Sunday, November 22, 2009

Muhammadiyah sebagai Civil Islam?

Suara Muhammadiyah, [02. Januari 2009]
Ahmad Najib BurhaniAnggota Muhammadiyah Kabupaten Tangerang,
Mahasiswa Program Doktor di University of California - Santa Barbara, USA

Tulisan Ahmad Norma Permata di Suara Muhammadiyah edisi 01/2009 dengan judul “Muhammadiyah Sebagai Pilar Civil Islam di Indonesia” mencoba memisahkan peran sipil dari peran politik Muhammadiyah, dengan penekanan bahwa Muhammadiyah harus lebih fokus pada peran sipil dan menghindari sejauh mungkin peran politik praktis. Peran sipil itulah, menurut Norma Permata, yang merupakan DNA atau gen Muhammadiyah sejak kelahirannya, hingga sekarang ini atau ketika umurnya telah mencapai angka 99.

Paparan dalam tulisan itu menarik untuk dicermati, karena ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitandengan perkembangan wacana tentang negara dan agama belakangan ini. Ketika wilayah agama dan negara sering berbenturan, ketika negara berupaya mengontrol agama dan sebaliknya ketika agama ingin memengaruhi negara, perta-nyaan yang perlu diajukan adalah peran seperti apakah yang mesti diambil oleh Muhammadiyah? Apakah Muham-madiyah mampu untuk hanya konsentrasi pada persoalan sipil? Ketika negara dan agama saling berebut untuk mendefinisikan ruang privat (private sphere) dan ruang publik (public sphere), harus berdiri dimanakah Muhammadiyah?

Di Indonesia beberapa waktu belakangan ini terjadi banyak kasus yang menjadi rebutan antara agama dan negara. UU Pornografi dan Pornoaksi serta peraturan pemerintah tentang poligami adalah di antara contohnya. Di wilayah manakah persoalan seperti pornografi, pornoaksi, dan poligami itu mestinya berada? Apakah mereka semua menjadi bagian dari wilayah negara atau agama? Isu seperti itu juga terjadi di Ameri-ka Serikat yang oleh Norma Permata disebut sebagai negara paling demokratis. Kelompok agama menjadi sangat aktif dalam negara dengan mendukung Proposition 8 tentang larangan perkawinan sesama jenis, sementara kelompok gay/ lesbian dan sebagian pendukung HAM menganggap Prop 8 sebagai aturan yang menyalahi hak-hak asasi manusia.

Dalam praktiknya, Muhammadiyah tidak pernah bisa diam atau acuh tak acuh dengan persoalan-persoalan seper-ti itu. Bahkan, seperti dituturkan Perma-ta, ketika Muhammadiyah berusaha un-tuk hanya fokus mengurus sekolah dan rumah sakit, ia tidak bisa tutup mata atau lepas dari negara. Mengapa itu terjadi? Adalah karena wilayah urusan negara dan agama adalah sama. Bahkan, menu-rut Carl Schmitt, teoritisi politik dari Jer-man, negara dan konsep-konsep yang dipakai oleh negara tak lebih dari “secularised theological concepts” atau konsep-konsep keagamaan yang diseku-lerkan (dalam arti dihilangkan aspek ke-Tuhanannya). Pendeknya, negara bisa dianggap sebagai bentuk paling modern dari evolusi “agama”.

Meski teori di atas banyak ditentang, misalnya oleh Talal Asad, namun paling tidak ada banyak kemiripan antara sistem yang berlaku pada agama dan sistem kenegaraan. Makanya tak heran bila Robert Bellah kemudian menyebut sistem negara yang berlaku di Amerika Serikat sebagai bentuk civil religion. Ham-pir tidak ada satu hal pun yang menjadi urusan agama yang tidak serta merta menjadi urusan negara, dan begitu pun sebaliknya. Puasa dan shalat yang mungkin dianggap sangat privat pun akhirnya melibatkan negara untuk me-nga-tur tentang hari libur dan jam kerja. Perkawinan yang bagi sebagian orang dianggap urusan privat, dirambah oleh negara. Negara juga mengadopsi segala bentuk simbol-simbol keagamaan seperti kitab suci (konstitusi), tempat suci, ritual dan sebagainya.


Antara Din dan Daulah

Dalam kaitannya dengan negara, pertanyaan mendesak yang harus dija-wab Muhammadiyah sekarang ini ba-rang-kali bukanlah bagaimana Muham-madiyah harus secara sempurna keluar dari politik praktis, tapi bagaimana Mu-ham–madiyah menempatkan negara dalam paradigma keagamaannya? Bagai-mana Muhammadiyah melihat kemung-kinan adanya pertemuan antara kedaula-tan Tuhan dan kedaulatan manusia? Selama persoalan teologi ini belum terja-wab se-cara jernih, saya kira posisi Mu-ham-ma-diyah sebagai civil Islam hanya men-jadi pilihan yang terpaksa seperti yang se-ring-kali terjadi. Muhammadiyah akan dengan mudah akan kembali terseret dalam politik praktis ketika kesempatan ada.

