tidak boleh diperbudak dunia, maka ditinggalkan saja. Ini adalah anggapan yang salah fatal. Dalam zuhud, dunia ditinggalkan dalam pengertian jangan sampai memperbudak kita. Kita perlu dunia untuk menjadi kuat dan mengantar kepada suatu kehidupan yang menyenangkan di akhirat. Zuhud adalah tidak tergiur untuk memiliki sesuatu dan diperbudak oleh apa yang kita miliki. Gerakan zuhud seakan menganggap dunia ini bangkai yang harus ditinggalkan. Padahal tidak demikian, menurut Nabi, al-mukmin al-qawiyyu khairun minal mukmin al-dhaif, mukmin yang kuat --segala bidang-- itu lebih mulia daripada mukmin yang lemah. Al-yadul 'ulya khairun min al-yadis sufla, tangan yang memberi lebih mulia daripada yang menerima.

Tuesday, April 23, 2013

Pengalaman Memimpin Muhammadiyah

Pengalaman Memimpin Muhammadiyah (1)
Republika, Selasa, 09 April 2013, 09:26 WIB

REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Dari sekian banyak teori kepemimpinan yang dikembangkan oleh para ahli, tampaknya tipe kepemimpinan yang selaras dengan kultur Muhammadiyah adalah yang bercorak demokratik-konsultatif. Tipe kepemimpinan otokratif dan serbakomando, tidak akan pernah efektif dalam organisasi modern dan egalitarian ini.

Pengurus Muhammadiyah dari pusat sampai ke tingkat ranting bersifat sukarela tanpa gaji. Tidak ada janji keuangan atau jabatan duniawi yang ditawarkan, semuanya berdasarkan perintah iman untuk berbuat yang terbaik bagi kepentingan masyarakat luas.

Situasinya sungguh berbeda dengan lingkungan perusahaan melalui sistem karier, promosi, dan imbalan penggajian yang telah ditentukan. Agak mendekati apa yang berlaku di lingkungan perusahaan ini, yang berlaku dalam kultur partai politik belakangan ini sudah mengarah kepada janji-janji duniawi itu, sesuatu yang dapat mencederai sistem demokrasi. Politik yang semestinya untuk mengabdi pada kepentingan umum telah berubah menjadi ladang mencari rezeki.

Berbicara tentang pola hubungan antara pemimpin dan pengikut, dalam perusahaan tentu corak komunikasi otak (rasional) lebih diutamakan, dalam Muhammadiyah, komunikasi antara hati (spiritual) akan lebih efektif. Sesuatu yang mengalir dari hati akan mendarat di hati pula. Saya menggantikan posisi Prof Dr M Amien Rais yang sangat populer saat itu sebagai Ketua PP Muhammadiyah dalam situasi politik bangsa yang genting, suatu masa peralihan dari sistem otoritarian menuju sistem demokrasi. Sebagai seorang yang belum banyak dikenal publik, tiba-tiba harus memimpin organisasi sebesar Muhammadiyah, terus terang saya merasa ragu dan gamang.

Amien Rais telah berkibar sebagai tokoh publik nasional dan internasional, khususnya sejak 1993, ketika melontarkan isu tentang perlunya suksesi kepemimpinan nasional dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Surabaya. Lontaran ini telah memicu kemarahan luar biasa dari Presiden Soeharto dan para pendukungnya, termasuk yang ada di kalangan Muhammadiyah, selama beberapa tahun berikutnya sampai rezim Orde Baru itu jatuh pada Mei 1998. Perasaan gamang yang sering dibayang-banyangi sosok kharismatik Amien Rais berjalan sekitar setahun setelah saya memimpin Muhammadiyah. Kemudian, secara berangsur yang dibantu oleh banyak pihak, termasuk tokoh-tokoh lintas iman, saya mulai menemukan diri sendiri di tengah-tengah pergolakan politik nasional dalam iklim euforia demokrasi yang nyaris tanpa kendali itu.

Muhammdiyah sebagai representasi dari salah satu sayap umat Islam terbesar di Indonesia, di samping NU, harus dipimpin oleh seorang yang berasal dari kawasan udik yang secepatnya mesti pandai merangkak ke panggung nasional. Jelas tidak mudah bagi saya yang ketika itu sudah berusia 63 tahun.

Saya lahir di sebuah nagari tersuruk Sumpur Kudus yang terletak di pedalaman Sumatra Barat pada 31 Mei 1935. Ketika kecil tidak punya mimpi apa pun untuk beranjak jauh dari kawasan udik itu. Memang kemudian saya pernah belajar di madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Lintau (Tanah Datar) dan Yogyakarta antara tahun 1950 dan 1956, tetapi modal itu terasa belum cukup untuk menduduki posisi puncak di Muhammadiyah.

