Saturday, July 10, 2010

Relasi Muhamadiyah, Agama, dan Negara

Sumara Merdeka, 09 Juli 2010 | 19:55 wib


image

MUKTAMAR Seabad Muhammadiyah yang dilaksanakan pada 3-8 Juli 2010 di Yogyakarta, merupakan hajatan akbar dan momen strategis untuk menata kembali relasi antara Muhammadiyah, agama dan negara. Muktamar yang bertemakan “Gerak Militansi Zaman Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama” ini, setidak-tidaknya mampu menunjukkan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi atau gerakan pembaruan Islam modern yang juga mengangkat harkat masyarakat akar rumput.

Kaitannya dengan ini, Muhammadiyah mempunyai lima fondasi dasar yang sangat kuat dan penting yang disebut sebagai gerakan Islam berkemajuan. Pertama, tauhid yang murni, sebagai sumber kekuatan hidup yang membentuk manusia berjiwa merdeka. Kedua, memahami Alquran dan sunah secara mendalam. Ketiga, melembagakan amal saleh yang fungsional dan solutif. Keempat, berorientasi kekinian dan masa depan, dalam artian memahami dengan baik realitas kekinian untuk merancang masa depan yang lebih baik. Kelima, bersikap toleran, moderat, dan suka bekerja sama, sehingga Muhammadiyah mudah diterima dimana-mana.

Titik fokus pembahasan buku ini adalah pada fondasi keempat yaitu, Muhammadiyah yang berorientasi kekinian dan masa depan. Bagi penulis, Muhammadiyah adalah sebuah gerakan yang mampu menjembatani antara keinginan warga modern dan masyarakat bawah (wong cilik). Karena itu kemungkinan ini menjadi fondasi awal bagi Muhammadiyah untuk merealisasikan lima fondasi itu. Tentu hal ini adalah sebagai upaya untuk memperkuat relasi antara Muhammadiyah, agama dan negara (halaman 38).

Dalam hubungan dengan agama, tampak jelas ketika Muhammadiyah menobatkan diri sebagai gerakan pembaruan Islam. Sebagaimana dasarnya, gerakan pembaruan Islam lahir sebagai respons terhadap kondisi internal umat muslim dan sekaligus kondisi eksternal berupa imperialisme-kolonioalisme Barat yang mencengkeram dunia Islam. Kondisi internal terutama dalah kemunduran dunia Islam sebagai akibat dari krisis keagamaan, sosial-politik, dan ilmu pengetahuan. Adapun kondisi eksternal, penjajah kebudayaan, dan kebudayaan Barat terhadap orang muslim membawa serta kebudayaan dan peradaban barat, baik yang bernilai positif (seperti iptek) maupun yang negatif (ideologi dan gaya hidup).

Gerakan pembaruan Islam modern telah ditetapkan dasar-dasarnya oleh tokoh pembaharu Islam pra-modern seperti Ibnu Taimiyah dan Muhammad Ibn Abdul Wahab. Gerakan pembaruan Islam modern dapat dipilahkan dalam tiga bidang, yakni modernisme intelektual dengan tokoh utama Sayyid Khan dan Syaikh Muhammad Abduh, modernisme politik dengan tokoh Sayyid Jamaluddin Al-Afghani, dan modernisme sosial yang dilakukan oleh Sayyid Amir Ali dan Muhammad Iqbal (halaman 18). Posisi untuk memperkuat relasi Muhammadyah dan agama ini, ditunjukkan dengan sikap modernitasnya dalam gerakan keislaman.

Pembaru
Salah satu sebab mengapa Muhammadiyah mengambil jalan sebagai gerakan pembaru Islam modern ini tidak lepas dari KH Ahmad Dahlan sebagai pediri Muhammadiyah yang bergumul dengan tokoh-tokoh pembaharu Islam, baik pramodern maupun modern. Tidak haran kalau komitmen dakwah Muhammadiyah untuk menegakkan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dengan landasan Alquran dan sunah dengan motif Islam modern. Ini menjadi bukti bahwa posisi Muhammadiyah sebagai salah satu gerakan pembaharuan Islam modern yang paling berpenggaruh tidak hanya di Indonesia, tapi juga di dunia Islam.

Selain itu, relasi Muhammadiyah dengan negara juga ditunjukkan dalam buku ini. Kendati Muhammadiyah bukan organisasi politik ataupun partai politik, tapi kontribusi Muhammadiyah terhadap politik keislaman juga tidak sedikit. Hal itu ditunjukkan melalui keterlibatanh elite tokoh pimpinanya, yakni KH Ahmad Dahlan pada masa penjajahan Belanda, KH Mas Mansur dan Haji Rasul pada waktu pendudukan Jepang, KH Abdul Kahar Muzakkiar, Sudirman, Mr Kasman Singodirejo, HAMKA, KH AR Facruddin hingga Prof Dr HM Amien Rais dan Prof Dr A Syafii Maarif. Beberapa tokoh di atas telah memberikan kontribusi politik kepada negara dengan berpegang pada budaya politik Muhammadiyah yang amar ma’ruf nahi munkar (halaman 98).

Seperti yang digambarkan penulis, model politik yang ditawarkan oleh Muhammadiyah adalah sebagaimana yang disebut oleh Amien Rais sebagai high politic, berisisi beberapa prinsip seperti doktrin dakwah amar ma’ruf wa nahi munkar, sikap demokratis, sisi egaliter, kecenderugan pada musyawarah (konsensus), sikap akomodatif dan kooperatif, serta partisipatif dan terbuka. Sekali lagi, buku ini telah mengungkap banyak hal terkait relasi antara Muhammadiyah, agama, dan negara.

Secara komprehensif, buku ini menyajikan banyak hal terkait dengan Muhammadiyah masa depan. Bisa dikatakan penulis telah membuka gerbong untuk masuk menuju masa depan Muhamadiyah melalui fakta-fakta mutakhir Muhammadiyah. Buku ini wajib dibaca oleh para muktamirin (peserta muktamar) Muhammadiyah kali ini.

==================================
Judul: Relasi Muhammadiyah, Agama, dan Negara, Kontribusi Muhammadiyah dalam Perspektif Sejarah
Penulis: Drs Suwarno MSi
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2010
Tebal: 262 halaman

(Nur Kholis Anwar-33/CN15)

No comments:

Post a Comment