Seringnya Muhammadiyah kembali masuk ke dunia politik —meski menurut Norma Permata hal itu tak pernah berhasil memobilisasi massa Muhammadiyah? adalah karena selalu ada anggota organi-sasi ini yang menganggap din dan daulah sebagai satu kesatuan dalam Islam; state adalah alat untuk menegak-kan din dan sebaliknya din merupakan telos dari state. Dimensi politik dari Islam seperti itulah yang membuat beberapa aktivis Muhammadiyah berulang-ulang tertarik pada orien-tasi politik praktis. Dan karena ideo-logy itu pula, saya tidak bisa melem-parkan tuduhan, bahwa se-mua akti-vis Mu-ham-madi-yah yang ber-juang di politik prak-tis hanya semata-mata untuk kepen-tingan politik dan ekonomi yang bersi-fat priba-di. Sangat mungkin bahwa lan-dasan mereka adalah pada kesa-tuan din-dau-lah di atas.

Kesatuan an-tara din dan daulah itu dalam kehidupan sebagian umat Islam sudah merupakan sebuah dis-course, sebagai kebenaran yang terinternalisasi dalam diri. Sulit sekali memisahkan Islam dari politik. Sejarah kehidupan Mu-hammad yang lekat dengan politik seperti sudah men-darah daging pada umat Islam. Hal ini juga berlaku di Muham-madiyah. Ka-dang-kala, kedekat-an Islam dengan politik atau negara ini mirip dengan kedekatan Marxisme dengan negara. Dalam pandangan Vladimir Le-nin, negara dan Marxisme itu tak ter-pi-sah–kan, ne-gara menjadi perangkat wa-jib untuk mewujudkan Marxisme. Ini tentu berbeda dari Leon Trotsky yang tidak mewa-jib-kan negara dalam pengem-bangan Marxisme.


Bahwa Muhammadiyah berkontribusi sebanyak mungkin bagi negara tanpa ikut campur dalam politik praktis dan meletakkan teologi tentang negara dalam bracket.


Meskipun sejarah hubungan antara Muhammadiyah dan politik praktis, seperti dijelaskan Norma Permata, tidak pernah komplet, namun pandangan bahwa negara merupakan satu kesatuan dengan agama banyak dipegangi oleh aktivis organisasi ini. Banyak warga Mu-ham-madiyah yang pemikirannya tentang ideologi simetris dengan Lenin. Kalaulah mereka menjauh dari politik praktis, alasannya lebih karena pilihan-nya prag-matis ke-Muham-madiyahan, bukan ideo-logis. Dan sebaliknya, pan-dangan yang sealur dengan Trotsky me-mang selalu ada di Muhammadiyah. Saya se-ring membayangkan Din Syamsuddin dan Haedar Nashir itu sebagai dua sosok yang bisa mengilustrasikan dua pan-dangan itu, yang pertama mengikuti ga-ya Lenin sementara yang kedua seperti Trotsky.


Muhammadiyah sebagai Civil Islam

Sekarang bagaimana dengan pan-dangan tentang Muhammadiyah seba-gai civil Islam? Gagasan tentang “civil” agak susah ditemukan perbandingannya yang pas dalam dunia Islam. Seperti saya tulis dimuka, bagi sebagian umat Islam, nation-state itu merupakan secondary dan din merupakan primary. Ini diantara-nya yang membedakan konsep “civil” di Amerika Serikat dari dunia Islam. kan din dari kehidupannya? Atau, bisakah warga Muhammadiyah menempatkan din sebagai secondary dan ke-Indone-siaan sebagai primary?

Civil Islam yang saya baca dalam tulisan Norma Permata adalah dengan menghilangkan aspek teologi itu. Bahwa Muhammadiyah berkontribusi sebanyak mungkin bagi negara tanpa ikut campur dalam politik praktis dan meletakkan teologi tentang negara dalam bracket. Selama ini Muhammadiyah berhasil me-lak-sanakan peran civil Islam seperti ini. Na-mun demikian, selama persoalan teo-logis itu tak terjawab secara jernih, maka selalu ada ganjalan di dalam hati tentang peran ini. Saya berharap ada ge-rak-kan di Muhammadiyah untuk men-ja-wab dan memberikan landasan teologis tentang konsep civil ini, sehing-ga pilihannya tidak sekadar bersifat pragmatis.


No comments:

Post a Comment