Sekiranya Amien Rais tidak berputar haluan memasuki dunia politik, mungkin saya tidak akan pernah menjadi orang pertama di lingkungan Muhammadiyah. Maka, tidaklah heran, mengapa saya terkejut karena tiba-tiba harus tampil ke posisi seorang yang dituakan dalam Muhammadiyah. Sebelumnya hanyalah sebagai anggota pimpinan pusat dan sebagai wakil ketua sejak 1994, saat Amien Rais menggantikan posisi Ketua PP KH Azhar Basjir yang wafat pada tahun itu. Azhar Basjir, seorang kiai dengan pemahaman agama yang dalam dan lurus.

http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/04/09/mkyus1-pengalaman-memimpin-muhammadiyah-1
-------------

Pengalaman Memimpin Muhammadiyah (2)
Selasa, 16 April 2013, 20:00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Ahmad Syafii Maarif

Berbeda dengan gaya kepemimpinan Azhar Basjir yang tenang dan lembut sesuai dengan sifat seorang kiai, di bawah Amien Rais, Muham madiyah harus berhadapan dengan negara di bawah sistem politik yang tabu untuk dikritik. Seluruh kekuasaan negara terpusat pada satu tangan, seorang jenderal lagi, sekalipun di depan forum Muktamar Muhammadiyah di Aceh pada Juli 1995 pernah mengakui sebagai "bibit Muhammadiyah yang ditanam di bumi Indonesia".

Dalam situasi yang serbatertekan itu, pernyataan presiden Soeharto ini mendapat tepuk tangan yang membahana dari peserta muktamar. Bahkan, di beberapa daerah, pernyataan ini dicetak untuk "melunakkan" sikap penguasa setempat terhadap Muhammadiyah.

Anda bisa bayangkan betapa sulitnya posisi Muhammadiyah dalam konstelasi politik nasional yang sangat kritikal itu. Saya mendampingi kepemimpinan Amien Rais yang kadang- kadang memang tidak mudah diikuti dan dipahami, sering menempuh jalan sendiri, tetapi saya banyak belajar bersama anggota PP yang lain.

Sebagian kami kadang-kadang berada dalam situasi harap-harap cemas. Pihak istana sebenarnya ketika itu sudah ingin sekali agar Amien Rais tidak berada di puncak pimpinan Muhammadiyah karena dirasa sudah sangat mengganggu kemapanan sistem kekuasaan.

Harapan pihak istana ternyata sia- sia karena adalah sebuah kemustahilan memisahkan Muhammadiyah dengan Amien Rais. Tokoh ini di saat panas itu sangat diperhitungkan secara nasional oleh kawan dan lawan.

Seorang wartawan bahkan pernah menyebutnya sebagai sosok "yang telah putus urat takutnya" karena mengamati tingkat keberanian Amien Rais yang spektakuler itu.

Bulan Juli 2000 dalam muktamar ke-44 di Jakarta, saya terpilih sebagai ketua PP Muhammadiyah dengan suara terbanyak. Sekitar tiga bulan menjelang muktamar, Amien Rais "sedikit marah" karena saya tidak begitu rajin berkunjung ke daerah-daerah. Dikhawatirkan, saya tidak akan terpilih sebagai ketua dalam muktamar itu. Sebagai seorang yang mulai mengenal medan, saya cuek saja. Terpilih, ya syukur, tidak ya syukur. Terserah saja kepada para pemilih.

Tidak ada tim sukses yang dibentuk, semuanya biar mengalir seperti air saja. Apalagi bagi saya, model-model tim sukses terasa bernuansa politik, sedangkan Muhammadiyah adalah organisasi kemasyarakatan yang menjaga jarak sama dengan semua kekuatan politik. Kata orang, di bawah kepemimpinan saya, Muhammadiyah berjalan lebih tenang dan aman sebab dipimpin oleh seorang yang bukan politisi.

Selain itu, Presiden Soeharto mungkin tidak begitu mengenal saya seperti mengenal Amien Rais.
Akan tetapi, ada ujian agak berat atas kepemimpinan saya ketika muncul berita awal 2001 bahwa Presiden Abdurrahman Wahid akan dijatuhkan oleh MPR, pimpinan Amien Rais.

Pengikut Gur Dur, khususnya di Jawa Timur, serta-merta mengamuk dan merusak masjid-masjid dan bangunan lain milik Muhammadiyah. Bahkan, gedung SMA Muhammadiyah di Situbondo dibakar habis.

Dalam situasi serba sulit ini, jelas tidak mudah bagi saya memimpin Muhammadiyah, sekalipun punya hubungan baik dengan elite NU, termasuk Ketua Umum nya KH Dr A Hasyim Muzadi.

Pada tingkat akar rumput, hubungan baik ini tidak berhasil meredakan amuk massa yang terkait dengan kekuasaan itu. Akal sehat sama sekali tidak ber fungsi.

Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur dalam menyikapi situasi tidak normal itu, saya nilai sangat arif, tidak terpancing untuk melayani brutalitas massa, dengan membuat pernyataan tertanggal 5 Februari 2001 yang berbunyi: 1) Mendukung gerakan demokrasi dengan cara damai dan konstitusional. 2) Menyesalkan pelbagai tindakan yang mengarah kepada anarkisme dan perusakan. 3) Menyerahkan kepada aparat keamanan untuk dapat segera mengantisipasi timbulnya kerusuhan dan perusakan serta secepat mungkin mengusut dan menindak tegas tindakan yang melawan hukum. 4) Mengimbau kepada masyarakat Jawa Timur agar tetap tenang dan waspada terhadap kemungkinan adu domba dari pihak-pihak tertentu .

http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/04/16/mlcmsl-pengalaman-memimpin-muhammadiyah-2
-----------

Pengalaman Memimpin Muhammadiyah (3)
Selasa, 23 April 2013, 07:00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Sekalipun Muhammadiyah disakiti dan harta miliknya dirusak, reaksi yang diberikan adalah dalam bentuk pernyataan di atas, yaitu agar hukum ditegakkan. Dengan sengaja menyamarkan nama pelaku teror itu, Muhammadiyah tidak rela lantaran politik kekuasaan persaudaraan umat di tingkat bawah menjadi kacau dan berantakan. Ongkosnya akan sangat tinggi bila teror dibalas dengan teror. Orang yang beradab pasti mampu menahan diri sebagai pertanda keadaban.

Anarkisme di Jawa Timur menjadi perhatian utama PP Muhammadiyah. Kontak dengan PWM Jawa Timur terus dilakukan sambil mendesak aparat agar tindakan kekerasan dihentikan secepatnya. Anak-anak muda NU yang dekat dengan saya terus dihubungi agar menggunakan pengaruh mereka untuk meredakan situasi yang panas, tetapi tidak membawa hasil. Cukup banyak milik Muhammadiyah yang menjadi sasaran tindakan brutal selama berbulan-bulan sampai Presiden Abdurrahman Wahid benar-benar harus rela meninggalkan kursi kepresidenannya pada 23 Juli 2001, setelah berkuasa sejak 20 Oktober 1999.

Pengalaman memimpin Muhammadiyah dalam kondisi semacam itu sungguh sangat membekas dalam hati dan perasaan saya. Ternyata sebagian umat Islam ketika tokoh idolanya sedang berada dalam proses kejatuhan karena dinilai melakukan kesalahan menjadi tidak stabil dan tidak normal, bahkan bisa berbuat apa saja yang dilarang agama. Sejarah Islam dalam bilangan abad tidak sunyi dari pengalaman pahit serupa ini, tetapi kita tidak mau belajar untuk tidak mengulanginya.

Alhamdulillah, beberapa bulan setelah itu hubungan NU-Muhammadiyah di tingkat dasar berangsur pulih secara perlahan, tetapi pasti. Kata orang, kepemimpinan saya telah lulus ujian, sekalipun Muhammadiyah harus berkorban. PBNU bukannya tidak mengakui bahwa milik Muhammadiyah telah dirusak oleh warganya. Oleh sebab itu, bantuan mereka tawarkan untuk perbaikan kembali, tetapi PWM Jawa Timur dengan sopan menolaknya dengan alasan: “…secara spontan warga Muhammadiyah telah mulai melakukan perbaikan.” Jawaban ini sebenarnya tajam, tetapi dianyam dalam bahasa simbolis yang santun, sejalan dengan salah satu diktum dalam kepribadian Muhammadiyah yang berbunyi: “Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah.”

Saya dan teman-teman pimpinan yang telah bekerja keras sejak muktamar tahun 2000 untuk merajut tali persaudaraan yang tulus dengan kalangan NU tentu cukup terluka dengan apa yang dialami Muhammadiyah di Jawa Timur. Tetapi, di awal tahun 2002, upaya menguatkan persaudaraan itu saya teruskan lagi dengan hasil yang lumayan. Inilah rupanya risiko yang harus dilalui Muhammadiyah karena anggota masyarakat tertentu belum bisa membedakan antara figur Amien Rais sebagai Ketua MPR dengan Muhammadiyah yang ketika itu sudah berada di bawah kepemimpinan saya. Sampai dengan muktamar ke-45 di Malang, Juli 2005, gangguan terhadap Muhammadiyah sudah jauh berkurang, bahkan sampai hari ini, setelah saya sejak tahun itu tidak lagi berada dalam kepengurusan PP Muhammadiyah karena usia sudah 70 tahun.

Itulah sekilas pengalaman dari seorang anak kampung tersuruk dalam kiprah gerakan Muhammadiyah berhadapan dengan realitas umat dan bangsa. Suka dan getir saling melengkapi. Dalam segala cuaca, stamina spiritual memang tidak boleh melemah, sekalipun tidak jarang saya merasa sangat lelah.

http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/04/22/mlnr53-pengalaman-memimpin-muhammadiyah-3habis