Monday, November 23, 2009

Muhammadiyah sebagai Representasi “Islam-Jawa”

Jurnal Ma'arif, 2007
Oleh Ahmad Najib Burhani*


“You cannot be a Brahmin in the English countryside”
--Julian Pitt-Rivers (1963)--


Saya mengambil nukilan kata-kata Pitt-Rivers di atas untuk menunjukkan betapa mustahilnya Muhammadiyah melepaskan diri dari kebudayaan Jawa. Meski sering disebut sebagai gerakan puritanisme Islam di Indonesia, Muhammadiyah tak akan bisa melepaskan fakta bahwa ia lahir di Kauman, satu tempat dalam lingkungan tembok Kesultanan Yogyakarta, oleh sejumlah abdi dalem Kraton tersebut. Ia dibangun dengan inspirasi dan kesadaran seorang Islam-Jawa tulen, Raden Ngabehi Muhamad Darwisy (KH Ahmad Dahlan), setelah banyak berdialog dengan rekan-rekannya di Boedi Oetomo, guna memodernisasi cara pikir, sistem sosial dan peradaban masyarakat.

Sampai sekarang pun, ketika organisasi ini mendekati umur 100 tahun, beberapa pimpinannya tetaplah para priyayi dari kerajaan Jawa kuno itu, lengkap dengan karakteristik kejawaannya. Karenanya, seperti dikutip Herman L. Beck (1995), tidak heran jika Muhammad Hatta, salah satu proklamator Republik Indonesia dan juga anggota Muhammadiyah mengatakan, “Muhammadiyah tak akan pernah bisa berhasil melaksanakan program purifikasinya selama ia tak bisa membebaskan diri dari akar-akarnya di Kauman Yogyakarta.” Dakwah kultural yang pernah diusung oleh Muhammadiyah pada Muktamar ke-44 di Jakarta tahun 2000 yang lalu, dan terus dilaksanakan hingga sekarang, pada hakikatnya hanyalah meneguhkan identitas yang sudah lama melekat pada diri organisasi ini, yaitu sebagai model Islam varian Jawa.

Beberapa Catatan Sejarah
Mungkin belakangan ini terjadi satu pergeseran pandangan di masyarakat. Seolah-olah NU (Nahdlatul Ulama) lebih pas dipandang sebagai representasi Islam-Jawa daripada Muhammadiyah. Anak-anak muda NU pun juga terkesan lebih aktif bergelut dengan tradisi Jawa daripada anak-anak muda Muhammadiyah. Kondisi kasar ini tentu sangat berbeda dengan catatan-catatan sejarah pada dua organisasi terbesar di Indonesia itu. Setidaknya ada beberapa bukti yang memperkuat asumsi ini.

Pertama, jika klasifikasi masyarakat Jawa ala Clifford Geertz (1960) dipakai untuk membaca penduduk Jawa di awal abad ke-20, maka NU yang didirikan pada 1926 adalah organisasi para santri dan Muhammadiyah adalah gerakan para priyayi Muslim. Sebagai perbandingan, para pendiri NU adalah para kyai dari berbagai pesantren di Jawa (seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah). Para pengurus NU awal uga dipenuhi oleh orang-orang dengan nama Arab. Sementara pendiri dan pengurus Muhammadiyah adalah para priyayi Kraton Yogyakarta (seperti Raden Ketib Tjandana Haji Ahmat dan Raden Sosrosugondo).

Kedua, jika kita buka kembali foto-foto dan gambar-gambar kedua organisasi tersebut di awal-awal pendiriannya, maka akan terlihat bahwa para pimpinan NU memakai pakaian yang lebih dekat pada tradisi Arab, sementara cara berpakaian pemimpin Muhammadiyah mendekati budaya Jawa. Pada Muktamar Muhammadiyah di Solo tahun 1929, misalnya, seruan untuk memakai pakaian tradisional masuk dalam salah satu aturan bagi peserta Muktamar:

Menjetoedjoei seroean Comite Penerimaan Congres di Solo, kami harap soepaia Oetoesan-oetoesan laki-laki memakai pakaian kebesaran tjara negerinja masing-masing, jang tidak melanggar Sjara’.
Pengoeroes Besar dan Comite poen akan menjamboet dengan gembira dan berpakaian kebesaran djoega, tjara Djogja dan Solo. Jang teroetama dipakai di waktoe Malam Penerimaan dan Hari Tamasj-sja.
--Programma dan Agenda Congres Moehammadijah ke-XVIII jang Terbesar di Solo (1929)--

