Jumat, 05 Maret 2004
Oleh RONI TABRONI
BELAKANGAN, Muhammadiyah menjadi salah satu ormas yang disoroti media. Langkah berani yang diambil Muhammadiyah menjadi perbincangan banyak orang baik di kalangan internal Muhammadiyah, partai politik, hingga masyarakat luas. Perseteruan tentang ijtihad Muhammadiyah "meledak" sejak lahirnya keputusan PP Muhammadiyah melalui Rapat Pleno Diperluas di Yogyakarta.
Walaupun keputusan keluar dari kesepakatan bulat para Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) se-Indonesia, tentang dukungan terhadap langkah-langkah dan gagasan putra terbaik Muhammadiyah, namun keputusan ini tidak luput dari kritik dari tubuh Muhammadiyah sendiri termasuk organisasi otonom (ortom) di dalamnya. Muhammadiyah selama ini dikenal dengan konsistensinya menjaga jarak dengan partai politik, tapi kini menjadi bias.
Beberapa hal yang menyebabkan sikap Muhammadiyah seolah tidak konsisten, pertama, politisasi media. Harus diperhatikan bahwa media massa pada umumnya mencari hal-hal yang menarik untuk dikonsumsi publik. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk melakukan hal tersebut, salah satunya adalah memolitikkan bahasa suatu peristiwa atau sikap tertentu agar lebih menarik, walaupun tidak sesuai dengan konteks persoalan. Termasuk sikap Muhammadiyah menghadapi Pemilu 2004 ini, walaupun tidak semua media melakukan itu.
Kedua, ada sikap yang berlebihan dari kalangan Muhammadiyah sendiri sehingga tidak menyampaikan konteks yang sebenarnya. Ketika PP Muhammadiyah menyatakan dukungan terhadap langkah-langkah yang diambil kader terbaik Muhammadiyah yaitu Amien Rais (dalam konteks proses suksesi 2004), seperti yang disosialkan PP Muhammadiyah dari hasil pleno diperluas, ternyata kader lain atau pada level tertentu baik PWM, PDM, atau yang lainnya melontarkan teks yang berbeda.
Dadang Kahmad adalah salah santu contoh kader Muhammadiyah yang melontarkan dukungannya secara terang-terangan terhadap Amien Rais, bukan lagi langkah-lankah yang diambil Amien Rais seperti yang dilontarkan PP. Terlebih dalam tulisan yang sama Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jabar ini juga secara otomatis memaketkan dukungannya antara Amien Rais sebagai calon presiden dengan PAN sebagai gerbongnya.
Sesungguhnya lontaran ini ada plus minusnya, dianggap plus ketika pada level masyarakat tertentu yang belum tahu bahwa prakondisi sebelum pencalonan presiden harus ada partai yang mencalonkan dan mendapat suara signifikan, juga untuk menjelaskan pada pihak-pihak yang masih bersikap, "Amien yes, PAN no".
Dianggap minus, karena sikap ini akan merugikan kader-kader Muhammadiyah (yang tidak bisa dinafikan) yang tersebar di beberapa partai lain. Yang terpenting bahwa sikap ini telah memberikan bias tafsir terhadap Muhammadiyah yang katanya hingga kini masih independen dan tidak terjebak politik praktis.
Lebih jauh, dalam tulisan itu, Dadang Kahmad juga menggambarkan ketidak-konsistenannya. Di satu sisi beliau menyatakan bahwa Muhammadiyah hingga kini masih menjaga jarak dengan semua partai. Namun di sisi lain, beliau menyatakan dukungan penuh, bukan hanya kepada Amien Rais sebagai calon presiden, juga PAN sebagai partai politik. Dengan sikap seperti ini kita dihadapkan kepada keputusan yang sesungguhnya bertolak belakang, antara independensi dan afiliasi.
Sejak lama Muhammadiyah merupakan organisasi generasi baru yang inklusif dan membawa angin segar dalam soal hubungan antarumat beragama. Bukan hanya di dalam tubuh Muhammadiyah, tetapi juga di tanah air secara luas. Tetapi kalau dalam perkembangannya Muhammadiyah melakukan ijtihad politik, saya pikir itu adalah hal yang wajar-wajar saja. Sebab Muhammadiyah selalu dituntut untuk dapat menjawab tantangan zaman.
Ketika bangsa ini begitu mengkhawatirkan dan kehilangan kepercayaan terhadap pemimpinnya, Muhammadiyah dituntut untuk melakukan ijtihad politik dalam memunculkan pemimpin bangsa ke depan yang lebih baik. Semuanya dilakukan hanya demi keselamatan bangsa yang besar ini. Muhamadiyah tidak rela kalau bangsa yang sangat potensial ini dicabik-cabik oleh pihak-pihak tertentu demi kepentingan kelompok dan bersifat sesaat. Maka dalam konteks inilah saya pikir Muhammadiyah melakukan ijtihad-nya.
Namun pertanyaan kemudian muncul, apakah ijtihad itu harus sampai kepada merelakan Muhammadiyah sampai menceburkan diri kepada politik praktis? Atau haruskah dukungan itu dilontarkan saat ini ketika peta politik khususnya berkenaan dengan perolehan suara partai politik belum begitu terbaca secara jelas.
