Judul Buku : Al-Qur’an dan Realitas Umat
Penulis : Ahmad Syafii Maarif
Penerbit : Penerbit Republika
Cetakan : 1 (pertama) , 2010
Tebal : viii + 218 halaman
Peresensi : Muhammad Itsbatun Najih *)
KOMPAS.com — Membincangkan jurang perbedaan antara teks suci dan realitas pemeluknya menjadi sesuatu yang teramat pelik. Penafsiran tunggal atas suatu teks suci oleh kalangan tertentu kerap menimbulkan bingkai pembenaran sepihak kemudian menghukum sebagian yang lain sebagai salah dan menyimpang.
Praktik keagamaan seperti itu akan melahirkan suasana yang menakutkan. Penafsiran tunggal dan picik serta cara keagamaan yang kaku inilah yang dikritik oleh Ahmad Syafii Maarif, seorang cendekiawan Muslim, lewat kumpulan tulisannya di kolom "Resonansi" harian umum Republika yang akhirnya dibukukan.
Fungsi Al Quran menjadi semakin tidak jelas yang diakibatkan oleh perilaku umat islam sendiri. Hal ini dikarenakan masih saja ada unsur-unsur subyektivisme masing-masing kelompok keagamaan untuk mengangkangi kebenaran relatif atas kebenaran absolut. Bukankah menurut Al Quran risalah kenabian berfungsi sebagai rahmat semua alam semesta (hlm 3).
Di tengah tidak padunya antara ajaran Al Quran dan perilaku pemeluknya (baca: sebagian), ternyata masih juga ada orang-orang yang patut dijadikan suri tauladan dalam mengamalkan ajaran universal Al Quran.
Adalah Tugimin, yang kesehariannya bertugas sebagai abdi Tuhan pada masjid Syuhada di Yogyakarta. Sudah setengah abad beliau mengabdi di masjid tersebut untuk memperlancar kegiatan masjid semisal membersihkan masjid, membayar listrik, dan air, serta lain sebagainya. Semua itu beliau lakukan dengan imbalan ala kadarnya.
Kemudian ada Asrori, penjual plastik dan racun tikus yang menempuh jarak 30 km per hari dengan sepeda tuanya. Penghasilannya tak seberapa untuk menghidupi istri dan empat anaknya. Namun, Asrori begitu peduli terhadap pendidikan mereka. Semuanya sekolah kecuali yang terkecil yang masih berusia 2 tahun. Prinsipnya sederhana dalam menyikapi hidup: Asal bergerak (bekerja), Allah pasti memberi imbangan.
Ada juga Parmin, kelahiran Wonosari. Profesinya sebagai tukang asah pisau. Berkeliling ke sana-kemari. Semangatnya sekuat baja. Prinsipnya: Asah pisau, asah gunting (selalu bekerja, tidak mau berpangku tangan). Jumlah pendapatannya Rp 25.000. Pendapatan itu ia alokasikan untuk kebutuhan primer, tabungan, dan sumbangan sosial.
Dari Parmin, kita bisa belajar bahwa di tengah terbatasnya lapangan pekerjaan dan meledaknya pengangguran terdidik, sosok Parmin pantas menjadi sosok inspiratif. Meskipun Parmin hanya mengecap pendidikan sekolah dasar saja (hlm 101).
Dalam buku setebal 218 halaman tersebut juga diulas tentang sepak terjang orang-orang yang selama ini telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Merekalah yang menyebarkan pesan universal Al Quran dengan damai.
Sebut saja Prof Hamka (Buya Hamka) tentang buah pemikirannya dalam ragam bahasan, dari sastra sampai masalah tafsir Al Quran. Karyanya begitu banyak dan sampai sekarang masih terus dikaji.
Ada juga Ajip Rosidi tentang keprihatinannya pada perkembangan bahasa Indonesia, wartawan senior Rosihan Anwar tentang perjuangannya pada perkembangan pers di Indonesia, dan cendekiawan Jawa, Prof Mohammad Saleh Mangundiningrat, tentang pengabdiannya kepada masyarakat Indonesia.
Kalau buku tersebut dianggap sebagai produk cendekiawan lulusan Barat, bukan berarti Buya Syafii lantas bersikap subyektif dan "merunduk" pada Amerika Serikat. Hal tersebut merupakan dugaan yang salah besar. Ada banyak bagian tema yang tersaji yang secara khusus mengkritik dengan sangat pedas terhadap kebijakan Gedung Putih.
Kritikan Buya Syafii terutama tertuju terhadap kebijakan pemerintahan George W Bush dalam memutuskan agresi ke Irak. Alasan Irak mempunyai senjata pemusnah massal dianggap hal yang mengada-ada. Justru faktor minyaklah yang menjadi semangat Amerika Serikat menghajar Irak.
Tak cuma itu, Amerika Serikat juga bersikap tidak adil dalam hal nuklir. Negara adidaya tersebut terus mengecam Iran dalam usaha pengayaan uraniumnya yang disinyalir untuk membangun persenjataan nuklir. Ini bertolak belakang dengan sikap Amerika Serikat mendukung Israel dalam hal pengembangan persenjataan nuklir.
Bagi sebagian kalangan yang selalu mendengungkan anti-Barat, anti-Amerika, Buya Syafii menilai sikap tersebut kurang patut. Beliau cantumkan beberapa warga Amerika yang sangat kritis terhadap kebijakan Bush.
Sebut saja misalnya Jimmy Carter, Noam Chomsky, Emanuel Todd, Francis Fukuyama, dan Stiglitsz. Pesan yang ingin disampaikan Buya Syafii adalah jangan terlalu anti Amerika. Toh, masih banyak warganya yang kritis terhadap sikap pemerintahannya.
Tentang Islamofobia, wabah ini muncul karena segelintir Muslim yang melakukan aksi-aksi kekerasan seperti menyebar teror dan melakukan bom bunuh diri. Dengan demikian, ada ketakutan dan kecurigaan masyarakat Barat pada Islam. Salah satu cara menghapus Islamofobia ini adalah Muslim menghindari praktik-praktik kekerasan tersebut seperti aksi bom bunuh diri. Dari sinilah diharapkan ada kepekaan dan kesadaraan dari mereka (Barat) bahwa Islam memang mencintai perdamaian (hlm 67).
Alhasil, tulisan-tulisan ringkas Buya Syafii dalam buku tersebut telah memberikan oase tersendiri di tengah sikap kekakuan beragama dan mengingatkan tingkah kita semua melalui nukilan-nukilan pelajaran hidup dari orang-orang hebat seperti yang ada di atas agar selalu bersyukur dan berlaku santun.
*) Penikmat buku, tinggal di Yogyakarta
No comments:
Post a Comment