Ketiga, bahasa Jawa adalah bahasa resmi di Muhammadiyah sebelum digantikan oleh bahasa Indonesia. Muhammadiyah adalah organisasi pertama di Indonesia yang memperkenalkan khutbah Jum’at dalam vernacular language (bahasa masyarakat setempat). Pesan-pesan dalam khutbah Jum’at dianggap Muhammadiyah tidak akan bisa sampai kepada pendengarnya jika memakai bahasa Arab. Karena itu, sangat tidak masuk akal untuk memaksakan penggunaan bahasa asing itu sementara seluruh pendengarnya adalah orang Jawa. Bahkan, menurut kesaksian salah seorang murid Ahmad Dahlan di Kweekschool Jetis, Profesor Sugarda Purakawatja, pendiri Muhammadiyah itu pernah mengizinkan murid-muridnya untuk shalat dengan menggunakan bahasa Jawa jika mereka tidak mengerti bahasa Arab.

Keempat, secara organisasi, Muhammadiyah memiliki ikatan cukup erat dengan Boedi Oetomo, sebuah organisasi yang ingin membangun kembali budaya Jawa. Seluruh pendiri Muhammadiyah merupakan anggota Boedi Oetomo. Memang, Dahlan juga bergabung SI (Sarekat Islam) dan organisasi lain di Jawa. Namun, hanya Boedi Oetomo lah satu-satunya organisasi yang secara langgeng diikuti oleh Dahlan, tentu saja selain di organisasi yang didirikannya sendiri.

Kelima, Muhammadiyah tidak pernah menolak upacara grebeg yang diselenggarakan oleh Kraton Yogyakarta. Penghulu-penghulu yang berperan aktif dalam upacara tradisional di Kraton itu, sejak zaman Ahmad Dahlan, adalah para pimpinan Muhammadiyah. Dahlan sendiri hingga meninggalnya tak pernah melepaskan statusnya sebagai abdi dalem pamethakan.

Beberapa Pergeseran Sikap
Meski masih menyisakan cukup banyak bukti tentang kedekatan Muhammadiyah dengan kebudayaan Jawa, namun identitas organisasi ini sebagai Islam varian Jawa memang sudah tidak se-kenthal pada masa-masa awal pendiriannya. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran ini. Beberapa diantarannya adalah masuk dan berkembangnya ideologi Wahabi di organisasi ini, terutama setelah Mekah dan Madinah dikuasai oleh Saud-Wahabi. Sebagai organisasi yang identik dengan gerakan Wahabi, Muhammadiyah lantas menjadi kurang toleran terhadap tradisi masyarakat setempat.

Keterlibatan orang-orang dari Padang dalam Muhammadiyah juga memberi pengaruh dalam pembentukan sikap organisasi ini terhadap budaya lokal. Di Padang, hubungan antara Kaum Kuno dan Kaum Mudo, juga orang Adat dan orang Padri, memang kurang harmonis. Kondisi ini lantas mempengaruhi warga Muhammadiyah di Jawa. Apalagi, ideologi Muhammadiyah banyak dipengaruhi oleh ulama besar dari Padang, Haji Rasul.

Selain kedua hal tersebut, faktor lain yang ikut berpengaruh dalam membentuk karaktek Muhammadiyah dalam kaitannya dengan kejawaan adalah pembentukan Majlis Tarjih yang terkesan sangat syari’ah-oriented. Pendirian lembaga ini dipelopori oleh Mas Mansur, seorang ulama dari daerah pesisir, Surabaya. Karakteristik keislaman antara daerah pesisir pantai dan pedalaman (hinterland) memang berbeda. Dulu, keislaman daerah pesisir dikenal lebih ketat dibandingkan daerah pedalaman, seperti Yogyakarta.

Namun demikian, seperti dikatakan oleh Hatta, karakter kejawaan Muhammadiyah itu tak akan pernah hilang. Dengan cerdik Mitsuo Nakamura (1993) menyimpulkan gerakan Muhammadiyah sebagai berikut: “Reformist Islam is not antithetical to Javanese culture but an integral part of it, and what reformists have been endeavouring is, so to speak, to distil a pure essence of Islam from Javanese cultural traditions. The final product of distillation does retain a Javanese flavour.”
-oo0oo-



*Ahmad Najib Burhani adalah Peneliti LIPI dan Pengurus PP Muhammadiyah

No comments:

Post a Comment