Maka tidak aneh jika Hajriyanto Y. Thohari berujar bahwa Muhammadiyah sedang mengumandangkan azan subuh pada pukul 11 malam. Analisis politisi Muhammadiyah itu (bahkan Hajriyanto bukanlah satu-satunya yang melontarkan gagasan seperti itu) sesungguhnya harus dipertimbangkan Muhammadiyah. Sebab kritikan itu saya yakin dalam rangka menunjukkan rasa kecintaannya kepada Muhammadiyah.
Mereka khawatir kalau Muhammadiyah kebablasan dan terjerumus kepada politik praktis. Terlebih dukungan itu dilakukan sebelum adanya sinyal kemenangan di pihak Amien Rais. Kalau sudah terjebak politik praktis, risikonya hitam-putih. Kalau menang maka kemenangan juga akan dirasakan Muhammadiyah, tetapi kalau kalah maka Muhammadiyah akan "rusak".
Hanya satu yang hingga kini masih menjadi misteri, apakah keputusan tentang dukungan yang dilakukan PP Muhammadiyah terhadap Amien Rais sampai dilontarkan ke publik itu sesuai dengan aspirasi Pengurus Harian PP, terlebih Syafi'i Ma'arif sendiri? Padahal jauh-jauh hari Buya Syafi'i sudah mengatakan bahwa warga Muhammadiyah sudah cukup cerdas, tidak perlu dijelaskan secara vulgar. Tapi kini menjadi lain.
Tanggapan ortom
Sesungguhnya kekhawatiran sebagian kalangan Muhammadiyah tentang sikap organisasi otonom (ortom) berkenaan dengan kritik terhadap sikap Muhammadiyah tidak perlu terjadi. Saya pikir semua ortom Muhammadiyah terlebih Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sudah final tentang siapa pilihan presiden ke depan. Hanya, sekali lagi, ortom cuma mempertanyakan dan menganggap belum perlu Muhammadiyah melakukan dukung-mendukung secara vulgar hari ini. sebab secara kalkulasi politik itu belum dianggap tepat. Dan berdasarkan asumsi kader bahwa sikap itu telah melanggar khittah perjuangan Muhammadiyah.
Muhammadiyah selama ini menjadi organisasi kader yang inklusif dan toleran. Ia tidak memprioritaskan politik tetapi tidak tabu politik. Muhammadiyah selama ini tidak ikut campur dalam urusan politik praktis tetapi memberi kebebasan warganya untuk aktif di partai politik. Saya memandang bahwa sikap itu kini seolah-olah tidak relevan lagi. Perlu penafsiran ulang terhadap sikap independensi Muhammadiyah, atau perlu perumusan strategi pemenangan yang lebih "cantik" agar tidak terkesan Muhammadiyah terjebak politik praktis. Kalau Muhammadiyah membidani PAN bukan berarti Muhammadiyah secara otomatis berafiliasi dengan PAN.
Ketika ortom yang tergabung dalam program JPPR melontarkan sikap independennya, harus dipahami bukan dalam arti sempit bahwa ortom lebih mementingkan projek daripada Muhammadiyah. Sebab tentunya ada bebara alasan kenapa lontaran forum JPPR yang terdiri dari ortom Muhammadiyah itu keluar.
Pertama, kepercayaan lembaga asing saya kira tidak mudah kembali ketika hari ini kepercayaan mereka dikhianati. The Asia Foundation (TAF) ingin lembaga yang tergabung dalam program JPPR adalah lembaga yang benar-benar independen. Sehingga ketika Muhammadiyah menyatakan dukungannya terhadap salah satu calon presiden, maka wajar kalau seandainya TAF kembali mempertanyakan independensi ortom Muhammadiyah tersebut. Sebab sulit dipisahkan antara Muhammadiyah dengan ortomnya. Karenanya saya kira wajar kalau ortom yang tergabung dalam forum JPPR memberikan klarifikasi tentang sikap Muhammadiyah sekaligus menyatakan sikapnya sendiri dalam menghadapi Pemilu 2004.
Kedua, Ortom yang tergabung dalam forum JPPR tidak salah pula ketika mengatakan bahwa keputusan Muhammadiyah itu tidak dalam rangka mengikat warganya. Sebab dalam sejarah keberadaan Muhammadiyah tidak pernah mewajibkan warganya untuk memilih salah satu partai politik tertetu. Ijtihad warga Muhammadiyah mengenai pilihan politik dalam pemilu mendatang saya kira harus dikembalikan pada diri masing-masing. Terlebih ketika pengurus Muhammadiyah telah menangkap sinyal tentang kecenderungan pilihan warganya yang insya Allah tidak akan mengecewakan seperti halnya Pemilu 1999.
Apa pun keputusannya, saya kira keberadaan Muhammadiyah harus tetap berada pada posisi aman. Karenanya janganlah menggusur Muhammadiyah pada wilayah-wilayah politik praktis. Sebab ada agenda yang jauh lebih besar dan sangat panjang daripada menceburkan diri pada politik praktis. Muhammadiyah tetaplah Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah yang inklusif dan toleran. Sedangkan partai politik hanyalah salah satu alat dakwah, bukan satu-satunya tujuan dakwah.***
Penulis Sekretaris Umum DPD IMM Jabar dan aktivis "Bilalian Society" Bandung.
Monday, November 23, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment